Dinginnya malam yang sepi, seorang laki-laki bertubuh tinggi,tampan dan mempunyai rahang yang tegas, terlihat berjalan tertatih dengan sekujur luka di badannya. dia berjalan menelusuri hutan belantara, yang pada akhirnya membawanya ke sebuah pedesaan yang terlihat sangat sepi.
Dia Arsenio Gaozhan, seorang ceo sekaligus pimpinan Mafia yang terkenal dingin dan kejam. saat ini dia sedang mencari jalan keluar, akibat pesawat helikopter yang dia tumpangi jatuh karena berhasil di serang oleh musuh.
Arsenio menyusuri jalan menuju, ke sebuah rumah kecil dan sederhana. dia pun mendekatinya dan mengetuk pintu, berharap ada seseorang yang mau menolongnya.
Tok Tok Tok
Tidak ada sahutan dari dalam, membuat Arsenio mengetuk kembali pintu rumah itu.
"Ma- maaf anda siapa?" Seorang pemuda berusia 18 tahun berpakaian sederhana, terlihat ketakutan saat melihat keberadaan Arsenio di ambang pintu. apalagi saat ini pemuda itu, melihat keadaan Arsenio yang terluka parah.
"Tolong saya." Arsenio, menodongkan senjata kepada pemuda.
Pemuda itu sontak menjauhkan dirinya, saat melihat senjata yang di arahkan kepadanya. dia pun memberanikan diri untuk berkata ,"Ja- jangan bunuh saya, tuan," pekik pemuda, yang di ketahui bernama fikri itu.
Laki-laki itu pun menatap tajam fikri, yang terdiam dengan tubuh yang gemetar ketakutan. " Tolong saya." ucapnya dingin, tak lama kemudian laki-laki itu pun jatuh pingsan, tidak sadarkan diri.
"Tuan." Fikri menghampiri laki-laki itu, meskipun rasa takut masih menyelimuti benaknya. namun di sisi lain, fikri tidak tega melihat keadaan laki-laki itu. apalagi saat ini dia melihat, jika seluruh tubuh laki-laki itu penuh dengan luka. fikri pun bergegas membawanya ke dalam rumah, meskipun sedikit kesusahan.
*
*
*
Keesokan harinya...
"Selamat pagi tuan." Fikri tersenyum, menyapa laki-laki itu.
Laki-laki itu menatap sekilas, pada fikri. "Di mana, kamar mandi?" tanyanya dingin.
"Ka- kamar mandi? Oh... pasti anda mau membersihkan diri. Mari, saya antar!" Fikri yang takut pun, mengantar arsenio pergi ke kamar mandi.
"Maaf tuan, di sini kamar mandinya seperti ini. Jika anda kurang nyaman, harap di maklumi."
Arsenio masuk ke dalam kamar mandi, tanpa menyahuti perkataan fikri. dirinya ingin menuntaskan panggilan alamnya, meskipun merasa tidak nyaman dengan keadaan kamar mandi yang terlihat berbeda, dengan yang ada di rumahnya.
Setelah memastikan arsenio masuk, ke kamar mandi. Fikri pun bergegas ke dapur, untuk membuat sarapan. dia hanya membuat makanan seadanya, sebab keadaannya memang serba kekurangan.
"Maaf tuan, sebaiknya anda sarapan dulu. Saya sudah membuatkan bubur, untuk anda." Fikri menghampiri arsenio, yang duduk di kursi bambu miliknya.
Arsenio melirik sekilas pada Fikri, yang tersenyum canggung kepadanya. dia bangkit berdiri dengan jalan tertatih, akibat luka pada kakinya lumayan parah. namun keadaannya lumayan membaik, setelah semalam Fikri mengobatinya dan merawatnya.
Mereka pun duduk berhadapan, dengan semangkok bubur nasi yang berteman kan kecap dan kerupuk saja. Fikri tersenyum kikuk, saat arsenio hanya memandang bubur itu dengan tatapan, sulit di artikan.
"Maaf, tuan. Hanya bubur ini, yang saya punya. Jika memang anda tidak terbiasa, biar saya carikan saja makanan lain, di warung." sahut Fikri canggung.
"Tidak perlu," balas arsenio, dingin. mulai memakan buburnya meskipun terpaksa, karena perutnya saat ini benar-benar lapar.
Fikri mengangguk pelan, kemudian segera memakan buburnya.
"Siapa nama, mu, " tanya arsenio menatap Fikri tajam.
Fikri menelan salivanya kasar, ketika arsenio menatapnya tajam. "Na-nama ku Fikri, tuan." jawabnya, sedikit gemetar.
"Apa, kamu tinggal di sini sendirian?" Arsenio kembali bertanya.
Fikri menggeleng pelan. "Aku tinggal berdua, dengan kakak perempuan, ku. Tapi sekarang, dia sedang bekerja di kota, sebagai asisten rumah tangga. Kami hanya tinggal berdua saja, karena kedua orang tua kami sudah meninggal." jawabnya lirih.
Arsenio seketika tersentak, saat mendengar jawaban Fikri. dia tidak menyangka, keadaan Fikri sangat memprihatinkan seperti ini. bahkan Arsenio dapat melihat keadaan rumah Fikri, yang kecil dan jauh dari kata bagus.
"Apa, kamu masih sekolah?"
Fikri tersenyum. "Aku baru saja lulus, tuan. Dan sekarang, aku sedang mencoba mencari pekerjaan. Aku ingin membantu kakak, supaya dia tidak perlu bekerja di kota lagi." Kali ini fikri menjawab pertanyaan arsenio, dengan penuh semangat.
Arsenio mengangguk pelan, melihat perubahan sikap fikri yang memang bersemangat untuk bekerja.
"Apa, kamu punya ponsel? Jika kamu punya, aku ingin meminjamnya sebentar." ujar arsenio dingin.
"Aku hanya ponsel ini, tuan. Tapi masih bisa di gunakan untuk menelpon, kok." Fikri memberikan ponsel jadul miliknya, pada arsenio.
Arsenio lagi-lagi hanya menatap ponsel jadul milik fikri, dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Tuan. Apa anda jadi, untuk menggunakan ponsel ku?" tanya Fikri bingung.
Arsenio yang tersentak pun ,langsung mengambil ponsel milik Fikri. dia pun segera menghubungi seseorang, untuk menjemputnya.
"Terima kasih." ucap arsenio dingin.
Fikri tersenyum. "Sama-sama, tuan." balasnya sopan.
"Jangan panggil aku, tuan. Nama ku, Arsenio Gaozhan. Panggil saja, aku arsenio." titahnya, tanpa ekspresi.
Fikri Mengernyitkan dahi, mendengar perkataan Arsenio. dia tahu, jika usia Arsenio lebih tua darinya. maka dari itu fikri pun tidak akan melakukan apa, yang di katakan arsenio.
"Maaf tuan. Aku tidak akan memanggil mu, dengan sebutan nama. Aku akan memanggil mu, abang. Bo- boleh kah?" Fikri menundukkan kepala, setelah mengungkapkan keinginannya. dia takut, jika arsenio akan marah kepadanya.
"Terserah." Satu kata keluar dari mulut arsenio, membuat Fikri tersenyum senang.
"Terima kasih, bang Arsenio." Fikri yang senang pun, refleks memeluk tubuh atletis arsenio. dia senang, mendapatkan sosok laki-laki yang bisa dia anggap seperti kakak sendiri.
Arsenio tersenyum tipis nyaris tidak terlihat, ketika melihat sikap Fikri kepadanya. dia pun berdehem keras, supaya Fikri melepaskan pelukannya.
"Ma- maaf bang. Aku terlalu senang." Fikri tersenyum kikuk, kemudian menjauh dari Arsenio yang memasang wajah datar.
Di saat keadaan menjadi canggung, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Fikri pun segera membukanya. betapa terkejutnya dia, saat melihat ada dua orang laki-laki berbadan tinggi dan berwajah sangar berdiri, di ambang pintu. seketika dia pun, berlari dan bersembunyi di belakang tubuh arsenio.
"Bang, sepertinya mereka orang jahat! Sebaiknya, kita pergi dari sini!" Tubuh Fikri gemetar, merasa terancam.
Arsenio tersenyum tipis, kemudian memberi kode kepada kedua anak buahnya supaya pergi dari sana.
"Fikri, aku harus pergi. Terima kasih, karena kamu sudah menolong, ku. Maaf, jika kedua teman ku membuat mu takut. Aku berharap, kita bisa bertemu lagi." ucap Arsenio, tegas.
"Abang bercanda. Mereka orang jahat, bang. Aku takut mereka akan menyakiti, abang!" sahut Fikri khawatir.
Arsenio menepuk pundak Fikri. "Mereka, bukan orang jahat. Mereka teman-teman, ku."
Setelah mengatakan hal itu, arsenio pun keluar dari rumah Fikri. sebelum pergi, arsenio menatap Fikri dan rumahnya dengan tatapan sulit di artikan. mereka pun pergi dari sana, meninggalkan Fikri yang kini sendiri lagi.
"Yah... sendiri lagi. Padahal aku senang, punya teman ngobrol. Kak Raina... kapan kamu pulang?" lirih Fikri, yang tiba-tiba saja rindu pada kakak perempuannya.
Di sebuah gedung berlantai tiga, Arsenio terlihat sedang duduk termenung. pikirannya masih terganggu oleh hal, yang terjadi kepadanya saat kemarin.
"Bagaimana keadaan, mu?"
Arsenio melirik sekilas, pada seorang laki-laki yang menghampirinya. dia Morgan, teman arsenio yang menjadi tangan kanannya .
"Aku baik-baik saja. Bagaimana keadaan mereka? Apa mereka selamat?" tanya Arsenio dingin.
Morgan menghela nafas, melihat sikap temannya seperti itu. arsenio yang memang terluka, masih saja mengkhawatirkan keadaan anak buahnya.
"Mereka selamat, hanya ada beberapa orang yang terluka sangat serius. Sepertinya dirimu juga terluka, arsen?"
Arsenio tidak menjawab, memilih pergi dari hadapan Morgan. sungguh tubuhnya saat ini lelah, sehingga dia memutuskan untuk beristirahat kembali di kamarnya.
"Sampai kapan, kamu akan menyembunyikan semua luka mu, arsen. Andai saja ada seseorang, yang bisa membuat mu sedikit terbuka. Aku yakin, hidup mu tidak akan merasa hampa lagi." gumam Morgan, menatap iba pada arsenio, yang pergi menjauh dari hadapannya.
Morgan hanya satu-satunya orang, yang dekat dengan arsenio. bahkan dia selalu mengerti, keadaan arsenio di saat sedang sedih, marah atau pun kecewa. sebab arsenio tidak lagi mempunyai keluarga selain, Morgan dan anak buahnya.
Dulu Arsenio, memilih pergi dari rumahnya. sebab merasa kecewa, kepada orang tuanya yang bercerai beberapa tahun silam. bahkan mereka kini sibuk, dengan keluarga mereka masing-masing. satu-satunya orang yang dekat dengan arsenio pada saat itu, adalah kakeknya. namun sayang, tidak lama kemudian kakeknya meninggal karena mengidap penyakit serius.
Di saat sedang terpuruk, arsenio pada saat itu bertemu dengan seseorang yang membawanya ke dunia hitam. bahkan sampai saat ini, arsenio hidup tidak kekurangan, di segani bahkan di hormati oleh semua orang.
Sampai saat ini arsenio, menjalankan perusahaan peninggalan kakeknya sampai sukses. bahkan kedua orang tua arsenio tidak tahu, jika putra mereka sudah menjadi orang yang terpandang dan sukses.
*
*
*
Fikri termenung, di depan rumahnya. saat ini, dia merasakan perutnya sangat lapar. sedangkan persediaan beras di rumahnya, sudah habis di buat bubur untuk Arsenio waktu kemarin. bahkan saat ini, kakaknya belum juga mengirim uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Fikri mendesah pelan. "Ya Allah, aku lapar." ucapnya, sambil memegangi perutnya. ingin rasanya Fikri menangis, tapi semua ini belum seberapa dengan nasib orang lain di luar sana, yang lebih dari dirinya.
Di saat sedang berusaha menahan lapar, Fikri di kejutkan dengan kedatangan sebuah mobil mewah, yang berhenti tepat di halaman rumahnya. seseorang turun dari mobil itu, dengan aura dinginnya.
"Bang arsen." panggil Fikri senang, kemudian berjalan menghampiri arsenio. "Abang ke sini lagi. Aku kira, kita tidak akan bertemu lagi, bang. Apa ada barang abang, yang ketinggalan di rumah ku?" tanya Fikri, berusaha menerka.
Morgan yang berada di dalam mobil terkejut, pada sikap Fikri yang di nilainya sangat berani memanggil arsenio, dengan sebutan abang. bahkan dirinya sendiri merasa takut, jika sesekali ingin berbicara layaknya saudara sendiri. namun kenyataan di depan mata sangat jelas, jika untuk pertama kalinya arsenio akrab dengan seseorang.
Arsenio menggeleng pelan. "Tidak ada. Apa kamu sudah makan?" tanyanya dingin.
Fikri yang memang belum makan pun, menggeleng pelan. "Aku belum makan, bang. Persediaan beras ku, habis. Sedangkan kakak di kota, belum juga mengirim uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari." jawabnya pelan.
Arsenio menghampiri, Fikri dan mengajaknya masuk ke rumah. sebelum masuk arsenio memberikan kode pada anak buahnya, untuk membawa beberapa sembako yang sengaja dia beli untuk Fikri.
"Ini untuk mu." ucap arsenio, dingin.
Fikri mengernyitkan dahi. "Ini apa, bang?" tanyanya heran.
"Makanlah. Itu makanan untuk mu. Aku tahu pasti kamu lapar, jadi makanlah." titah arsenio dingin.
Fikri tersenyum senang, merasa beruntung dengan kedatangan Arsenio ke rumahnya. dia bersyukur, akhirnya bisa mengisi perutnya yang memang sudah sangat lapar.
"Tuan, ini semua di simpan di mana?" Anak buah arsenio masuk ke dalam rumah, dengan membawa beberapa karung beras.
Arsenio melihat ke sekeliling rumah itu, mencari ruang untuk menyimpan beras dan yang lainnya.
Fikri yang makan lahap pun mematung, saat melihat orang-orang membawa beras beserta kebutuhan lainnya ke dalam rumahnya. "Bang, itu punya siapa? Kenapa, di masukan ke dalam rumah, ku?" tanyanya heran.
Arsenio menatap tajam. "Sudah makanlah. Jangan berbicara, jika sedang makan. Tidak sopan." tegurnya dingin.
"Ma-maaf bang." seru Fikri pelan, seraya menundukkan kepala karena merasa takut, saat arsenio menatapnya tajam.
Fikri pun melanjutkan lagi makannya, meskipun hatinya bertanya-tanya. Kenapa semua barang itu, di masukan ke dalam rumahnya?
Setelah anak buahnya selesai menyimpan, sembako. Arsenio pun pamit pada Fikri, yang sudah selesai dengan makannya.
"Semua ini untuk mu, Fikri. Anggap saja ini semua, balas budi ku karena kamu sudah menolong ku kemarin. Jadi urusan ku dengan mu, sudah selesai. Dan sekali lagi, terima kasih." ujar arsenio, menepuk pundak Fikri.
Raut kesedihan terlihat pada wajah Fikri, setelah tahu jika ternyata arsenio akan benar-benar melupakannya. rasa bahagia yang dia rasakan, ternyata hanya sesaat.
"Apa bang arsen, tidak akan ke sini lagi?" tanya Fikri sedih, menatap sendu arsenio yang menatapnya tajam.
"Iya." jawab arsenio singkat.
Fikri menghela nafas kasar. "Baiklah, bang. Tapi jika ada lowongan pekerjaan, aku minta informasinya ya, bang. Dan Terima kasih, karena abang sudah memberikan ini semua ini." Fikri pun, mencoba tersenyum.
Arsenio mengangguk pelan, namun sebelum pergi dia meminta nomor ponsel Fikri. sekedar untuk memberi informasi, tentang lowongan pekerjaan untuk Fikri. arsenio pun pergi dari sana, untuk kembali ke rumahnya.
Setelah kepergian arsenio, fikri pun masuk kembali ke dalam rumah. dia pun duduk, di kursi bangku dan seketika menangis. "Kak Raina.... Kapan kakak pulang? Aku rindu kakak.... " Fikri memegang pinggiran kursi dengan sangat erat, menyalurkan rasa rindu pada kakaknya.
Di saat menangis, tiba-tiba hidung Fikri mengeluarkan darah. sontak Fikri pun mendongakkan kepalanya, berharap darah yang keluar cepat berhenti.
Kring... kring... kring...
Fikri pun melirik ke arah ponselnya. namun sebelum itu dia mencari saputangan, untuk menutup hidungnya.
"Halo, Assalamu'alaikum kak." sapa Fikri bahagia, karena orang yang dia rindukan menghubunginya.
"Wa'alaikumussalam, Fikri. Bagaimana keadaan kamu? Obatnya pasti sudah habis, ya? Kakak akan kirim uang, untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan obat kamu. Maaf, kakak sedikit terlambat, karena majikan kakak baru pulang dari luar negeri." ujar Raina kakaknya fikri, dari seberang telepon terdengar khawatir.
Fikri tersenyum, saat mendengar kakaknya sangat khawatir kepadanya. "Tidak apa-apa, kak. Terima kasih, karena kakak selalu mengkhawatirkan aku. Oh... ya, kapan kakak pulang? Aku rindu sama kakak..." Fikri menghentikan ucapannya, saat tenggorokan merasa tercekat. dia tidak dapat menahan tangisnya, sebab saat ini dia benar-benar sangat merindukan kakaknya.
"Maaf Fikri. Sepertinya kakak baru bisa pulang, jika majikan kakak memberi izin. Sebenarnya kakak sudah ingin pulang. Tapi..."
"Apa majikan kakak, bersikap tidak baik pada, kakak?" Fikri yang khawatir pun, dengan cepat menyela ucapan kakaknya.
"Ti-tidak Fikri. Mereka sangat baik pada kakak. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan kakak, di sini. Jaga kesehatan mu, dan jangan lupa kamu harus rutin minum obat, supaya kamu cepat sembuh."
Fikri menghela nafas. dia tahu jika kakaknya sedang menyembunyikan sesuatu darinya. "Aku senang, jika kakak baik-baik saja. Maaf, aku tidak bisa menjaga kakak. Aku berharap kakak cepat pulang, dan berkumpul kembali dengan ku, di sini." Fikri mengusap sudut matanya yang berair, karena menangis. namun sebisa mungkin dia sembunyikan semua itu, dari kakaknya saat ini.
"Terima kasih, Fikri. Ya sudah, kalau begitu kakak tutup dulu panggilannya ya."
Fikri seketika, menangis sejadi-jadinya. hatinya sakit saat tahu, jika kakaknya sedang tidak baik-baik saja. terakhir kabar yang dia dengar, jika kakaknya hampir di lecehkan oleh majikan laki-lakinya. namun karena masih membutuhkan uang, kakaknya Fikri berusaha bertahan meskipun kerap kali harus mendapatkan perlakuan buruk.
Hari ini Fikri seperti biasa, pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi tubuhnya. Fikri saat ini, mengidap penyakit leukemia stadium 4. Fikri menyembunyikan kebenaran tentang penyakitnya, dari kakaknya. sebab dia bilang pada kakaknya, jika penyakit leukemia yang di deritanya masih stadium awal.
Semua Fikri lakukan, supaya kakaknya tidak mengkhawatirkannya. dia tidak ingin membebani kakaknya, yang lelah bekerja dengan kabar tentang dirinya.
"Fikri. Bagaimana keadaan mu?" Seorang dokter menyapa Fikri, yang masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
Fikri tersenyum tipis. "Kabar ku baik, dok." jawabnya ramah.
"Baiklah, sekarang kita akan lihat apa keadaan mu, ada peningkatan." Dokter pun, mulai memeriksa Fikri.
Beberapa menit kemudian...
"Sepertinya, keadaan mu semakin menurun, Fikri. Apa kamu selalu meminum obat, yang saya berikan kepada, mu?" Dokter memicingkan mata, memperhatikan Fikri yang hanya terdiam.
Fikri tersenyum tipis. "Aku selalu meminumnya, dok. Mungkin ini sudah menjadi jalan takdir ku, dok. Aku sudah berusaha, namun tetap saja Tuhan yang menentukan." balasnya tenang.
Dokter menatap iba, pada Fikri yang terlihat begitu tegar. walaupun dia tahu, jika di dalam hati kecil Fikri terdapat perasaan kecewa dan sakit. " Saya berharap kamu bisa sembuh, Fikri. Jangan berkecil hati, saya yakin jika kamu itu sangat kuat." ucapnya menyemangati.
Fikri tersenyum tipis, mendengar perkataan dokter itu. setidaknya dia selalu mendapatkan semangat, dari orang yang perduli dengan dirinya.
*
*
*
Sesampainya di rumah, Fikri berjalan ke belakang rumah. dia membuang semua obat yang dia dapatkan, dari dokter. putus asa menyelimuti hatinya, saat tahu jika hidupnya tidak akan lama lagi.
Setelah membuang semua obatnya, Fikri pun berjalan menuju ke kamarnya memilih merebahkan tubuhnya yang mulai terasa sakit.
"Tuhan, jika waktu ku memang tidak lama lagi. Beri aku waktu, sampai menemukan seseorang yang bisa menjaga kakak, ku. Pertemukan aku dengan sosok laki-laki, yang bisa melindungi kakak ku.... "
Fikri menangis, sembari menahan rasa sakit pada tubuhnya. tidak ada keinginan baginya untuk meminum obat, karena menurutnya semua itu percuma. sebab pada akhirnya, dia akan pergi untuk selama-lamanya.
Kring... kring... kring...
Fikri yang kesakitan pun, meraih ponselnya dan menatapnya. dia tersenyum saat tahu, jika arsenio yang menghubunginya.
"Halo bang arsen. Ada apa bang?" tanyanya pelan.
"Apa kamu yakin ingin. bekerja?" Terdengar suara dingin Arsenio, dari seberang telepon.
Fikri tersenyum. "Aku yakin, bang. Apa ada lowongan pekerjaan untuk ku, bang?" tanyanya penuh harap.
"Ada. Kamu datang saja ke alamat, yang akan aku berita tahu nanti. Di sana, kamu bisa menemui ku."
"Baik, bang. Aku akan segera ke sana. Sebelumnya, terima kasih bang."
Fikri pun bangun dari tidurnya, segera bergegas pergi ke tempat yang di sebutkan oleh Arsenio.
*
*
*
Di rumah arsenio...
"Apa kamu yakin, akan melibatkan anak itu. Dia orang asing, arsen. Apa kamu tidak khawatir, jika anak itu akan memberitahu tentang kita kepada semua orang." Terlihat Morgan tidak setuju, saat tahu jika arsenio akan memberikan pekerjaan pada Fikri.
Arsenio melirik sekilas pada Morgan, yang berdiri di depannya. "Aku tahu, sifat dia seperti apa. Kamu jangan khawatir, karena aku yakin kamu juga akan menyukainya." ujarnya dingin.
Morgan mendesah pelan, bukan maksudnya untuk melarang Fikri bekerja di sana. hanya saja Morgan takut, jika orang asing terlibat di sana akan membuat orang-orang tahu pekerjaan mereka. bahkan bisa saja, pihak kepolisian akan langsung menyergap mereka semua.
"Bukan maksud ku seperti itu, arsen. Aku hanya khawatir, jika anak itu tidak dapat menyimpan rahasia kita." ujarnya menjelaskan.
Arsenio tidak menyahuti ucapan Morgan. dia pun segera pergi dari sana, karena tahu jika Fikri sudah datang ke rumahnya.
*
*
*
Setelah melalui perjalanan lumayan lama. akhirnya Fikri, sampai di kawasan rumah elite. dia pun terlihat ragu, untuk masuk ke sana. apalagi Fikri lihat, jika di sana banyak sekali penjaga yang memakai baju serba hitam. nyalinya semakin menciut, ketika membayangkan apa yang akan mereka lakukan kepadanya.
Fikri berjalan menghampiri gerbang, yang menjulang besar. "Permisi, apa benar ini rumah tuan arsenio?" ucapnya, sedikit berteriak.
"Siapa kamu?" Seorang laki-laki berwajah sangar, menatap tajam ke arah Fikri dan menodongkan sebuah senjata.
"A- ampun, jangan bunuh saya! Saya di suruh oleh abang arsen, untuk datang ke sini." Fikri yang ketakutan pun, memberitahu kedatangannya ke sana.
"Jaga bicara mu! Kau pasti penyusup, kan?" Orang itu, semakin mendekatkan senjatanya ke arah Fikri, yang bergetar ketakutan.
"Penyusup?" Fikri terdiam, saat orang itu menyebutnya sebagai penyusup. hatinya pun bertanya, apakah dia salah rumah?
"Lepaskan dia! Biarkan dia masuk."
Fikri yang ketakutan, menoleh ke arah suara. seketika dia pun tersenyum, saat mengetahui jika orang itu ada Arsenio.
"Bang arsen. " serunya tersenyum.
Orang yang menghadang Fikri pun, menjauhkan senjatanya. dia pun mengangguk hormat dan mempersilahkan Fikri, untuk masuk ke dalam rumah arsenio.
"Terima kasih." ucap Fikri ramah, pada orang yang sudah menghadangnya.
Tidak ada balasan, dari orang itu yang hanya memasang wajah sangarnya. melihat itu Fikri hanya, tersenyum tipis dan segera menghampiri arsenio.
"Aku kira, salah rumah. Mereka siapa bang?" tanya Fikri, saat dirinya berada di samping arsenio.
"Tidak perlu memperdulikan mereka. Sekarang, kamu ikut dengan ku ke dalam rumah. Apa, kamu siap untuk bekerja?" tanya arsenio dingin.
"Siap bang." jawab Fikri semangat.
Akhirnya keinginannya untuk bekerja, terwujud. dengan begini, dirinya bisa menyuruh kakaknya untuk berhenti bekerja di kota. dia pun berharap, dapat berkumpul kembali dengan kakaknya.
Fikri berjalan mengikuti langkah arsenio, yang berada di depannya. semua orang yang berada di sana menatap Fikri, dengan tatapan sulit di artikan. hal itu pun, membuat Fikri merasa risih dan takut.
"Sekarang, kamu bisa mulai bekerja. Tugas mu, hanya membersihkan semua ruangan di sini. Dan bersihkan juga, semua senjata yang berada di sana." Arsenio menunjuk ke arah peti, yang berisi senjata pesanan rekan bisnisnya.
Fikri membulatkan matanya, merasa takjub saat melihat bermacam-macam senjata di hadapannya. dia pun mendekati peti itu, dan menatapnya kagum.
"Ingat, kamu harus berhati-hati. Karena jika terjadi kerusakan, maka taruhannya nyawa mu sendiri." ujar arsenio, memperingatkan.
Fikri menelan ludahnya kasar, membayangkan dirinya di habisi oleh arsenio. namun dia akan berusaha bekerja semaksimal mungkin, supaya bisa mendapatkan uang yang banyak.
Fikri pun memulai pekerjaannya, dengan sangat hati-hati. Apalagi sekarang dia sedang membersihkan senjata, yang akan di kirim oleh arsenio ke luar negeri. Fikri memperhatikan lekat, sebuah senjata yang tidak asing baginya. "Mirip senjata milik kakak," gumamnya pelan.
"Apa ada masalah bocah?" Morgan menghampiri Fikri, dengan wajah datarnya. dia memperhatikan sikap Fikri, yang menurutnya mencurigakan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!