NovelToon NovelToon

Tarik Ulur

prolog

Jumat, 30 Januari 2025

Gedung Putih Kebahagiaan

Gedung mewah itu, dengan segala kemegahan dan warna putihnya yang mendominasi, malam ini dipenuhi oleh riuh rendah suara kebahagiaan. Gelak tawa, gurauan, dan obrolan hangat bercampur menjadi melodi indah yang mengalun di setiap sudut ruangan.

Tidak ada satu pun wajah yang tidak memancarkan kebahagiaan. Semua yang hadir di sana merasakan kehangatan dan suka cita yang sama.

Malam ini adalah malam yang istimewa, malam di mana dua hati akan bersatu dalam ikatan suci pernikahan. Para ulama besar, habaib, kyai, ustad, dan ustadah ternama dari berbagai penjuru hadir untuk memberikan doa restu.

Para santri, dengan semangat gotong royong yang tinggi, sibuk hilir mudik memastikan segala persiapan berjalan lancar. Mereka bekerja tanpa lelah, tanpa mengharapkan imbalan, semata-mata karena ingin menjadi bagian dari momen bahagia ini.

Dari keamanan acara hingga urusan dapur, dari kebersihan gedung hingga penyambutan tamu undangan, semua mereka lakukan dengan sukacita. Mereka merasa bangga dan bahagia bisa berkontribusi dalam acara yang sudah lama mereka nantikan.

Penantian yang Berakhir Bahagia

Setelah bertahun-tahun menanti, akhirnya tiba juga hari bahagia itu. Putra terakhir dari keluarga besar pemilik pondok pesantren salafi ternama di Jawa Tengah, Syrah Ahmed, akan melangkah ke jenjang pernikahan. Pernikahan ini menjadi momen yang sangat dinanti-nantikan oleh seluruh keluarga besar. Kabarnya, perayaan ini menghabiskan dana hingga miliaran rupiah, menunjukkan betapa mewahnya acara ini.

Gedung putih ini menjadi saksi bisu kebahagiaan kedua orang tua yang sangat mencintai putra terakhir mereka. Syrah, putra yang digadang-gadang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan pondok pesantren, tumbuh menjadi laki-laki yang tidak hanya tampan, tetapi juga memiliki hati yang mulia. Ketampanannya, tutur katanya yang santun, dan kepribadiannya yang hangat membuat Syrah menjadi idola bagi banyak orang.

Semua orang bertanya-tanya, siapakah wanita yang beruntung yang akan menjadi pendamping hidup Syrah. Pastinya, ia harus memiliki kualitas yang sepadan dengan Syrah, sosok yang begitu dihormati dan dikagumi.

Syrah Ahmed, Sang Pria Idaman

Syrah Ahmed. Nama itu begitu masyhur di kalangan mahasiswa, santri putri, bahkan di kalangan mereka yang seringkali menyebut namanya dalam doa-doa di sepertiga malam terakhir. Syrah, dengan segala kelebihan yang dimilikinya, memang pantas menjadi idaman.

Malam ini, semua orang berbahagia. Gedung ini dipenuhi dengan kebahagiaan, harapan baik, senyum tulus, tawa riang, dan doa-doa yang tulus. Namun, di balik semua kebahagiaan ini, ada hati yang terluka.

Hati yang Terluka di Balik Senyuman

Di antara keramaian, di sebuah sudut ruangan, seorang gadis duduk termenung sambil mengulas senyum. Ia mencoba untuk ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar dari wajah semua orang. Namun, hatinya terasa hampa. Ia bertanya-tanya, bagaimana bisa ada orang yang tidak merasakan kebahagiaan di tengah suasana seperti ini? Kalaupun ada, betapa hatinya penuh dengan iri dan dengki.

Gadis itu bertanya-tanya, adakah orang lain yang merasakan apa yang ia rasakan? Adakah yang bisa memahami apa yang sedang ia alami? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, mencari jawaban yang tak kunjung datang.

Ia merasakan kebahagiaan, kesedihan, dan kekecewaan bercampur menjadi satu. Ia sangat membutuhkan seseorang untuk bersandar, seseorang yang bisa mengerti perasaannya.

Kenangan yang Tak Terlupakan

Di saat ia merasa sangat rapuh, kenangan-kenangan manis bersamanya tiba-tiba muncul di benaknya. Kenangan yang selama ini ia coba lupakan, kini hadir kembali, seolah-olah ingin memberikan kekuatan di tengah kesedihannya. Mungkinkah ini adalah cara Tuhan untuk menghiburnya, untuk menenangkan hatinya yang sedang terluka?

Tanpa bisa dicegah, air mata mulai mengalir membasahi pipinya. Ia tidak bisa menahan emosi yang selama ini ia pendam. Kenangan-kenangan itu datang silih berganti, menghadirkan kembali semua rasa yang pernah ia rasakan. Kenangan yang tidak akan pernah bisa ia lupakan, kenangan yang akan selalu menjadi bagian dari hidupnya.

Gadis itu tersenyum di tengah air matanya. Ia tahu, kenangan-kenangan ini akan selalu menjadi bagian dari dirinya. Ia akan menyimpan semua kenangan itu di dalam hatinya.

Hanindya cakraningsih

Senin, 15 November 2021

Hujan turun begitu lebat, membasahi bumi dengan tirai air tak berkesudahan. Angin bertiup kencang, menggoyangkan pepohonan hingga dahan-dahan berderak. Sejak pagi tadi, rintik air tak henti-hentinya jatuh, menciptakan simfoni alam yang syahdu namun juga menghadirkan dilema bagi sebagian orang. Di tengah gemuruh hujan, seorang gadis baru saja menuntaskan mata kuliah terakhirnya sore itu.

Hanindya Cakraningsih, mahasiswa baru jurusan Psikologi, menghela napas lega. Satu hari penuh, dari pagi hingga sore, ia mengikuti kelas yang sangat padat. Tubuhnya terasa remuk redam, otaknya pun seolah berasap setelah menerima begitu banyak informasi baru. Ia tak menyangka, masa kuliah akan se-"capek" ini. Sebagai seorang maba, ia masih dalam proses beradaptasi dengan sistem perkuliahan yang menurutnya aneh: sekilas terlihat senggang, namun nyatanya sangat padat dan menuntut.

Dulu, saat SMA, ia terbiasa seharian penuh berada di dalam satu kelas yang sama. Namun, di bangku kuliah, setiap mata kuliah berarti berpindah kelas, terkadang melintasi gedung yang berbeda. Hal ini sedikit merepotkan, apalagi ditambah dengan “tanggungan” tugas yang seolah menjadi menu wajib di setiap pertemuan. Awalnya, Hanin sedikit kewalahan dengan ritme baru ini. Mencari kelas, beradaptasi dengan dosen yang berbeda-beda, dan dikejar tenggat waktu tugas, semua terasa seperti maraton tanpa henti. Namun, setelah menjalani dua bulan lebih masa perkuliahan, ia mulai terbiasa. Pola pikirnya berubah, dan ia mulai menemukan celah-celah kecil untuk beradaptasi, bahkan menikmati dinamika perkuliahan.

"Aduh, aku nggak bawa payung lagi," gumam Hanin, meratapi nasibnya yang kurang beruntung sore itu. Matanya menyusuri kerumunan mahasiswa yang berbondong-bondong keluar dari gedung kuliah, terbuka, nekat menerobos hujan tanpa peduli basah kuyup. Kampus memang luas, dan jadwal kuliah Hanin hari itu kebetulan penuh di gedung-gedung luar fakultas. Meskipun sedikit jauh dari fakultas asalnya, Hanin justru merasa senang. Jarak gedung-gedung tersebut ternyata lebih dekat dengan kosannya. Selain itu, fasilitas di gedung-gedung terpadu itu jauh lebih modern dan nyaman dibandingkan dengan fasilitas di gedung fakultasnya yang cenderung lebih tua.

Hanin melihat sekelilingnya, menimbang-nimbang. Sebuah ide gila terlintas di benaknya: ikut menerobos hujan seperti yang dilakukan banyak mahasiswa lain.

"Terobos saja ya?" gumamnya lagi, matanya menatap genangan air yang sudah mencapai mata kaki, menciptakan riak-riak kecil setiap kali ada yang melangkah melewatinya.

Beberapa minggu belakangan ini, hujan memang sering turun di kota tempat Hanin berkuliah. Wajar saja, ini sudah memasuki bulan November, di mana musim hujan sedang gencar-gencarnya. Biasanya, Hanin selalu membawa payung, terutama jika ada kelas sore, sebagai antisipasi. Namun, entah mengapa sore itu ia lupa total. Payungnya tertinggal di kos. Sebuah kelalaian kecil yang kini berakibat fatal.

Hujan kali ini benar-benar lebat. Sejak pagi hari, bahkan hingga sore menjelang malam, rintiknya tak kunjung berhenti. Dalam kondisi seperti ini, seharusnya setiap orang selalu siap sedia membawa payung atau jas hujan. Namun, seringkali manusia alpa, lupa mempersiapkan diri, dan akhirnya harus pasrah menghadapi basah. Ah, tak apalah, biarkan saja hal ini menjadi pelajaran berharga untuk di kemudian hari, pikir Hanin.

"Hanin! Hanin!" sebuah suara terdengar samar-samar di tengah deru hujan dan keramaian. Hanin menoleh, mencari sumber suara itu. Ia menyipitkan matanya, berusaha menebak siapa yang memanggilnya. Matanya yang minus membuat pandangannya buram dari kejauhan, sehingga sulit baginya untuk mengidentifikasi sosok di balik suara tersebut.

Seiring langkah kaki yang mendekat, sosok itu semakin jelas. Seorang perempuan yang familiar melambaikan tangan padanya.

"Hai Nin, baru selesai kelas ya? Ayo pulang bareng," tawar perempuan itu ramah.

"Oh, hai Kansa," jawab Hanin, sedikit terkejut sekaligus senang.

"Iya nih, baru selesai kelas, tapi ini masih deras banget, loh."

Perempuan yang memanggil Hanin itu adalah Kansa Baikha. Kansa bukan hanya teman kos Hanindya, melainkan juga teman akrab sejak masa orientasi mahasiswa baru. Mereka berdua bahkan ditempatkan dalam kelompok yang sama saat ospek, sebuah kebetulan yang mempererat ikatan pertemanan mereka.

Kansa tersenyum simpul, menunjukkan deretan gigi putihnya.

"Sudah ayo, nggak apa-apa. Kalau nunggu reda, nanti keburu malam," ajak Kansa, seolah tak peduli dengan lebatnya hujan.

Mendengar ajakan Kansa, Hanin merasa sedikit lega. Setidaknya ada teman yang menemaninya menerobos hujan. Tanpa berpikir panjang, mereka berdua akhirnya nekat. Mereka melangkah maju, menerobos tirai air tanpa payung ataupun jas hujan. Mereka tak memedulikan bagaimana respon tubuh mereka saat diguyur hujan lebat itu. Yang penting, mereka bisa segera sampai di kos, mengeringkan diri, dan menghangatkan tubuh setelah seharian penuh berkutat dengan perkuliahan. Hujan deras mungkin merepotkan, namun ditemani teman baik, beban itu terasa sedikit lebih ringan.

tugas kuliah

Hari Senin selalu menjadi tantangan bagi mahasiswa, termasuk Hanin. Setelah menikmati waktu santai di akhir pekan yang panjang, kini ia harus kembali menghadapi jadwal kuliah yang padat.

Mengambil delapan SKS dalam satu hari tentu bukan hal yang mudah. Hanin berusaha melawan rasa kantuk dan kelelahan demi tetap dapat berkonsentrasi dalam perkuliahan. Belum lagi tumpukan tugas yang menunggu untuk diselesaikan. Tak heran jika di hari Senin ini, Hanin merasa kelelahan yang luar biasa. Energi yang terkumpul selama libur terasa lenyap seketika.

Ia pun bertanya-tanya, mengapa hari Senin selalu terasa begitu berat? Apakah ini hanya perasaannya saja, atau ada banyak mahasiswa lain yang merasakan hal serupa?

"Oh my god aku capek banget udah ngga kuat." Bisik teman Hanin yang bernama Kana.

Hanin hanya tersenyum menanggapi keluhan temannya, meskipun sebenarnya ia merasakan hal yang sama. Rasa lelah dan lesu menyelimuti tubuhnya setelah menghabiskan waktu kuliah sejak pagi buta.

Bayangkan saja, dari pukul tujuh pagi hingga sebelas siang, mereka harus menghadapi rangkaian mata kuliah tanpa jeda istirahat.

Perutnya keroncongan dan rasa kantuk makin menyerang, membuat konsentrasi semakin sulit dipertahankan. Hanin merasa tidak lagi mengerti penjelasan dosen yang berbicara di depan kelas.

Pikiran nya melayang ke mana-mana, membayangkan kasur empuk dan makanan lezat yang menunggunya di rumah. Ia pun berharap jam kuliah segera berlalu, agar bisa beristirahat dan mengembalikan tenaganya.

"Saya kasih kalian tugas wawancara mengenai materi hari ini. Tugas dilakukan secara mandiri dan orang yang di wawancara tidak boleh dari fakultas ini." Ungkap pak dosen bagaikan petir di siang bolong, alias mengagetkan.

"Jirr yang bener aja itu bapak - bapak." Geram Kana.

"Waduh mana aku belum punya kenalan dari fakultas lain lagi." Ungkap Hanin yang merasa cemas.

"Pak izin bertanya, untuk format serta pertanyaan wawancara di tentukan bapak atau dari kami?." Tanya salah satu penanggung jawab kelas.

"Untuk itu nanti saya kirim di grup." Jawab pak dosen. Kemudian ia mengakhiri kelas pada siang ini.

Para mahasiswa berhamburan keluar kelas. Tanpa memusingkan apakah materi barusan masuk atau tidak di otak mereka, karena saat ini dipikiran mereka hanya satu, yaitu segera ke kantin dan mengisi perut mereka dengan banyak makanan untuk mengisi tenaga yang telah terkuras banyak.

Hanin dan Kana menjadi salah satu dari banyaknya mahasiswa yang rela dempet - dempetan hanya demi semangkuk nasi dan ayam di kantin yang sangat ramai ini.

Rasa lemas tak berdaya ketika di dalam kelas seketika hilang entah kemana. Kini tubuh mereka menjadi sangat bersemangat untuk menyerbu kantin.

"Kana kita mau duduk di mana ini? ramai banget gila." Ungkap Hanin resah.

"Ayo makan di depan kantin aja, di sini panas banget Nin, ayo di bawa nasinya." Jawab Kana sembari berjalan keluar kantin.

Setelah bersusah payah menerobos keramaian kantin, akhirnya Hanin dan temannya bisa bernapas lega.

Mereka menemukan tempat teduh di bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi membelai wajah mereka yang lelah. Hanin menghela napas panjang, menikmati ketenangan yang akhirnya ia dapatkan.

Kemudian ia membuka nasi ayam geprek yang ia beli tadi. Aroma sedap memang sudah tercium, membuat perutnya yang keroncongan semakin bersemangat. Tapi Hanin dan temannya masih enggan menyentuh makanannya. Mereka berdua masih asyik mengobrol, membicarakan dosen yang killer dan tugas-tugas yang menumpuk.

"btw Kan, kamu udah ada bayangan belum mau wawancara siapa?." Tanya Hanin.

"Belum Nin, aku ada kenalan anak teknik tapi nggak tau dia mau aku wawancara apa ngga." Jawab Kana lesu.

"Lah kamu udah ada belum Nin?". Tanya Kana bergantian.

"Aku punya kenalan satu, anak Teknik juga, tapi ngga tau, dia itu kakak kelas ku dulu, aku kenal dia tapi aku ngga tau dia kenal aku atau nggak." Ungkap Hanin terlihat lesu.

"loh siapa? kamu baru cerita ada kakak kelas mu di sini." Tanya Kana merasa penasaran.

"itu loh Kan, cowok yang pernah aku ceritain ke kamu." Jawab Hanin.

"loh? dia juga kuliah di sini?." Ungkap Kana terkejut.

Selama enam bulan mereka bersahabat, Hanin hanya sekali bercerita tentang seorang cowok pada Kana. Kana tahu betul cowok itu sangat spesial bagi Hanin. Bagaimana tidak, Hanin adalah tipe orang yang ekspresi wajahnya mudah sekali dibaca.

Kana hanya tahu cowok itu adalah kakak kelas Hanin di SMA. Hanya itu. Kana tidak pernah tahu kalau cowok itu juga kuliah di tempat yang sama dengan mereka.

Hanin memang tidak pernah bercerita banyak. Tapi bagi Kana, cerita sekali itu sudah cukup untuk tahu kalau cowok itu sangat berarti bagi Hanin. Kana bisa melihatnya dari mata Hanin yang berbinar setiap kali nama cowok itu disebut. Atau dari senyum kecil yang selalu menghiasi wajah Hanin ketika Kana menyinggung cowok itu kepada Hanin.

"Iya Kan. Aku pengin dia yang aku wawancarai. Hehehe sekalian ketemu kan?, walau pun satu kampus, udah lama aku ngga lihat dia." Ungkap Hanin lesu.

"Yaudah, chat coba dia mau apa ngga." Saran Kana.

"duh aku malu Kan, kita tuh saling save nomer tapi ngga pernah chattingan gitu lo." Jawab Hanin.

"Yaudah sini aku ketikin biar ngga malu." Tawar Kana.

"Eh ngga usah aku aja." Tolak Hanin.

"Gimana ya." Gumam Hanin.

Sent to Mas Ahmed

"Assalamualaikum, Mas ini Hanin, masih ingat ngga?. Heheh mas aku ada tugas wawancara gitu, tapi ngga boleh yang satu fakultas, nah aku dapat target buat wawancara anak teknik, nah mas mau ngga aku wawancara?."

"kaya gini bener ngga Kan?." Tanya Hanin sembari menyerahkan handphonenya untuk dilihat Kana.

"idih ini bahasanya MAS banget Nin?." Ledek Kana.

"ih ngga gitu, aku kan dari awal emang manggilnya mas, masa tiba tiba manggil kak?." Jawab Hani sembari menyembunyikan rona merah di pipinya.

"Eh Nin, ini pesannya udah dibaca sama kakaknya." Ungkap Kana dengan semangat.

Mas Ahmed writing

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!