Langkah kaki terdengar jelas dalam telinga, begitu juga dengan sorot mata yang tajam seolah ingin menerkam mangsa yang ada di depannya.
Bug!
Satu pukulan di berikan cukup keras.
"Ampun!" Teriakan kesakitan nyaring terdengar.
Namun tidak berhenti begitu saja, satu tangan diinjak hingga jeritan didengar kembali.
"Cukup, Aku mohon, hentikan!"
Sudut bibir tertarik seketika, senyuman sinis tercipta di dalam wajah tegas, tampan nan rupawan, namun ke macoannya terlihat nyata, tentu semua wanita begitu memuja dan menggilai nya.
"Kau mengambil yang bukan hak mu dengan paksa"
Laki-laki yang di lepaskan itu beringsut mundur mencari jarak aman, lalu memegangi tangannya yang terasa sangat sakit, begitu juga dengan wajahnya yang nyeri karena pukulan berkali-kali.
"Aku terpaksa mengambil uangnya" ucapnya membela diri.
"Kau benar-benar brengsek, dia saudaramu, tega kau melakukan itu!"
"Come on Ev, aku benar-benar terpaksa"
"Karena hobimu berjudi dan main perempuan?, dasar kamu baji-ngan Glen!"
Bug!
Kali ini, tendangan kaki di berikan, cukup keras, hingga membuat satu teriakan terdengar kembali.
Lalu Evan mengambil sebuah berkas di laci meja kerja Glen yang tak jauh dari tempatnya, sebuah surat kepemilikan Apartemen di dapatkan dan senyuman segera mengembang.
"Apa yang kau lakukan, jangan Ev, itu satu-satunya hartaku yang tersisa!" Glen memohon dengan wajah melasnya.
"Dan uang yang kau ambil dari saudaramu itu juga harta paling berharga yang dia punya" jawaban yang membuat Glen akhirnya pasrah dan terdiam di tempatnya.
Evan keluar begitu saja, bahkan menutup pintu dengan hentakan kakinya hingga menimbulkan suara yang menggema, beberapa orang yang ada disana sampai terkejut dan tak berani berkata apapun.
Keluar dari gedung perusahaan yang tak begitu besar, Evan menghampiri sosok laki-laki yang sedari tadi menunggu di dekat Motor Sport mewahnya.
"Ini, jual dan pakai uangnya" ucap Evan.
"Apa?, ini Surat Apartemen Ev"
"Aku juga tau hal itu"
"Tapi uang yang diambil sepupuku tidak sebanyak nilai Apartemen ini"
"CK, jangan dibikin pusing, anggap sisanya bonus untukmu karena bertahun-tahun mengalah pada baji-ngan itu Dix"
"Baiklah, Terimakasih Ev" Dixon menatap lelah pada surat kepemilikan yang berada di genggamannya.
"Ada apa lagi?" Tanya Evan melihat gelagat aneh pada orang yang sudah dianggap sahabatnya saat ini.
"Aku bingung, harus menjualnya pada siapa, aku hanya butuh uang saat ini untuk pengobatan ibuku Ev"
"Oh my _"
Sret
Evan langsung menyambar surat itu dan memasukkan ke dalam tasnya, tentu membuat Dixon terkejut.
"Apa yang kau lakukan?" Dixon masih belum mengerti.
"Kirin nomer rekening mu, dan aku akan mentransfer nya"
"What?!" Kau yang akan membelinya?" Tentu Dixon sangat senang.
"Bukan, aku akan menjualnya ke seseorang, dan uangnya akan aku berikan padamu" ucap Evan, membuat Dixon menganggukkan kepala tanda mengerti.
Lalu terdengar suara Motor Sport sudah melesat memasuki jalanan yang ramai, tentu aksi Evan membuat mata para wanita yang ada disana terpesona, dan membayangkan jika akan memeluk Evan diatas motor mewahnya.
Menuju ke sebuah perumahan mewah yang ada di kota Jepang, Evan yang sudah hampir satu tahun berada disana kini berjalan santai memasuki pintu yang sudah terbuka untuk menyambutnya.
"Hai Uncle" ucapnya menyapa.
"Kau ini, mengejutkan ku saja, tumben kesini pagi-pagi, ada apa?" Tanya seorang laki-laki yang dipanggil Evan dan terlihat sibuk dengan beberapa kertas diatas meja.
"Tukar ini dengan uang, bagaimana Uncle Daniel?"
Daniel hanya menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan kelakuan anak dari sahabat sekaligus mantan atasannya dulu, sungguh beda perangainya dengan saudara-saudara nya yang lain.
"Apa lagi ini, kamu beralih profesi jadi perampas hak milik?" Ucap Daniel sambil membuka dan mempelajari surat kepemilikan Apartemen dikawasan kota.
Terdengar suara tawa, Evan lalu duduk dan memainkan benda yang ada ditangannya, pisau kecil dalam lipatan tangan yang di belitkan di jari-jari tentu membuat pemandangan ngeri.
"Hentikan itu Ev, membuat ku tak bisa konsentrasi" Daniel memperingati.
Evan menurut, lalu bergeser di sebelah jendela besar dengan pemandangan kota yang sangat indah di pandang mata.
"Amazing, pantas Uncle betah disini"
Ucapkan yang tak di gubris Daniel sama sekali, sosok orang yang sudah berusia tak muda lagi itu masih mengamati dan sesekali meraih ponsel mengetikkan sesuatu.
"300 juta, itu harga yang paling bagus, bagaimana?"
"Okey, aku setuju, Uncle tidak lupa nomer rekeningku kan?"
Daniel hanya menggelengkan kepala, lalu melakukan transaksi dalam ponsel, sementara Evan sudah berlalu begitu saja dengan mengucap salam sebelum keluar ruangan pamannya.
Motor kembali melaju, menyambut senja yang telah datang, dan di sebuah Cafe yang masih ramai, Evan akhirnya berhenti disana, memesan minuman segar untuk membasahi kerongkongannya.
"Ev, ini pesanan mu"
"Thanks Dix, apa jam kerjamu masih lama?"
"Tidak Ev, satu jam lagi aku selesai"
"Hem, aku tunggu"
"Okey" Dixon segera pergi untuk melanjutkan pekerjaan, rupanya Cafe tempatnya bekerja memang tak pernah sepi.
Tak berselang lama, suara alarm dalam ponsel berbunyi, setelah membuat para wanita yang ada disekitarnya tersenyum malu-malu saat mendapat tatapan nakalnya, Evan pergi ke arah samping cafe dan menemukan tempat yang membuatnya suka.
"Akhirnya" gumamnya lirih dalam senyuman, lalu mengambil tempat membasuh muka dan melakukan bersuci untuk melakukan ibadah wajibnya.
Hanya butuh waktu kurang dari 10 menit, semua sudah dilakukan dengan khusuk, lalu Evan kembali ke tempat semula dengan sisa minuman yang seketika di habiskan.
"Bagaimana Ev?"
"Kamu sudah selesai Dix?"
"Hem, kita disini atau_"
"Disini saja, aku sudah mengirim uangnya ke nomer rekeningku, periksalah"
"Apa?, secepat ini?" Dixon sangat terkejut dan segera meraih ponselnya.
"Bukannya kamu perlu uang itu secepatnya"
"Iya,tapi_, what!!" Terdengar Dixon memekik, sontak membuat keberadaannya dengan Evan semakin menjadi pusat perhatian.
"Ev, ini terlalu banyak" ucap Dixon masih tak percaya dan meng cek beberapa kali.
"Ibu mu butuh operasi secepatnya, biaya rumah sakit juga tidak sedikit untuk perawatan lanjutan, gunakan semua uang itu dengan baik, tabung sisanya"
"Ev, sungguh, dengan apa aku membalasnya?" Dixon menunduk, menyembunyikan rasa haru yang akan membuat bulir air mata mengalir.
"Jangan senang dulu, sisanya aku anggap hutang, dan kembalikan jika kamu sudah sukses nantinya"
"What!"
Evan langsung tertawa, sungguh pesonanya semakin terlihat nyata, dan Dixon langsung membungkam mulut sahabatnya.
"Diam, kita pergi, wanita disini bisa gila melihatmu terus-terusan"
"Ish!" Evan langsung membuang tangan Dixon untuk menyingkir.
Berganti dengan Dixon yang tertawa akan kelakuan Evan, tak lama, keduanya segera berpisah setelah keluar bersama dari Cafe.
Sementara Dixon ke Rumah Sakit untuk menemui ibunya, Evan pergi ke sebuah Taman yang tak jauh dari pusat kota dengan pemandangan lengkap sebuah danau indah berada di sekitarnya.
"Hampir satu Tahun" gumamnya lirih.
Jangan lupa KOMENnya, LIKE, VOTE, HADIAH dan tonton IKLANNYA.
Bersambung.
Hembusan nafas dalam terdengar, begitu tenang se tenang pemandangan malam yang terhampar di depannya saat ini, tak lama kemudian terasa sesuatu yang bergetar di saku celananya, Evan segera mengambil dan mengangkat panggilan.
"Halo Mom, ada apa?" Tanya nya.
"Dimana kamu sekarang sayang?" terdengar suara kekhawatiran seorang wanita.
"Aku ada di Jepang Mom, bukankah mommy sudah tau hal ini?"
"Ish, bukan itu, mommy hanya ingin memastikan kamu tidak sedang di dalam kamar bersama seorang wanita!" Seru sang mommy dan membuat Evan seketika tertawa.
"No mom, aku tidak segila itu akan hidupku"
"Baguslah, jaga dirimu baik-baik, jangan sampai kamu kelaparan dan membuat semua kekayaan orang tuamu ini tidak ada artinya lagi, gunakan juga kemampuan mu untuk membela diri jika ada yang ingin menyakiti"
"Siap Mom, jangan khawatir!" Evan menjawab sambil tertawa kembali.
"Satu lagi!"
"Iya?"
"Hindari wanita yang tidak baik, jangan macam-macam atau Mommy sendiri yang akan datang dan menghajar mu!"
Than tertawa kembali, dan seketika ponsel dimatikan setelah sang Mommy mengucap salam.
Alena dan Edward memberikan kebebasan kepada semua anak-anaknya, nyatanya mereka juga sangat pandai menjaga diri dan tak pernah membuat malu keluarga, paling hanya kabar miring yang tak berarti, yang terkadang di hembuskan oleh orang-orang yang ingin menjatuhkan.
Sebenarnya anak keduanya ini, yaitu Evan Eagle Nugraha sedikit berbeda dengan yang lain, bisa dibilang dia begitu menggoda dan mempesona untuk kalangan wanita, hingga terkadang membuat orang tuanya was-was.
Setelah puas melihat pemandangan malam danau nan tenang, Evan kembali ke sebuah tempat, sebuah Cafe dengan berbagai macam orang, dari pada diskotik, Evan lebih menyukai tempat itu, terasa lebih hidup dengan keadaan yang lebih aman.
Di negara itu minuman alkohol memang di legalkan, bahkan sudah menjadi kebiasaan orang-orang disana mengkonsumsinya, apalagi jika suhu di luar begitu dingin, tapi tidak bagi Evan, sedingin apapun tubuhnya, minuman itu tidak pernah dibiarkan masuk ke dalam tubuhnya.
Suasana sudah begitu ramai, begitulah Evan seketika tertawa lebar begitu senang, sebagai pribadi yang suka bergaul dengan banyak orang, tempat yang saat ini didatangi adalah pilihan yang paling tepat.
Bagi Evan bertemu dengan berbagai macam orang sungguh menyenangkan, dari mereka Evan banyak menggali hal positif tentang kehidupan walaupun tak sedikit dari mereka ada yang terjerumus dalam pergaulan yang salah.
Teriakan Dixon mengalihkan atensinya, dari banyaknya tatapan para wanita yang sengaja menggodanya.
Evan segera bergegas dan menyapa, duduk disamping Dixon yang sudah memesan beberapa makanan dan minuman.
"Oh my God, kenapa semakin hari semakin banyak wanita yang kekurangan uang?"
"Maksudmu?" Tanya Dixon, karena jelas disana hampir bisa di pastikan para wanita dari kalangan berada.
"Mereka tidak punya cukup uang untuk membeli kain, lihat saja baju mereka, hanya sebatas paha dan diatas payu-daranya saja"
Sontak semua laki-laki yang sudah berkumpul itu tertawa.
"Apa kau tidak penasaran dengan apa yang ada di dalamnya Ev?" Tanya satu laki-laki yang nampak sangat senang hari ini.
"Oh tentu saja John, hanya saja aku masih prihatin dengan mereka"
"Dasar!" Sahut John.
Kini tawa itu pecah kembali, diselingi dengan dentingan gelas sebelum mereka minum dengan bahagia.
"Hari ini begitu meriah, bahkan segala macam makanan ada diatas meja, apa ada hal besar sedang terjadi?" Tanya Evan.
"Tentu saja Ev, John baru saja menang judi" sahut Klein teman satunya lagi.
"Hei!, kau jangan membuka kartu buruk ku di depan Evan, klein!" Teriak John memperingatkan.
"Hentikan kebiasaan buruk mu itu John, kau akan menjadi gembel dijalanan kalau terus-terusan bermain dengan perjudian" sahut Evan.
"Omong kosong Ev, aku hanya mencobanya saja, dan Dewi keberuntungan selalu bersamaku"
"Bullshit, itu hanya cara setan menjerat mu" sahut Evan.
"Oke-oke, terserah padamu kawan" sahut John kemudian.
Dixon dan Klein masih mentertawakan John yang mati kutu saat berdebat dengan Evan, dengan kata lain mustahil untuk menang.
Malam yang panjang itu di lalui dengan berbagai percakapan, pertemanan mereka memang unik, tak membedakan kekayaan ataupun kasta yang ada, bahkan mereka tak peduli dari mana mereka semua berasal.
Evan yang tak pernah diketahui oleh mereka apa pekerjaannya dan dari keluarga mana, selalu di terima di manapun dirinya masuk dan berteman, Aura positif nya membuat nyaman di lingkaran pertemanan.
Dixon menatap sebuah tempat disana yang terlihat istimewa dan lain dari biasanya, tempat yang begitu eksklusif dengan beberapa pasangan yang tengah bercanda.
"Apa yang kau lihat Dixon?" Tanya Evan.
"Lihat mereka Ev, apa kau tidak ingin mempunyai kekasih dari kalangan mereka?"
Evan melihat keruangan yang di penuhi wanita-wanita cantik dan terlihat glamour, lalu kemudian terbit senyuman tipisnya.
"Mereka semua palsu, aku tidak suka barang palsu Dixon"
"Begitu kah?"
"Hem, jangan terkecoh dengan wanita seperti itu"
"Tapi mendapatkan satu wanita itu, akan menjamin kelangsungan hidup mu kedepannya Ev, percayalah mereka dari kalangan konglomerat dikota ini" sahut John.
"Tidak, kau ambil saja, aku tidak berminat"
Semua tertawa mendengar kalimat Evan barusan, seolah dirinya adalah raja yang bisa memilih wanita sesukanya, walaupun kenyataanya seorang Evan tak akan susah jika meminta satu wanita itu melemparkan tubuhnya untuk melayaninya.
Klein yang selalu penasaran akan sosok wanita yang di Idamkan oleh Evan langsung bertanya.
"Lalu, seperti apa wanita yang membuatmu berminat Ev?"
Evan mengambil gelasnya dan meminum air soda dingin yang seketika membuat tubuhnya terasa segar.
"Wanita yang bisa menggerakkan hatiku, memusatkan perhatianku dan membuat yang di bawah menegang!"
"Shitt!" Klein terkejut sekaligus tertawa akan jawaban Than, lalu melemparinya dengan tissue.
Sementara Dixon dan John terpingkal dan masih tertawa terbahak-bahak, begitulah Evan yang selalu bisa menjawab dengan random dan tanpa merasa bersalah.
Hingga keseruan mereka di kejutkan dengan sebuah kaca yang tiba-tiba pecah di hantam oleh seseorang.
Suasana Cafe seketika berubah menyeramkan, seorang wanita membawa tongkat baseball dan menghancurkan kaca ruangan eksekutif itu hingga terdengar suara teriakan ketakutan.
"Dasar baji-ngan!" Teriak wanita itu, lalu segera masuk dan melewati pecahan kaca, menuju ke sosok laki-laki yang terlihat ketakutan.
"Berikan Black cart ku sekarang juga, atau aku rontok kan semua gigimu!"
Laki-laki itu langsung menyerahkan dompetnya, dengan tangan yang gemetar dan terus waspada.
Tangan nan lentik tapi sungguh berbahaya, sekali pukul dengan tongkat baseball, bisa di bayangkan kepala laki-laki itu akan pecah seketika.
Dompet itu dilemparkan begitu keras mengenai kepala laki-laki itu hingga meringis, lalu kemudian sang wanita melemparkan tongkat baseball melayang memecahkan meja kaca hingga tak tersisa.
Lalu, pergi begitu saja.
Evan mengangkat satu alisnya, pertunjukkan yang sangat mengesankan, begitulah dalam hatinya berkata.
Mohon tidak lupa KOMENnya, LIKE, VOTE, HADIAH dan tonton IKLANNYA.
Bersambung.
Tak lama petugas keamanan datang, dan menetralkan suasana, membersihkan kekacauan yang ada, dan sang pemilik Cafe meminta maaf kepada semua pengunjung atas tragedi yang baru saja terjadi.
"Wow, wanita yang luar biasa, bagaimana Ev, kau mau mengejarnya dan kita bertaruh" ucap John.
Evan hanya tersenyum tipis.
"Jangan sampai kau kalah John, kalau tidak ingin swalayan mu akan berpindah tangan atas namaku"
"Shitt!, tidak jadi, kau mau membuatku miskin?!" Sahut John.
Klein tertawa, begitu juga dengan Dixon, sedangkan Evan hanya tersenyum tipis, tatapannya menerawang pada sosok wanita yang terus terang membuatnya penasaran.
"Kau terlalu banyak berpikir Ev, wanita tadi sangat cantik dan berbeda" ucap John.
"Bagaimana kalau kau kejar dia, dan jika kamu membuatnya bertekuk lutut, kami akan memberikan mu pelayanan gratis apapun yang kau mau di cafe ini selama yang kau mau" tawar Klein menambahkan.
Evan tertawa, lalu kemudian berkata, "Aku belum semiskin itu hingga harus menguras uang kalian hanya untuk bersenang-senang di cafe ini, jadi lupakan saja" balas Evan membuat semuanya kecewa.
Kesenangan mereka berlanjut kembali, saat seorang penyanyi cafe telah hadir dan meramaikan suasana malam, terasa lebih hidup dan penuh dengan semarak musik yang bergantian dengan lagu yang berbeda-beda.
Hingga hampir tengah malam, Evan merasa sudah cukup lama menikmati suasana Cafe hari ini, lalu berpamitan lebih dulu pada temannya.
"Dixon, sebaiknya kau juga segera pulang, ingat ibumu lebih membutuhkan mu saat ini" ucap Evan.
"Tentu saja, aku akan pulang sebentar lagi" jawab Dixon.
Sementara Klein dan John masih menikmati alunan musik dan sesekali ikut turun di lantai dansa bersama dengan para wanita, Evan hanya menggelengkan kepala melihat hal itu.
Motor sport mahalnya menderu di jalanan, melesat cepat menuju sebuah tempat pengisian bahan bakar yang di butuhkan.
Evan sengaja mencari tempat parkir, tujuannya adalah sebuah minimarket yang ada di sana, mencari minuman yang di butuhkan, sekalian untuk persediaan nanti di Apartemennya.
Angin dingin sesaat menyapa kulitnya, Than merapatkan jaketnya dan melihat sekitar sebelum kembali menaiki motor sport nya
Namun ada yang menarik perhatiannya, dimana terlihat seorang wanita tengah berjalan sambil menahan perutnya.
Evan terus memperhatikan, mencoba mengingat sesuatu, dan benar saja, tak salah lagi, yang dilihatnya saat ini adalah seorang wanita yang tadi mengamuk di Cafe dan membuat semuanya hancur berantakan.
"Apa yang di lakukan wanita itu?" Gumam Evan.
Ada mobil yang mengemudikan dengan kecepatan tinggi, mengarah ke wanita itu yang masih tertatih untuk berjalan, Evan menyadari ada bahaya yang mengancam, dan segera melesat menyambar si wanita hinga ikut berguling di tanah yang berumput.
"Sial!, apa yang kau lakukan?!" Teriak wanita itu sambil meringis menahan sakit.
"Kau hampir tertabrak, apa kau baik-baik saja?" Tanya Evan yang kini ikut berdiri dan membersihkan bajunya.
Wanita itu memindai Evan dari atas sampai bawah, bukan hanya satu kali, tapi berulang kali, dengan tatapan penuh curiga.
"Sepertinya kau laki-laki kaya?" Ucapnya.
Than hanya mengangkat bahunya, tak menjawab apapun, lalu kakinya ingin melangkah pergi, namun tiba-tiba saja_
"Huek!, Huek!"
Wanita itu minggir dan sedikit membungkuk untuk memuntahkan segala yang ada dalam perutnya.
"Tolong jangan pergi, aku pusing, mereka memberiku sesuatu yang membuat perutku sangat sakit, aku tidak tahan lagi, bantu aku, aku sangat kaya, kau bisa meminta apapun nantinya"
Evan terkejut, segera mendekat dan memeriksa kening sang wanita, tubuhnya begitu dingin, nampak sekali jika dia sedang tidak baik-baik saja.
Evan memapahnya perlahan, membuat wanita itu kini berada dalam rengkuhannya.
"Kau sedang tidak sehat, aku akan cari taksi dan membawamu ke Rumah Sakit"
"Apa?!, tidak-tidak, keluargaku akan menemukanku dan mereka akan semakin mudah menjatuhkan ku" ucapan yang tak di mengerti oleh Evan sama sekali, sepertinya wanita ini punya masalah yang kompleks.
"Baiklah, kau yang memaksa" ucap Than, dan terpaksa memboncengnya untuk di bawa ke Apartemen.
Saat Evan turun dan membawa wanita itu yang terlihat sangat lemas, beberapa pasang mata menatap aneh penuh curiga, tapi untungnya di negara itu tidak terlalu banyak aturan, bagi pria dewasa seperti Evan, banyak kebebasan di legalkan.
Berhasil membawa wanita itu ke Apartemennya, Evan segera membaringkannya di atas Sofa, lalu berjalan ke belakang membuatkan minuman hangat.
"Minumlah, dan ini obat yang sepertinya perlu kau minum" Evan memberikan satu butir obat yang ada di tangannya.
Wanita itu tak langsung menerima, melihat sebuah jam tangan mewah yang bertengger di tangan Evan saat memberikan.
"Thanks, kau membeli jam tangan bekas?" Tanya wanita itu.
Evan tersenyum, lalu menganggukkan kepala, melihat bagaimana wanita itu menelan pil sambil meringis, setelah itu menyandarkan kepalanya.
"Apartemen ini lumayan mewah" gumamnya lagi.
"Hem, aku menyewanya" jawab Evan sebelum kembali ke belakang dan membuat satu minuman lagi untuk dirinya sendiri.
Tak lama Evan kembali, dan mendapati wanita itu memeluk satu bantal sofa di perutnya untuk mencari kenyamanan.
"Kau terlihat kacau" ucap Evan.
"Lebih dari itu, aku berantakan walaupun sangat kaya, semua menginginkannya, aku selalu berjuang sendiri menyelamatkan diri dari tipu daya mereka, sungguh mengenaskan bukan?" ucap wanita itu masih dengan mata yang terpejam.
"Hem, apa perut mu mulai nyaman?" Tanya Evan melihat wajah wanita itu yang sudah lebih tenang dari sebelumnya.
"Lumayan" jawabnya.
Evan terdiam, lama tak ada perbincangan, hingga wanita itu berusaha untuk duduk tegak menatap Evan.
"Aku Dry" ucapnya.
"Dry? Seperti nama laki-laki" sahut Evan.
"Mungkin keluargaku menginginkan jenis kelamin itu, tapi sayang, justru aku yang keluar dari rahim Mommy ku" ucapnya dengan senyuman sedih yang berusaha di sembunyikan.
"Oh, aku Ev"
"Hem, trimakasih sudah membantuku Ev, berapa aku harus membayar mu?"
Evan terkejut, sedikit menaikkan alisnya, dan tersenyum sambil memindai Dry dari kepala sampai kakinya.
"Aku hanya bisa memberikanmu uang, jangan macam-macam" Dry mulai kurang nyaman dengan apa yang dilakukan oleh Evan.
Evan tertawa, lalu kemudian menyilangkan kakinya, menatap ke arah Dry yang tepat di hadapannya.
"Bagaimana kalau aku tidak butuh uang?" Ucap Evan.
"Maksudmu?" Tanya Dry tak mengerti.
"Kau sangat cantik Dry, tubuhmu lumayan menarik, jadi_, bagaimana kalau kita bercinta?"
Jika Evan ingin melihat reaksi ketakutan dari wanita itu, jelas salah, nyatanya Dry justru tertawa dan membuat Evan tersenyum tipis melihatnya.
Dry lalu melempar bantal sofa tepat di kepala Evan, dan tanpa beban kini merebahkan tubuhnya diatas Sofa sepenuhnya.
"Kau mungkin bisa menerkam ku saat ini juga, tapi jangan salahkan aku jika kepalamu akan pecah berantakan di lantai, selamat tidur Ev, Sorry aku pakai Sofa mu dulu"
Evan tersenyum kembali, lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya, dan meninggalkan Dry tidur dengan nyaman di luar.
Yang makin penasaran, Yuk mana nih KOMENnya, LIKE, VOTE, HADIAH, dan tonton IKLANNYA.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!