Brak!
Bai Hui Fen mendobrak pintu aula keluarga saat masuk. Wajahnya merah karena murka. Pria paruh baya itu pulang tergesa-gesa dari istana karena mendapat kabar buruk dari kediamannya.
"Dasar tidak tahu malu!" teriak tuan Bai.
Napas Yu Jie terputus-putus usai mendapat dua puluh pukulan papan. Nuan hanya bisa diam pasrah. Gadis muda itu tidak bisa melindungi nona mudanya karena dua orang pelayan selir Huang menahan tubuhnya.
Nuan hanya bisa menangis melihat nona mudanya itu mendapat hukuman dua puluh pukulan papan. Baru saja dia meninggalkan nona mudanya untuk menyiapkan makan malam, sepulangnya dari dapur, dia mendapati sang nona muda telah diarak menuju aula keluarga.
"Tuan, anda baru saja tiba. Duduklah lebih dulu," ucap selir Huang lembut.
Wanita itu memeluk lengan suaminya lalu menggiringnya menuju kursi kebesaran suaminya di aula keluarga.
Pria paruh baya itu membiarkan selir Huang menuntunnya. Tuan Bai merasa kecewa bercampur sedih melihat keadaan putri kesayangannya.
Melihat raut tidak enak di wajah suaminya, selir Huang langsung bersuara lembut, "Maafkan kelancangan hamba karena sudah mendahului tuan."
"Keadaan tadi sangat tidak terkendali. Hamba terpaksa menjatuhi hukuman terlebih dulu agar suasana menjadi tenang," timpal selir Huang.
Tuan Bai masih diam. Matanya memerah melihat keadaan putri tercintanya tapi harga diri dan martabat keluarga sedang dipertaruhkan saat ini.
Bagaimana bisa putri tercintanya melakukan perbuatan tidak senonoh dengan seorang pria rendahan? Bahkan lebih rendah dari seorang pelayan di kediamannya.
Jika saja, pria itu memiliki latar belakang keluarga yang sepadan, tentu dia dengan terpaksa menikahkan mereka.
Melihat suaminya yang masih diam, Huang Fang Yin dengan santainya membuka suara lagi. Ini adalah kesempatan baik baginya untuk menambah bumbu agar Yu Jie tidak mendapat kesempatan untuk membela diri.
"Meski pria itu rendahan, dia tetap manusia. Keluarganya tetap tidak terima atas kematian putra mereka. Pria itu adalah tulang punggung keluarga. Jadi, aku ..."
Fang Yin berhenti sebentar melirik suaminya yang masih setia dengan diam. Matanya nyaris tak berkedip menatap putri pertamanya itu.
"Jadi, aku sudah memberi mereka kompensasi. Maafkan aku tuan, jika perbuatanku ini sangat lancang tapi semua ini aku lakukan agar dapat menekan kejadian tercela ini agar tidak tersebar keluar dari kediaman," timpal selir Huang.
Hui Fen menghela napas, "Perbuatanmu sudah benar. Jika tidak ada kau yang mengurus kediaman, aku yakin pasti aib ini sudah tersebar."
"A-yah, aku ti..." Yu Jie berusaha membela diri dengan sisa tenaganya.
"Lancang!" bentak Mei Yin, yang tak lain adalah adik Yu Jie dari selir Huang.
"Kakak, tak bisa kau menerima kesalahanmu. Seluruh kediaman ini hampir celaka karena perbuatanmu," timpal Mei Yin.
Yu Jie tertunduk. Bukan berarti dia takut tapi berusaha mengumpulkan sisa tenaga untuk menyelamatkan harga dirinya. Perbuatan yang tidak dia lakukan mana mungkin dia bersedia menerimanya.
Dengan cukup kekuatan, Yu Jie mendongak. Dia menopang tubuhnya dengan kedua tangan. Wajah Yu Jie terlihat pucat pasi seperti menahan kesakitan yang sangat luar biasa.
Di sudut bibirnya terdapat bercak darah. Gadis itu sengaja menggigit bagian dalam bibirnya agar tetap terjaga.
Dengan sekali tarikan napas, Yu Jie berkata, "Ayah, aku tidak pernah melakukan hal tercela. Aku dijebak."
"Kakak! Sudah seperti ini kau masih saja berkelit. Bukti sudah di depan mata. Mengapa kau masih bersikeras? Kakak, aku sangat menyayangimu. Aku tidak tega melihat kau seperti ini, tapi perbuatanmu sungguh kelewatan," ucap Mei Yin dengan nada lembut yang dibuat-buat.
Jika orang lain yang melihat pasti menaruh simpati pada gadis bermuka dua itu. Nada bicaranya lembut seolah menaruh kepedihan sekaligus kecewa pada kakaknya.
Namun, bagi Yu Jie, itu semua adalah omong kosong. Yu Jie dapat melihat dengan jelas olah peran yang dilakukan kedua ibu anak itu. Sungguh sangat serasi.
"Ayah, aku benar-benar tidak melakukannya," ucap Yu Jie sambil membalas tatapan tajam sang ayah.
Hui Fen sedikit terkejut mendapat tatapan balasan dari putri tertuanya itu. Pria itu sangat paham akan tatapan putrinya. Tatapan yang menyatakan bahwa dia memang tidak melakukan kesalahan.
Selir Huang melihat perubahan tiba-tiba dari suaminya. Dia bergegas mengambil kesempatan untuk memojokkan Yu Jie lagi. Wanita itu tidak ingin suaminya memberi pengampunan pada Yu Jie.
"Putriku, meski aku bukan ibu kandungmu, kau sudah seperti putri yang ku lahirkan sendiri," selir Huang mulai membuka suara dengan menyerang mental tuan Bai.
Senjata pertama wanita itu berhasil membuat suaminya sedikit goyah. Yu Jie bisa melihat senyuman licik di sudut bibir wanita itu.
Andai saja dia lebih cepat mengetahui bahwa ibu sambung dan adik tirinya itu selama ini berpura-pura perhatian padanya, tentu dia tidak akan terjebak.
Belum selesai Yu Jie menyesali kebodohannya, tiba-tiba saja selir Huang menjatuhkan tubuhnya ke lantai sambil menangis, "Aku telah gagal melindungi putriku. Seharusnya aku juga turut di hukum."
Mata Yu Jie membulat melihat drama mini yang dilakukan oleh selir Huang dengan mulus. Bodohnya lagi, ayahnya percaya begitu saja. Pria paruh baya itu malah beranjak dari kursinya dan membantu selir tercintanya itu berdiri.
"Istriku, berdirilah! Kau tidak bersalah," ucap Hui Fen.
"Bagaimana mungkin aku tidak bersalah? Di satu sisi aku tidak tega dengan hukuman Yu Jie. Hatiku sebagai seorang ibu tidak terima melihat putriku mendapat perlakuan seperti itu, tapi di sisi lain nama baik keluarga Bai juga harus dipertahankan," jelas selir Huang sambil terisak.
Semakin mendengar kicauan dari selir Huang semakin membuat tuan Bai melupakan kasih sayangnya antara dia dan putrinya. Rasa percaya dan iba tadi lenyap seketika.
"Duduklah!" giliran Hui Fen yang menenangkan istrinya.
Hui Fen berbalik menatap lekat putri tertuanya itu. Lalu dengan langkah tegap berjalan mendekati Yu Jie. Pria itu berdiri tepat di hadapan Yu Jie tanpa rasa iba.
"Aku sudah memberi banyak kasih sayang serta memanjakan mu melebihi saudarimu sendiri, tapi apa yang sudah kau perbuat?" Hu Fen menghela napas panjang. Tersirat kekecewaan dan lelah.
"Kau bahkan tega membunuh pria itu. Yu Jie ku adalah gadis baik. Bahkan, semut pun tak berani kau injak. Mengapa sekarang bisa begini?" kesal Hui Fen.
Yu Jie menatap lekat wajah ayah kandungnya. Benar kata pria paruh baya itu. Selama ini dia sangat disayang dan dimanja. Semenjak ibunya meninggal saat usianya tiga tahun, ayahnya memberi perhatian penuh padanya.
Hingga dua tahun kemudian, perempuan bernama Huang Fang Yin itu masuk ke keluarga Bai. Setahun kemudian adik perempuannya lahir dari rahim perempuan itu.
Wanita itu memang mengasihinya hingga membuatnya buta bahwa kasih sayang yang diberikan oleh wanita itu selama ini adalah senjata yang dia persiapkan untuknya.
Hari itu adalah hari ini. Hari di mana Yu Jie dijebak dan merubah kehidupan gadis itu.
"Putuskan saja hukuman apa lagi yang harus ku tanggung?" suara Yu Jie cukup tegas meski lemah.
Hui Fen menatap tak percaya pada putri tercintanya itu. Awalnya, dia berharap putri pertamanya itu akan membela diri seperti sebelumnya. Sekarang, dia malah menantangnya.
Wajah Hui Fen kembali memerah menahan amarah. Kali ini dia tidak bisa menoleransi perbuatan putri tercintanya. Pernyataan penerimaan hukuman dari Yu Jie menerangkan bahwa dia benar telah melakukan perbuatan senonoh dan keji itu.
Beda halnya dengan Yu Jie. Gadis cantik itu sudah lelah membela diri. Daripada tenaganya habis meladeni drama yang dibuat selir Huang dan putri tercintanya, lebih baik dia ikuti saja permainan mereka.
"Baik. Karena kau telah mengakui perbuatanmu, maka kau sudah siap untuk menerima hukuman dariku," ucap Hui Fen.
Mei Yin tersenyum senang di dalam hati. Tak disangka rencananya dengan sang ibu berhasil. Dia akan menjadi putri satu-satunya perdana menteri Bai. Tidak akan ada lagi perbandingan antara dia dengan kakaknya.
"Pengawal!" teriak Hui Fen.
Beberapa orang pengawal segera memasuki aula. Suara gesekan sepatu dengan permukaan lantai menggema di seluruh aula. Meski lemah, Yu Jie bisa mendengar dengan jelas derap langkah mereka.
"Mulai saat ini, putri tertua tinggal di paviliun barat," ucap Hui Fen bersamaan dengan berhentinya langkah kaki para pengawal.
Yu Jie tersenyum miris. Paviliun barat adalah tempat terkutuk bagi pendosa di keluarga Bai. Dosa apa yang dia lakukan sampai harus tinggal di sana?
Mei Yin dan selir Huang tersenyum senang. Meski sekilas, Yu Jie dapat melihatnya dengan jelas. Salahkan, seluruh indranya yang sangat peka.
Dari kecil Yu Jie sadar jika dia memiliki indra yang sangat peka. Mendiang ibunya meminta Yu Jie untuk tidak menceritakan kelebihan yang dia miliki pada siapa pun. Meski Yu Jie baru berusia tiga tahun, dia mengerti jika rahasia itu harus disimpan dan dijaga baik-baik.
Jadi, sangat mudah bagi Yu Jie melihat seringai licik dua serigala betina itu. Kesalahannya hanya satu, sangat percaya kasih sayang selir Huang yang diberikan padanya sehingga membuatnya lalai.
Yu Jie sangat percaya pada selir Huang hingga membuatnya dengan mudah masuk dalam perangkap. Perangkap yang dengan sabar dirancang dan dibuat selir Huang khusus untuknya.
"Lebih baik buang saja aku dari keluarga Bai," ucap Yu Jie tegas.
Mata Hui Fen membulat saking terkejutnya. Bukankah dia sudah berbelas kasih pada putri tercintanya. Dia menempatkan Yu Jie di sana hanya untuk sementara. Apa Yu Jie tidak bisa merasakan?
Selir Huang tak kalah terkejut. Bukankan dia kejatuhan durian runtuh saat ini. Selama ini dia menginginkan Yu Jie enyah dari keluarga Bai agar putrinya menjadi putri satu-satunya keluarga Bai. Wanita licik itu tidak perlu menjalankan selanjutnya saat Yu Jie dipindahkan ke paviliun barat.
"Jiu'er, ayah dan ibu sangat menyayangimu. Mana mungkin kami membuang mu," selir Huang berkata sambil menyeka air mata yang entah kapan keluar dari matanya.
Yu Jie tersenyum kecut. Gadis cantik itu dengan senang hati mengikuti alur wanita licik itu. Lagipula tenaganya hampir habis.
"Masih ada Mei Yin yang akan menjadi putri perdana menteri. Bukankah reputasi Mei Yin sangat baik dibanding diriku di luar sana?"
"Kakak! Kau jangan seperti ini. Bagaimanapun kita adalah saudara kandung. Menurut lah dengan perintah ayah. Aku yakin ayah tidak akan tega membiarkanmu tinggal berlama-lama di paviliun barat. Betulkan ayah?" ucap Mei Yin.
Suara adik tirinya itu membuat gendang telinganya seperti digaruk benda tajam. Mereka yang ada di aula mengira bahwa adik tirinya itu sangat perhatian.
Tambah satu poin kebaikan lagi bagi Mei Yin. Reputasi baiknya pasti akan bertambah diluar sana, tapi Yu Jie tidak peduli. Jika perlu ambil saja seluruh kebaikan darinya.
"Baik. Jika itu keinginanmu. Akan aku kabulkan," tegas Hui Fen.
"Ayah!" rengek Mei Yin sambil menggoyang lengan kiri Hui Fen.
Beda lagi dengan selir Huang. Wanita itu bergegas memeluk kaki Hui Fen sambil menitikkan air mata.
"Tuan, jangan begitu. Kau sedang marah. Yu Jie juga putriku. Aku yang telah membesarkannya selama ini," isak selir Huang.
Yu Jie tersenyum melihat drama mini di hadapannya. "Sungguh keluarga yang sangat harmonis," ucapnya.
Hui Fen berdiri tegap meski tubuhnya diguncang berkali-kali oleh istri tercintanya. Pria itu menatap tajam Yu Jie.
"Mulai saat ini, Bai Mei Yin adalah putri satu-satunya keluarga Bai," Hui Fen kembali bersuara lantang.
"Selir Huang akan menjadi nyonya utama," lanjutnya.
Beberapa pelayan lama sangat sedih mendengar keputusan dari tuan mereka. Bagaimana mereka bisa menerima keputusan tuannya? Sedangkan, mereka adalah saksi kelahiran putri tertua.
Pelayan tua pun tak berani membantah. Wanita tua itu hanya bisa menatap sedih putri tertua.
"Yu Jie tidak akan memakai nama keluarga Bai di depan namanya. Untuk baktiku yang terakhir sebagai ayah, maka aku memberikan satu kereta kuda dengan seorang pengawal yang akan mengantar Yu Jie hingga ke tujuan," titah Hui Fen.
"Satu peti emas aku rasa kompensasi yang baik untukmu sebagai tanda pemutusan hubungan keluarga," timpal Hui Fen.
Yu Jie tersenyum menyindir, "Aku tidak butuh belas kasih darimu, ayah."
Gadis cantik itu sengaja menekankan kata ayah.
"Aku hanya membawa barang-barang peninggalan mendiang ibu. Aku tidak butuh hartamu," timpal Yu Jie.
"Kau!" geram Hui Fen.
Sifat keras kepala Yu Jie sangat mirip dengan mendiang ibu mertuanya. Pria paruh baya itu sampai tidak bisa berkata-kata.
Suasana aula hening sejenak. Nuan yang dari tadi menangisi nona mudanya juga tidak berani terisak. Aura kemurkaan tuan mereka sangat lekat di dalam aula hingga membuat tak seorang pun berani bersuara bahkan bergerak.
Bahkan selir Huang turut bungkam. Bukan takut, melainkan bersorak dalam hati karena rencananya berhasil seratus persen. Jadi, dia tidak perlu menambah bumbu lagi. Jika salah langkah, bisa-bisa dia dan putrinya ikut terdampak.
"Pengawal! Bawa gadis ini kembali ke kediamannya. Berikan dia waktu satu dupa untuk berkemas," tegas Hui Fen.
Sebelum Hui Fen meninggalkan aula, Nuan langsung bersuara dan bersujud, "Tuan, izinkan hamba mengikuti nona muda."
Hui Fen diam sejenak.
Selir Huang langsung bersuara, "Tuan, hukuman yang kau berikan sangat berat. Biarkan Nuan mengikuti Jiu'er. Dia ..."
"Siapa Jiu'er? Bukannya sudah jelas tadi ku katakan, nona muda satu-satunya keluarga Bai hanya Mei Yin."
Hui Fen memotong ucapan selir tercintanya itu agar semua orang tahu bahwa keputusannya sudah bulat.
Tak seorang pun bisa mengubah keputusannya. Lagipula Yu Jie yang menginginkan hubungan keluarga ini terputus.
Perdebatan panjang di aula berakhir dengan kemenangan bagi selir Huang dan putri kesayangannya.
Hui Fen membiarkan pelayan Yu Jie turut serta dengannya. Bukan karena kasihan melainkan terhasut oleh bujukan selir Huang bahwa mereka tidak membutuhkan pelayan lain.
Pengawal yang diperintahkan Hui Fen segera menjalankan tugas mereka. Mereka mengangkat Yu Jie ke tandu lalu membawanya menuju ke kediamannya untuk berkemas.
"Jangan menangis Nuan!" seru Yu Jie pelan.
Dia berusaha menggapai tangan Nuan untuk menenangkan gadis muda itu namun tenaganya habis tak bersisa.
Nuan berusaha mensejajarkan langkah kakinya dengan pengawal yang berjalan cepat. Padahal mereka sedang menggotong nona mudanya dengan tandu, tapi mereka berjalan seolah tidak membawa apa pun. Jadilah Nuan harus berjalan setengah berlari.
"Nona, bertahanlah! Nuan akan mengobati nona setelah tiba di kediaman," ucap Nuan sesekali terisak.
Sesekali dia mengusap wajahnya karena air mata. Ingin rasanya dia berteriak meminta para pengawal itu membawa tandu dengan perlahan agar tubuh nona mudanya tidak terguncang-guncang.
Apalah dayanya, dia hanya seorang pelayan yang bertubuh kecil. Ibarat kelereng yang sekali disentil langsung melesat jauh.
Tidak lebih dari seratus langkah, mereka telah tiba di bagian depan kediaman putri tertua. Beberapa pelayan sudah menunggu nona mereka di depan. Dengan wajah sedih mereka perlahan mengangkat tandu masuk ke dalam.
"Ingat! Waktunya hanya sebatas satu batang dupa!" tegas seorang pengawal yang bertubuh paling besar.
"Apa tidak apa-apa kita tidak mengantar sampai ke dalam?" tanya salah seorang pengawal.
"Tuan sudah mengatakan jika dia bukan nona muda lagi. Lagipula kau berani melawan perintah selir Huang?" balas pengawal bertubuh besar tadi.
[...]
Sementara itu di dalam kediaman Yu Jie, beberapa pelayannya yang setia berlutut karena ingin ikut serta dengannya.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Yu Jie pelan.
"Nona, kami tidak ingin tinggal di sini jika tidak ada nona. Hiks!" isak Li Mei. Salah seorang pelayan di kediaman Yu Jie.
Yu Jie meminta Nuan membantunya untuk duduk.
"Aku tidak bisa membawa kalian turut serta. Kehidupanku kedepannya pasti sangat sulit. Aku tidak ingin menjadi beban bagi kalian," jawab Yu Jie.
"Tidak, nona. Aku sudah lama berbakti dengan mendiang nyonya dari awal beliau memasuki kediaman keluarga Bai," jelas pelayan tua, Xing Lian.
"Nona, meski aku baru menjadi pelayan nona, aku juga tidak ingin tinggal di sini," timpal Ling Hua.
Yu Jie menghela napas pelan lalu berkata, "Bagaimana caraku menjelaskannya pada kalian."
"Nona, kau selalu memanggilku dengan sebutan bibi. Kali ini ijinkan aku berbicara sebagai bibi," ucap Xing Lian sopan.
Xing Lian adalah pelayan paling tua. Umurnya sebaya dengan mendiang ibu Yu Jie. Jika saja ibunya panjang umur, mungkin penampilan ibunya saat ini mirip dengan bibi Xing Lian.
Yu Jie mengangguk pelan.
"Kami sudah sepakat akan mengikuti nona. Kami juga bersedia melayani nona seumur hidup."
"Tapi bibi. Bagaimana caraku membayar upah kalian?"
"Nona jangan memikirkan hal itu. Kami tulus ingin mengikuti nona kemana pun. Lagipula aku bekerja pada keluarga Wang bukan keluarga Bai," jelas Xing Lian.
"Hiks! Nona, meski anda tidak menginginkan kami, aku tetap akan mengikuti nona," kini Ling Hua yang mulai terisak.
Yu Jie menghela napas pelan. Para pelayannya sangat keras kepala. Mau tidak mau, Yu Jie mengikuti keinginan mereka. Hidup kedepannya tidak ada yang tahu.
"Masih belum berkemas?" tanya Mei Yin saat memasuki kediaman Yu Jie.
Yu Jie sampai tidak menyadari kehadirannya.
"Sudah puas?" Yu Jie balik bertanya.
"Hahaha, tentu saja," jawab Mei Yin sambil tertawa.
"Enyah dari sini!" Ling Mei bangkit lalu mendorong Mei Yin.
Mei Yin yang tidak siap langsung jatuh terduduk.
"Kau! Berani sekali kau mendorongku!" teriak Mei Yin.
Dia berusaha berdiri, namun ujung gaunnya sengaja diinjak oleh Ling Mei.
"Kali ini, aku tidak akan membiarkan kau menindas nona," ucap Ling Mei tegas.
Yu Jie sempat terdiam karena terkejut melihat pelayannya yang termuda itu berani berbuat kasar pada anak majikannya. Jelas-jelas gadis itu tadi menangis hingga ingusnya kemana-kemana. Darimana dia mendapat keberanian seperti itu?
"Apa yang kau lakukan? Dasar pelayan rendahan!" teriak Mei Yin.
Ling Hua dengan cepat mengikat tangan Mei Yin ke belakang dengan sabuknya.
Tadinya dia datang ingin menghina Yu Jie untuk terakhir kali. Dia ingin melepas topengnya di depan Yu Jie. Berpura-pura menjadi adik yang baik sangat melelahkan baginya selama ini.
Untuk itu, dia datang ke kediaman Yu Jie untuk memperlihatkan pada Yu Jie bahwa betapa berkuasanya dia saat ini dan seterusnya.
Mei Yin sengaja tidak membawa pelayannya turut serta karena tidak ingin mereka melihat sisi buruknya. Siapa sangka jika pelayan rendahan Yu Jie berani berbuat kasar padanya.
"Penga..."
Belum sempat Mei Yin berteriak memanggil pengawal, mulutnya sudah ditutup lebih dulu oleh Li Mei dengan kain lap.
Xing Lian tak mau kalah. Seolah ini adalah kesempatan emas bagi mereka. Wanita paruh baya itu mengambil pisau di atas meja lalu berjongkok tepat dihadapan Mei Yin.
"Kalau kau berani macam-macam, aku tidak segan membuat ukiran di wajahmu!" tegas Xing Lian sambil memainkan mata pisau di hadapan Mei Yin.
Jaraknya sangat dekat hingga membuat mata gadis cantik itu melotot. Tubuhnya membeku di tempat.
Yu Jie tersenyum puas melihat para pelayan setianya membela dirinya. Meski itu salah, tapi perbuatan ibu dan anak itu lebih salah.
"Nuan!" panggil Yu Jie.
"Iya nona," jawab Nuan sambil mengalihkan pandangannya.
Dari tadi gadis itu tersenyum melihat perlakuan teman-temannya pada nona kedua mereka.
"Ambil kotak kayu di bawah tempat tidurku. Aku tidak peduli dengan yang lain."
"Baik nona," jawab Nuan lalu undur diri untuk menjalankan perintah nona mudanya.
"Bibi!" panggil Yu Jie.
"Iya nona."
"Lepaskan dia!" perintah Yu Jie pelan.
"Tapi nona, dia sudah menyakiti nona seperti ini!" Li Mei tak terima harus melepaskan tangkapan Ling Hua secepat itu.
Yu Jie tersenyum, "Aku tidak ingin lantai kediamanku kotor karena ada jejak darinya."
"Ah, anda benar nona!" seru Li Mei.
Ling Hua langsung melepas ikatannya dan mengenakan sabuknya lagi. Sedangkan Li Mei terlihat enggan melepas kain yang terjuntai di mulut Mei Yin.
"Kain lap itu sangat pantas di dalam mulutmu," ucap Li Mei sambil menarik kain itu kasar.
"Kau ..., uhuk!" Mei Yin terbatuk karena mulutnya kering hingga tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
"Pergi dari sini!" tegas Yu Jie.
Setelah mengatur napas, Mei Yin perlahan bangkit. Dengan sombongnya dia berkata, "Sebagai putri satu-satunya keluarga Bai, aku tidak akan melepaskan kalian. Bersiap saja kalian mendapat hukuman lebih berat dari ini."
Dia menatap bengis Ling Hua, Li Mei, dan Xing Lian satu persatu. Ketiga perempuan berbeda generasi itu saling pandang saat nona kedua yang berkuasa itu mengintimidasi mereka.
Bagaimana jika nanti mereka dipersulit untuk keluar dari kediaman keluarga Bai. Ah, penyesalan selalu datang terlambat. Ling Hua tersulut emosi saat melihat nona kedua keluarga Bai itu dengan lagaknya memasuki kediaman nona mudanya. Hal serupa dirasakan oleh Li Mei dan Xing Lian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!