Zaman semakin berubah. Telah muncul berbagai macam hal di muka bumi ini yang melatarbelakangi karakter seseorang. Sikapnya seperti apapun, pasti memiliki alasan.
Kebanyakan orang hidup dengan Trauma di masa lalu. Dan sebagian besar orang memilih percaya pada Sang Pencipta. Memilih untuk percaya bahwa hal yang terjadi dalam hidup atas kehendak Nya. Hal yang akan terjadi dimasa mendatang, menjadi Rahasianya. Tidak perlu gelisah pada hal yang belum terjadi, Kepercayaan mereka mengiringi setiap langkah. Tidak perlu tenggelam dalam rasa penasaran. Dia akan memperbaiki yang rusak dengan berbagai cara. Seperti mempertemukan satu insan dengan yang lain, dan menjadi perantara untuk mengobati luka yang tak tersentuh medis. Rencana Nya tidak pernah mengecewakan. Namun selalu tidak tertebak.
...***...
Jarum jam panjang dan pendek kini mengarah di angka yang sama, yaitu angka empat. Layar pipih di atas nakas mulai bergetar dan mengalunkan instrumen yang lembut. Gendang telinga yang menangkap alunan itu membuat sang penyetel alaram membuka iris mata yang masih terasa berat.
Suhu yang diciptakan pada jam-jam ini sangat pandai menggoda orang untuk semakin mengeratkan pelukan pada bantal guling, memperbaiki posisi tidur, atau membenarkan selimut. Apalagi hari ini berisikan tanggal berwarna merah.
Namun tidak dengan Agnes Roosevelt. Dia tidak boleh tergoda oleh suhu yang tercipta. Wanita pemilik surai hitam panjang itu mulai bergerak. Kini Dia sudah dalam posisi duduk dan sudah mematikan alaram yang beralun.
Sesuai rutinitasnya, Dia berdoa sebelum turun ke lantai bawah untuk melakukan pekerjaan rumah. Tangan pun tergenggam saat mengucap terimakasih kepada Sang Pencipta, karena di bangunkan dihari yang baru dan diijinkan untuk bernafas lagi. Usai melantunkan semua yang Dia harapkan dihari ini, Wanita itu kembali membuka mata. Sorotan matanya tertuju pada tempat kayu yang kosong di atas nakas. Ada barang yang seharusnya tersimpan di sana, namun sudah satu bulan berlalu dan tempat itu masih kosong.
Setelah menjepit rambut, Agnes pun turun ke lantai bawah. Dua jam penuh Dia bergelut di dapur, membersihkan peralatan makan yang di gunakan semalam dan mengepel rumah yang amat besar itu, sendirian. Pekerjaan yang paling memakan waktu terbanyak adalah mengepel, kerena benar-benar memakan waktu satu jam penuh.
Walaupun badannya sakit, Agnes lanjut membuatkan sarapan. Sederhana, hanya roti panggang. Dia tata di atas meja dengan baik. Tak lupa beserta berbagai macam rasa selai yang di sukai oleh Ibu, Kakak dan Adiknya. Dia juga sudah menata buah-buahan yang telah dicuci, karena memang itu yang akan di makan oleh Sang Ayah.
“Haahh...”
Setelah pekerjaan pagi nya selesai, Dia menghela nafas panjang sambil menaruh kedua tangan di pinggang.
Dia naik kembali ke lantai atas agar bisa bersiap-siap pergi ke gereja. Sebelum masuk ke kamar, Agnes melihat kamar Adiknya yang masih gelap. Tanda bahwa masih tertidur lelap dan berselancar dengan bebas di alam mimpi. Berbeda sekali dengan diri nya yang jika di jam ini masih memilih tidur, maka Dia tidak bisa pergi ke gereja karena harus mengerjakan pekerjaan rumah. Satu doktrin yang tertanam dan mengakar kuat pada dirinya, Agnes tidak boleh keluar ke mana-mana jika pekerjaan rumahnya belum selesai.
Pada umur 18 tahun Dia melayangkan Protes, dengan cara tidak mengerjakan beberapa hal dan menyuarakan lelah dan ketidakadilan yang Dia rasa. Dia hanya ingin pekerjaan di dalam rumah terbagi rata. Sayangkan hal itu berujung pada amarah orang tua. Wajahnya di tampar. Gendang telinganya hampir robek karena caci maki dan juga omelan bernada tinggi. Saat Dia ingin lari karena tidak tahan dengan rasa sakit, rambutnya di jambak.
Menurut kedua orang tuanya ini sangat adil. Karena Dia adalah Kakak. Dia harus mengalah, Dia yang harus mengerjakan pekerjaan rumah. Menurut Ayah dan Ibu, Adiknya masih terlalu kecil. Jarak usia mereka berdua terpaut lima tahun. Jadi menurut mereka itu wajar jika Orang tua nya tidak ingin membagikan pekerjaan rumah pada anak yang masih kecil. Namun, alasan ini selalu Mereka pertahankan sampai sekarang, saat Dia sudah berusia 25 tahun dan sang Adik berusia 20 tahun.
Ekonomi Mereka saat ini memang sudah tergolong lumayan. Seharusnya mampu menyewa pembantu rumah tangga. Sayangnya, mereka menganggap masih ada Agnes, masih ada anak yang berguna, jadi tak perlu buang-buang uang pada hal yang masih bisa di tangani.
Inilah Keluarga yang di kepalai oleh Fransiskus Roosevelt dan Sisilia Padavano. Menghadirkan tiga anak setelah pernikahan, yaitu Alexander Roosevelt, Agnes Roosevelt dan Lusia Roosevelt.
...***...
Ini adalah hari yang tanggal nya selalu merah di kalender manapun. Sebagian Orang dengan kepercayaannya sudah mulai bersiap-siap dengan tujuan pergi ke Gereja. Sebagian yang lain menunggu saat mentari hampir terbenam barulah pergi ke gereja. Dan sebagian yang lain, tetap batu dan terus melakukan pekerjaannya.
“Michael, Kau yakin masih tidak mau pergi ke Gereja ?” Suara berat khas milik Sang Ayah menerjang masuk dengan lembut ke dalam gendang telinga Anaknya yang masih setia di depan laptop.
“Iya, Ayah. Banyak pekerjaan yang harus di selesaikan hari ini.” Jawab Michael yang tidak butuh waktu untuk berpikir. Jawaban itu sudah terpola di benaknya.
“Baiklah. Masih ada waktu satu jam sebelum Misa di mulai. Kau sudah 30 tahun. Ayah harap Kau segera kembali mempercayai Sang Pencipta.”
“.....”
Suasana seketika membeku. Michael dengan ekspresi acuh, dan Sang Ayah masih dengan Tatapan penuh cinta. Tidak ada setitik amarah dan benci pada Sang Anak yang sikapnya sudah berubah semenjak kematian Nenek nya 10 tahun lalu.
Kemudian Sang Ibu datang. Mereka berdua berpamitan pada Michael dan melenggang pergi dari rumah.
Tidak ada pertengkaran dan caci maki. Michael Lecllair, Putra tunggal yang sangat beruntung lantaran terlahir di dalam keluarga Cemara dengan keadaan ekonomi yang tidak berkekurangan apapun. Keluarga yang tidak pernah menaikkan nada bicara saat bertengkar.
Doktrin yang tertanam dengan jelas di keluarga ini adalah Semua nya hanya butuh komunikasi. Semua hal selalu ada jalan keluarnya jika di bicarakan baik-baik.
...***...
Lima menit sudah berlalu semenjak kepergian Orang Tuanya. Michael tidak bergeming. Iris mata nya tetap fokus ke layar laptop, sampai handphone nya berdering. Langsung Dia angkat saat nama yang tertera di layar benda pipih itu tertulis ‘Brigida’.
“Ada apa ? Kau tidak ke Gereja ?”
“Nanti sore baru pergi bersama Ayah dan Ibu.. Kak Michael, tolong Aku.” Pinta nya dengan suara putus asa dari seberang sana.
“Katakan.” Respon Michael sambil memijit pangkal hidung. Ini masih terlalu pagi untuk mendapat masalah.
“Sebulan yang lalu, Aku meminjam Alkitab seorang Kakak cantik di Gereja yang Ku datangi berama Tante Theresia dan Om Feliks. Hari ini baru ingat bahwa Aku belum mengembalikan nya.”
“Dia orang yang tidak Kau kenal ?”
“Tepat sekali. Bahkan Aku tidak mengambil nomor handphone nya. Kulihat Alkitab itu penuh akan berbagai warna dan berbagai tulisan. Dia pasti tidak bisa kehilangan benda berharga seperti ini. Tolong bantu Aku mengembalikan nya hari ini, Kakak...” Mohon nya dengan suara lirih.
“Kau saja tidak mengenalnya, bagaimana Aku membantu Brigida ?”
“Kakak cantik itu mengatakan Dia selalu duduk di bangku gereja deretan ke tiga dari depan, sebelah Kiri dari pintu masuk.”
“Minta tolong pada Ayah dan Ibu Ku saja.”
“Aku baru saja selesai menghubungi Mereka. Hari ini Mereka pergi ke gereja lain karena ada janji dengan teman-teman Mereka.”
“Haah, apa harus hari ini ?”
“Tentu saja! Ini hari dimana Gereja di buka, Kak Michael. Jangan malas dan bantulah Adikmu yang imut ini. Kumohon...”
Lagi, Michael menghela nafas panjang. “Dasar gadis pembohong. Padahal Kau tengah menikmati liburan asyik dengan Ayah dan Ibu Mu kan ?”
“Kak Michael, Aku sangat berharap pada Mu. Dari nada bicara Mu tampak sangat keberatan, tapi Kau akan membantu Ku kan ?”
“Ku rasa tidak—“
“Ciri-ciri Kakak wanita itu berambut panjang. Pembawaan nya sangat tenang. Senyumnya lembut sekali. Dia Kakak yang cantik dan baik.”
“Hei, Brigida. Dengarkan Aku—“
“Aku tidak mau menerima penolakan. Jika Kak Michael tidak membantu, akan Ku adukan pada Ayah dan Ibu, juga pada Om Feliks dan Tante Theresia. Biarlah Mereka menceramahi Kakak sampai gendang telinga Mu sakit!”
Michael memunculkan perempatan di kening. Pekerjaannya akan tertunda karena harus mendengarkan Ocehan dari empat orang keluarganya. Membayangkan saja sudah bikin pening.
Selain itu, seperti apapun penilaian orang tentang Nya di luar sana, Michael adalah orang yang sangat peduli pada keluarga. Juga sangat sayang pada keluarga. Dia tidak bisa menolak permintaan tolong dari Keluarga yang masih tergolong taraf normal seperti Brigida saat ini.
Dengan hati yang sangat berat, Michael mengiyakan permintaan Brigida, adiknya, anak gadis dari adik kandung Sang Ibu.
...***...
Sejak mentari belum menyingsing, Michael sudah melakukan aktifitasnya. Olahraga, Mandi, Sarapan, dan berakhir di depan laptop. Hal ini membuatnya tidak perlu bersiap-siap lagi. Dia hanya perlu mengganti pakaian.
Dia memakai Celana Kain panjang dan kemeja batik berwarna gelap. Dengan tangan yang sudah memegang alkitab, Michael pergi dengan mengemudikan mobilnya.
Dengan iris mata berwarna Ocean itu, sesekali Dia melirik Alkitab yang di simpan di kursi sebelah pengemudi. Alkitab yang menyebabkan Dia harus menginjakkan Kaki ke gereja setelah sekian lama.
“Tidak di sangka, alasan Ku kembali ke Gereja karena masalah yang di sebabkan oleh Brigida. Apa ini takdir ?” Sedetik kemudian Dia terkekeh dengan pikirannya sendiri. “Sudahlah. Tidak ada yang spesial dengan hal ini. Aku hanya perlu mengembalikan alkitab punya wanita yang nama nya saja tidak Brigida ketahui. Setelah itu kehidupan Ku akan kembali seperti biasanya.” Tuntasnya dan menaikan kecepatan mobil.
...***...
Pria yang sudah 10 tahun lamanya tidak pernah ke gereja itu Kini sudah berjalan masuk ke dalam gereja. Jemarinya di celupkan pada air berkat yang tersedia di sebelah pintu masuk, dan membuat tanda salib seperti yang seharusnya.
Sisa waktu 20 menit lagi sebelum Misa di mulai. Banyak bangku yang masih kosong, namun Iris mata Michael tertuju ke depan. Sudah membidik bangku urutan ke tiga, sebelah kiri dari deretan terdepan untuk di duduki.
Suasana hati nya diselimuti ketenangan. Patung-patung yang bertahta di altar seolah menyambut kedatangan Michael. Ada kerinduan yang Michael rasakan, namun segera Dia tepis perasaan itu. Tujuan nya hari ini hanya mengembalikan Alkitab, bukan kembali menjadi Pribadi seperti dulu.
Beruntungnya, Michael duduk tepat di sebelah Wanita pemilik Alkitab itu. Michael masih belum sadar. Dia sudah selesai berdoa mempersiapkan diri. Sembari menunggu waktu, Michael membuka Alkitab yang Dia bawa. Dari lembar depan, sudah di sambut dengan tulisan nama si pemilik.
Agnes Roosevelt.
Dengan jemari tangan yang panjang, Dia membuka lembar demi lembar. Mata nya di suguhkan dengan tanda yang di torehkan oleh si pemilik. Penuh akan warna, juga penuh akan tulisan-tulisan.
“Sungguh Orang yang beriman.” Batinnya dan meletakkan kembali Alkitab pada tempat yang tersedia di depan bangku.
Agnes Roosevelt, wanita pemilik alkitab itu tersenyum dalam ketenangan. Muncul perasaan bahagia karena Alkitab yang sudah tidak bertahta di atas nakas nya selama sebulan penuh, sebentar lagi akan kembali menempati tempatnya.
Wanita dengan surai yang terurai panjang itu tidak membuka obrolan. Tidak langsung berkoar-koar bahwa itu Alkitab kepunyaannya. Sejak masuk kedalam gereja, dan setelah berdoa mempersiapkan diri, tidak boleh mengobrol. Begitulah yang di ajarkan dan di terapkan oleh Agnes.
Setelah Misa berakhir, barulah diijinkan untuk mengobrol, tapi dalam kontrol suara yang terkendali. Suasana di dalam Gereja harus tetap Khusyuk. Namun sayangnya, Sebagian Gereja tidak begitu. Banyak orang yang melupakan Etika ini, memilih bercerita dan lebih parah malah bergosip saat melihat orang yang tidak mereka sukai. Tidak semua, tapi banyak.
...***...
Misa sudah di mulai. Rangkaian Misa di ikuti seperti yang seharusnya. Waktu berlalu, satu jam tiga puluh menit sudah Misa berlangsung. Kini terdengar lagu penutup yang menggema di dalam gereja.
Misa Selesai. Orang-orang yang sudah berdoa mulai bangkit dari tempat duduk masing-masing. Sebagian bersalaman dan mengobrol ringan, Sebagian yang lain langsung pulang.
Michael sudah berdiri, diikuti oleh Agnes.
“Permisi, Tuan.” Panggil Agnes membuka obrolan.
Michael berbalik ke asal suara, “Iya. Ada apa ?” jawabnya. Michael seolah lupa dengan tujuan awal. Dia seolah lupa dengan yang dikatakan oleh Brigida. Deskripsi Brigida padahal tengah berdiri di hadapannya.
“Maaf tidak sopan. Tapi apakah Tuan adalah Kakak dari Gadis yang meminjam Alkitab ? Tidak perlu curiga, didalamnya tertera namaku, Agnes Roosevelt. Saat Anda membuka Alkitab tadi, mata ini tidak sengaja melihatnya. Dan Aku dapat mengenali barangku dalam sekali lihat. Itu Alkitab Ku, Tuan.”
Pelan tapi tegas, intonasi yang stabil dan garis senyum yang tercetak memberikan rasa nyaman bagi siapapun lawan bicara nya. Dan hal itulah yang kini di rasakan oleh Michael.
“Ah, maaf. Seharusnya Aku yang menemukan Mu terlebih dahulu.” Ujar Michael sambil memberikan Alkitab.
Agnes mengambil Alkitab dengan dua tangan. Tersenyum lebar dan bersuara, “Tidak masalah, Tuan. Toh yang bertemu dengan Ku adalah Adik Anda. Anda pasti tidak tau bagaimana Rupaku.”
“Terimakasih karena sudah berbesar hati meminjamkan Alkitab ini pada Adikku, padahal Kalian tidak saling mengenal. Juga, Aku mewakilinya untuk meminta maaf karena lupa mengembalikan Alkitab ini selama sebulan penuh.” Usai Alkitab itu kembali pada pemiliknya, Michael nampak sedikit menunduk, menyampaikan rasa bersalah mewakili Brigida.
Agnes tersenyum sambil mengangguk pelan, “Tidak apa, Tuan. Dan juga, terimakasih kembali karena sudah mengembalikan milikku.”
Usai mengutarakan rasa terimakasihnya, Agnes langsung pamit. Dia berbalik dan keluar dari sisi kiri. Bangku di dalam gereja memang di setel seperti ini. Michael yang baru tersadar dua detik setelah kepergian Agnes pun langsung berbalik dan keluar dari sisi kanan menuju ke arah pintu.
Langkah mereka sama-sama terhenti saat di dekat pintu. Michael di sisi Kanan dan Agnes di sisi Kiri. Mereka berdua kompak membasahi ujung jemari mereka dan membuat tanda salib dengan menyentuh kening, dada, serta bahu kanan dan kiri. Perbedaannya, Hazel eyes milik Agnes tegak lurus ke depan. Fokus melihat salib besar yang terpampang di altar. Sedangkan Fokus Netra Michael tertuju ke arah Wanita dengan Surai panjang di sebelahnya, Agnes Roosevelt.
Netranya terus melihat, seolah di kunci ke arah Agnes sampai sosoknya hilang usai keluar dari pintu dan menuruni tangga. Tidak ada alasan pasti. Ini hanya naluri yang ingin terpenuhi dengan melihat ke arah wanita pemilik Hazel eyes. Sosok wanita yang baru Dia jumpai ini memberinya perasaan aneh, entah apa itu. Logikanya tidak bisa menyimpulkan.
Begitulah pertemuan Michael Lecllair dan Agnes Roosevelt. Dua insan yang dipertemukan di dalam gereja, dengan latar belakang keluarga yang berbeda. Dengan masing-masing pribadi yang masih setia memeluk luka masa lalu. Entah bagaimana Mereka akan terhubung di masa mendatang, Sang takdir sudah mengikat benang merah pada keduanya.
...***...
Terimakasih yang sudah mampir. Judul novel ‘Rencana Tuhan Untuk Si Pemilik Luka’ ini dilatarbelakangi dengan Agama Katolik. Jujur, Author ada di ranah ini. Sungguh tidak ada paksaan bagi Mu untuk tetap membaca. Author hanya ingin mengeluarkan ide yang sudah bersarang lama. Sempat Author timang-timang apakah harus menyertakan unsur agama ? Dan jawabannya adalah ‘Ya’. Ini adalah salah satu hal yang menjadi latar belakang dari karakter ‘Agnes Roosevelt’.
Jujur, tidak ada paksaan untuk menyukai novel ini. Bisa Kalian lanjut baca jika tertarik, juga tolong tinggalkan like dan komen Kalian. Jika tidak sesuai dengan selera Kalian, silahkan mencari bacaan yang lain. Sekali lagi Terimakasih sudah mampir, have a nice day Darling~♡
Follow Ig Author @ATPM_Writer untuk visual dan juga editan-editan yang sesuai dengan chapter yang Author publish. Untuk Visual, bisa klik profil Author dan fokus ke sorotan dengan nama 'Rencana Tuhan'. Untuk saat ini, baru Visual Michael Lecllair dan Agnes Roosevelt yang Author unggah.
Pertemuan Michael Lecllair dan Agnes Roosevelt kemarin adalah akibat dari masalah yang Brigida ciptakan. Walaupun masalahnya telah terselesaikan dengan baik.
Hari ini, gadis itu kembali mendapat masalah. Brigida Amelia Lucria adalah anak dari adik kandung Theresia Fyodorou bernama Anastasia Fyodorou yang menikah dengan Andreas Lucria.
Hari ini saat Dia pulang sekolah, satu keluarga Lecllair yang terdiri dari Feliks Lecllair, Theresia Fyodorou, dan Michael Lecllair di buat masuk dalam situasi diskusi bersama karena Brigida mengatakan bahwa Dia membuat masalah di Sekolah.
Karena pekerjaan Ayah dan Ibu Brigida untuk saat ini harus berpusat di Luar Negeri, Brigida memilih tinggal di Kediaman Om dan Tante nya dibandingkan Apartemen atau rumah sendiri. Dia tidak suka tempat tinggal yang sepi.
“Jadi Brigida, Kamu bertengkar dengan Guru Sejarah di sekolah?” Ujar Feliks dengan kepala yang penuh tanda tanya.
“Benar, Om Feliks.” Jawab Sang Pelaku dengan sikap gagah berani tanpa rasa bersalah.
“Alasan. Beri Kami alasan yang bisa di terima.” Sambung Michael yang melipat kedua tangan sambil membusungkan dadanya.
“Ibu Guru itu bernama Naila. Minggu lalu saat Dia masuk untuk memperkenalkan diri dan membuat kontrak belajar, Dia sudah membenciku. Maka dari itu hari ini Dia selalu memberiku pertanyaan sulit yang menjadi masalah jika Aku tidak tahu dan tidak masalah jika teman-teman ku tidak tau. Dia sampai mengataiku bodoh dan membawa-bawa nama Ibu dengan label gagal membesarkan Ku. Dia pikir Dia siapa ? Berani-beraninya menyeret Ibu dalam masalah konyol ini? Maka Ku jawab perkataannya. Alhasil terjadi cekcok antara Kami berdua. Aku hampir maju dan menjambak rambutnya, untung saja di tahan oleh teman-teman.” Suara Brigida yang lantang memenuhi ruangan.
Sambil menaikkan satu alis, Michael menanggapi “Dari mana Kau tau kalau Dia membenci Mu ?”
“Saat kuperkenalkan nama lengkap. Dia langsung bertanya apakah Ayahku bernama Andreas Lucria ? Tentu Ku jawab dengan penuh semangat. Aku pikir Dia teman Ayah, ternyata Dia mantan yang tidak ikhlas sama sekali dengan keputusan Ayah menikah dengan Ibu.”
“Huumm, katakan pada Ku dari mana Kamu mengetahui fakta ini lagi ?”
“Mengumpulkan informasi. Ku selidiki dengan cara bertanya pada Ayah dan Ibu, tanpa harus membuat Mereka sadar bahwa Aku membuat masalah di sekolah...” Brigia berhenti sebentar. Tatapan Theresia sangat mengkhawatirkan dirinya. Brigida tersenyum dan lanjut bersuara.
“...Tante Theresia tidak perlu khawatir. Aku tidak sampai di keluarkan. Pertengkaran Kami hanya berakhir pada tantangan. Jika Aku bisa meraih nilai 100 dalam setiap ujian yang Dia berikan, entah ujian harian, mingguan, bulanan atau bahkan ujian kenaikan semester, Aku bisa naik kelas. Sayangnya Dia mengatakan tidak akan masuk jika di dalam kelas ada diriku. Jadi, jalan keluarnya Aku membutuhkan bantuan Om Feliks dan Tante Theres.”
“Oho ~ Gadis kecil itu sudah menemukan jalan keluarnya, hahaha.”
“Syukurlah. Dia tau kemampuannya sampai di taraf mana,” sambung Michael ikut terkekeh bersama Feliks, Ayahnya.
Tidak salah lagi, Brigida dibesarkan dengan cara yang benar sampai mentalnya tidak goyah di saat seperti ini.
“Tolong carikan Aku Guru Sejarah. Aku akan belajar sendiri di rumah. Dan kumohon, jangan beritahu Ayah dan Ibu. Masalah ini tidak sebesar itu untuk Mereka ketahui.” Tuntasnya sambil menunduk penuh hormat. Dia sungguh penuh akan semangat pejuang yang membara.
...***...
Masalah Brigida sudah selesai di diskusikan. Feliks dan Theresia yang akan mencarikan guru sejarah untuk nya. Michael tidak perlu ikut campur. Dan sebenarnya, masalah ini gampang sekali di tuntaskan dengan uang. Tapi itu bukan cara yang Brigida inginkan. Sangat tidak keren dan pengecut. Maka berakhirlah dengan keputusan bahwa Dia akan belajar satu matapelajaran di rumah.
Sore hari, Di Halaman belakang Kediaman Lecllair.
Theresia bersama suami nya tengah duduk sambil menikmati kopi. Tertata dengan cantik juga cemilan-cemilan yang di sukai oleh Mereka berdua.
“Sudah Kau temukan Guru untuk Brigida, Sayang ?” Ucap Feliks yang tau betul jika sudah menyangkut keluarga, maka Mereka sendiri yang akan turun tangan. Tidak ada alasan sudah terlalu tua atau terlalu sibuk. Mereka selalu punya waktu untuk keluarga.
“Aku sudah bertanya pada teman-teman Ku. Mereka mengenal seorang Guru Sejarah. Guru sejarah ini tidak bernaung di bawah sebuah sekolah. Dia membuka jasa Les pribadi. Menurut mereka cara mengajarnya bagus. Dia pintar melakukan pendekatan dengan anak yang nakal sekalipun.”
“Sebentar. Apa ada alasan Dia tidak mengajar di sebuah Sekolah ?”
“Ada, Sayang. Freelance. Dia terjun ke dunia kerja tanpa Kontrak tetap. Dan menurut temanku, Dia sudah menghasilkan banyak uang dari keputusannya ini.”
“Jenis kelaminnya ?”
“Hahaha. Tenang saja, Dia Perempuan. Aku tau Kau dan Michael akan Protektif dalam menjaga Brigida. Aku sudah mempertimbangkan hal ini.”
Menurut Feeling Feliks, Guru ini pasti memiliki Kualitas yang bagus, sayangnya sikap Brigida langsung terlintas di benaknya.
“Haahh..” Helaan nafas pun tercipta. “Apa Dia mau mengajari Brigida?”
“Aku belum tau, Sayang. Teman Ku sudah menghubungi Guru itu. Aturannya wajib ada pertemuan sebelum kelas di mulai. Aku rasa Guru itu pintar. Dia pasti ingin berdiskusi tentang karakter anak dan juga hal-hal yang boleh dan tidak boleh di lakukan. Dan hal seperti ini tidak pantas jika di bicarakan lewat telepon. Aku sudah membuat janji temu dengan nya besok.”
Sambil merangkul bahu Sang Istri, Feliks bersuara “Mau Ku temani ?”
Theresia menengadah dan mengecup pipi Feliks dengan lembut. Kemudian Dia menjawab, “Tidak perlu Sayang. Aku tau besok Kau akan menemani Michael untuk memeriksa tokoh-tokoh cabang.”
“Baiklah. Aku akan menjemput Mu besok. Jika terjadi kendala, dengan berat hati akan Ku suruh Michael. Telefon saja jika diskusi nya sudah selesai.”
“Baiklah,” jawab Theresia kemudian menyandarkan kepala di dada suaminya. Menikmati Mentari yang sebentar lagi akan terbenam usai berpamitan dengan memberikan coretan warna yang indah di Cakrawala.
Pasangan Suami Istri itu selalu berhasil membuat para pekerja tersenyum dengan kedekatan Mereka. Walaupun Feliks sudah berumur 55 tahun, dan Theresia 50 tahun, Kedekatan Mereka sama sekali tidak luntur. Yang ada semakin lengket. Mereka benar-benar pasangan yang akan menghabiskan waktu dengan terus bersama, menciptakan momen indah sampai nafas terakhir.
Tentu saja hal ini dapat terjadi karena sejak awal dimulainya hubungan, Pemikiran mereka sama, latar belakang keluarga dan ekonomi mereka sama, sehingga keluarga Cemara yang jarang ada muncul dari Rumah tangga yang Mereka bangun.
...***...
Sesuai kesepakatan, Theresia akan bertemu dengan Guru Sejarah untuk Brigida hari ini di sebuah Restoran.
15 menit sebelum waktu yang di tentukan, Theresia sudah duduk di tempat yang sudah di reservasi. Mereka memang bersepakat untuk bertemu saat jam makan siang.
Kemudian, 10 menit sebelum pertemuan, Guru Sejarah itu pun datang.
“Selamat Siang, Nyonya.” Sapa Sang Guru setelah pelayan menunjukkan meja yang di reservasi atas nama ‘Theresia Fyodorou’.
Yang di sapa langsung manarik garis senyum ke atas, berdiri kemudian bersuara dengan lembut “Anda pasti Guru yang di hubungi oleh teman Ku. Salam kenal, Nama Ku Theresia Fyodorou.”
Guru itu pun meraih jabatan tangan yang di sodorkan, dan balas memperkenalkan diri nya sambil memasang senyum formal. “Salam Kenal, Nyonya Fyodorou. Nama Ku Agnes Roosevelt.”
...***...
Jangan Lupa like dan Komen ya. Thank you and I love you so much Guys. Follow Ig Author @ATPM_Writer untuk visual dan juga editan-editan yang sesuai dengan chapter yang Author publish ᵕ༚ᵕ
Setelah perkenalan, Mereka berdua duduk. Theresia langsung menyodorkan papan menu. Lebih baik membicarakan hal ini sambil makan siang. Agnes tidak menolak.
Sementara menunggu pesanan, Mereka berdua mulai berbicara.
“Nyonya Fyodorou, apakah anak yang akan Ku ajari ini memiliki sesuatu yang harus di perhatikan ?”
“Hahaha. Tidak perlu banyak pertimbangan, Bu Guru. Anak itu hanya membuat sedikit masalah dan berakhir harus belajar mandiri selama satu semester ini. Dia anak yang cepat tanggap dalam mencerna informasi baru. Dia tidak malas belajar, apalagi saat ini Dia dalam pertarungan dengan Guru di sekolahnya. Anak itu alergi sekali dengan kekalahan. Ah, panggil saja dengan nama Ku. Tidak perlu se-formal itu.”
“Baiklah, Nyonya Theresia. Ku rasa pendekatan nya setara dengan anak pintar yang biasa Ku temui. Apa ada pola belajar khusus yang Dia gunakan ?”
“Tidak ada. Ah, anak itu sangat mudah sekali bergaul dan sangat aktif. Karena ini tidak formal, jadi Bu Guru bisa mengajar dengan santai. Anggaplah Dia adikmu, maka semua nya akan berjalan lancar.”
“Baiklah. Aku akan menyesuaikan waktunya. Silahkan tentukan sendiri, Nyonya Theresia.”
“Hemm, Karena anak itu ikut kegiatan di sekolah, Dia baru akan pulang saat pukul dua siang. Dia bisa beristirahat satu jam. Bagaimana jika jam tiga sore ?”
“Baik.” Jemari Agnes sejak tadi terus bergerak di atas Ipad nya. Walaupun menu sudah datang, masih ada ruang untuk meletakkan Ipad.
“Nyonya Theresia, untuk saat ini Aku belum tau berapa lama waktu yang di butuhkan dalam proses belajar mengajar. Hal ini akan Ku beritahu setelah melihat bagaimana Anak ini merespon Pertanyaan Ku nanti. Tapi tenang saja, pengalaman Ku selama ini tidak pernah lebih dari dua jam.”
“Baiklah. Karena menunya sudah datang, mari Kita makan dulu.”
“Baik, Nyonya Theresia.”
Saat makan, keduanya tampak sangat anggun. Mengunyah dengan perlahan, di tambah dengan postur duduk mereka sejak tadi, para pelanggan yang lain bisa mengira Mereka adalah Ibu dan Anak.
...*** ...
Setelah makan, Agnes tidak berlarut-larut dalam obrolan ringan. Dia mengambil lagi Ipadnya dan membacakan poin-poin yang sejak tadi Dia ketik.
“Jadi kesimpulannya, besok Aku akan mulai mengajari Anak Nyonya Theresia. Tidak ada kebutuhan yang spesial karena Dia anak yang normal. Dia cakap dalam bergaul, maka Aku akan membuat Dia merasa nyaman dengan berperan sebagai Kakaknya. Pertemuan di mulai pukul tiga sore. Banyak nya jam yang digunakan akan ditentukan setelah besok melihat bagaimana kecakapannya dalam memahami pelajaran dan mengola informasi. Bagaimana? Apa ada yang perlu di tambahkan, Nyonya Theresia ?”
Mendengar itu, Theresia berucap di dalam Batinnya, “Hem... Agnes sangat profesonal. Syukurlah Brigida mendapat Guru yang bisa menyamai Frekuensi otaknya.”
“...Tidak ada. Kau merangkumnya dengan sangat baik.” Sambungnya.
“Terimakasih. Ini memang bagian dari pekerjaanku.”
Setelah mengotak-atik layar Ipad, Agnes memasukan nya ke dalam tas. Lanjut menanggapi obrolan-obrolan ringan dari Theresia, Agnes terus melihat pada Jam yang bertengger di lengan. Theresia menyadari hal itu.
“Baik, Ku rasa Kita sudah membahas yang perlu di bahas. Kau sudah boleh pulang, Bu Guru.”
Agnes menarik garis senyumnya ke atas. Secara perlahan, Dia berdiri dari tempat duduk mengimbangi yang dilakukan oleh Theresia. Tangan keduanya kembali menyatu.
“Terimakasih untuk pertemuan hari ini. Sangat menyenangkan.”
“Terimakasih kembali, Nyonya Theresia. Senang berkenalan dengan Anda.”
Agnes sudah pamit dan meninggalkan Theresia. Sedangkan Theresia masih duduk kembali karena mendapat pesan dari Anaknya, Michael. Isi pesan itu menyuruh Theresia agar tidak beranjak dari tempat Reservasi, karena Michael sudah menuju ke tempatnya.
...*** ...
Dengan tinggi 160 cm dan berat badan 50 Kg, membuat Postur tubuh Agnes terlihat sangat elegan dengan celana panjang dan kemeja yang tidak memeras tubuh. Dia berjalan tegak, tidak menerbangkan penglihatannya ke berbagai tempat. Hanya fokus pada satu arah untuk pulang.
Dari arah berlawanan, Michael tengah menuju ke tempat sang Ibu. Penampilannya sungguh biasa saja, namun karena di karuniai wajah yang rupawan dan tinggi badan 183 cm membuat apapun yang Dia pakai terkesan indah dan elegan. Setelan jas rapi, jam tangan dan juga otot-otot tubuh yang tetap terlihat jelas meskipun tertutupi pakaian ditambah dengan harum parfum yang melekat di tubuhnya, membuat sosok Michael ‘pasti’ menjadi pusat perhatian.
Michael mengabaikan tatapan yang menerjang dirinya. Sudah terbiasa sekali dengan tatapan seperti ini.
“Seharusnya Aku tidak harus menuruti perkataan Ayah. Apa harus di jemput di meja Reservasi ? Kan Ibu bisa menjumpaiku di mobil.” Keluhnya di dalam batin.
Perlahan, matanya mengerjab beberapa kali untuk memperjelas penglihatan. Dia tidak salah dengan yang dilihatnya. Wanita yang dia temui di gereja dua hari lalu, kini sedang berjalan ke arahnya.
“Hem... Siapa ya namanya ?” Pikir Michael berusaha mengingat tulisan yang ada di lembar pertama Alkitab.
“Ah, Agnes!”
“Ya ?”
Suara itu keluar dari mulut Michael, terdengar jelas di gendang telinga Agnes yang kini tepat di sebelahnya.
Michael terlalu bersemangat mengingat nama, alhasil tak sadar bahwa Dia menyuarakan yang terlintas di benak. Sudah jadi seperti ini, apa boleh buat ? Michael hanya perlu berbasa-basi sebentar.
“Hai, senang bertemu denganmu lagi.” Tutur Michael tersenyum sealakadarnya. Kemudian lanjut bersuara di dalam batin. “Kumohon, jangan bertele-tele. Aku tidak suka percakapan yang tidak penting–“
“Maaf, Tuan. Apa Kita pernah bertemu sebelumnya ?” Sela Agnes menghancurkan kepercayaan diri Michael dengan tegas.
Tatapan Agnes terlihat jelas tengah bingung. Walau sudah menautkan alis, Agnes masih belum mengingat siapa Pria yang memanggilnya ini. Michael makin di buat tidak percaya dengan reaksi Agnes.
“Hah ? Kau melupakan Ku hanya dalam hitungan—“
Drrttt.. Drrrttt...
“Ah, maaf. Handphone Ku berdering.” Lagi, Agnes menyela dan langsung mengangat telefon.
“Iya halo ? Oh..! Tentang projek itu.. Hem..” Agnes mangut-mangut. Memahami setiap perkataan yang keluar dari Klien nya di seberang sana.
Kemudian, Mata Agnes melihat sosok Pria tampan di depannya. “Dia masih belum pergi dan patuh untuk tinggal di tempat ?” Batin Agnes tak percaya. Alhasil Agnes pun angkat suara, “...Sebentar,”
“...Tuan, Aku punya urusan. Maaf karena tidak mengenali Mu, permisi.”
Usai berpamitan dengan sedikit menunduk Agnes meninggalkan Michael yang masih berdiri tidak percaya di tempatnya.
“Hah ?” Lagi, Michael mengerjab beberapa kali. Otaknya berusaha mencerna situasi.
“Hahaha, Aku mengingat dengan jelas tapi tidak dengan diri Nya ? Apa Dia punya gangguan dalam ingatan ?”
Walau tak terima, Michael tidak mengejar Agnes untuk sekedar mengingat nya kembali. Dia berbalik dan melanjutkan langkah ke tempat Sang Ibu berada. Walaupun jujur, perasaan nya kini tidak karuan. Ada batu besar yang mengganjal batinnya. Michael merasa tidak adil sekali. Apa wajah nya memang segampang itu untuk di lupakan ?
...*** ...
Keesokan harinya, usai melakukan pekerjaan rumah dan pekerjaan yang mendatangkan uang, Agnes sudah berada di ruang tamu kediaman Lecllair. Theresia yang menemaninya usai para pelayan menyajikan minuman dan beberapa cemilan.
“Hahaha, maaf. Pelayan sedang membangunkan Brigida.” Ucap Theresia canggung.
Agnes tidak masalah. Dia tanggapi dengan senyuman perkataan Theresia barusan. Dia memang datang 15 menit sebelum waktu yang di tentukan, jadi masih ada waktu yang tersisa. Lagi pula ini pertemuan pertama, tidak masalah jika memulainya sedikit melenceng dari waktu yang di tentukan.
Di sisi lain, pelayan yang di suru oleh Theresia tengah memohon pada Michael.
“Tuan Michael, Saya mohon bangunkan Nona Brigida. Sudah Saya getarkan tubuhnya namun tidak ada respon. Dia malah semakin nyenyak.”
Michael menghembuskan nafas berat usai mendengar laporan ini.
“Apa Guru nya sudah datang ?”
“Iya, Tuan. Nyonya Theresia sedang menemani di lantai bawah.”
“Baiklah. Kau boleh pergi.”
Michael sudah berdiri dan menuju ke kamar Brigida. Anak itu kalau sudah tidur memang harus di cekoki dengan kekerasan baru mau bangun.
“....”
Michael terdiam saat melihat gaya tidur Brigida yang semakin hari semakin terlihat tidak rapi. Belum lagi di tambah mulut nya yang terbuka dan suara ngorok yang keluar.
“Uwaahh, Cara tidurnya mengalahkan laki-laki.” Kata Michael sambil menggeleng pelan.
Dengan jemari tangan yang kekar itu, Michael menjepit hidung Brigida. Cukup lama namun tidak sampai menyebabkan kematian, lantaran Brigida bangun seolah usai melakukan pertarungan didalam mimpi.
“Hahh.. Haahh.. Kak Michael, Kau ingin membunuhku ?”
“Guru sejarah Mu sudah ada di bawah. Cepat turun!” Tegasnya.
“Astaga, Aku lupa.”
Brigida mau berlari untuk membasuh wajah, namun kerah baju nya di tarik oleh Michael.
“Turun sekarang!”
“Kesan pertama itu penting!” Brigida memberontak
“Kau sudah menghancurkannya dengan bangun terlambat, Brigida.”
“Setidaknya tidak dengan penampilan yang berantakan.”
“Bukan urusanku.”
Brigida memasang wajah kusut karena Michael terus mengawal Nya agar tidak kemana-mana dan hanya berjalan ke tempat guru nya berada.
“Kak Michael tidak mengganti baju ? Kau tidak malu memakai kaos putih dan celana pendek hitam saat bertemu Guru Ku nanti ?”
“Heh!” Michael memasang Smirk di wajahnya dengan lirikan maut ke arah tubuh Brigida yang pendek. Tersirat banyak arti yang di pahami dengan jelas oleh Brigida.
Wajah setampan dirinya merasa malu ? Tentu tidak. Pakaian apapun yang Dia pakai pasti akan terlihat bagus apalagi Dia memiliki otot tubuh yang selalu di tempa dengan rajin.
“Tcih. Aku membenci Mu. Kudoakan supaya Guru Ku tidak tertarik dengan Mu, Kak Michael.”
“Itu Mustahil.”
“Percaya diri sekali—“
“Ah, Akhirnya kalian datang." Tutur Theresia merasa lega. "Perkenalkan, Wanita ini yang akan mengajarimu—"
“Kakak Cantik ?”
“Agnes Roosevelt ?”
“Kalian saling Kenal ?” Timpal Theresia sambil membuang tatapan ke arah Michael, Brigida dan Agnes beberapa kali.
“??” Wajah Agnes menyiratkan tanda tanya dengan jelas.
“Tidak.. Aku tidak kenal Mereka, Nyonya Theresia.” Sambung Agnes di dalam Batin.
...*** ...
Terimakasih yang masih stay, Jangan lupa tinggalkan like dan Komen ya. Thank you Darling~♡
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!