#1
Wajah cantik itu terlihat pucat, belakangan ia menyadari telah kehilangan banyak bobot tubuhnya, karena mual dan muntah yang kerap ia alami di pagi hari.
Dan kini benda tipis seukuran korek api itu telah memberinya jawaban, mual, muntah, pusing, bahkan ia tak bisa beranjak dari tempat tidurnya sebelum jam 11 siang. semua keanehan yang terjadi di tubuhnya, terjadi karena kini ia sedang mengandung.
Dhera meraba perutnya yang masih rata, air mata haru merebak, bahagiakah? Entahlah, ia tak pernah merasakan cinta untuk pria itu, tapi kini ia memiliki sebagian dari diri Danesh.
‘Lantas, tunggu apa lagi? ayo cepat, segera beritahu Kapten Danesh!’
Suara hatinya lantang berseru, karena Danesh sudah pernah mengatakan bahwa, “Hamil atau tidak, aku akan tetap bertanggung jawab menikahimu!” ujar Danesh Saat itu.
Tapi peristiwa emosional yang Danesh alami malam itu kembali terbayang, ketika Renata nekat meledakkan bom untuk memb^unuh dirinya sendiri, beserta Gerald. Danesh berteriak, meraung, bahkan seolah ia hendak berlari menyusul Renata yang tubuhnya musnah dilalap si jago merah.
Jika bukan karena Nick, Marco, dan Bastian, yang bekerja sama menahan tubuh Danesh, pastilah pria itu sudah benar-benar membawa dirinya sendiri ke dalam kobaran api.
Dhera mengusap air di sudut matanya, yah, seperti yang Dhera katakan sejak awal, tak ada keharusan bagi Danesh untuk bertanggung jawab. Karena Dhera juga tak pernah menyalahkan Danesh yang akhirnya tergoda, hingga mereka menghabiskan malam panas berdua.
Maka Dhera menguatkan dirinya sendiri, yah, menjauh pergi adalah pilihan terbaik, dengan demikian Danesh akan memahami, bahwa Dhera memang tidak hamil. Karena jika hamil, maka Dhera pasti akan mengaku pada pria itu.
•••
Setelah memastikan semua barang-barang pribadinya berpindah ke dalam 2 koper besar miliknya, Dhera pun meninggalkan apartemen.
Apartemen tersebut bukan miliknya, karena itu fasilitas ketika ia menjalankan misi. Keadaan kantor pusat carut-marut, pasca kedok asli Adipati Auriga terbongkar, kini mereka mengalami krisis kepemimpinan.
Dhera tak peduli, karena ia tak berminat kembali ke tempat tersebut, selain karena merasakan sakit akibat pengkhianatan, kini kondisinya pun tak memungkinkan lagi untuk menjalankan misi berbahaya.
Sepertinya ini juga adalah doa ibunya yang selalu memintanya berhenti dari pekerjaannya saat ini. Karena itulah Tuhan memaksa Dhera berhenti, dengan cara yang kejam. Sungguh miris.
Taksi yang Dhera pesan telah tiba, Dengan bantuan sopirnya Dhera memasukkan barang-barangnya ke bagasi mobil.
“Sesuai aplikasi, Nona?” tanya sopir taksi.
“Iya, Pak.”
Taksi pun berjalan, melintasi jalanan Ibu Kota Jakarta yang selalu ramai. Ojek, becak, hingga kopaja, semuanya berebut mendapatkan penumpang. Pedagang asongan, pedagang makanan, hingga supermarket pun juga sibuk memikat pembeli. Ah, rupa-rupa romantika hidup. Semua berjalan demi melanjutkan kehidupan yang harmoni dan selaras.
Taksi melintasi kantor polisi tempat Danesh bertugas, Dhera menatap bangunan tersebut hingga kedua matanya tak mampu lagi menatapnya karena jarak yang semakin jauh. Ia mengusap perutnya yang masih datar, ‘Ayahmu bekerja di sana, Nak’, Dhera berbicara dalam hati, sementara bibirnya tersenyum tipis.
Dhera tiba di rumah kedua orang tuanya, ia menyeret 2 koper besar kemudian meletakkan kedua benda tersebut di teras, karena tak akan lama singgah di rumah tersebut.
“Kakak.” Dhesiva yang membukakan pintu rumah, gadis ceria tersebut memeluk Dhera dengan sayang, bahkan terasa erat karena Dhesi sangat merindukan kakak sulungnya tersebut.
“Siapa Dhes?” tanya Ayah Randy.
“Kakak pulang, Yah.” Dhesi menjawab pertanyaan sang Ayah. “Ayo masuk, Kak, biar aku yang bawain kopernya.”
“Dhes, jangan! Kakak akan pergi lagi.”
Mendengar kalimat Dhera, wajah Dhesi menjadi muram, “Kak …” ujarnya dengan kedua mata berkaca-kaca. “Kakak sudah lama tak pulang, masa hari ini juga cuma mampir?”
Dhera tersenyum, kemudian menggandeng lengan Dhesi masuk kedalam rumah. “Ayah, sehat?” sapa Dhera sembari mencium punggung tangan Ayah Randy.
“Siapa Dhes?” Kali ini Bu Rita yang bertanya, ia tampak segar usai mandi.
“Kakak pulang, Bu.”
“Oh, pulang, tumben,” sapa bu Rita, dingin seperti biasa.
“Buu … “ Dhesi menegur bu Rita, gadis itu tak ingin sang kakak pergi lagi, karena ia begitu kesepian di rumah orang tuanya.
Dhera mencium punggung tangan bu Rita. “Bu, jangan khawatir, seperti biasa, aku tak akan lama.”
Bu Rita menatap datar wajah Dhera, ia melipat kedua tangannya di dada, “Ingat, Ibu memberimu waktu sampai akhir tahun.”
“Sampai akhir tahun pun aku tak akan pulang, Bu.”
“Kemana misimu kali ini?” tanya Ayah Randi, menengahi pembicaraan Dhera dan bu Rita.
“Aku sudah mengundurkan diri, Yah.”
“Baguslah, kalau sudah mengundurkan diri, ibu akan menghubungi bu Tita, agar mempercepat proses pencarian jodoh untukmu … “
“Aku hamil, Bu.”
Bu Rita yang hendak berdiri guna mengambil ponsel, tiba-tiba terdiam, dan …
Plak!
Sebuah tamparan Ayah Randy hadiahkan pada Dhera, “Ayah sudah mendidikmu menjadi wanita tangguh, agar Kamu tak mudah tergoda untuk tidur dengan sembarang pria! Tapi ternyata semua sia-sia!”
Dhera mengepalkan kedua tangannya diatas lutut, tak hendak pula ia menjelaskan apa yang sebenarnya telah dia alami. Dhera bukan gadis cengeng yang lemah, maka apa yang sudah ia lakukan, akan ia pertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, termasuk keberadaan janin dalam kandungannya.
“Katakan siapa yang membuatmu hamil?!” teriak bu Rita. “Apa kurir rendahan itu?”
“Berhenti menghinanya, Bu. Dia pria yang baik.”
“Kalau dia baik, dia tak akan melakukan ini terhadapmu!”
“Kehamilanku, adalah tanggung jawabku, dan Aku tak akan menyalahkan siapapun.” Dhera tetaplah Dhera, si gadis tangguh segala medan. Jika di depan Danesh ia mengatakan tak akan meminta pertanggungjawaban, maka di depan orang tuanya pun ia mengatakan hal serupa.
“PERGI DARI RUMAH AYAH!! KAMU BUKAN ANAKKU!” Teriakan keras itu menggema di seluruh ruangan, Dhesi hanya bisa mengkerut ketakutan, belum pernah ia mendengar ayahnya semarah ini.
Dhera tak lagi membantah, ia pun berdiri dari tempat semula ia duduk, menunduk hormat mengucap salam, kemudian pergi dari rumah yang tak pernah membuatnya nyaman tersebut.
Di Airport, Dhera berjalan dengan langkah pasti tanpa menoleh ke belakang lagi. Meninggalkan banyak kenangan yang beberapa bulan ini ia ukir bersama Danesh, Marco, Bastian, dan Rara yang telah pergi mendahului mereka.
#2
Wuuung!
Wuuung!
Deru mesin mobil melaju di lintasan sirkuit balap, hari ini uji coba pertama sirkuit balap mobil yang baru saja selesai pengaspalan jalan.
Kepulan asap putih mengudara ketika mobil melintasi tempat Danesh duduk, pria itu mengamati dengan seksama sirkuit balap yang kini sudah memasuki 40 persen tahap penyelesaian.
Senyumnya mengembang ketika uji coba berjalan dengan lancar, tim ahli yang ia bayar mengatakan bahwa jalan beraspal tersebut sudah sangat sesuai dengan standar jalan yang biasa dipakai di sirkuit balap Formula 1.
Tanpa melepas kacamata hitamnya, Danesh bersalaman dengan tim ahli yang hari ini secara khusus datang untuk melihat proses uji coba.
Setelah tamu-tamunya pulang, Danesh berjalan kembali ke ruangan yang ia tempati selama proses pembangunan sirkuit balap berlangsung, kini sirkuit balap ini adalah tempatnya mengasingkan diri dari bisingnya hiruk pikuk Ibu Kota Jakarta.
Beberapa bulan tinggal di Singapura, membuat Danesh kini merasa seperti Darren sang don juan yang katanya pengangguran, tapi uangnya tak berhenti mengalir. 🤧
Setelah sampai di ruangannya, Danesh membuka lemari pendingin yang ada di mini bar ruangan tersebut, netra hijaunya berkeliling menatap seisi kulkas, ternyata yang ia temukan hanya air putih.
Ia meringis menertawakan nasib dirinya yang merana seperti duda, padahal ia belum pernah menikah namun ia tak lagi perjaka.
Danesh memang tepuruk sesaat setelah kepergian Renata, tapi Dhera yang hilang tanpa kabar berita, ternyata membuat hatinya lebih merana. Hingga kini ia masih bertanya-tanya kemanakah wanita itu, dan kenapa ia bisa meninggalkan rekam jejak yang sulit untuk Danesh hilangkan dari kepalanya.
Dhera benar-benar membuktikan kata-katanya, setelah misi mereka selesai, wanita itu memilih pergi tanpa mengucap selamat tinggal, atau bahkan meminta pertanggungjawaban pada pria yang telah menidurinya. Padahal seharusnya itu menjadi hak Dhera.
Akhirnya Danesh hanya bisa pasrah, barangkali memang ia tak berjodoh dengan Dhera, lagi pula jika Dhera hamil, pastilah dia sudah mengabarinya.
Pun juga Danesh tak pernah mencoba menemukan keberadaan Dhera, karena pasti sulit menemukan mantan agen rahasia yang tak ingin diketahui keberadaannya.
Danesh tak perlu khawatir, karena ia tahu, Dhera pintar, selain itu ia juga bukan wanita lemah yang bisa ditindas sembarangan, dimanapun berada bisa dipastikan Dhera bisa menjaga dirinya sendiri.
Hari itu, Dhera hanya berpamitan melalui pesan singkat, karena kondisi Danesh yang masih terpuruk dalam kesedihan hatinya pasca melihat kepergian Renata secara tragis.
Ponselnya berdering, Danesh mengalihkan pandangannya ke layar ponsel, rupanya nommy Bella yang sedang menghubunginya. “Hmm Mom.”
“Masih hidup Kamu?”
Danesh terkekeh. “Sayangnya, Aku masih bernafas, Mom. Jadi, Mommy juga harus tetap sehat, supaya bisa terus mengomel padaku.”
“Dasar anak durhaka!” celetuk mommy Bella gemas.
“Durhaka begini juga, Mommy masih merindukan aku, kan?” cicit Danesh.
“Terpaksa!”
“Mooom.” Danesh merengek seperti balita, badan boleh besar, tapi Danesh tetaplah anak bungsu manja mommy Bella. Terlebih sudah bertahun-tahun Saudara sulungnya tinggal di London, makin kuat saja statusnya sebagai anak bungsu yang selalu ingin dimanja dan diperhatikan.
Mommy Bella terkekeh gemas, “Datanglah ke rumah Grandpa dan Grandma. Bibi Manda bilang, sejak kamu tiba di Singapura dua bulan lalu, kamu belum pernah mampir.”
“Baiklah Nyonya Bella, nanti aku mampir sekalian numpang makan, kulkasku sedang kosong.”
“MAKANYA CARI ISTRI!!” Mommy Bella kembali tantrum jika pembicaraan mereka merembet sedikit saja ke urusan mencari jodoh.
“Bukan salahku, jika aku belum menemukan istri, karena para calon istri mendadak hilang, ketika aku coba mencari mereka, Mom,” bantah Danesh, ia seolah tak pernah kehabisan kata-kata untuk membantah ucapan sang mommy, terutama jika sang mommy memintanya menikah.
Tut
Tut
Tut
Saking kesalnya, mommy Bella mematikan sambungan teleponnya tanpa mengucap kalimat penutup, Danesh terkekeh karena sekali lagi berhasil membuat wanita kesayangannya merengut dongkol.
…
Brak!
Suara pintu mobil, ketika Danesh tiba di rumah kedua orang tua mommy Bella, rumah tersebut tetap rapi terawat karena Mommy Bella tak ingin menjual rumah tempat ia tumbuh besar. Bahkan rumah tersebut, menyimpan kenangan masa remajanya bersama Daddy Andre yang kala itu kerap menghabiskan hari liburnya di sana.
Maka Mommy Bella mempekerjakan Bibi Manda dan suaminya untuk menjaga dan merawat rumah tersebut.
Mendengar bahwa Danesh akan datang, Bibi Manda sudah menunggu di teras rumah sambil merajut benang wol, salah satu aktivitas favoritnya ketika menganggur.
“Akhirnya datang juga,” sambut bibi Manda seraya memberi Danesh pelukan ringan.
“Bibi dan Paman Eric sehat?”
“Kami sehat, jangan khawatir. Bibi justru mengkhawatirkanmu yang tak pernah mengunjungi rumah ini, padahal rumah ini milikmu.” Bibi Manda menggiring Danesh untuk masuk ke rumah.
Danesh di persilahkan duduk di kursi meja makan, di hadapannya ada beberapa potong pisang goreng, karena malas mencuci tangan, Danesh menyambar garpu kemudian menyantap pisang goreng tersebut.
“Bibi buat sendiri pisang gorengnya?” Tanya Danesh ditengah kegiatannya mengunyah pisang goreng.
Bibi Manda menyuguhkan secangkir teh madu untuk Danesh, “Tidak, tetangga depan rumah memberikan itu untuk Bibi dan Paman,” jawab bibi Manda.
Danesh mengangguk, “Seingatku tetangga depan rumah tidak begitu ramah,” cetus Danesh.
“Mereka sudah pindah, sekarang rumah itu ditempati penyewa baru, seorang wanita muda, selain itu, dia juga sedang hamil.”
Uhuk!
Uhuk!
Uhuk!
Kling!
Mendadak Danesh tersedak hingga ia menjatuhkan sendoknya tanpa sadar, mendengar kalimat wanita muda yang sedang hamil, tiba-tiba ingatannya tertuju pada Dhera. Jika Dhera benar-benar hamil, tentu usia kandungannya kini sudah menginjak 3 bulan.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Bibi Manda seraya memijat tengkuk Danesh.
Danesh mengibaskan telapak tangannya sebagai kode bahwa ia baik-baik saja.
“Sedang hamil, Bi?” Tanya Danesh mulai tertarik.
“Iya, selain itu dia juga tinggal seorang diri, karena itulah, bila ada kesulitan dia selalu mendatangi kami untuk meminta tolong.” Bibi Manda kembali ke kursinya.
“Kemarin Paman Eric membantunya mengganti keran air yang bocor, karena itulah pagi tadi sebelum berangkat kerja, dia mengantar pisang goreng ini sebagai ucapan terima kasih.”
Beginilah jika tinggal di negara bebas seperti Singapura, orang-orangnya tak akan peduli dengan keadaan sekitar mereka. Termasuk jika ada wanita hamil tapi ia tak bersuami, bagi warga singapura, itu sudah hal biasa, bukan sebuah masalah besar.
“Tak hanya itu, dia pun ramah dan suka menolong, kadang dia juga menemani Bibi berbelanja, jika dia tidak sedang bekerja.”
Danesh hendak menanyakan apa pekerjaan wanita itu, namun urung karena ponselnya tiba-tiba berdering.
Nama sepupunya menghiasi layar ponselnya. “Hmm … ada perlu apa, Tuan Duda meneleponku?”
“Kamu dimana?”
“Di rumah Granpa dan Granma,” jawab Danesh santai, sembari melanjutkan kembali aktivitasnya, ia bahkan berpindah ke ruang tengah setelah semua pisang goreng berpindah ke perutnya.
“Aku perlu bantuanmu, ini urgent sekali.”
“Katakan!”
“Beberapa saat yang lalu, para mafia menyandera seisi Sekolah, termasuk para Guru.”
“Apa?!”
“Yang mereka inginkan adalah Keenan, tapi teman-teman dan gurunya ikut menjadi korban,” imbuh Adrian, masih dengan suara panik.
“Mereka menghubungiku untuk meminta tebusan, tapi mengancam akan menghabisi anak-anak satu-persatu, jika dalam waktu 3 jam tak memberikan apa yang mereka minta.” Adrian mengakhiri kisahnya.
“Baiklah, kita bertemu di markas, aku akan menghubungi para agen sekarang.” Tanpa berpamitan, Danesh berlalu pergi. Danesh memacu kencang mobilnya menuju markas AG, karena ini menyangkut nyawa banyak orang, maka ia harus segera bertindak.
#3
Danesh tiba di markas AG, sudah ada Daddy Brian serta Adrian di sana. “Uncle,” Danesh memeluk singkat Daddy Brian.
“Maaf, kami merepotkanmu. Tapi Baji^ngan-baji^ngan itu membahayakan keselamatan Keenan, bahkan teman-teman dan gurunya ikut dalam bahaya.” Bisa dimaklumi jika Daddy Brian begitu mencemaskan cucunya, karena Keenan adalah anak berharga dari garis pria yang akan menjadi penerus berikutnya generasi Gustav Agusto.
Hal itu dimanfaatkan para mafia tersebut untuk memeras Brian, yang notabene adalah keluarga konglomerat terkemuka di Singapura.
Brian dan keluarganya menetap di Singapura, inilah yang menjadi alasan kenapa AG juga memiliki markas di Singapura, karena masih ada keluarga dekat Alexander Geraldy yang tinggal di negara tersebut.
Sambil memakai pakaian lengkap termasuk rompi anti peluru, mereka berkoordinasi, bahkan membuka denah sekolah. Serta memastikan posisi terakhir semua siswa dan guru disandera, rupanya Adrian intens berkirim pesan dengan salah seorang guru, yang entah bagaimana caranya diam-diam ia bisa menggunakan ponsel Keenan.
“Baik, semua paham?”
“Paham!”
“Paham!”
Kesepuluh agen tersebut, menjawab dengan kompak.
“Uncle apakah sudah menyiapkan uang tebusannya?” tanya Danesh.
“Walau sulit, tapi sudah siap,” jawab daddy Brian sembari menunjuk 5 buah koper berukuran sedang, berjajar di atas meja.Tak tanggung-tanggung para berandalan itu meminta uang tebusan senilai 5 milyar dolar Singapura.
“Semoga mereka tak sampai menyentuh uang-uang ini,” gumam Danesh.
Kepolisian setempat pun sudah menerima kabar, hanya saja mereka tak berani banyak bergerak selain hanya memastikan keamanan semua sandera.
•••
Gedung sekolah itu sudah ramai dikerumuni warga, serta para orang tua yang khawatir dengan anak-anak mereka, namun karena peringatan para mafia tersebut, tak ada polisi yang berani mendekat.
Danesh datang dengan mobil terpisah dari teman-teman nya, karena mereka sudah berpencar ke titik-titik lokasi strategis sesuai kesepakatan mereka ketika di markas.
Danesh berjalan masuk ke halaman sekolah bersama Adrian dan tiga orang anggota timnya, masing-masing dari mereka membawa koper berisi uang yang diminta para mafia sebagai tebusan, serta jaminan keselamatan.
“Berhenti disana!”
Langkah kaki 5 orang tersebut, sama-sama terhenti ketika mendengar peringatan dari pengeras suara tersebut.
“Letakkan koper di depan kalian!”
Sesuai instruksi, kelima pria itu meletakkan koper di depan mereka masing-masing.
“Angkat tangan, dan jangan berani macam-macam!”
Lagi-lagi kelima pria itu hanya menuruti perintah, tak lama kemudian tiga orang anggota mafia datang menghampiri, tentu saja dengan senjata api di tangan masing-masing.
Mereka melakukan pemeriksaan pada Danesh, Adrian, dan ketiga rekan mereka, memastikan apakan ada senjata tajam, senjata api, atau apa saja yang bisa membahayakan mereka.
Tentu saja Danesh dan anak buahnya sudah menduga akan hal ini, namun mereka sudah yakin bahwa tanpa senjata sekalipun, mereka bisa melawan para teroris tersebut.
“Masuk!” perintah pria itu.
Mereka pun digiring ke sebuah ruangan, “Bagaimana anak-anak?” tanya Adrian.
Namun para pria yang menyembunyikan wajah itu enggan menjawab. “Kami sudah membawa apa yang Kalian minta, jadi setidaknya jawab pertanyaan kami.” Adrian kembali berucap, sepeninggal istrinya, hanya Keenan lah tempat Adrian mencurahkan kasih sayang, karena itulah ia sudah sangat mengkhawatirkan keselamatan putra semata wayangnya tersebut.
Mendengar kalimat Adrian membuat salah seorang mafia tersebut marah, hampir saja ia menghantam wajah Adrian dengan tinjunya, namun Danesh sempat menghalau tinju pria tersebut. “Weits, kalem Bro, yang dia katakan memang benar, setidaknya kami harus memastikan keselamatan para sandera.”
Pria itu pun memberikan kode pada temannya untuk membuka pintu aula sekolah, tempat anak-anak dan para guru di sandera. Suasana di dalam aula begitu mencekam, dua pria bersenjata api tampak berjaga-jaga, membuat anak-anak semakin mengkerut takut di pelukan para ibu guru mereka.
Hanya sesaat pintu terbuka, tak sampai 2 menit, kemudian pintu kembali menutup. “Tunggu apa lagi? Kalian sudah mendapatkan apa yang kalian inginkan, kenapa para sandera belum juga dibebaskan?”
Seorang pria kembali datang bergabung, dilihat dari gelagat orang-orang itu, Danesh duga pria itu adalah sang pemimpin mafia.
Pria itu memeriksa koper-koper berisi uang masing-masing 1 milyar dolar Singapura, kedua matanya berbinar, sebagai pengganti bibir yang tersenyum senang setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Benar-benar tak satupun dari mereka yang mengeluarkan suara, uang-uang tersebut dikemas kembali. Kemudian sang pemimpin memberikan kode untuk mulai melepaskan sandera.
Pintu terbuka, satu persatu anak-anak digiring keluar dengan aman, Danesh tak begitu memperhatikan anak-anak dan guru mereka, fokusnya saat ini hanya waspada mengamati pergerakan para mafia.
“Daddy!!” Keenan berseru girang, memeluk sang Daddy.
Adrian membalas pelukan putranya, kemudian memeriksa sekujur tubuh Keenan, dari ujung kepala hingga ujung kaki, “Keenan gak papa kan, Nak?” tanya Keenan
“I'm okay, Dad.”
Klak!
Terdengar suara benda terjatuh ketika ruangan hampir kosong, rupanya sebuah ponsel terjatuh dari genggaman salah seorang guru. “Tahan Dia!!”
Danesh menoleh menatap sang ibu guru yang kini kepalanya ditodong senjata api. “Miss Dheandra!!” pekik Keenan ketika melihat ibu gurunya kembali menjadi sandera.
Jika Keenan memekik keras, Danesh justru diam mematung, wanita itu memang dia, keberaniannya tak pernah hilang kendati ia sedang dalam kondisi tak baik-baik saja.
“Apa yang Kalian lakukan?!” pekik Adrian marah. “Kalian sudah mendapatkan semua yang Kalian inginkan, tapi kenapa masih enggan membebaskan sandera?”
“Karena Dia menyalahi perjanjian.” Pria itu menjawab sembari menodongkan senjata api ke pelipis Adrian. “Keluar sekarang, Wanita itu akan jadi urusan Kami.”
Danesh tak bisa diam saja, bahkan pandangan matanya tak bisa berpaling, wanita itu adalah wanita paling nekat dan tak kenal rasa takut. Dia bahkan tak gentar sedikitpun membalas tatapan mafia yang sedang menodongkan senjata api ke kepalanya. Kendati kondisinya sedang hamil…
Ya Tuhan, Danesh nyaris menangis di tempatnya, rupanya Dhera membohonginya, wanita itu sengaja merahasiakan kehamilannya.
“Tunggu apa lagi!! Segera pergi!!”
Akhirnya Adrian hanya bisa menuruti perintah pria itu, dengan berat hati ia melangkah keluar dari gedung sekolah.
Kini di Aula hanya tersisa Dhera, dan seorang pria yang tengah menyanderanya, sementara Di luar aula, mafia yang lain memaksa Danesh dan pasukannya keluar dari gedung.
Ketika suasana dirasa aman, dan pria yang menjaganya sedikit lengah, dengan kedua tangannya Dhera memegang senjata api milik pria itu, kemudian menengadahkannya ke udara.
Dor!!
Mendengar suara tembakan Danesh segera menoleh, jantungnya serasa keluar dari tempatnya, bagaimana tidak, Dhera masih disandera di dalam aula, dan kini ada suara letusan senjata api.
Danesh mulai bergerak, ia dan kedua rekannya menerjang dua pria bersenjata yang sedang menggiring mereka. Beruntung skill bela diri mereka tak main-main, hingga akhirnya ketiganya berhasil melumpuhkan serta mengambil alih senjata api milik para mafia.
Setelah berhasil mengambil alih senjata, Danesh berguling ke balik dinding untuk berlindung dari rentetan peluru yang mulai datang. Danesh hanya bisa membalas sekedarnya, karena pasokan senjata mereka yang terbatas.
Sementara itu, di dalam aula, Danesh melihat Dhera berhasil melumpuhkan pria yang tadi menodongkan senjata api kearahnya.
Namun hal itu hanya sesaat, karena ketika Dhera berbalik, pria itu kembali bergerak hendak meraih senjata apinya yang tergeletak tak jauh darinya.
“TIDAAAAAAKKK!!!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!