Di sebuah gubuk reyot yang berdiri miring di tengah hutan lebat, tepat di kaki gunung wingit di Pulau Jawa, seorang pemuda tampan tengah asyik dengan ritualnya. Mulutnya komat-kamit tanpa henti, melafalkan mantra kuno.
"Wes... wos... wes... wosss!"
Sesekali angin berhembus pelan, menggoyangkan atap gubuk yang sudah rapuh itu dan menambah nuansa mencekam suasana. Di hadapan pemuda itu, seorang lelaki tua duduk bersila dengan tangan menopang dagu. Wajahnya yang penuh kerutan sudah basah oleh peluh yang terus bercucuran.
Sorot matanya gelisah, tak henti-hentinya melirik ke arah pemuda yang begitu fokus. Namun, konsentrasinya buyar saat ia merasa ada yang basah menyentuh pipinya.
'Hujan?' batinnya. Ia celingukan, tapi langit di luar cerah berderet.
'Air apa ini ya? Dari tadi muka ku kena percikan.'
Belum sempat ia mencari sumbernya, percikan itu kembali mendarat di keningnya. Kali ini, matanya menyipit penuh curiga. Ia mengamati gerakan mulut si pemuda yang sedang asyik membaca mantra. Dan... benar saja.
'Jirr! Kirain bocor, ternyata percikan ludahnya ini!'* umpatnya dalam hati sambil kesal.
Dengan gerakan jijik, lelaki tua itu mengusap wajahnya. Saat tangannya yang basah terhidung baunya, dia hampir muntah. 'Wlek! Bau jigong, nggak pernah sikat gigi apa sih orang ini!'
Padahal, tak ada yang menyangka pemuda berpenampilan seperti model Korea dengan wajah tampan dan tubuh tinggi kurus itu adalah Kenzo, dukun muda sakti yang namanya terkenal di seantero Jawa. Penampilannya menipu, menyembunyikan ilmu hitam tingkat tinggi yang mampu menundukkan makhluk gaib paling mengerikan sekalipun.
"SRAA.. SRAA.."
Tiba-tiba angin bertiup kencang, membuat gubuk itu berderit-derit seolah hendak roboh. Bau anyir darah pekat bercampur aroma busuk bangkai tiba-tiba memenuhi udara. Lelaki tua itu langsung menggigil ketakutan, tubuhnya gemetar hebat.
Asap putih mengepul dari sudut ruangan, perlahan membentuk sosok wanita beraura hijau yang mengenakan daster merah. Wajahnya pucat bagai mayat, pupil matanya menyipit seperti kucing, dan darah segar terus menetes dari kepala nya, membasahi wajahnya yang sudah pucat.
"HIHIHIHIHIHI!!!!" tawanya melengking, menusuk telinga. Senyumannya menampakkan barisan gigi runcing kekuningan dengan bercak-bercak darah di sela-selanya.
"Ada apa kalian mencari saya!?" ujar kuntilanak itu, membuat suasana semakin mencekam.
"hihihihihihi!" lengkingannya kembali menggema.
Lelaki tua itu merasa seluruh tubuhnya kaku. Padahal tadinya dia merasa siap, tapi begitu sosok itu benar-benar muncul, nyalinya langsung ciut. 'Mending lari aja kali ya?!'
Tapi sebelum niat itu terlaksana, Kenzo justru melangkah mendekat. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ketakutan, malah terlihat sedikit bosan. "Sudah, Srini. Jangan lebay. Aku saja nggak takut," katanya dengan datar.
Seketika, aura seram itu mengempis. Ekspresi mengeri sang kuntilanak lenyap, diganti dengan raut manyun dan centil. "Ihhh, Mas Kenzo! Nggak seru ah. Ada apa sih manggil-manggil aku? Lagi sibuk ngerumpi di kuburan nih!" katanya dengan suara manja yang sama sekali tidak sesuai dengan penampilannya.
Lelaki tua itu hanya bisa tertegun dan melongo. Matanya sulit mempercayai perubahan drastis dari makhluk menyeramkan menjadi gadis manja dalam sekejap. Akhirnya, dengan tubuh masih sedikit gemetar, dia memutuskan untuk tetap duduk.
"Hehehe, sorry Srini. Nih, klienku ini punya tugas buat kamu. Nanti kubelikan ceker mentah deh!" kata Kenzo dengan nada santai, senyum lebar terpancar dari wajahnya.
Srini, sang kuntilanak centil yang ternyata adalah rekan Kenzo, mendelik sebal. "Tugas apaan!? Jangan nyuruh-nyuruh teror orang lagi, apalagi jadi penglaris! Emangnya aku kuntilanak apaan, cih!!" jawabnya dengan acuh.
"Nggak kok, gampang. Cuman perlu ngusir pocong yang suka neror kampung bapak ini," ujar Kenzo sambil menunjuk sang lelaki tua yang langsung mengangguk nervous.
Srini langsung cemberut. "Ihh nggak mau! Pocong itu bau, nggak pernah mandi setahun, mana bandel lagi. Susah ngusirnya!"
"Sekilo ceker deh, sama ayam cemani. Terus kutambah poster Taehyung edisi langka, gimana?" Kenzo menaik-turunkan alisnya penuh godaan.
Mendengar kata "poster Taehyung edisi langka", mata Srini langsung berbinar-binar. Ia kegirangan dan langsung bertepuk tangan. "Oke, deal! Hihihihihihi." katanya dengan semangat.
Lelaki tua itu hanya bisa melongo melihat Negosiasi absurd di depannya. Seorang dukun muda dan seorang kuntilanak yang sedang tawar-menawar dengan imbalan ceker dan poster idola Korea. Dunia memang sudah penuh dengan keanehan.
Srini bukanlah kuntilanak biasa. Ia adalah prewangan Kenzo yang ditemukannya beberapa waktu lalu saat membersihkan sebuah rumah tua angker.
Kenzo tersenyum melihat Srini yang sedang girang. Dia teringat pertama kali menemukannya di sebuah rumah tua yang sama anehnya dengan situasi saat ini.
Flashback.
Saat itu, Kenzo sedang menjalankan tugas dari seorang klien yang mengeluh rumahnya tak kunjung laku terjual. Menurut cerita klien, rumah itu terkenal angker. Setiap orang yang melintas di depannya pasti merasakan ada sosok wanita menatap tajam dari balik jendela yang buram oleh debu.
Dengan langkah santai, Kenzo mendekati rumah tersebut. Bangunannya tua dengan dinding yang sudah penuh retakan, cat yang terkelupas, dan pintu kayu yang berderit setiap kali tertiup angin. Aroma lembap bercampur bau anyir samar tercium dari dalam.
"Sugoi, angkernya dapet banget," gumam Kenzo sambil nyengir, seperti biasa menganggap semua hal dengan santai.
Setelah mengucapkan beberapa mantra pelindung, dia membuka pintu yang langsung berderit nyaring. Di dalam, suasana semakin mencekam. Lantai kayu tua berderak setiap kali dia melangkah. Udara terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengawasi dari setiap sudut ruangan.
Saat memasuki ruang tamu, dia tiba-tiba merasakan angin dingin menyapu tengkuknya. Dari sudut matanya, dia melihat bayangan putih berkelebat.
"Nah, udah mulai muncul nih," katanya santai.
Benar saja, saat dia menoleh ke arah jendela, seorang wanita berdaster merah dengan rambut panjang yang acak-acakan berdiri di sana. Wajahnya pucat dengan mata kecil seperti mata kucing.
Namun yang membuat Kenzo bingung, kuntilanak itu malah manyun sambil berkacak pinggang.
"Ihhh, ngapain sih masuk-masuk rumah orang tanpa izin!" Ucap nya, Kenzo pun nyengir.
"Hehe, sorry ya, aku lagi kerja nih. Katanya kamu yang bikin rumah ini nggak laku terjual?" Ucap Kenzo.
Kuntilanak itu mendelik. "Ya iyalah! Bosan aku di sini sendirian. Mana rumah ini udah jelek banget. Coba lihat tuh temboknya, udah kayak sarang rayap. Mending suruh renovasi dulu deh baru jual!"
Kenzo tertawa kecil. "Kamu cerewet juga ya, siapa nama kamu?"
"Srini," jawabnya sambil manyun.
"Srini, mau nggak ikut aku? Daripada di sini sendirian terus, mending jadi prewanganku. Nanti kubeliin ceker tiap minggu," tawarnya dengan santai.
Mata Srini berbinar. "Beneran ceker? Sama poster idola Korea, boleh?"
Kenzo mengangguk mantap. "Deal!"
Sejak hari itu, Srini menjadi prewangan Kenzo yang setia meski cerewet dan manja, tapi selalu bisa diandalkan dalam menghadapi makhluk-makhluk gaib lainnya.
Malam itu suasana Desa Sukasari terasa begitu sunyi. Jalanan yang biasanya ramai dengan warga menjadi kosong melompong. Tidak ada satu pun yang berani berkeliaran setelah matahari tenggelam. Ketika waktu mulai memasuki waktu maghrib semua orang cepat-cepat masuk ke rumah, memastikan pintu dan jendela terkunci rapat.
Padahal seminggu yang lalu desa ini masih ramai seperti biasa. Namun keadaan berubah drastis setelah warga dikejutkan oleh penampakan pocong di kebun singkong milik Pak Surya. Awalnya hanya satu atau dua orang yang melihatnya, tapi desas-desus itu dengan cepat menyebar.
Semakin malam, semakin banyak yang mengaku melihat pocong tersebut. Para peronda desa bahkan melihatnya dengan jelas—tingginya sekitar dua meter, terbungkus kain kafan lusuh. Wajahnya gosong seperti terbakar, mungkin karena azab, pikir warga. Dengan ketakutan, mereka langsung lari tunggang langgang masuk ke rumah masing-masing.
Awalnya pocong itu hanya muncul tanpa melakukan apa-apa. Namun lama kelamaan ia mulai mengganggu warga. Setiap malam, ia menggedor pintu rumah dengan kepalanya yang keras. Teror itu semakin menjadi-jadi ketika seorang pria yang hendak buang hajat di kamar mandi mendadak menemukan pocong itu berdiri persis di depannya, hanya berjarak satu senti. Seketika pria itu pingsan dan ditemukan istrinya keesokan paginya dalam kondisi tergeletak di lantai kamar mandi.
Berita itu langsung menyebar ke seluruh desa. Ternyata bukan hanya pria itu yang diganggu. Banyak warga lain yang mengalami hal serupa, membuat suasana desa semakin mencekam. Akhirnya, semua aktivitas saat surup dihentikan.
Dalam situasi genting itu, musyawarah desa pun digelar di balai desa. Pak Ahmad, kepala desa yang bijaksana, mengambil alih pertemuan. Setelah mendengar keluh kesah warga, ia mengusulkan untuk mencari bantuan seorang dukun sakti. Warga setuju tanpa banyak bantahan.
Pak Ahmad pun berangkat menuju hutan yang terkenal wingit. Perjalanan tidak mudah, jalanan terjal dan penuh rintangan. Namun ia tetap melanjutkan langkah dengan tekad bulat.
Setelah menempuh perjalanan panjang, ia akhirnya tiba di sebuah gubuk di kaki gunung. Di sana ia bertemu dengan Kenzo, seorang dukun muda yang tersohor karena kesaktiannya. Pak Ahmad pernah mendengar cerita dari seorang warga tentang pertarungan Kenzo di Gunung Merapi. Warga itu bersumpah melihat Kenzo melayang di udara, menghadapi seorang wanita berkebaya hitam dengan selendang yang berkilauan disambar petir. Wanita itu adalah salah satu penguasa gaib Gunung Merapi. Namun Kenzo berhasil mengalahkannya.
Cerita itu semakin meyakinkan Pak Ahmad bahwa Kenzo adalah orang yang tepat untuk menangani pocong yang meneror Desa Sukasari. Walaupun perjalanan menuju gubuknya penuh perjuangan, ia yakin semua akan terbayar.
Pak Ahmad kemudian mengetuk pintu gubuk itu. Dari dalam, terdengar suara santai namun tegas, "Masuk aja, Pak. Saya udah nunggu."
Pak Ahmad menghela napas lega. Pertolongan akhirnya datang.
Pak Ahmad memasuki gubuk kecil yang tampak sederhana namun terasa begitu mistis. Bau kemenyan yang menyengat langsung menusuk hidungnya, membuatnya sedikit terbatuk. Dinding gubuk itu dipenuhi berbagai jimat dan kain merah yang menggantung di sudut-sudut ruangan. Di tengah gubuk, Kenzo duduk bersila dengan tenang, wajah tampannya tampak fokus.
Pak Ahmad mengikuti gerakannya dan duduk bersila di depannya. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan rasa gugup yang menyelimutinya.
"Jadi, Pak Ahmad, masalahnya apa?" tanya Kenzo dengan suara tenang namun tegas.
Pak Ahmad menjelaskan panjang lebar tentang teror pocong yang telah membuat Desa Sukasari mencekam. Ia menceritakan bagaimana pocong itu menampakkan diri di kebun singkong, menggedor pintu rumah, hingga membuat seorang warga pingsan di kamar mandi.
Kenzo mengangguk-angguk mendengarkan, wajahnya nampak serius. "Hmm... pocong kayak gitu biasanya bandel. Bisa jadi ada dendam yang belum selesai."
Pak Ahmad menelan ludah. "Makanya saya datang ke sini, Mas Kenzo. Mohon bantuannya."
Kenzo tersenyum tipis. "Tenang aja, Pak. Biar saya yang urus."
Tanpa banyak bicara lagi, Kenzo mulai melakukan ritual. Ia menyalakan dupa yang mengeluarkan asap tebal. Mulutnya komat-kamit membaca mantra yang terdengar asing di telinga Pak Ahmad. Angin tiba-tiba berhembus kencang di dalam gubuk, padahal pintu dan jendela tertutup rapat.
Asap putih mulai berputar di sekitar mereka. Perlahan, sosok wanita berdaster merah muncul dari dalam asap. Wajahnya pucat seperti mayat, dengan mata kecil menyerupai mata kucing dan darah yang mengalir dari kepalanya. Senyum menyeramkan terpampang di wajahnya, menampakkan gigi runcing berwarna kuning.
Pak Ahmad terbelalak ketakutan. Tubuhnya gemetar hebat, dan ia hampir saja melarikan diri kalau saja Kenzo tidak berbicara dengan santai.
"Eh, Srini! Sini sebentar," panggil Kenzo santai.
Srini, kuntilanak centil yang menjadi prewangannya, melayang mendekat dengan gaya manja. "Ih, Mas Kenzo! Ganggu aku aja. Ada apa sih?" katanya dengan nada genit sambil manyun.
Pak Ahmad hampir pingsan melihat makhluk itu berbicara seperti manusia biasa.
"Hehe, sorry, Srini. Ini ada tugas buat kamu," kata Kenzo sambil nyengir. "Ada pocong yang suka teror desa, bantu usir ya."
Srini melipat tangannya dengan wajah sebal. "Ih, nggak mau! Pocong itu bau, nggak pernah mandi setahun! Mana bandel lagi, susah diusir!"
"Udah, nanti aku beliin ceker mentah sama poster Taehyung, gimana?" Kenzo menawar sambil menaikkan alisnya.
Srini langsung berubah ceria. "Oke, deal!" jawabnya bersemangat.
Pak Ahmad yang masih shock hanya bisa bengong melihat percakapan absurd antara dukun muda dan kuntilanak centil itu. Namun di balik kekonyolan itu, ia merasa yakin bahwa Kenzo adalah orang yang tepat untuk menyelesaikan teror pocong di desanya.
Malam itu Desa Sukasari benar-benar mencekam. Jalanan desa yang biasanya ramai kini kosong melompong. Hanya suara burung hantu dan gemerisik dedaunan yang terdengar, membuat suasana semakin menyeramkan.
Srini melesat terbang secepat angin, rambutnya yang terurai panjang berkibaran di udara. "Huh, gampang nih urusan. Pocong doang," gumamnya dengan percaya diri.
Namun, keyakinan Srini goyah begitu ia tiba di depan salah satu rumah warga. Di sana, pocong dua meter itu tampak sedang menggedor pintu rumah dengan kepalanya yang keras. DUG! DUG! DUG! Suara hantaman kepala pocong menggema di tengah malam yang sunyi.
Srini memiringkan kepalanya, menatap heran. "Eh, buset! Nggak sakit tuh jidat?" celetuknya tanpa sadar.
Pocong itu tiba-tiba berhenti dan perlahan berbalik, wajah gosongnya menghadap langsung ke arah Srini. Matanya yang kosong menatap tajam.
"Akhhhh! SETAN!" Srini menjerit histeris. Tanpa pikir panjang, ia terbang melesat menjauh secepat kilat.
Pocong itu terbengong melihat Srini kabur ketakutan. "Perasaan dia juga setan, ya?" gumamnya dengan suara serak.
Srini terus melayang jauh sambil megap-megap. Dadanya naik turun karena panik. Setelah beberapa saat, ia mendadak teringat sesuatu. "Eh, kok aku lari sih? Kan aku setan juga!" serunya sambil menepuk jidat sendiri.
Dengan wajah malu, Srini berbalik arah dan kembali ke desa. Ia menemukan pocong itu sedang nangkring santai di pos ronda, seperti warga yang lagi jaga malam.
"Hentikan semua ini! Kenapa kamu meneror desa ini?" tanya Srini dengan nada tegas, meski ia tetap menjaga jarak. Tangannya menutup hidung karena bau menyengat yang menyeruak dari pocong itu.
Pocong itu memiringkan kepalanya. "aku nggak ngapa-ngapain, cuma iseng doang kok," jawabnya dengan suara serak.
Srini mendesis kesal. "iseng apaan? Gara-gara kamu desa ini jadi kayak kuburan !"
Ia melirik pocong itu lagi dan langsung meringis. "Ih, bau amat sih! Kagak mandi setahun apa? Bau bangke, tau!"
Pocong itu terlihat tersinggung. "Yah, mana ada pocong bisa mandi. Emangnya aku bisa bawa sabun sama handuk?"
Srini menghela napas panjang. "Ya udah, urusan selesai di sini atau perlu aku panggil Mas Kenzo buat nyambar kamu pake petir?" ancamnya dengan mata menyala.
Pocong itu langsung mengangguk cepat. "Oke, oke! aku pergi deh."
Srini tersenyum puas. "Nah, gitu dong. Kalau nggak aku cecer lagi soal bau badan kamu."
Pocong itu akhirnya melompat pergi ke arah hutan dengan loncatan khasnya. Desa Sukasari pun kembali tenang. Srini melayang santai di atas desa, merasa puas dengan keberhasilannya.
"Hah, beres deh urusan," gumamnya sambil terkekeh kecil. "Jadi prewangan emang seru juga."
Malam itu suasana Desa Sukasari yang kembali tenang berubah mencekam. Angin berhembus kencang menggoyangkan pepohonan, wush....... Srini melayang di udara, matanya menatap tajam ke arah pocong yang tadi sudah pergi. Namun kali ini tidak sendiri, pocong itu datang kembali membawa puluhan rekannya.
Srini menyeringai. "Wih, ngundang pasukan ni? Mau main keroyokan nih?" katanya sambil menepuk-nepuk gaun merahnya yang berkibar terkena angin.
Puluhan pocong itu melayang mendekat dengan wajah gosong dan kafan yang sudah lusuh. Bau busuk menyengat memenuhi udara. Srini mengerutkan hidung. "Bauk banget, kagak mandi kali seabad," gumamnya sambil menutup hidung.
Pocong yang tadi memimpin mendekat lebih dulu. "Kami datang untuk memusnahkan mu,beraninya kau ikut campur urusan kami!" suaranya serak menggema.
Srini menyeringai, wajahnya berubah menyeramkan. Darah segar menetes dari kepalanya, membanjiri wajahnya. Cakar-cakar hitamnya mencuat, tajam dan siap mencabik apa saja. "kalian serang bersamaan saja !"
Gerombolan pocong melayang maju bersamaan. Ada yang menendang dengan kaki terikat kain kafan, ada juga yang menembakkan ludah busuk yang bisa bikin kulit melepuh. Srini bergerak lincah menghindari serangan mereka.
"ihhh,pake ludah segala? Jijik banget!" Srini berteriak sambil melesat ke udara.
Srini balas menyerang, cakarnya menyambar satu pocong yang langsung kepalanya terpengal dan berubah menjadi asap hitam. Gerombolan pocong lainnya semakin menggila, menyerang tanpa ampun.
Srini tidak gentar. "mati kalian semua a\\*jng!" teriaknya lantang. Dengan gerakan secepat kilat, ia mencakar satu pocong hingga terbelah dua. Pocong lain mencoba melompat ke arahnya, namun Srini langsung menendangnya keras hingga terpental jauh dan menghantam pohon besar.
"Dasar pocong lemah! segitu doang!" katanya dengan tawa mengerikan.
Pertarungan itu berlangsung sengit, namun Srini tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Dengan brutal ia mencabik dan menghancurkan pocong-pocong itu satu per satu.
Setelah semua pocong hancur tak bersisa, Srini melayang santai sambil mengibaskan gaunnya yang penuh noda darah pocong. "lemah banget ternyata. Kirain bakal seru," katanya dengan nada puas.
Desa Sukasari kembali sunyi, hanya menyisakan angin malam yang berhembus lembut. Srini tersenyum puas. "Besok cerita ke Mas Kenzo ah, pasti dia kagum sama aku," katanya sambil melayang meninggalkan desa yang kini kembali damai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!