Sore itu hujan turun dengan sangat derasnya. Menyebabkan suara bising yang tiada henti. Derasnya guyuran hujan itu meredam tangis seorang gadis kecil berusia 8 tahun. Ia duduk bersimpuh di depan peti mati yang diatasnya bertengger foto sepasang laki-laki dan perempuan paruh baya.
Tangis gadis kecil itu begitu buruk. Ia meraung-raung sambari memukul dadanya karna sesak. Matanya sudah bengkak dengan kedua pipi yang telah basah karna air mata. Tak ada kata-kata yang keluar, selain isak tangis dari bibir mungilnya.
Di belakangnya ada tiga orang paruh baya. Dua pria dan satu wanita. Mereka tengah berdebat dengan sengit. Seakan tak ada yang mau mengalah atau menengahi.
"Bagaimana sekarang? Toni dan Bella pergi dengan meninggalkan anak yang masih kecil itu. Hahhh ..."
"Mau ikut siapa dia? Keluargaku sudah cukup susah. Aku harus berjuang menghidupi tiga anak. Gak bisa aku kalau harus membawanya."
"Kau pikir hidupku juga gak susah?! ... Kita gak punya pilihan selain salah satu dari kita harus membawanya. Kalau tidak kita akan dikecam oleh masyarakat."
Ketiga orang itu terus saling melempar tanggung jawab, tanpa memperdulikan perasaan gadis kecil yang mendengar semua perdebatan itu. Kesedihan gadis kecil itu semakin menjadi.
Namun, saat ini air mata dan isak tangisnya seakan tertahan. Bayangan hari-hari indah bersama kedua orang tuanya berkelebat di ingatannya becampur dengan bayangan masa depan abu-abu yang menantinya.
"Mama ... Papa ... Kenapa kalian pergi tanpa membawaku?!" Ucap lirih gadis kecil itu menatap foto di depannya.
Tatapannya kosong. Bahkan, manik matanya seakan tertutup kabut. Hanya ada kehampaan dan keputus asa'an di sana.
Dengan lunglai ia bangkit berdiri untuk keluar dari ruangan duka itu. Melewati paman dan bibinya yang masih berdebat, bahkan tak sadar akan kepergiannya.
Gadis kecil itu berjalan keluar tanpa arah dan tujuan. Langkahnya lunglai seakan tak bernyawa. Sampai ia terhenti di teras rumah duka itu. Ia menatap langit berawan gelap dan derasnya hujan sore kala itu. Gadis kecil itu berdiri di sana cukup lama. Melamun entah sampai ke mana otak kecilnya itu berkelana.
Sampai ia mendengar suara isak tangis yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengikuti suara tangis itu, sampai ke sisi rumah duka.
Di sana ia melihat seorang anak laki-laki yang sepertinya lebih tua darinya. Anak laki-laki itu tengah berjongkok dan menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya. Dengan berani gadis kecil itu berjalan mendekatinya. Tanpa bersuara ia ikut duduk berjongkok di samping anak laki-laki itu.
Merasa ada orang lain di sampingnya. Anak laki-laki itu mengangkat kepalanya dan menoleh ke samping. Ia terheran melihat seorang gadis kecil dengan tampilan berantakan tiba-tiba ikut berjongkok di sampingnya.
"Siapa kamu?" Tanya anak laki-laki itu tajam. Gadis kecil itu diam dan tak menjawab.
Merasa diabaikan, anak laki-laki itu menatap tajam ke arah gadis kecil itu. Ia memperhatikan tatapan kosong dari sepasang mata yang bengkak. Bahkan masih ada sisa air mata diujung mata dan pipi gadis kecil itu. Akhirnya, anak laki-laki itu hanya diam dan membiarkannya ikut berjongkok di sampingnya.
Detik dan menit terus berlalu. Hanya keheningan yang ada di antara kedua anak itu. Sampai gadis kecil itu membuka suaranya.
"Kenapa kakak menangis sendirian di sini?" Tanyanya dengan pandangan yang masih sibuk menatap derasnya hujan di depannya.
Terkejut dengan pertanyaan mendadak gadis kecil itu. Anak laki-laki itu diam beberapa saat, sebelum menjawab pertanyaannya.
"Hari ini ayahku meninggal. Aku tak bisa menangis di depan ibuku yang sudah cukup terpukul dengan kepergian ayah ..." Jawabnya dengan hembusan nafas berat diakhir kalimatnya. Gadis kecil itu akhirnya menoleh dan menatap matanya. Sepasang manik mata bewarna hitam menatapnya dengan intens. Ia seakan bisa tenggelam di dalamnya.
"Yah, Sebagai anak laki-laki satu-satunya, aku harus terlihat kuat. Baik di depan keluarga maupun ibuku. Hanya saja, aku juga ingin menangis. Kepergian ayahku juga sangat menyedihkan bagiku ..." Imbuhnya tanpa sadar. Entah kenapa tatapan gadis kecil di sampingnya itu seperti menariknya untuk jujur.
"Kakak boleh menangis sepuasnya di sini. Kalau sudah merasa baik kakak bisa kembali ke ibu kakak ... Sedangkan aku sudah gak ada tempat kembali ..." Jawab gadis kecil itu lirih. Anak laki-laki itu bisa melihat kesedihan dan rasa putus asa yang teramat di matanya.
"Apa yang terjadi?"
"Hari ini mama dan papaku meninggal. Mereka meninggalkanku sendiri tanpa membawaku ..."
Anak laki-laki itu tertegun mendengar penjelasan gadis kecil di sampingnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya keluh seakan tak bisa keluar sepatah katapun. Dengan lembut ia hanya bisa menepuk-nepuk ringan puncak kepala gadis kecil disampingnya.
Gadis kecil itu diam menerima ketulusan dari orang asing di sampingnya. Ia bisa merasakan kehangatan mengalir dari sentuhan lembut di kepalanya sekarang. Walau, hari esoknya masih kelabu. Ia sedikit mendapatkan harapannya lagi. Bahwa, semua akan baik-baik saja.
"Terima kasih ... Aku akan baik-baik saja. Kakak juga harus seperti itu ya ..." Ucap gadis kecil itu dengan senyum diwajahnya. Kali ini anak laki-laki itu bisa sedikit melihat kilatan semangat di kedua matanya.
"Yah, tentu saja." Jawabnya dengan senyum kecil yang juga mulai tersungging diwajahnya.
Dengan lembut anak laki-laki itu mengusap bekas air mata dari kedua pipi gadis kecil di sampingnya itu dengan sapu tangannya.
"Bawalah ini." Ucap anak laki-laki itu menyodorkan sapu tangannya ke arah gadis kecil itu. Ia menerimanya dengan senang hati.
Beberapa saat mereka kembali terdiam. Sampai mereka mendengar beberapa suara orang paruh baya berteriak.
"Ellia ... !!!"
"Ah, aku sedang di cari. Aku harus pergi ... Selamat tinggal kak." Pamit gadis kecil itu, setelah mendengar namanya di panggil.
Belum sempat anak laki-laki itu menjawab, Ellia sudah berlari pergi. Melihat Ellia pergi, ia ingin mengikutinya sampai ia melihat sesuatu yang berkilau di tanah. Ia segera memungutnya. Dan ternyata itu adalah sebuah anting berbentuk bunga mawar. Dan anting itu hanya tinggal sebelah. Ia teringat tadi sepertinya Ellia memakai anting itu.
Tanpa pikir panjang anak laki-laki itu bangkit dan berlari dengan maksud mengembalikan anting yang ditemukannya itu. Tapi, ia sudah terlambat. Ia melihat Ellia masuk ke sebuah mobil dan dengan cepat mobil itu pergi meninggalkan rumah duka.
Ia pun menatap lagi anting kecil ditangannya, kemudian ia genggam erat benda kecil itu sembari teringat perkataan Ellia yang mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.
"Tuan muda Gavin, di sini anda rupanya." Ujar seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas hitam resmi.
"Ada apa pak Hasan?"
"Nyonya Irene mencari anda." Jawabnya sopan.
"Baiklah. Ayo kita kembali ke tempat ibu. Semua akan baik-baik saja." Ucap Gavin yang membuat pria bernama Hasan di sebelahnya merasa terharu dengan ketabahan tuan mudanya itu. Padahal ia baru berusia 13, tahun ini.
Dengan begitu kedua anak malang itu, mulai melangkah menuju ke lembar kehidupan mereka yang baru. Masa depan yang masih abu-abu dihadapan mereka. Mereka yakini akan menjadi cerah pada akhirnya.
Apakah bisa?
.
.
.
Bersambung ...
Dok ... Dok ... Dok ... Dok
"Hei bangun! Sampai jam berapa kau ingin tidur, huh ...?!" Teriak Tevin sembari menendang pintu kayu kamar Ellia.
Ellia langsung terkesiaP bangun dengan terkejut. Gerakan tiba-tibanya itu membuat kepalanya terbentur langit-langit kamarnya.
"Aduh!" Pekiknya meringis kesakitan. Ia mengusap-usap puncak kepalanya. Setelah itu ia segera keluar dan mendapati pamannya menatapnya dengan tajam.
"Dasar pemalas! Kalau kau menumpang, harusnya tau diri ... Sana segera ke dapur dan bantu bibimu membuat sarapan. Pelajarilah dengan baik, ke depannya kau yang harus membuat sarapannya." Kata Tevin mencibir.
"Iya, paman." Jawab Ellia sembari menunduk dan segera menuju ke dapur.
Sebelumnya setelah perdebatan sengit antara kedua paman dan bibinya. Akhirnya, diputuskan bahwa Ellia akan tinggal bersama Tevin, paman pertamanya. Alasannya karna Tevin di pandang paling mampu mengambil tugas itu
Ia hanya memiliki dua anak laki-laki yang saat ini sudah duduk di bangku SMP. Dan terlebih lagi Tevin adalah anak pertama. Jadi, tanggung jawab itu diserahkan padanya. Tak bisa megelak, akhirnya Tevin mau tak mau harus menampung Ellia di rumahnya.
Ellia di tempatkan di ruang kecil di bawah tangga. Sebenarnya ruangan itu terlalu kecil untuk disebut sebagai kamar. Namun, walaupun begitu Ellia tetap menerimanya dengan lapang dada dan senyuman di wajahnya. Tanpa mengeluh sedikitpun.
Dengan sigap ia pun menuju ke dapur dan membantu bibinya di dapur. Walaupun sikap pamannya sangat kasar. Sikap bibi padanya tidak terlalu buruk. Walaupun, bibi sendiri tak bisa banyak membantu Ellia, karna tekanan dari suaminya sendiri.
"Kamu duduk saja di sana Ellia. Biar bibi yang menyiapkan sarapannya." Ucap Dea yang merasa iba pada nasib malang ponakannya itu.
"Enggak masalah kok bi. Ellia akan membantu. Dulu, Ellia juga sering bantu mama masak kok." Jawabnya riang sembari menggulung lengan bajunya agar tak basah saat ia akan mulai mencuci sayuran.
"Baiklah kalo begitu. Tapi, jangan terlalu memaksakan diri ya ..." Dea memberikan senyuman yang tulus dan hangat pada ponakannya itu. Ellia pun merasa perasaannya jadi jauh lebih baik.
"Ehm!" Anggukan kecil diberikan Ellia dengan senyuman cerah dibibir kecilnya.
Setelah sibuk menyiapkan sarapan dan akan selesai Dea menyuruh Ellia segera bersiap untuk pergi ke sekolah. Dan membiarkannya menyelesaikan menata sarapan yang sudah mereka buat itu di atas meja. Tanpa bantahan kali ini Ellia pun menurut. Karna, ia juga tak mau jika harus terlambat sekolah.
Saat ia sudah selesai bersiap-siap dan akan bergabung dimeja makan bersama keluarga pamannya. Lagi-lagi ia mendapatkan perlakuan yang jahat.
"Mau apa kau?" Tanya Doni, anak kedua pamannya saat melihat Ellia akan duduk di salah satu kursi yang kosong.
"Ellia, mau ikut sarapan kak." Jawab Ellia ragu-ragu.
"Heh, sadar diri dong. Kau itu menumpang. Masa' juga mau ikut makan tiga kali juga di sini? Gak sadar kau kalau ayahku sudah banyak keluar uang juga untuk sekolahmu." Seru Dion sepupunya yang paling tua.
Mendengar itu Tevin tak melerai anak-anaknya. Senyum mengejek justru muncul di sudut bibirnya. Sedangkan Dea tak berani membuka suara dan menatap kasihan pada Ellia kecil yang akhirnya tak jadi duduk dan menatap makanan di meja dengan air mata yang sudah mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Mending kau berangkat aja ke sekolah. Aku tak bisa mengantarmu. Kau urus saja dirimu sendiri." Tambah Tevin dengan entengnya dan tanpa menatap Ellia sedikitpun.
"Pa! Ellia masih kecil. Lagian kan kamu juga searah dengannya. Bawalah dia sekalian denganmu." Ucap Dea yang sudah tak tahan dengan kelakuan suami dan kedua putranya.
"Diam saja kau! Dan habiskan makananmu. Jangan ikut campur!" Bentak Tevin pada istrinya.
"Sudah bibi. Ellia gak apa kok. Sekolah Ellia kan dekat. Ellia bisa berjalan kaki ke sana, sekalian olah raga." Ujar Ellia menengahi suasana tegang antara paman dan bibinya. Ia tak mau merusak kedamaian keluarga pamannya. Terlebih ia tak ingin melihat bibinya yang baik dibentak oleh pamannya. Cukup dia saja.
Dengan langkah ringan dan senyum cerah Ellia pamit dan mulai berjalan ke sekolah. Di perjalanan ia selalu merapalkan mantranya berulang kali di dalam hati. Semua pasti akan baik-baik saja, katanya. Dan ia berusaha dengan keras menahan air mata agar tak jatuh membasahi pipinya lagi. Ia ingin berhenti menangis dan harus mencoba kuat.
Begitulah hari-hari panjang dan melelahkan terus berputar di hidup Ellia. Tak terasa waktu terus bergulir hingga empat tahun sudah waktu berlalu semenjak kepergian kedua orang tuanya. Dan dia yang tinggal di rumah pamannya.
Tak seharipun semenjak itu, Ellia merasa hidupnya tenang. Tiap hari ada saja bentakan dari pamannya. Bahkan, bukan hanya sekedar kata-kata saja. Jika, pamannya sudah sangat emosi maka pamannya itu tak segan main fisik. Dan memang itu sudah menjadi kebiasannya ternyata. Bukan hanya padanya saja, pada Dea bibinya, paman juga tak segan-segan main fisik. Itulah kenapa, bibi tak terlalu berani menentang apa kehendak paman.
Tabiat buruk pamannya ini juga sudah di contoh oleh anak-anaknya. Kedua sepupu Ellia itu juga sering sekali membully Ellia. mengacaukam pekerjaan Ellia sampai dia kena marah pamannya. Sudah jadi hal biasa bagi Ellia.
Tak jarang, tubuh kecil Ellia jadi pelampiasan kemarahan pamannya. Lebam dan darah sering kali muncul di tubuhnya. Namun begitu, Ellia berusaha tetap menahan semua rasa sakit itu dan berharap hari esok pasti semua akan baik-baik saja.
Puncak dari semua itu. Saat Ellia sudah lulus dari Sekolah Dasar. Pamannya yang saat itu sedang terhimpit masalah ekonomi, juga ada tuntutan untuk biaya kuliah anak-anaknya, mengusulkan sebuah ide gila.
Pada malam itu, Ellia tak sengaja mendengar pembicaraan paman dan bibinya.
"Aku uda enggak sanggup lagi kalo harus menampung Ellia. Putra-putraku sudah mau kuliah. Daripada aku menyekolahkan anak perempuan yatim piatu sepertinya, mending aku fokus untuk sekolah putra-putraku." Gerutu paman dan bibi hanya bisa diam.
"Dia kan hanya seorang perempuan, gak usahlah sekolah tinggi-tinggi. Sekolah Dasar sudah cukuplah untuknya. Mungkin beberapa tahun lagi dia bisa kita nikahkan dengan orang kaya, supaya kita bisa mendapatkan keuntungan karna sudah membesarkannya." Seru paman yang membuat bibi jadi terkejut.
Begitu pula dengan Ellia. Dia sampai tak bisa berkata-kata mendengar ide gila pamannya itu. Ellia tak kuasa menahan kesedihannya. Ia hanya bisa menangis di dalam ruangan sempit miliknya itu.
Pada malam harinya, saat ia ketiduran karna lelah menangis. Ia terbangun karna mendengar ketukan dari pintu kamarnya. Ia segera membuka dan mendapati bibinya di sana.
"Ellia ... Nak, kamu harus kabur dari sini sekarang. Pamanmu sudah tak waras. Kalo kamu terus di sini, bibi gak tau lagi bagaimana nasib kamu ke depannya nak ... Pergilah dari sini sekarang." Ucap bibinya dengan sorot mata khawatir. Ellia yang masih diliputi rasa bingung akhirnya memutuskan mengikuti saran dari bibinya. Walau dia sendiri tak tahu harus kemana.
"pergilah dan tinggalkan kota ini nak. Coba cari orang bernama Yunus Amerta di kota B. Dia ini kenalan bibi. Orang terbaik yang pernah bibi kenal. Coba kamu temui dia, barangkali dia bisa memberimu bantuan." Ujar bibi sembari menyelipkan sebuah surat dan alamat serta identitas seseorang bernama Yunus tadi di secarik kertas di tangan Ellia, tak lupa bibi juga menyelipkan beberapa lembar uang untuk biaya perjalanannya.
"Terima kasih bibi ... Terima kasih atas bantuan bibi selama ini pada Ellia. Suatu saat nanti, Ellia pasti akan membalas kebaikan bibi." Ucapnya sedih sampai berlinang air mata.
Akhirnya, dengan langkah yang mantap. Ellia berjalan meninggalkan rumah pamannya, mengikuti secuil harapan dari bibinya di kota B.
Bisakah Ellia menemukan kebahagiaan di sana?
.
.
.
Bersambung ...
Malam itu juga Ellia pergi menuju ke kota B menggunakan kereta api. Karna uangnya tak cukup ia memohon untuk menumpang di gerbong barang. Ia duduk di sudut gerbong yang dingin beralaskan koran bekas yang ia temukan di stasiun.
Perjalanan dari kota A ke kota B ini cukuplah panjang. Bisa lebih dari 12 jam perjalanan. Dan sudah dipastikan ia akan sampai di kota B besok pada waktu tengah malam.
Ellia hanya bisa termenung menatap jalanan yang ia liat di sekitarnya bergerak dengan cepat. Tak seperti hidupnya yang terasa lama sekali berputar setelah kematian orang tuanya.
Berulang kali Ellia ingin sekali kabur dari semua ini dan ikut ke tempat orang tuanya berada. Tapi, berulang kali juga Ellia berusaha berpikir positif kalo semua ini akan segera berlalu dan dia akan kembali bahagia.
Begitu juga perjalannya ke kota B. Ia tak bisa menebak nasib apa yang sudah menunggunya diujung jalan panjang itu. Tapi, ia terus meyakinkan dirinya, kalo semua akan baik-baik saja.
Tak terasa waktu berlalu dan sampailah Ellia ke kota B. Ia turun dari kereta api dan melihat sekitarnya. Di sinilah ia akan menjalani hidupnya yang baru. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan berat.
Stasiun masih terlihat ramai walaupun sudah tengah malam. Begitu banyak orang yang berlalu lalang. Banyak juga keluarga-keluarga yang sedang menantikan kedatangan anggota keluarganya yang lain. Saat mereka bertemu, mereka akan berpelukan dengan haru.
Melihat itu, sedikit membuat hati Ellia sesak. Ia kembali teringat akan kedua orang tuanya. Bahkan, ia juga ikut membayangkan bagaimana jika orang tuanya juga hadir dan berdiri diantara orang-orang di sana dan sedang menunggu kedatangannya. Senyum miris muncul di wajah Ellia. Ia segera menepuk kedua pipinya dengan keras, berusaha mengembalikan fokusnya.
"Aku akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja." Lagi-lagi Ellia merapalkan mantra andalannya. Sembari berharap apa yang ia katakan bisa menjadi kenyataan.
Setelah cukup mengembalikan kesadarannya, kini ia dihadapkan masalah baru. Bagaimana ia bisa menemukan teman bibinya, hanya berbekal nama dan alamat. Bagaimana ia bisa kesana tanpa sepeserpun uang? Ellia hanya bisa menatap nanar kerumunan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.
Karna kelelahan juga kelaparan Ellia memutuskan untuk beristirahat sejenak di stasiun itu. Ia duduk di sudut stasiun dengan menekuk lututnya agar tubuh kecilnya tetap hangat di tengah dinginnya malam itu.
"Nak .. Nak bangun .."
Suara asing membuat Ellia terkesiap. Ia mengerjapkan matanya bingung. Sembari berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya matahari yang tenyata sudah bersinar terang. Tanpa sadar ia sudah cukup lama tertidur di stasiun.
"Nak, kamu ingin pergi ke mana?" Tanya seorang pria paruh baya dengan seragam lengkapnya. Sepertinya ia penjaga stasiun.
Ellia yang baru menyadari keberadaan pria itu cukup terkejut. Ternyata suara asing yang membangunkannya itu adalah suara pria itu. Belum sempat Ellia menjawab Pria itu kembali berkata.
"Paman sudah memperhatikanmu dari semalam. Kamu seperti kebingungan. Kamu mau ke mana nak? Bisa paman bantu?" Tanya pria paruh baya itu ramah. Senyumnya yang tulus membuat hati Ellia sedikit menghangat.
"Ah. Halo paman, saya ingin menemui seseorang. Apakah paman kenal orang ini?" Tanya Ellia sembari menunjukkan secarik kertas yang diberikan bibinya.
Pria paruh baya itu menerima secarik kertas tersebut. Ia melihat ada nama dan alamat di sana. Setelah membacanya sekilas ia tersenyum dengan lebar.
"Oh, kamu tamunya Yunus Amerta? Aku mengenalnya cukup baik." Mendengar hal itu mata Ellia berbinar senang. Tak ia sangka, orang pertama yang menawarkan bantuan padanya mengenal orang yang sedang ia cari.
"Benarkah paman? Syukurlah. Apakah alamat itu cukup juah dari sini? Bagaimana cara saya bisa sampai ke sana?" Tanya Ellia ragu-ragu. Ia harus memastikan bisa menemui pria bernama Yunus hari itu juga.
"perjalanan dari stasiun ini ke alamat itu cukup jauh nak. Bisa dua jam berkendara. Kamu bisa naik bus dari stasiun ini ke sana, karna kereta tidak ada yang ke sana." Jawab pria itu menjelaskan.
"Hm, kira-kira berapa ya pak biaya naik busnya?" Tanya Ellia lesu.
Pria itu menangkap ada kegelisahan dalam pertanyaan Ellia. Ia juga mengamati kondisi Ellia waktu itu. Dia bisa membaca apa maksud pertanyaan Ellia.
"Ayo biar paman antar mencari bus di depan stasiun." Ajak pria itu tanpa menjawab pertanyaan Ellia.
Walaupun bingung Ellia hanya bisa mengikuti langkah pria paruh baya di depannya itu dengan patuh.
Sesampainya di depan stasisun, pria itu langsung mengedarkan pandangannya. Tak lama kemudian ia kembali berjalan ke sebuah bus yang memang sedang berhenti menunggu penumpang di sana. Kemudian pria itu menemui kernet bus dan membeli selembar tiket. Ellia mengamati semua aktivitas itu dengan bingung dan bertanya-tanya.
"Naiklah bus ini nak. Pemberhentian terakhir adalah daerah tujuanmu." Ucap pria itu sembari memberi Ellia selembar tiket bus yang baru ia beli.
Ellia cukup terkejut menerima tiket dan kebaikan pria itu. Hari ini pertama kali mereka bertemu. Bahkan, ia sendiri belum mengetahui namanya. Namun, pria paruh baya itu begitu baik padanya.
"Te .. Terima kasih paman. Terima kasih banyak. Saya sungguh gak menyangka paman akan membantu saya. Paman kan belum mengenal saya. Bagaimana cara saya membalas kebaikan paman ini?" Ujar Ellia dengan suara gemetar menahan tangis. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Kebaikan sederhana yang baru ia terima membuat perasaannya campur aduk saat itu.
"Ini hanya hal kecil. Menolong seseorang itu tidak harus kalau sudah kenal. Tidak perlu membalasnya. Cukup suatu saat nanti kalau kamu bertemu paman lagi, jangan lupa disapa ya." Jawab pria itu dengan senyum tulus.
"Baik, tentu saja paman. Sekali lagi terima kasih banyak. Untuk terakhir, boleh saya tau nama paman siapa?" Tanya Ellia.
"Bram. Nama paman Bram. Kalau kamu sudah bertemu Yunus nanti, sampaikan salamku padanya ya." Jawab pria itu yang ternyata namanya Bram. Dan Ellia pun mengangguk sebagai jawaban.
Tak lama kemudian, kernet bus berteriak menandakan bus akan segera berangkat. Bram menyuruh Ellia untuk segera naik ke dalam bus. Ellia menurut, ia segera masuk ke dalam bus dan mengambil tempat duduk di sebelah kaca. Di sana ia bisa melihat Bram.
"Terima kasih paman. Sampai jumpa lagi." Teriak Ellia dari dalam bus. Kemudian ia melambaikan tangan pada Bram. Bram membalas dengan senyum dan lambaian tangan Ellia.
Perlahan bus pun mulai bergerak menjauh meninggalkan stasiun. Lambat laun ia sudah tak lagi bisa melihat Bram. Ellia kembali menyandarkan tubuhnya. Walau kantuk sudah menghilang. Perutnya yang lapar masih meronta ingin diisi.
Ia memeluk perutnya sendiri dengan kencang dan memaksa matanya untuk kembali terpejam saja agar ia tak merasakan laparnya. Sembari menunggu bus itu membawanya ke satu-satunya harapannya. Walaupun kekhawatiran masih terngiang, apakah orang itu mau menerimanya. Ellia menepis semua hal itu dan berusaha berpikir positif saja.
.
.
.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!