Sartika melemparkan piring ke lantai dengan suara berdebum yang menggema di rumah kecil itu. Pecahannya berhamburan, namun Malik hanya diam, duduk di kursi kayu usang dengan kepala tertunduk.
"Kamu ini suami atau bukan, Malik?" bentak Sartika, suaranya bergetar oleh emosi yang sudah lama ia pendam.
"Setiap hari aku harus pusing mikirin utang, sementara kamu? Kerja serabutan yang nggak jelas kapan dapat uangnya!"
Malik mengusap wajahnya yang kusut, napasnya berat. "Aku sudah berusaha, Tik. Aku nggak diam aja."
Sartika tertawa sinis, matanya penuh kemarahan dan kelelahan. "Berusaha? Berusaha itu kalau ada hasil! Bukan pulang dengan tangan kosong tiap minggu! Aku ini capek, Malik. Capek hidup begini terus! Tiap hari dihantui tagihan, makan seadanya, pakai baju yang sama bertahun-tahun!"
Ia menghela napas panjang, suaranya melemah, tapi tetap sarat ketegangan. "Aku ingin seperti orang-orang di luar sana. Makan enak, hidup nyaman. Tidak seperti ini..."
Malik mengangkat kepalanya, menatap istrinya yang kini matanya berkaca-kaca. Amarah dalam dirinya perlahan mendidih.
"Kamu pikir aku nggak capek, Tik?" suaranya mulai meninggi, untuk pertama kalinya ia melawan. "Kamu pikir aku nggak ingin kasih hidup lebih baik buat kamu dan Dinda?"
Ia berdiri, tubuhnya tegang, matanya menusuk tajam. "Aku kerja mati-matian, panas-panasan di sawah, ngangkat batu di proyek, pulang dalam keadaan tubuh remuk. Tapi kamu? Bukannya menghargai, malah terus menyalahkan!"
Sartika menyeka matanya dengan kasar. "Lantas aku harus bagaimana? Diam saja? Aku juga berusaha, Malik! Aku kerja jadi buruh cuci, cari tambahan dari pagi sampai malam. Tapi tetap saja, uang kita nggak cukup! Kamu pikir aku senang hidup seperti ini? Aku juga ingin Dinda punya masa depan!"
Pertengkaran itu semakin memanas, suara mereka saling bertumpuk, penuh emosi dan kelelahan yang tak kunjung usai.
Hingga suara kecil memecah segalanya.
"Ayah... Ibu... kenapa ribut?"
Dinda berdiri di ambang pintu dapur. Matanya yang masih mengantuk menatap mereka dengan kebingungan dan ketakutan.
Sartika terdiam, dadanya naik turun, sementara Malik mengalihkan pandangan, menahan emosi yang bergolak. Keheningan mendadak memenuhi ruangan, hanya suara detak jam dinding yang terdengar.
Dinda melangkah mendekat, suaranya lirih. "Kalian marah karena aku?"
Sartika menahan napas, rasa bersalah menghempasnya begitu saja. Ia segera mendekat, berlutut di depan putrinya, menggenggam tangannya yang kecil dan dingin.
"Tidak, Nak... bukan karena kamu." Suaranya lebih lembut, berusaha menenangkan.
Dinda masih menatapnya dengan mata berkaca-kaca, bibir mungilnya sedikit bergetar. "Tapi Ayah pergi... Ayah marah, ya?"
Sartika menoleh, melihat punggung Malik yang semakin menjauh. Lelaki itu tak mengatakan apa-apa, hanya menarik napas panjang sebelum melangkah keluar dari rumah, meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.
Sartika ingin memanggilnya, ingin menghentikannya. Tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ia hanya bisa menatap bayangannya yang menghilang di balik pintu.
Dinda menggenggam tangannya lebih erat, suaranya bergetar. "Ibu... Ayah nggak akan pergi selamanya, kan?"
Sartika tersenyum getir, menahan perih di dadanya. Ia mengusap kepala putrinya dengan lembut, meski hatinya sendiri dipenuhi ketakutan yang sama.
"Ayah pasti kembali, Sayang..." bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Dinda.
"Kamu masuk ke kamar dulu ya, nanti ibu nyusul." Ucap Sartika sambil membelai rambut Dinda dengan lembut, berusaha menyembunyikan kekacauan di hatinya.
Dinda menatapnya ragu, namun akhirnya menurut. Dengan langkah kecil, ia berjalan kembali ke kamarnya, sesekali menoleh ke belakang, seolah takut ibunya juga akan pergi seperti ayahnya.
Begitu pintu kamar tertutup, Sartika menarik napas dalam dan segera menyusul Malik yang sedang berjalan menjauh dari rumah.
Sartika memanggilnya, dan berkata dengan keras. "Kalau kau pulang dengan tangan kosong, jangan harap bisa kembali ke rumah ini."
Malik menegang, rahangnya mengeras. Ia mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, menahan gejolak yang bercampur aduk. Marah, sakit, dan putus asa.
Ia menoleh, menatap istrinya yang berdiri dengan mata penuh kepedihan, tapi juga ketegasan yang tak bisa digoyahkan.
"Kamu benar-benar tega, Tik?" suaranya rendah, hampir berbisik.
Sartika tak menjawab. Ia hanya menatap Malik dengan mata yang berkilat oleh amarah dan kelelahan yang sudah bertahun-tahun ia pendam.
Malik menghela napas berat, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah pergi, menembus kegelapan malam.
Sartika hanya berdiri di tempat, merasa angin dingin berembus pelan menerpa wajahnya.
Ia masih berdiri di ambang pintu, memandangi jalan setapak yang kini kosong. Bayangan Malik telah menghilang dalam gelap.
Ia menggigit bibir, menahan gelombang perasaan yang berkecamuk. Amarah, penyesalan, ketakutan, semuanya bercampur jadi satu.
Namun, ia menepis rasa iba yang sempat menyeruak. “Kalau aku lembek, kami akan terus hidup seperti ini.”
Sartika menarik napas dalam, lalu masuk ke rumah dan menutup pintu. Matanya melayang ke lantai, melihat pecahan piring yang berserakan. Dengan langkah berat, ia mengambil sapu dan mulai membersihkannya, meski kepalanya masih dipenuhi bayangan Malik yang tidak begitu bisa membuat hidupnya bahagia.
Sementara itu, di sisi lain desa, Malik berjalan tanpa arah. Sepasang tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, tubuhnya diselimuti kelelahan yang tak hanya fisik, tapi juga batin.
"Jadi begini akhirnya..." gumamnya lirih.
Ia ingin marah pada Sartika, tapi di dalam hati kecilnya, ia tahu istrinya tidak sepenuhnya salah. Hidup mereka memang sulit. Dan selama ini, ia belum mampu memberikan yang lebih baik. Setelah dirinya di PHK pihak pabrik.
Malik berhenti di depan warung kopi kecil yang masih buka. Beberapa lelaki duduk di sana, bercengkerama sambil menyeruput kopi hitam.
"Malik? Ngapain malam-malam begini?" tanya seorang pria berusia sekitar lima puluhan, Pak Darto, pemilik warung.
Malik hanya menghela napas dan menarik kursi. "Pesan kopi, Pak."
Pak Darto mengangguk, lalu kembali ke dalam untuk menyiapkan pesanan.
Seorang pria lain, berkaus lusuh dan berbau tembakau, menatap Malik dengan senyum tipis. "Masalah rumah tangga?"
Malik melirik pria itu sekilas. Ia kenal sosok itu. Tarman, lelaki yang dulu pernah satu proyek dengannya di kota.
"Begitulah," jawab Malik pendek.
Tarman terkekeh. "Istrimu ngusir kamu lagi ya?"
Malik diam. Kopi panas yang diletakkan Pak Darto di depannya hanya ia pandangi.
Tarman menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu berbisik, "Kalau kamu butuh uang cepat, aku ada kerjaan buatmu."
Malik mengernyit. "Kerjaan apa?"
Tarman menatapnya lekat-lekat, senyum di wajahnya samar. "Bukan kerja kasar di proyek, tapi bayarannya lumayan. Cuma butuh nyali."
Ada sesuatu dalam cara Tarman berbicara yang membuat Malik merasakan firasat buruk. Namun, di benaknya hanya ada satu hal, ia harus kembali dengan uang.
Jika tidak, Sartika tak akan membiarkannya pulang.
"Kerjaan apa?" ulang Malik, kali ini dengan lebih serius.
Tarman menyeringai. "Ikut aku besok malam, dan kamu akan tahu."
Di rumah, Sartika duduk di samping tempat tidur Dinda yang sudah terlelap. Ia mengelus kepala putrinya dengan lembut, mendengus, menatap langit-langit dengan mata penuh kelelahan. Pikirannya kembali pada Malik, tapi kali ini bukan dengan kecemasan, melainkan kejengkelan yang membakar dadanya.
"Ahhh, sudahlah. Buat apa aku peduli dengan dirinya yang tak berguna menjadi suami?" gumamnya dengan nada penuh kebencian.
Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke dapur, lalu menuangkan segelas air. Tangannya gemetar, bukan karena sedih, tapi karena marah.
"Seharusnya aku tidak menikah dengannya."
Pikiran itu sudah lama ada di benaknya, tapi baru malam ini ia benar-benar mengakuinya. Ia menyesal, sangat menyesal.
"Kalau saja aku memilih pria lain yang lebih kaya, hidupku pasti tidak seperti ini."
Hatinya terasa dingin. Tidak ada lagi kepedulian terhadap Malik. Jika lelaki itu benar-benar pergi dan tak kembali, biarlah.
"Mungkin itu yang terbaik."
Sartika meneguk airnya perlahan, lalu menatap bayangannya sendiri di kaca jendela.
Ia bukan lagi istri yang berharap, menunggu, atau mengkhawatirkan suami.
Ia hanya seorang perempuan yang ingin bertahan hidup, tanpa Malik yang penuh beban.
Keesokan paginya, Sartika terbangun lebih awal dari biasanya. Dinda masih terlelap, wajah polosnya terlihat damai meski malam sebelumnya diwarnai pertengkaran kedua orang tuanya. Sartika menghela napas dan perlahan keluar dari kamar, menuju dapur.
Tangannya lincah menanak nasi dan menyiapkan lauk seadanya. Seharusnya, ada Malik di sini, membantunya menjerang air atau sekadar duduk diam menunggu sarapan. Tapi rumah terasa lebih sepi tanpa sosok suaminya.
Namun, bukan kesedihan yang ia rasakan, melainkan kelegaan.
Tak ada lagi beban yang harus ia tanggung untuk seorang lelaki yang tak bisa diandalkan.
Sartika mengalihkan pandangannya ke luar jendela, berharap ada tanda-tanda Malik kembali. Namun, yang terlihat hanyalah jalanan kampung yang lengang dan sepasang burung pipit yang bertengger di pagar bambu.
"Kalau memang pergi selamanya, ya sudah."
Namun, entah kenapa, ada sesuatu yang menusuk perasaannya.
Di sisi lain desa, Malik terjaga di warung kopi, kepalanya terasa berat. Ia menghabiskan malam dengan duduk diam di bangku kayu, merenungi kata-kata Tarman. Tawaran itu terus terngiang di benaknya.
"Bukan kerja kasar, tapi butuh nyali."
Apa pun maksud Tarman, satu hal yang pasti: itu bukan pekerjaan bersih. Tapi, apa pilihan yang ia punya?
Ia merogoh saku celananya. Uang kertas yang tersisa hanya cukup untuk membeli makan sehari. Jika ia pulang tanpa membawa apa-apa, Sartika tidak akan menerimanya.
Saat itulah, langkah berat mendekat.
"Jadi, sudah pikirkan tawaranku?"
Tarman berdiri di depannya, menyeringai seperti seseorang yang tahu ia telah memenangkan permainan.
Malik menatapnya tajam. Ia tidak ingin terlibat dalam sesuatu yang salah, tapi ia juga tidak bisa pulang dengan tangan kosong.
"Kerjaan apa, Tar?" tanyanya akhirnya.
Tarman tersenyum puas. "Malam ini kita bergerak. Kalau kau serius, datanglah ke gudang tua dekat sungai."
Malik tak langsung menjawab. Ada kegelisahan di dadanya. Namun, saat ia mengingat wajah Sartika yang penuh kebencian dan Dinda yang ketakutan, ia tahu ia tidak bisa pulang dengan tangan kosong.
Siangnya, Sartika menerima kunjungan dari tetangga sebelah, Bu Rahayu. Wanita paruh baya itu membawa sebakul pisang matang dan senyum ramah seperti biasa.
"Kemarin aku dengar ribut-ribut. Malik ke mana?" tanyanya, meletakkan bakul pisang di meja.
Sartika mendengus, melipat tangan di dada. "Entah. Pergi sejak semalam dan belum pulang. Kalau dia nggak balik lagi, mungkin malah lebih baik."
Bu Rahayu menghela napas. "Aku paham kamu capek, Tik. Tapi, jangan sampai menyesal kalau dia pergi untuk selamanya."
Sartika terkekeh sinis. "Kalau dia bisa kasih aku hidup lebih baik, aku nggak akan ngomong begini, Bu."
Bu Rahayu hanya menggeleng, seolah ingin bicara lebih banyak tapi memilih diam. Setelah beberapa saat, ia akhirnya pamit pulang, meninggalkan Sartika yang sibuk menjemur pakaian.
Saat Sartika sedang menjemur pakaian di halaman belakang, sebuah suara familiar membuatnya menoleh.
"Tik?"
Seorang wanita berdiri di luar pagar bambu, tersenyum lebar. Sartika butuh beberapa detik untuk mengenali wajah itu, tapi begitu sadar, matanya membulat.
"Sri?"
Sri mengangguk, melangkah mendekat dengan wajah berseri-seri. Pakaiannya rapi, rambutnya tertata dengan baik, dan kulitnya tampak lebih terawat dibanding terakhir kali Sartika melihatnya bertahun-tahun lalu.
"Ya ampun, Sri! Kamu pulang ke desa?"
Sri tertawa kecil. "Iya, baru seminggu ini. Kangen rumah, jadi sekalian pulang lihat orangtua."
Sartika mengusap tangannya yang masih basah karena cucian, lalu membuka pagar dan mempersilakan Sri masuk. Keduanya duduk di bangku kayu kecil di bawah pohon mangga.
"Kamu sekarang tinggal di mana, Sri?" tanya Sartika, memperhatikan betapa temannya itu terlihat jauh lebih baik dibanding dulu.
"Aku kerja di luar negeri, Tik," jawab Sri dengan bangga. "Jadi asisten rumah tangga di Malaysia."
Sartika membelalakkan mata. "Serius? Sendirian?"
Sri mengangguk. "Iya. Awalnya takut, tapi ternyata nggak seburuk yang kupikir. Majikanku baik, gajinya juga lumayan. Bisa nabung buat masa depan."
Sartika terdiam sejenak, matanya menerawang. "Enak ya, kalau bisa kerja di sana. Hidup pasti lebih nyaman."
Sri menepuk tangan Sartika dengan lembut. "Kamu bisa coba juga, Tik. Kalau benar-benar capek hidup seperti ini, kenapa nggak cari peluang yang lebih baik?"
Sartika menghela napas berat. "Aku pengen, Sri. Tapi, ya gimana? Aku punya anak. Terus Malik..."
"Kamu pikirin Dinda," potong Sri.
"Kalau kamu kerja di sana, kamu bisa kasih dia hidup yang lebih layak. Sekolah bagus, makan cukup, baju bagus. Nggak kayak sekarang, kan?"
Kata-kata itu menghujam ke dalam hati Sartika. Sejak dulu, ia ingin kehidupan yang lebih baik, tapi selalu terjebak dalam kemiskinan. Jika Sri bisa berhasil, kenapa ia tidak?
"Caranya gimana?" tanya Sartika akhirnya, suaranya lebih pelan.
Sri tersenyum, melihat ada harapan dalam mata temannya. "Aku bisa bantu urus. Ada agen yang urus semuanya, asal niat, pasti bisa."
Sartika menggigit bibir, pikirannya berkecamuk. Ia ingin lepas dari penderitaan ini. Ingin masa depan yang lebih baik untuk dirinya dan Dinda.
Sartika menatap Sri dengan campuran harapan dan keraguan. "Tapi... prosesnya gimana? Aku takut ketipu, Sri. Banyak yang bilang ada agen abal-abal yang ujung-ujungnya malah bikin susah."
Sri tersenyum meyakinkan. "Makanya kamu harus hati-hati. Aku dulu juga khawatir, tapi aku dapat agen yang resmi. Mereka bantu urus paspor, visa, pelatihan, semuanya sampai berangkat. Kalau kamu mau, aku bisa kenalin sama mereka."
Sartika menghela napas, jari-jarinya meremas kain jemuran yang masih setengah basah. Ia memikirkan Dinda—anaknya butuh masa depan yang lebih baik. Tapi meninggalkan kampung, meninggalkan Dinda... apakah ia sanggup?
"Kalau aku pergi, siapa yang jaga Dinda?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Sri menyandarkan punggung ke kursi kayu. "Kamu masih punya keluarga, kan? Mungkin bisa titip ke ibumu atau saudara. Banyak kok yang begitu, Tik. Aku juga dulu berat ninggalin anak, tapi sekarang aku bisa kirim uang buat sekolahnya. Hidupnya jadi lebih baik."
Kata-kata itu menusuk hati Sartika. Dinda memang masih kecil, tapi apakah lebih baik membiarkannya hidup dalam kemiskinan bersama seorang ayah yang tak bisa diandalkan?
"Aku butuh waktu buat mikir," kata Sartika akhirnya.
Sri mengangguk, seolah sudah menduga jawaban itu. "Nggak apa-apa. Kalau kamu siap, kasih tahu aku. Aku bantu semuanya."
Sartika menatap Sri yang kini terlihat lebih mapan, lebih percaya diri. Hati kecilnya berkata, mungkin ini kesempatan yang sudah lama ia tunggu.
Dan mungkin, ini jalan keluar dari penderitaannya.
Setelah Sri pulang, Sartika duduk termenung di bangku kayu, pikirannya penuh pertimbangan. Tawaran Sri menggoda, tapi juga menakutkan. Pergi ke negeri orang bukan perkara mudah, dan meninggalkan Dinda adalah keputusan terbesar dalam hidupnya.
Saat matahari mulai condong ke barat, suara kecil memecah lamunannya.
"Ibu..."
Dinda berdiri di ambang pintu, matanya yang polos menatap Sartika dengan bingung.
"Laper..."
Sartika buru-buru bangkit, mengelus kepala anaknya dengan lembut. "Iya, Nak. Ibu buatkan makanan, ya."
Dinda mengangguk pelan, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Sartika menatap punggung kecil itu dengan perasaan campur aduk.
Jika ia pergi, Dinda tak perlu lagi merasa lapar. Tak perlu lagi tidur dalam gelap karena listrik dipadamkan. Tak perlu lagi memakai baju bekas yang sudah lusuh.
Tapi... apakah Dinda akan baik-baik saja tanpa dirinya?
Sartika menghela napas panjang. Ia butuh waktu, tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu... keputusan itu semakin dekat.
Sartika masuk ke dapur dan membuka tudung saji. Kosong. Hanya ada piring kotor dan gelas bekas air putih.
Ia menelan ludah, lalu membuka lemari kayu tempat biasa ia menyimpan beras. Tangannya meraba dasar wadah yang nyaris kosong, hanya tersisa beberapa butir beras yang bahkan tak cukup untuk sepiring nasi.
Hatinya mencelos.
Dinda masih berdiri di ambang pintu, menunggu dengan mata polosnya.
"Ibu, makanannya mana?"
Sartika tersenyum tipis, menyembunyikan kepedihan yang menghantam dadanya. "Ibu cari dulu, ya, Nak. Kamu tunggu sebentar."
Dinda mengangguk, lalu duduk di lantai dapur, mengayunkan kakinya yang kurus.
Sartika melirik ke luar. Langit mulai gelap, tapi Malik belum juga pulang. Suaminya sering seperti itu, menghilang entah ke mana, pulang hanya saat butuh makan atau uang. Jika pun pulang, ia mungkin hanya membawa sebotol tuak dan aroma mabuk yang menyengat.
Air mata menggenang di pelupuk matanya.
Perutnya juga lapar, tapi ia tak sanggup melihat Dinda kelaparan.
Dalam benaknya, kata-kata Sri kembali terngiang: "Kalau kamu kerja di sana, kamu bisa kasih Dinda hidup yang lebih layak."
Sartika mengepalkan tangan.
Keputusan Sartika berat, tapi kebutuhan untuk memberi Dinda kehidupan yang lebih baik semakin mendesaknya. Apakah ia akan benar-benar meninggalkan kampung halamannya dan anaknya demi masa depan yang lebih cerah? Atau ada pilihan lain yang bisa ia ambil?
Dinda kembali bertanya dengan suara lirih, "Ibu, makanannya mana?" dan suara langkah berat terdengar dari depan rumah, perlahan mulai mendekat.
Sartika menoleh dan melihat Malik masuk dengan mendorong pintu bambu yang reyot dan melangkah masuk dengan lelah, tapi matanya tetap menatap Sartika dengan wajah tanpa ekspresi.
Sartika langsung berdiri, matanya menyala penuh amarah. "Kamu dari mana, Malik?"
Dinda masih duduk di lantai dapur, tatapan polosnya beralih ke ayahnya. "Ayah... makanannya mana?" tanyanya lagi dengan suara lirih.
Sartika menahan napas, berharap Malik akan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebungkus nasi, sekeping roti, apa pun. Tapi lelaki itu hanya berdiri di ambang pintu, tak membawa apa-apa.
Sartika merasakan kemarahan membakar dadanya. Ia bangkit, tangannya mengepal.
"Mana makanan buat anakmu, Malik?" suaranya bergetar menahan emosi.
Malik menghela napas berat, lalu duduk di lantai, menyandarkan punggung ke dinding. "Nggak ada," jawabnya singkat.
"Nggak ada?" Mata Sartika membelalak.
"Kamu seharian ke mana aja? Aku di rumah nahan lapar, Dinda juga kelaparan, sementara kamu pulang dengan tangan kosong?!"
"Aku nyari kerja, Tik," kata Malik, suaranya datar. "Tapi nggak ada yang mau nerima. Aku udah keliling dari pagi."
"Dan kamu nggak bawa apa pun? Bahkan satu butir telur pun nggak?"
Malik tak menjawab, hanya menatap lantai dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Sartika mendekat, suaranya meninggi. "Kalau memang nggak bisa kasih makan anak, kenapa kamu nggak cari cara lain? Pinjam ke tetangga, cari kerja serabutan, apa kek! Jangan pulang dengan tangan kosong dan berharap kita bisa makan angin!"
Malik tetap diam, tapi rahangnya mengeras.
Sartika merasa dadanya sesak. Air matanya hampir jatuh, tapi ia menahannya. Ia tak ingin Dinda melihat ibunya menangis.
"Kalau begini terus, kita bakal mati kelaparan, Malik," lanjutnya, suaranya lebih pelan tapi penuh kemarahan. "Aku nggak bisa biarin Dinda hidup begini. Aku nggak bisa!"
Dinda hanya diam, menatap kedua orang tuanya dengan bingung.
Malik akhirnya mengangkat wajah, menatap Sartika dengan mata lelah. "Aku udah coba, Tik..." katanya pelan.
"Tapi nggak cukup, Malik," potong Sartika tajam. "Usaha kamu nggak cukup."
Keheningan menyelimuti mereka. Angin malam berembus pelan dari jendela yang terbuka, membawa hawa dingin ke dalam rumah yang sudah lama kehilangan kehangatan.
Sartika menatap suaminya dengan getir. Ini bukan pertama kalinya Malik pulang dengan tangan kosong. Dan mungkin, bukan yang terakhir.
Dalam benaknya, keputusan yang tadi terasa begitu sulit kini perlahan mulai menjadi jawaban yang paling jelas.
Sartika mengepalkan tangan, menahan amarah yang hampir meluap. Namun, sebelum kata-kata tajam kembali meluncur dari bibirnya, ia tiba-tiba teringat sesuatu. Bakul kecil di pojok dapur.
Matanya bergerak cepat ke sudut ruangan, ke arah bakul anyaman yang tadi siang diberikan oleh Bu Rahayu, tetangga sebelah. Dengan langkah tergesa, ia berjalan ke sana dan membuka tutupnya.
Benar saja. Masih ada beberapa buah pisang di dalamnya.
Sartika menghela napas lega. Setidaknya, malam ini Dinda tidak perlu tidur dengan perut kosong.
"Dinda, sini nak," panggilnya lembut.
Dinda segera menghampiri, matanya berbinar saat melihat pisang di tangan ibunya. Tanpa ragu, ia mengambil satu dan mulai memakannya dengan lahap.
Sartika tersenyum tipis, meski hatinya tetap sesak. Ini bukan makanan yang layak untuk anaknya, hanya sekadar mengganjal perut. Sampai kapan mereka harus hidup seperti ini?
Ia melirik Malik yang masih duduk bersandar di dinding, menatap Dinda dengan tatapan kosong. Tidak ada rasa bersalah di wajahnya, tidak ada inisiatif untuk berkata apa pun.
Sartika menghela napas panjang. Ia tak bisa terus begini.
Pikirannya kembali melayang pada tawaran Sri.
Mungkin... memang sudah waktunya.
Sartika duduk di bangku kayu di depan rumah Sri, jari-jarinya saling bertaut, pikirannya masih kalut. Sri menatapnya dengan penuh harap, menunggu jawaban yang belum juga keluar.
"Gimana, Tik? Kamu mau pergi ke luar negeri?" tanya Sri, suaranya lembut tapi tegas.
Sartika menghela napas panjang. Sejak pertemuan terakhir mereka, pikirannya tak pernah berhenti berputar. Malam-malam ia terjaga, memikirkan Dinda, memikirkan Malik, memikirkan hidup mereka yang tak pernah membaik.
"Aku... aku masih ragu, Sri," akhirnya ia berujar.
Sri tersenyum tipis. "Aku ngerti. Keputusan ini nggak gampang. Tapi kamu sendiri yang bilang, Tik. Kamu nggak mau Dinda terus-terusan hidup susah."
Sartika menggigit bibirnya. Matanya terasa panas. "Aku takut ninggalin dia... Aku ibunya, Sri. Kalau aku pergi, siapa yang bakal jaga dia?"
Sri mencondongkan tubuhnya, menatap Sartika penuh keyakinan. "Kamu nggak ninggalin dia, Tik. Kamu berjuang buat dia. Ini bukan soal pergi dan melupakan. Ini soal berkorban supaya Dinda punya masa depan."
Sartika menunduk, hatinya mencelos. Apa Sri benar? Apakah ini pengorbanan yang memang harus ia lakukan?
Sri menghela napas, lalu meraih tangan Sartika. "Dengar, Tik. Aku nggak maksa. Aku cuma kasih jalan. Kalau kamu siap, aku bisa bantu urus semuanya."
Sartika menggigit bibirnya, pikirannya berkecamuk. Ia harus mengambil keputusan. Dan kali ini, ia tak bisa lagi menunda.
"Besok, aku sudah akan pergi ke Jakarta untuk mengurus beberapa dokumen buat beberapa orang yang sudah mendaftar," ujar Sri, menatap Sartika dengan harapan.
Sartika menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Waktu terasa bergerak lebih cepat dari yang ia duga.
"Kalau kamu serius, Tik, ini kesempatanmu," lanjut Sri. "Aku bisa daftarin kamu sekarang. Tapi kalau kamu masih ragu, aku nggak bisa janji kapan ada kesempatan lagi."
Sartika menggigit bibir. Bayangan Dinda yang kelaparan semalam kembali menghantam pikirannya. Malik yang pulang dengan tangan kosong, tanpa rasa bersalah, masih jelas dalam ingatannya.
"Aku..." suaranya tercekat.
Sri menunggu, membiarkan Sartika bergulat dengan pikirannya sendiri.
Sartika mengembuskan napas berat. Lalu, dengan suara nyaris berbisik, ia akhirnya berkata:
"Apa yang harus aku lakukan kalau mau ikut?"
"Gampang, Tik. Kamu cuma perlu menyerahkan fotokopi ijazah terakhirmu, KTP, dan Kartu Keluarga. Satu lagi, ada biaya pendaftaran sekitar lima juta rupiah. Uang ini digunakan untuk proses administrasi sebelum keberangkatan, seperti pengurusan dokumen dan pelatihan dasar."
Sri menatap Sartika dengan yakin. "Kamu nggak perlu khawatir, ini aman. Nggak seperti agen abal-abal yang banyak menipu orang di luar sana. Aku sendiri sudah melalui proses ini, dan buktinya aku bisa kerja dengan baik di Malaysia. Kita sudah berteman lama, Tik. Masak kamu masih nggak percaya sama aku?"
Sartika terdiam. Lima juta. Jumlah yang terasa mustahil baginya saat ini. Untuk makan sehari-hari saja ia harus berpikir keras, apalagi mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.
"Tapi aku nggak punya uang sebanyak itu, Sri," ujarnya lirih.
Sri tersenyum, seolah sudah menduga jawabannya. "Aku ngerti, Tik. Banyak yang kayak kamu. Makanya biasanya mereka minjem dulu ke orang yang bisa bantu. Atau kalau kamu mau, aku bisa coba tanyain ke agen, kadang mereka kasih opsi potong gaji nanti setelah kamu kerja di sana."
Sartika menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat. Ia ingin pergi, ingin mengubah hidupnya dan Dinda. Tapi uang lima juta? Ia bahkan tak tahu harus mencari ke mana.
"Kalau kamu serius mau berangkat, cari cara buat dapat uangnya, Tik," lanjut Sri. "Jangan sia-siakan kesempatan ini."
Sartika menghela napas, merasa ada beban besar menekan dadanya. Jika ini satu-satunya jalan, apa ia sanggup melakukannya?
Sartika menunduk, jemarinya meremas ujung kain lusuh yang membalut tubuhnya. Lima juta... jumlah yang terasa seperti jurang tak terjangkau.
"Aku nggak tahu bisa dapat uang sebanyak itu dari mana, Sri," suaranya lirih, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Sri menatapnya dengan sabar. "Aku ngerti, Tik. Tapi kalau kamu benar-benar mau pergi, pasti ada jalan."
Sartika menghela napas panjang. Meminjam? Dari siapa? Ia tak punya harta untuk dijadikan jaminan, tak ada sanak keluarga yang cukup berada untuk membantunya.
Sri menatapnya dengan penuh pengertian, lalu berkata, "Ya udah, Tik. Nanti jam lima sore kau datang aja ke sini, bawa uangnya. Kalau memang serius mau berangkat, ini kesempatanmu."
Sartika menelan ludah, hatinya berdegup kencang. "Besok pagi-pagi sekali aku harus sudah sampai di bandara," lanjut Sri. "Jadi kalau kamu benar-benar mau ikut, semuanya harus beres hari ini."
Sartika hanya bisa mengangguk pelan. Ia tahu, waktu yang tersisa semakin sedikit. Jika ia ingin mengambil kesempatan ini, ia harus menemukan cara untuk mendapatkan uang itu, dan harus segera.
Sartika menggigit bibirnya, pikirannya masih berkecamuk, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan.
"Baiklah, Sri. Aku akan usahakan."
Sri tersenyum lega. "Bagus, Tik. Aku tunggu sampai jam lima sore, ya. Kalau kamu berhasil kumpulin uangnya, kita bisa langsung urus pendaftarannya."
Sartika menghela napas, dadanya terasa sesak. Lima juta bukan jumlah yang kecil baginya. Tapi ini kesempatan yang tak bisa ia sia-siakan.
"Aku pergi dulu, Sri. Aku harus cari cara."
"Semangat, Tik. Aku yakin kamu bisa," ujar Sri sambil menepuk bahu Sartika dengan penuh keyakinan.
Sartika melangkah pergi, hatinya masih ragu, tapi ada tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya. Ia harus menemukan cara, demi masa depan Dinda.
Sartika berjalan pulang dengan langkah berat. Hatinya dipenuhi kegelisahan. Lima juta rupiah, jumlah yang terasa mustahil baginya. Tapi jika ia tak mendapatkannya, maka kesempatan untuk pergi ke luar negeri dan mengubah hidupnya akan lenyap begitu saja.
Setibanya di rumah, ia melihat Dinda duduk di lantai dengan perut kosong. Anak itu menatapnya dengan mata penuh harap.
"Ibu, kita makan apa?" tanya Dinda dengan suara lirih.
Sartika menghela napas panjang. Ia teringat bakul berisi pisang pemberian Bu Rahayu. Dengan cepat, ia mengambilnya dan mengupas satu untuk Dinda.
"Makan ini dulu, ya, Nak."
Dinda menerima pisang itu tanpa banyak bertanya, langsung menggigitnya dengan lahap. Sartika menatap anaknya dengan perasaan campur aduk. Jika ia tetap di sini, Dinda akan terus hidup dalam kesulitan.
Sartika mengepalkan tangannya. Ia harus mencari cara untuk mendapatkan uang itu.
Tapi bagaimana? Dari siapa?
Pikirannya berputar-putar mencari jawaban, sementara matahari perlahan condong ke barat. Waktu terus berjalan, dan ia tak punya banyak pilihan.
Sartika terkejut saat Malik masuk ke rumah dengan sebuah tas besar, tampak berat dan berisi.
Malik, memperlihatkan sejumlah uang yang terlihat banyak itu membuat hatinya berdebar. Sejumlah uang yang cukup banyak sekitar sepuluh juta, ataupun lebih.
Dari mana Malik bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam keadaan yang serba sulit seperti sekarang?
"Uang siapa ini, Mas?" Sartika bertanya, suaranya mengandung ketegasan. "Kau dapat dari mana? Apa kau mencuri?"
Malik terdiam sejenak. Wajahnya yang biasanya banyak bicara tampak sedikit canggung. Ia meremas tas itu lebih erat, seolah mencari-cari alasan yang tepat.
"Ada pekerjaan, Tik," jawabnya akhirnya, dengan suara yang terdengar sedikit terdesak. "Aku... bantu-bantu orang. Cuma kerja kecil-kecilan."
Sartika menatapnya tajam. Ia tahu ada yang disembunyikan, tapi tidak tahu pasti apa itu. Pekerjaan macam apa yang bisa memberinya uang sebanyak itu dalam waktu singkat?
"Kerja kecil-kecilan?" Sartika menimpali, masih tidak puas dengan jawabannya. "Sebegitu banyaknya? Malah lebih banyak dari gaji sebulan kerja di kota, Mas. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Malik menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Kamu nggak perlu khawatir, Tik. Uangnya halal kok. Aku nggak ngelakuin hal yang buruk. Udah, jangan dipikirin, yang penting kita bisa makan enak sekarang."
Sartika menatap Malik dengan mata yang dipenuhi tekad. "Kalau begitu, aku pakai uang ini buat kerja ke luar negeri ya, Mas," katanya, dengan harapan bahwa uang yang dibawa Malik bisa menjadi jalan keluarnya. Ini adalah kesempatan yang hampir mustahil didapatkan, dan ia tak ingin menyia-nyiakannya.
Namun, Malik tampak kaku mendengar perkataan itu. Wajahnya berubah, dan ia menatap Sartika dengan tatapan serius.
"Tidak, Tik. Kau nggak bisa pergi," jawab Malik, nada suaranya tegas, jauh dari sikapnya yang biasanya santai. "Aku nggak setuju kalau kamu pergi."
Sartika terkejut, rasa marah mulai membara di dadanya. "Kenapa? Ini kesempatan buat kita keluar dari kesulitan, Mas. Kamu tahu itu. Kalau aku bisa kerja di luar negeri, kita bisa hidup lebih baik, Dinda bisa punya masa depan yang lebih cerah!" suaranya mulai meninggi, tak bisa menahan kekecewaannya.
Malik meremas tas yang ada di tangannya, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku nggak mau kamu jauh dari Dinda. Dia masih butuh kamu di sini, Tik. Kamu nggak bisa meninggalkan dia. Aku nggak bisa biarkan kamu pergi."
Sartika merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya, tapi rasa frustrasi lebih besar. "Jadi kamu lebih memilih aku tetap di sini, hidup menderita, tanpa harapan? Apa kamu nggak peduli dengan masa depan kita, Mas? Aku nggak bisa terus hidup seperti ini!"
Dia berdiri, melangkah menjauh, perasaan marah dan kecewa semakin membesar. "Kamu nggak ngerti apa yang aku butuhkan, Malik. Aku butuh kesempatan ini."
Malik berdiri dan dengan cepat mendekatinya. "Sartika, tolong, dengarkan aku. Ini bukan soal kamu pergi atau nggak. Aku nggak ingin kamu terjerumus dalam hal-hal yang nggak jelas hanya demi uang. Aku tahu kamu punya banyak beban, tapi kita bisa cari jalan lain."
Sartika menatap Malik dengan tatapan tajam, bibirnya bergetar menahan amarah. "Tapi kita nggak punya waktu, Malik! Kalau aku nggak pergi sekarang, kesempatan ini hilang, dan kita tetap terjebak di sini."
Hening sejenak di antara mereka, hanya ada suara napas berat yang terdengar. Sartika merasa terjebak antara cintanya pada Malik, rasa tanggung jawabnya pada Dinda, dan impian untuk mengubah hidup mereka.
"Malik, aku butuh ini. Aku butuh kamu untuk mendukungku. Aku butuh kamu untuk percaya pada keputusan ini." suara Sartika mulai terdengar lebih lembut, namun penuh harapan.
Malik menatapnya dengan raut wajah yang keras, namun dalam matanya ada keputusasaan yang mendalam. "Aku nggak bisa. Aku nggak bisa izinkan kamu pergi."
Sartika merasa hatinya hancur. Marah, kecewa, dan bingung, ia berbalik dan berjalan keluar dari rumah, meninggalkan Malik yang terdiam di dalam.
Ia harus membuat keputusan, dan ia tahu kali ini, ia tak bisa bergantung pada orang lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!