Malam ini sangat mencekam bagi Nazwa. Kata-kata suami dan mertuanya bukan hanya menyayat hatinya, namun juga menghancurkan mentalnya.
"Dasar perempuan mandul, tidak berguna!"
"Seandainya kamu tidak mandul, pasti anak kita sudah berusia dua tahun!"
"Untuk apa mempertahankan wanita mandul? Kamu masih muda Son! Cari wanita yang subur. Banyak kok wanita yang mau sama kamu."
"Terbukti kan, kalau istrimu yang mandul! Sekarang ada wanita yang sudah hamil anakmu. Tidak perlu nunggu bertahun-tahun."
"Soni, cepat kamu bantu dia kemasi barang-barangnya! Jangan biarkan dia membawa satu pun benda berharga dari rumah ini."
Bersamaan dengan derasnya hujan malam ini, air mata Nazwa pun tak kunjung reda. Kilat dan guntur bergemuruh saling bersahutan. Bagaimana tidak? Suami yang ia cintai telah menalaknya. Bahkan bukan dengan sekali galak namun tiga kali talak sekaligus. Bukan hanya itu saja alasan Sini ingin menceraikan Nazwa. Ternyata ia telah selingkuh dengan anaknya bos di tempatnya bekerja. Dan wanita yang merupakan anak bosnya itu saat ini sedang hamil anak Soni. Mengetahui hal tersebut sebenarnya Nazwa masih bisa memaafkan Soni. Namun ternyata Soni lebih memilih wanita yang dihamilinya itu. Untungnya, Nazwa tudak putus asa. Jika saha terjadi kepada orang lain, mungkin akan lebih memilih mengakhiri hidupnya.
Ia menyeret kopernya keluar dari rumah suami sekaligus mertuanya itu dengan membawa hati yang hancur. Tak ada yang dapat ia bawa selain baju-bajunya. Tak ada satu benda berharga pun yang ia punya. Tiga tahun ia bertahan dengan harapan rumah tangganya akan baik-baik saja karena hanya suaminya satu-satunya tempatnya berpulang. Ia diam saja meski dikatakan mandul oleh mertua dan keluarga suaminya. Ia diam saja meski mereka mencacinya.
Nazwa yang yang tak memiliki keluarga mungkin akan kembali ke rumah masa kecilnya. Rumah tempat ia diasuh oleh kedua orang tua angkatnya. Ia adalah anak yatim piatu yang diangkat oleh orang tua asuh yang memang tidak memiliki anak.Sebelumnya Nazwa tinggal di salah satu panti asuhan yang terletak di desa terpencil pulau Jawa. Lima tahun yang lalu, Ayah angkatnya Nazwa meninggal dunia, disusul kemudian dua tahun yang lalu setelah pernikahannya, Ibunya pun meninggal dunia.
Enam tahun yang lalu, setelah lulus SMA Nazwa merantau ke Jakarta untuk menyambung hidup. Ia bekerja sebagai pelayan di salah satu restoran sebelum akhirnya ia bertemu dengan Soni. Tiga tahun kemudian, ia menikah dengan Soni.
Jedar...
Suara guntur seakan menyambar sesuatu. Nazwa masih berjalan di tengah derasnya hujan. Air matanya bercampur dengan air hujan. Ia tidak tahu harus ke mana malam ini. Tidak mungkin ia pergi ke stasiun untuk melakukan perjalanan karena pasti tiket pun tidak akan dapat, karena sekarang sudah jam 11 malam. Nazwa pun duduk bernaung di salah satu halte bus. Bajunya sudah basah kuyup. Rubuhnya menggigil kedinginan. Nazwa menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada seorang pun yang ia temui. Hanya kendaraan yang berlalu lalang, namun tak begitu ramai. Nazwa bahkan hanya membawa selembar uang ratusan ribu. Dompetnya hanya berisi KTP dan kartu kesehatan serta uang tersebut. Beberapa bulan ini Soni tidak memberinya nafkah, alasannya karena Nazwa sudah tercukupi kebutuhannya di dalam rumah itu. Berbeda saat pertama kali mereka menikah, Soni memberikannya kartu ATM. Rumah yang tadinya surga baginya, seketika berubah menjadi neraka. Sebelum mertuanya tinggal dengannya, semua kebutuhan ia yang mengurusnya. Tapi dua tahun lalu, saat mertuanya mulai tinggal dengan mereka hidupnya mulai di ambang kehancuran.
" Ya Allah.... ke mana harus aku langkahkan kaki ini?" lirih Nazwa.
Beberapa saat kemudian, hujan pun mulai reda. Ia mulai melangkahkan kakinya kembali. Dalam hatinya gelisah karena takut bertemu dengan orang jahat. Setelah berjalan sekitar satu kilo meter, ia menemukan sebuah Masjid. Nazwa segera mendekati Masjid tersebut. Beruntung pintu gerbang Masjid tidak dikunci. Nazwa masuk ke dalam dan mencari toilet untuk berganti pakaian. Setelah itu, ia berwudhu' untuk melakukan shalat sunnah. Setelah selesai shalat, Nazwa menangis sejadi-jadinya. Ia menumpahkan segala keluh dan kesahnya kepada Allah. Ia pasrahkan hidupnya kepada Allah.
"Ya Allah, hamba tidak menyesal dengan segala yang pernah terjadi dalam hidup hamba ini. Hamba ikhlas jika ini yang terbaik bagi hamba. Saat ini hanya Engkau yang hamba miliki. Tuntun hamba untuk menemukan jalan yang Engkau Ridhai. Beri hamba kekuatan dan kesempatan untuk membuktikan bahwa tuduhan mereka tidak benar. Sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Mengetahui dan Maha mendengarkan. Amin.... "
Nazwa menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia mencari seseorang yang biasanya menjaga Masjid, namun tidak ia temukan. Mungkin marbot Masjid tersebut sudah beristirahat karena selain sudah tengah malam, hujan pun turun lagi. Sepertinya hujan tidak akan berhenti malam ini. Nazwa tidak mungkin tidur di dalam Masjid, ia memutuskan untuk mengaji. Rasanya air mata Nazwa sudah terkuras habis, bahkan suaranya hampir tak terdengar.
Tidak terasa jam menunjukkan angka 2. Nazwa masih bertahan duduk bersandar di pojokan Masjid bagian perempuan. Handphone yang dari tadi dimatikan, ia keluarkan dari dalam tas kecilnya. Ia menyalakan handphone tersebut berharap akan ada sesuatu yang bisa memberinya petunjuk agar ia tidak perlu pulang ke kampung yang nantinya juga ia akan sulit untuk bertahan hidup. Karena di kampung tidak ada pekerjaan yang bisa dikerjakan selain bertani atau berkebun. Orang tuanya juga tidak mewariskan apa-apa selain rumah dan tanah. Ia tidak mungkin menjual warisan tersebut. Namun saat membuka handphone-nya tak ada satu pun notif yang masuk. Ia memasukkan kembali handphone-nya ke dalam tas.
Nazwa menekan perutnya yang merasa lapar. Ia memang belum makan malam. Cacing di perutnya bersahutan. Karena terlalu lelah, Nazwa pun tertidur dalam keadaan duduk berselonjor.
Suara speaker Masjid mengejutkannya. Ia tersentak karena mendengar suara qiro'ah yang biasa diputar sebelum adzan Shubuh.
"Ya Allah... sudah mau Shubuh. Ternyata aku ketiduran." Lirihnya.
Nazwa beranjak pergi ke toilet untuk membersihkan diri dan berwudhu'. Saat Nazwa akan memasuki Masjid seorang marbot Masjid penasaran dengannya. Marbot tersebut mendekati Nazwa.
"Maaf Mbak, saya tidak pernah melihat Mbak. Apa Mbak warga baru di komplek ini?"
"Eh bukan, Pak. Maaf saya semalam menumpang berteduh di sini."
"Oh begitu... tidak apa-apa Mbak. Silahkan dilanjutkan."
"Terima kasih, Pak."
Beberapa saat kemudian, Orang-orang berdatangan ke Masjid. Bukan hanya Bapak-bapak, tapi ibu-ibu sekitar Masjid juga berjama'ah di Masjid. Akhirnya Nazwa merasa hatinya lebih tenang karena telah melakukan malam yang begitu panjang. Ia kembali menghadap sang Pencipta untuk menunaikan kewajibannya.
Bersambung....
...****************...
Setelah selesai shalat dan dzikir Shubuh, Nazwa kembali memeriksa handphone-nya. Ia membuka instagram untuk sekedar menghibur diri. Tiba-tiba ia membaca story dari salah satu temannya yang bernama Tiwi. Nazwa memang tidak banyak memiliki nomer temanya. Ia hanya menyimpan nomer handphone teman perempuannya saja. Tiwi adalah teman satu dia bekerja di restoran dulu. Story tersebut menampilkan sebuah lowongan kerja untuk menjaga anak.
Nazwa tertarik dengan lowongan tersebut. Ia pun segera mencari kontak Tiwi untuk menghubunginya. Beruntung Tiwi langsung mengangkat telponnya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam, ini Nazwa?"
"Tiwi, iya ini aku. Kamu masih menyimpan nomerku?"
"Ya Allah Wa, tumben kamu telpon? Sudah lama kamu nggak menghubungi aku."
"Iya maaf, wi. Aku cuma tidak mau mengganggumu. Apa lagi kamu sudah bersuami."
"Ah bilang saja kamu dilarang suamimu untuk menghubungiku."
"Ah iya maaf, itu juga salah satunya."
"Tapi aku senang lho Wa, akhirnya kamu mau menghungi aku. Oh iya, apa kamu sudah punya anak Wa? "
Deg
Rasanya hati Seperti tertindih baru. Pertanyaan semacam itu selalu membuat dirinya teringat akan perkataan mertuanya.
"Halo Wa, kok diam?"
"Eh iya wi, maaf tadi ngak fokus. Wi, aku mau tanya soal lowongan kerja yang kamu upload di story IG mu, apa itu benar?"
"Oh iya benar itu. Kenapa? Jangan bilang kamu tertarik?"
Nazwa tidak ingin berbasa-basi lagi, ia pun menyampaikan keinginannya untuk mencari pekerjaan. Saat Tiwi menanyakan alasannya, Nazwa dengan berat hati mengatakan keadaannya saat ini. Tiwi shock mendengar cerita Nazwa. Tiwi memang salah satu teman dekat Nazwa di restoran, tapi sajak Nazwa menikah, ia jarang sekali menghubunginya lantaran Soni melarang. Dan kini tiba-tiba Tiwi mendengar kabar yang tidak mengenakkan soal temannya itu.
"Astagfirullah.... Wa, kamu sekarang di mana?"
"Di Masjid, wi."
"Begini saja Wa, hari ini aku libur. Kita ketemuan ya."
"Di mana wi?"
"Di kedai gado-gado langganan kita dulu, yang dekat restoran. Tapi aku bawa anakku nggak pa-pa ya?"
"Tentu saja, wi."
"Ya sudah, jam 7 aku berangkat."
"Iya, wi. Sebelumnya Terima kasih ya."
"Iya, sama-sama."
Nazwa masih duduk di pojokan membaca Al-Qur'an menunggu waktu Dhuha. Setelah waktu Dhuha tiba, ia pun melakukan shalat Dhuha sebanyak empat rakaat seperti kebiasaannya di pagi hari. Setelah itu Nazwa segera bergegas merapikan dirinya lalu berpamitan kepada marbot Masjid. Ia mengucapkan rasa Terima kasihnya karena telah diizinkan berdiam di Masjid.
Koper yang ia letakkan di depan Masjid diseret ya kembali. Ia berjalan menuju halte angkot. Setelah berjalan kurang lebih 550 meter, akhirnya ia sampai. Dan tidak lama kemudian ada angkutan yang lewat dengan tujuan yang diinginkan Nazwa. Sudah lama sekali ia tidak naik angkutan umum. Rasanya ia flash back kepada masa lalu saat baru pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta.
Singkat cerita, Nazwa sudah sampai di depan kedai gado-gado yang dimaksud. Nazwa melihat kedai tersebut baru buka dan masih beres-beres. Ia pun duduk di bambu panjang yang terletak tidak jauh dari kedai tersebut untuk menunggu kedatangan Tiwi.
15 menit kemudian, Tiwi sampai. Ternyata Tiwi diantar oleh suaminya naik sepeda motor.
"Nazwa!" Tiwi melambaikan tangannya.
"Hai, iya." Nazwa pun lansung beranjak mendekatinya.
Ternyata suami Tiwi hanya mengantar karena sekalian akan berangkat bekerja. Tiwi menggendong putrinya yang masih berusia 6 bulan. Tiwi dan Nazwa bersalaman serta cium pipi kiri dan kanan. Nazwa juga menyapa si kecil dengan mengusap pipinya.
"Ya Allah Nazwa, kamu nggak banyak berubah. Masih cantik saja. Kenapa suamimu itu tidak bersyukur memiliki istri sepertimu?"
"Eh, sudahlah! Jangan bahas dia lagi wi. Sekarang aku hanya ingin fokus ke masa depan. Biarlah Allah yang membalasnya."
Nazwa hanya berusaha untuk menjadi wanita kuat. Meski tak dapat dipungkiri hatinya masih sangat rapuh saat ini. Namun ia tidak ingin orang lain ikut merasakan sakit hatinya.
"Ah iya, kalau begitu ayo kita masuk ke kedai. Kamu pasti belum sarapan."
Mereka pun memesan dia porsi gado-gado. Tidak perlu menunggu lama, karena masih sepi. Mereka pun menikmati sarapan gado-gado. Setelah selesai sarapan, mereka masih ngobrol. Ternyata sekarang Tiwi sudah tidak bekerja karena harus menjaga putrinya. Suaminya yang bekerja di menjadi Office boy di salah satu perusahaan ternama. Dan yang mencari lowongan pekerjaan tersebut adalah keluarga dari bos perusahaan suaminya.
"Nazwa, nanti kalau kamu mau cari tempat kost, mending di tempatku saja. Tapi kalau misal ksmu diterima kerja, kamu tidak perlu ngekost. Kamu bisa tinggal di rumah majikan. Untuk sementara, kamu titipkan saja barangmu di tempatku."
"Apa tidak merepotkan, wi?"
"Tentu saja tidak. Oh iya, kamu bisa datang langsung je rumahnya. Tidak perlu membawa CV, cukup KTP saja. Mereka mencari yang serius kerja. Kata suamiku Nyonya yang mencari pengasuh ini baik sekali. Tapi... "
"Tapi kenapa wi?"
"Anaknya yang agak-agak."
"Agak-agak gimana maksudmu?"
"Gimana, aku juga nggak tahu sendiri sih. Ya mungkin agak jutek dan disiplinnya tinggi. Sudah jangan dipikirin. Kalau memang niat kerja harus siap mental. Lumayan gajinya besar."
"Tapi kenapa mereka tidak cari ke agency ya, wi?"
"Kata suamiku Nyonya trauma karena pernah ambil dari agency nyatanya kena tipu."
"Oh begitu."
"Iya, cepat berangkat, semoga peluangnya masih ada. Karena baru kemarin ini lowongan diumumkan.
Tiwi meminjamkan uang seratus ribu untuk Nazwa karena khawatir Nazwa kekurangan yang di jalan. Dengan tekat yang bulat dan berbekal uang seadanya, Nazwa naik gojek menuju alamat yang dituju. Dengan harapan yang besar, Nazwa berdo'a di dalam hati. Semoga ini jalan terbaik baginya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 25 menit, akhirnya Nazwa sampai di alamat tujuan.
"Mbak, sudah sampai."
"Benar ini pak, alamatnya?"
"Diperiksa lagi saja mbak, ini nomer 55A."
Nazwa turun dari motor dan memeriksa alamatnya kembali.
"Oh iya benar, Pak. Ini, makasih Pak." Nazwa memberikan ongkos kepada sopir gojek.
"Sama-sama."
Ia masih berdiri di depan gerbang yang sangat tinggi itu. Rumah yang begitu megah dan tampak dari luar interior klasik. Nazwa jadi takut untuk memasukinya. Melihat gelagat Nazwa yang mondar mandir di depan gerbang tersebut, salah satu security pun keluar untuk menanyakan.
"Maaf Mbak, apa Mbak ada keperluan di rumah ini?"
"Eh iya, maaf Pak. Itu, saya mau melamar jadi pengasuh. Saya membaca lowongan kerja. Apa betul ini rumahnya Nyonya Salsa Pak?"
"Oh iya betul sekali. Memang Nyonya sedang mencari pengasuh. Tadi saja sudah ada dua orang yang datang. Mari silahkan masuk. "
"Terima kasih, Pak."
Security pun mengantarkan Nazwa sampai ke depan rumah.
Bersambung....
...****************...
Security masuk untuk memberitahu tuan rumah. Sebelumnya Nazwa masih berdiri di depan pintu menunggu dirinya dipersilahkan masuk.
"Mbak, silahkan masuk. Ditunggu Nyonya di ruang tamu."
"Terima kasih, Pak."
"Iya sama-sama. "
Dengan berdo'a di dalam hati, Nazwa mulai melangkah ke dalam rumah itu. Rumah yang sangat megah yang biasanya bisa ia lihat di televisi sekarang ia bisa melihat bahkan menginjak di dalamnya secara langsung. Terlihat seorang wanita paruh baya dengan style baju sederhananya dan memakai hijab instan duduk di sofa ruang tamu. Penampilan Nyonya tersebut jauh dari espektasi Nazwa.Nyonya Salsa pun begitu, melihat Nazwa rasanya tidak percaya kalau ingin melamar menjadi pengasuh.
"Assalamu'alaikum... "
"Wa'alaikum salam."
Nyonya Salsa berdiri. Nyonya Salsa sedikit tertegun melihat wanita cantik di depannya.
"Mari silahkan duduk, maaf siapa namanya?"
Nazwa ragu ingin menjabat tangan Nyonya Salsa. Namun ternyata Nyonya Salsa mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Nazwa mengulum senyum dan dengan sopan mencium punggung tangan Nyonya Salsa.
"Saya Nazwa, Nyonya."
"Duh jangan panggil Nyonya ya. Panggil Ibu saja. Ayo duduk dulu."
"Baik, bu."
Nazwa pun duduk di sofa berhadapan dengan Nyonya Salsa.
Nyonya Salsa memperhatikan Nazwa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
"Sebenarnya sudah ada dua orang yang melamar tadi, tapi saya masih belum mengambil keputusan. Sepertinya anda orang terakhir yang akan saya interview. Selanjutnya pengumuman itu biar dihapus."
Beberapa saat kemudian, datang asisten rumah tangga yang membawakan minuman untuk Nazwa.
"Ayo Nazwa, silahkan diminum dulu."
"Iya bu, terima kasih."
Sementara Nazwa meminum jus jeruk yang sudah dihidangkan, Nyonya Salsa masuk ke dalam untuk memanggil kedua cucunya yang kini berusia empat tahun lebih, yaitu Anggi dan Anggun.
"Nazwa, ini kedua cucu saya, namanya Anggi dan Anggun."
"Hai Anggi, Anggun. Masyaallah kalian imut sekali."
Anggi dan Anggun terpaku di tempatnya melihat wanita cantik di hadapan mereka. Nazwa memang memiliki wajah unik. Bahkan bisa dibilang ia seperti keturunan Palestina. Hidung mancung dengan mata bulat dan bulu mata yang melengkung serta beralis tebal.
"Hai kok bengong? Ayo salim sama tantenya."
Nyonya Salsa sepertinya paham apa yang sedang dipikirkan cucunya.
Di luar dugaan Nazwa, ternyata Nyonya Salsa bahkan menyuruh kedua cucunya mencium tangan orang lain yang baru dikenal. Anggi dan Anggun pun mencium punggung tangan Nazwa.
"Nazwa, kedua cucuku ini yang nantinya akan kamu rawat jika kamu diterima kerja di sini."
"Iya bu."
Nyonya Salsa meminta KTP Nazwa lalu membacanya.
"Nazwa, kamu ternyata sudah menikah? Lalu bagaimana kalau kamu harus tinggal di rumah kami?"
"Maaf Bu, saya sudah bercerai. Masih dalam proses. Jadi Ibu tidak perlu khawatir."
"Oh... iya. Lalu anak?"
"Saya belum punya anak bu."
Nyonya Salwa tidak ingin mengorek lebih jauh lagi. Yang penting status Nazwa sudah jelas.
"Oh iya, baiklah. Saya minta nomer telpon mu. Hari ini juga kami akan memutuskan siapa yang akan diterima. Paling lambat sore ini. Semoga kamu beruntung. "
"Amin, Terima kasih bu."
Setelah selesai interview, Nazwa diberi kesempatan untuk bermain sebentar dengan Anggi dan Anggun agar mereka dapat menilai bagaimana sikap Nazwa.Ternyata sangat mudah menaklukkan hati mereka. Padahal biasanya keduanya enggan bermain dengan orang asing. Nyonya Salsa memperhatikannya dari kejauhan.
Setelah 20 menit kemudian, waktu yang diberikan sudah habis. Nazwa pun pamit pergi dari rumah itu. Ia kembali naik gojek menuju kost an Tiwi.
Setelah kepergian Nazwa, Nyonya Salsa menanyakan kepada kedua cucunya perihal tiga orang yang sudah mereka temui hari ini untuk menjadi calon pengasuh mereka.
"Anggi, Anggun jangan buru-buru! Pikirkan dengan baik. Oma percayakan kepada kalian, oke sayang?"
"Oke Oma."
Anggi dan Anggun kembali ke kamarnya. Mereka berdua berembuk memilih calon pengasuh yang diinginkan. Biasanya anak kecil akan lebih peka kepada sikap orang yang tulus. Anggi dan Anggun benar-benar membicarakan dan membandingkan ketiga orang tadi. Sampai akhirnya mereka memberikan keputusan kepada sang Oma.
Belum sampai 1 jam Nazwa duduk di kost-an Tiwi, ia sudah mendapatkan telpon dari Nyonya Salsa bahwa ia diterima bekerja sebagai pengasuh Anggi dan Anggun.
"Tiwi aku diterima."
"Hah yang benar?"
"Iya, barusan Nyonya Salsa yang menelpon ku langsung."
"MasyaAllah selamat ya."
"Tiwi, terima kasih banyak ya. Ini semua berkat kamu."
"Iya sama-sama. Ini juga sudah jalannya kamu. Ke depannya fokuslah untuk dirimu sendiri."
"Iya. Oh iya, paling nanti sore aku ke berangkatnya. Jadi sekarang boleh kan aku numpang sebentar di sini?"
"Ya Allah wa, tentu saja. Jangan sungkan! Lagian suamiku itu pulangnya nanti sore
Nazwa shalat Dhuhur di rumah Tiwi. Setelah itu, ia memasak mie instan untuk makan siang. Nazwa juga memasakkan untuk Tiwi. Sementara Tiwi sedang menidurkan putrinya.Setelah itu mereka makan siang bersama sambil ngobrol dan mengingat masa-masa kerja di restoran. Nazwa bersyukur karena ia tidak perlu pulang ke kampung orang tua angkatnya, karena ia belum siap untuk menghadapi tetangga dan saudara jauh orang tuanya yang nanti akan mempertanyakan rumah tangganya.
Sore harinya.
Setelah selesai shalat ashar, Nazwa bersiap untuk berangkat ke rumah Nyonya Salsa lagi. Ia merapikan diri dan barang-barangnya. Setelah itu, ia berpamitan.
"Tiwi, nanti kalau aku sudah gajian, uangmu akan kuganti."
"Iyalah Wa, aku ngerti kok. Sudah, jangan dipikirkan masalah itu. Nanti kalau ada waktu luang jangan lupa hubungi aku ya, jangan menghilang lagi!"
"Iya wi. Aku berangkat dulu. Assalamu'alaikum.... "
"Wa'alaikum salam."
Sebelumnya Nazwa sudah memesan go car. Saat ia keluar dari gang kost-an, saat itu pula go car sudah siap membawanya.
"Bismillahirrahmanirrahim.. ya Allah semoga ini menjadi awal yang baik untuk hidup hamba selanjutnya." Lirih Nazwa.
Jalanan cukup macet, perlu waktu satu jam untuk sampai di rumah Nyonya Salsa. Security membukakan pintu gerbang untuk Salsa.
"Mari Mbak saya bantu bawakan kopernya."
"Tidak perlu, Pak. ini enteng kok."
"Tidak apa-apa Mbak, nanti Nyonya marah kalau saya tidak bantu. Karena Nyonya selalu berpesan jika kita meringankan beban orang lain maka hidup kita akan ringan. Dan kita harus memanusiakan manusia. Mbak bakal jadi penghuni baru di rumah ini, jadi tidak ada salahnya saya membantu."
Nazwa tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan Security yang bernama Pak Anton. Sepertinya sosok Nyonya Salsa ini memang memiliki keistimewaan tersendiri. Selain cantik, kaya, dermawan, multitalenta, ia juga memiliki kepribadian yang ramah dan baik.
"Baiklah, Terima kasih sebelumnya Pak."
"Sama-sama, Mbak. Mari... "
Nazwa pun melangkah kembali ke rumah itu.
Bersambung....
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!