NovelToon NovelToon

Anhe : Teratai Air Yang Damai

Pertarungan kematian

"Aku hanya ingin satu yang hidup," suara itu membuat perintah mematikan untuk semua orang yang ada di dalam genangan air sebatas lutut. Setidaknya ada dua puluh gadis muda yang siap dengan kepalan tangan masing-masing. Kolam cukup luas itu berada di sebuah ruangan, hanya satu pintu akses masuk yang terbuat dari besi baja. Dan hanya pihak luar yang dapat membuka akses untuk keluar masuk ruangan. Ketinggian bangunan melebihi enam meter. Pada bagian atas terdapat tempat untuk semua orang penting dalam lingkup itu berada.

 Setiap gadis berusia sekitar sepuluh hingga dua belas tahun. Menatap tajam seperti serigala lapar yang siap menerkam kapan saja.

 Dooonggg...

 Suara gong di bunyikan.

 "Aaa..."

 Suara teriakan perlawanan terdengar dengan cipratan air seperti ombak kuat.

 Pakll...

 Seorang gadis melemparkan tubuh lawannya masuk ke dalam air kolam. Dia menekan kuat membuat lawannya tidak dapat bernafas. Namun rambutnya telah di tarik terlebih dulu oleh gadis lain. Membuatnya tidak bisa melawan. Dia mencoba membuat kuncian pada kaki lawannya. Membuat gadis di belakang terpelanting kedepan. Mereka berdua tenggelam dan saling melawan di dalam air.

 Gadis-gadis lainnya juga melakukan hal yang sama. Tidak ada senjata hanya seluruh tubuh mereka yang akan menjadi senjata mematikan untuk pertahanan.

 Namun ada satu gadis berhasil menyembunyikan bilah pisau patahan dalam tubuhnya. Dia sangat ganas juga brutal. Mencabik tanpa henti tubuh lawannya. Mengakibatkan air di dalam kolam menjadi merah darah. Bau amis menyebar memenuhi tempat itu.

 Seorang pria dengan penutup di wajah mendekat. "Tuan, apa kita harus menghentikannya?"

 Seringaian tipis itu terlihat. Pria dengan jubah menutupi tubuhnya hanya mengangkat satu tangannya. Dengan tenang dia berkata, "Tidak perlu. Ambil nyawa orang yang telah membiarkan dia masuk."

 "Baik," pria dengan penutup wajah pergi untuk menyelesaikan tugas dari Tuan utama mereka.

 Suara teriakan terdengar menggema di ruangan itu. Setiap sayatan bagaikan maha karya mematikan. Dua puluh gadis muda kini hanya tinggal dua yang masih hidup. Setiap jasad mengambang di genangan darah.

 Gadis usia sepuluh tahun tanpa senjata mencoba mengatur nafasnya. Dia menatap dingin dan tajam tanpa rasa takut. Dia telah hidup dalam pertarungan setiap hari selama lima tahun terkahir. Dan kini dia harus menghadapi ujian agar dapat masuk ke tahap selanjutnya. Menjadi pembunuh paling kuat juga kejam.

 Gadis dengan senjata berlari dengan bringas. Senjata di tangannya di ayunkan kesegala arah namun memiliki satu tujuan yaitu satu lawannya yang masih tersisa. Gadis tanpa senjata terus menghindar. Mencoba menahan setiap serangan. Satu sayatan menggores lehernya untung saja bukan sayatan fatal pada syaraf utama. Dua sayatan di tangan, tiga sayatan di pinggang. Nafasnya cukup tidak beraturan. Hingga dia berhasil merebut bilah pisau patahan dalam genggaman tangannya. Dia mulai menyerbu dengan senjata itu. Membuat luka mematikan pada bagian jantung juga leher bagian titik fatal.

 Byyuurrr...

 Tubuh keduanya terbenam dalam ke dasar danau. Bayangan samar di kegelapan menyergap pada penglihatannya. Gadis usia sepuluh tahun itu kembali ke permukaan dan berhasil menjadi satu-satunya yang hidup. Dia berjalan menuju keatas danau. Melewati setiap jasad yang sudah mengambang di permukaan air. Luka mengalirkan darah dari setiap bagian tubuhnya. Tapi rasa sakit itu seperti tidak ada artinya. Perjuangannya untuk hidup selalu menghasilkan luka di sekujur tubuhnya. Dia terjatuh dan mencoba bersandar di tembok.

 Pintu kokoh terbuka lebar. "Ambil ini," melemparkan obat dalam botol. "Kamu berhasil melewati ujian. Ikuti aku untuk masuk ke ruangan selanjutnya," pria dengan penutup wajah menatap dingin.

 Gadis kecil itu langsung menaburkan obat untuk menghentikan pendarahan. Hanya kerutan kening yang terlihat tanpa ada suara terdengar. Dia bangkit perlahan dengan kekuatan yang masih tersisa. Mengikuti setiap langkah orang di depannya.

 Lorong panjang dan gelap hanya ada beberapa obor di setiap ujung. Membuat tempat itu menjadi penjara paling sunyi. Ada tiga pintu utama di masing-masing ruangan berbeda. Setiap pintu di buka akan ada pemandangan berbeda. Ada enam tingkatan berbeda yang harus di lalui setiap orang agar bisa menjadi pembunuh mematikan. Dan gadis kecil itu kini telah berhasil melewati tingkatan ke empat. Dia cukup cepat dalam bertindak juga kejam. Membuatnya bisa bertahan di tempat paling mematikan.

 "Sekarang tempat mu di sini," ujar pria itu memberikan tempat tidur di antara lorong gelap. Disana hanya ada empat tempat tidur berbeda. Dapat di bayangkan jika semua orang di ruangan itu adalah orang pilihan. Mereka semua sudah pernah menghadapi kematian beruang kali tanpa henti. Menjadi senjata paling mengerikan yang hanya mengenal kematian.

 Gadis kecil itu hanya mengangguk mengerti. Sudah lima tahun terkahir dia tidak pernah mengeluarkan suaranya. Dia sendiri bahkan hampir lupa caranya untuk berbicara. Di tempat itu tidak pernah ada kawan, atau persaudaraan yang ada hanya lawan. Setelah pria bertopeng pergi, gadis kecil itu mulai membaringkan tubuhnya perlahan. Mencoba untuk memejamkan kedua matanya. Dia merasa sangat lelah. Pertarungan yang sudah memakan beberapa jam itu berakhir dan kini waktunya untuk dirinya beristirahat.

 Saat bangun dia sudah mendapati satu wanita usia tujuh belas tahunan diam di tempat tidurnya. Wanita itu mengasah benda tajam di tangannya. Hanya melirik sebentar lalu melanjutkan kegiatannya lagi.

 Suara peluit menggama di ruangan itu. Tiga kali peluit di tiupkan itu tandanya sudah masuk waktu makan. Biasanya gadis kecil itu akan pergi berebut dengan gadis-gadis lainya. Namun kini dia hanya perlu mengambil makanannya yang ada di meja luar. Makanan sudah di sediakan secara terpisah bahkan lauknya juga cukup nikmat. Tidak lagi hanya bubur hambar, tapi roti dan sayuran. Dia berjalan pelan mengambil nampan makanannya. Dengan cepat dia menghabiskan semua makanan tanpa sisa. Sebelum pertarungan di mulai semua orang tidak di berikan makan selama hampir tiga hari.

 Tempat itu sangat sunyi hanya ada dua orang asing tanpa bisa menyapa satu sama lain.

 Wanita itu juga hanya makan lalu pergi ke tempat tidurnya lagi. Dia bahkan terlihat lebih santai dari gadis kecil yang baru datang.

 Tidak selang lama setelah gadis kecil itu sampai di tempat tidurnya. Penghuni lainnya datang dengan luka di bagian lengan. Panah tajam bahkan menembus hingga ke bagian tulang lengan. Dia tidak menjerit ataupun mengeluh, dengan cukup tenang wanita itu duduk di tempat tidurnya. Mengguyur perlahan luka dengan cairan dalam botol. "Iiisss..." Desis rasa sakit terdengar pelan. Dia mematahkan bagian tajam dari panah. Menggenggam erat bagian lainnya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa dia menarik keluar panah. Darah menyembur tanpa henti. Wanita itu menutup luka dengan kain yang sudah di berikan bubuk obat penghenti pendarahan.

 Dua orang lainnya yang ada di ruangan itu hanya melirik sebentar lalu membaringkan tubuh mereka dan memejamkan kedua mata mereka. Sedari awal tidak ada yang namanya simpati ataupun empati. Semua orang hanya di ajarkan untuk mengurus diri mereka sendiri selama kedua tangan dan kaki masih terpasang di tubuh mereka.

Ingatan di nafas terakhir

Langkah kaki di kegelapan malam menembus rintik hujan yang masih saja tidak berhenti sedari siang. Seseorang yang selalu berada di dalam kegelapan tengah mencari mangsa dengan tanda. Setiap tanda di berikan untuk menentukan seberapa kuat lawan yang harus ia hadapi. Kali ini gadis muda itu harus siap menghadapi mangsa tingkat pertama. Dia pembunuh tingkat pertama harus selalu dapat mengatasi semua permasalahan seorang diri. Tanpa ada rekan atau pun teman.

Dengan kemampuan bela dirinya dia mampu melompat dari rumah satu ke rumah lainnya. Setiap gerakan yang ia lakukan sangat ringan juga lembut. Langkahnya bahkan tidak bisa di dengar orang biasa. Kini dia sampai di salah satu kediaman mewah bertanda mangsa pertama. Plakat nama tergantung di atas pintu depan. 'Kediaman Raja kecil Ying'

Pembunuh itu melompat ke satu titik yang cukup gelap agar dia dapat terhindar dari penglihatan para penjaga. Saat langkahnya pelan menuju salah satu halaman. Dia di hentikan segerombolan penjaga yang telah siap menyerang. Semua panah telah menghadang kearah dirinya. Tatapannya sangat tenang seperti sebuah kematian tidak ada artinya untuk dirinya. Siluet di balik tirai terlihat tenang juga tajam. "Siapa yang mengirim mu?"

Tidak ada tanggapan.

"Baiklah. Tidak perlu berbicara. Kematian yang akan menyambut mu," Raja kecil Ying melambaikan tangannya.

Panah berjatuhan ke udara menuju tubuh kecil pembunuh di tengah halaman kediaman. Pembunuh itu berusaha menghindar sekuat tenaga. Bahkan sebelum dia terkena panah pertama, kertas kecil di tubuhnya di kunyah dan di telan begitu saja. Puluhan panah tertancap kuat di seluruh bagian tubuhnya. Darah mengucur tanpa henti sebelum nafasnya terhenti.

"Kuburkan. Sekalipun dia hanya umpan tetap saja dia juga manusia. Setidaknya memiliki tempat untuk beristirahat," Raja kecil berjalan pergi.

"Baik."

Suara langkah kaki berangsur-angsur padam. Di ikuti rasa sakit yang telah mati rasa. Senyuman tipis penuh luka mengambang seperti kertas yang mulai hilang tertelan air hujan. Di menit terakhir hidupnya, gadis di balik jubah hitam mulai sadar. Dia telah di jebak oleh tuannya sendiri. Dia telah menjadi budak buangan.

Wajah yang ada di pantulan cermin terlihat binggung juga tidak menyangka jika dirinya akan mengalami sebuah kehidupan kedua. Dia menekan berkali-kali pipi lembut juga putih seperti salju. Sudah dua hari setelah sadar dari koma Nona bungsu dari kediaman perdana menteri selalu terlihat linglung. Tingkah lakunya juga sangat berbeda. Gadis lemah yang selalu bersikap tanpa daya kini terlihat lebih hidup dari sebelumnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" menatap dingin kearah wajah yang tidak ia kenal.

Seorang pelayan usia lima belas tahunan datang membawa bubur juga teh hangat di nampan. "Mereka padahal tahu jika Nona muda seperti ini karena menolong nona kedua. Tapi mereka justru tidak tahu berterima kasih," pelayan itu terus bergumam. "Jika bukan karena tubuh Nona muda lemah. Mereka pasti tidak akan mungkin berani terlalu lancang."

Gadis di depan cermin bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju meja lalu duduk di kursi yang terlihat tua.

"Nona muda. Hari ini hanya ada bubur ini," pelayan itu terlihat tidak enak hati. Tapi dia tetap memberikan bubur itu kepada Nona mudanya.

"Tidak masalah. yang penting perut bisa terisi," gadis muda itu mengambil mangkuk bubur dan memakan bubur panas itu dengan sangat cepat.

"Nona ini panas."

gadis muda itu menghabiskan bubur panas tanpa mengeluh. Biasanya dia akan meniup pelan dan memakan bubur dengan sangat hati-hati. Bahkan hanya untuk makan bisa menghabiskan waktu setengah jam lebih.

"Nona muda, air putih."

Pelayan itu memberikan segelas air putih.

Setelah menghabiskan makan siangnya Li Anhe duduk santai menatap keluar jendela. Kumpulan awan terlihat sangat indah menyebar bersama warna biru cerah. Beberapa waktu lalu dia masih hidup di dalam kegelapan. Sekarang semua seperti sebuah mimpi panjang.

Seorang pelayan wanita tua datang. "Nona muda anda di minta untuk ikut dalam perjalanan berdoa di kuil."

Li Anhe menatap dingin. "Baik."

Pelayan itu memberikan hormat lalu pergi keluar. Sekalipun Nona bungsu Kediaman perdana menteri tidak terlalu di anggap. Tapi Nyonya tua sangat menyayangi cucunya itu yang telah kehilangan ibunya sejak kecil. Setelah mendengar cucu kesayangannya menyelamatkan cucunya yang lain tapi justru tenggelam dan hampir meninggal. Nyonya tua cukup khawatir pada akhirnya datang jauh-jauh dari luar kota untuk melihat cucu kesayangannya.

Gadis muda itu pernah ingin menghabisi semua orang yang ada di kediaman ini. Dia tentu tahu seluk beluk dari keluarga perdana menteri yang hampir ia musnahkan. Namun dia melewatkan satu orang, yaitu Nona bungsu yang terbuang. Namanya bahkan sama dengan namanya meskipun berbeda marga. Sebuah kebetulan atau memang takdir dari sang dewa untuk dirinya. Tidak ada yang tahu alasan yang pasti.

"Nona muda, aku akan menyiapkan pakaian baru. Juga beberapa perhiasan yang bisa di gunakan," pelayan itu dengan sigap menyiapkan semua keperluan Nona mudanya. "Nona sudah siap."

Li Anhe bangkit dari tempat duduknya lalu melepaskan setiap lapisan bajunya. Di bantu pelayannya, Li Anhe lebih cepat dalam berbenah. Setiap ikatan dalam kerapian untuk masalah wanita tentu dia bukan ahlinya.

"Nona muda semua sudah siap."

Li Anhe pergi keluar di ikuti pelayannya. Di luar kediaman empat kereta telah siap untuk di naiki semua orang yang akan ikut. Nyonya tua juga telah diam menunggu cucu kesayangannya. Saat dia melihat cucunya telah datang senyuman terlihat indah di wajahnya. "Yi er datang," Nyonya tua selalu memanggil Li Anhe sebagai marga dari ibunya Yaitu Yi. Mungkin karena Nyonya tua selalu bertentangan dengan anak laki-lakinya yang selalu pilih kasih terhadap anak-anaknya sendiri.

"Nenek,"Li Anhe memberikan salamnya.

"Kenapa lama sekali? Kami sudah menunggu sejak tadi," Nona kedua Li Rui terlihat kesal.

"Yi er baru saja sembuh tentu membutuhkan waktu untuk berbenah. Rui er adik mu sudah menyelamatkan mu. Bersikaplah lebih lembut kepada adik mu," Nyonya tua terlihat lebih kesal. Sifat cucunya satu ini sama persis seperti ibunya yang mudah tersinggung juga keras.

Selir pertama mendekat kearah anaknya. "Diam."

Nona kedua Li Rui langsung diam menahan rasa kesal di hatinya. Tatakan tajamnya bahkan masih sama.

"Ibu. Rui er hanya tidak ingin terlalu menunda waktu baik," ujar Selir pertama.

"Sudahlah. Kita berangkat," Nyonya tua sudah muak dengan sandiwara dari selir pertama. Dia berjalan pergi menggandeng tangan cucu bungsunya agar ikut di dalam keretanya.

Semua orang ikut masuk ke dalam kereta masing-masing yang telah di siapkan. Nona pertama, Tuan muda ketiga dan Tuan muda keempat juga ikut. Hanya Nyonya utama Li yang memilih untuk diam di kediaman tidak ingin ikut pergi ke kuil.

Selama perjalanan Li Anhe hanya diam memandang kearah luar jendela kereta yang melaju.

"Yi er. Apa kamu menyalahkan nenek? Seandainya nenek ada di sini kamu tidak akan menderita lebih banyak," Nyonya tua menatap penuh penyesalan.

Li Anhe berusaha mengeluarkan ekspresi lembut namun dia justru terlihat kaku. "Nenek, Aku baik-baik saja. Aku tidak pernah menyalahkan nenek."

"Kamu gadis yang pengertian," Nyonya tua menggenggam lembut tangan cucunya.

Kuil suci

Kereta berhenti di tempat pemberhentian kereta. Di luar kuil sudah banyak kereta berjejer rapi menunggu pemiliknya datang. Dari wanita kalangan biasa hingga bangsawan terlihat berdesakan untuk datang ke kuil suci di pinggiran kota. Rombongan kereta keluarga Li telah sepenuhnya berada di barisan paling belakang. Nyonya tua Li yang saat ini lebih memilih untuk mengikuti marga keluarganya yaitu Chao. Di bantu pelayan setianya Nyonya Chao turun dari kereta di ikuti Li Anhe.

  "Yi er, kita harus berdoa di kuil atas terlebih dulu baru beristirahat di penginapan terdekat. Malam hari jalur menuju kota cukup rawan perampokan," Nyonya tau Chao menggenggam tangan cucunya.

  Selir pertama mendekat kearah ibu mertuanya. "Ibu. Sudah waktunya jangan sampai waktu baik terlewatkan."

  "Kita pergi sekarang," ujar Nyonya tua Chao berjalan perlahan di bantu Li Anhe. Semua pelayan berjalan di belakang mengikuti Tuan muda dan Nona muda mereka. "Yi er, nenek sangat senang kamu bisa sembuh. Doa ku kepada sang dewa telah di kabulkan. Waktunya untuk kita datang berkunjung memberikan penghormatan paling sempurna."

  Li Anhe mengangguk dengan senyuman canggungnya. Dia harus berpura-pura menjadi gadis lemah lembut. Sesekali dia menekan rasa bosannya.

  "Apa kamu ingin pergi dari kota dan tinggal bersama ku? Kamu telah banyak menderita. Aku tahu bagaimana ayah mu, ibu tiri mu juga semua saudara mu memperlakukan mu dengan tidak baik. Kamu anak yang baik juga penurut. Nenek tidak tega membiarkan mu terlalu lama di ibu kota," suara Nyonya tua Chao bergetar cukup kuat. Tubuh rentanya kini telah mencapai usia delapan puluh tahun. Namun masih sanggup menaiki setiap tangga yang ada di kuil.

  Li Anhe memegang erat tangan neneknya. Dia sendiri tidak tahu harus setuju atau menolaknya. Namun dapat di pastikan ketenangan akan ia dapatkan jika hidup bersama neneknya. "Nenek, cucu ini menyetujuinya."

  Nyonya tua Chao tentu senang mendengar cucu kesayangannya mau ikut bersama dirinya. Di waktu-waktu terakhirnya dia sangat ingin di jaga oleh orang yang ia sayang. "Baik, baik. Saat pulang aku akan memberitahukan hal ini kepada ayah mu."

  "Ibu lihat adik kelima. Dia selalu saja munafik. Menempel kepada nenek sedari kecil jika nenek datang. Berpura-pura menjadi orang paling menderita. Wajahnya bahkan mengesalkan. Aku sangat ingin menarik rambutnya dari belakang," wajah Nona kedua Li Rui merah padam. Rasa cemburu selalu ada di dalam dirinya kepada adik kelimanya. Perhatian Nyonya tua Chao tentu adalah bagian utama dari rasa bencinya. "Heh," mendengus kesal.

  Selir pertama juga menatap tajam kearah Li Anhe. "Mau bagiamana lagi. Ibu mertua selalu saja pilih kasih kepada anak pembawa sial itu. Sekalipun kita ingin mendekat. Kita tidak akan bisa seperti Li Anhe," tangan anaknya bergelayut di lengannya. Cengkeraman tangan putrinya bahkan cukup kuat dan semakin kuat. "Ah, apa yang kamu lakukan. Lengan ibu sakit."

  Nona kedua Li Rui tersenyum. "Ibu maaf, aku hanya ingin melampiaskan kekesalan ku."

  "Kamu bisa melampiaskannya kemana saja. Tapi kenapa kepada ibu? Jaga sikap mu," Selir pertama memarahi putrinya.

  "Aku tahu," Li Rui melunak.

  Nona pertama Li Wen menatap tenang kesegala arah. Dia tahu tentang semua permasalahan di kediaman. Tapi dirinya sangat malas untuk menanggapi atau bahkan mempermasalahkannya. Dengan tubuh tegap dan anggun Li Wen berjalan mendului selir pertama juga Li Rui adik keduanya. "Minggir. Jangan menghalangi jalan ku jika kalian tidak bisa berjalan lebih cepat," ujarnya ketus. Sebagai putri pertama dari Nyonya utama Kediaman. Mendapatkan banyak hal yang lebih mewah juga paling di sayang di keluarga Li. Li Wen tumbuh menjadi gadis muda yang sombong, dan meninggikan semua hal di dalam dirinya.

  Selir pertama dan putrinya nona kedua Li Rui tentu mengalah. Mereka hanya menatap kesal tanpa berani bersuara untuk menentang.

 Setelah sampai di kuil bagian atas, mereka bergiliran untuk melakukan doa. Hingga semua orang telah selesai melakukan doa mereka. Nyonya tau Chao mengajak semua orang untuk beristirahat di salah satu tempat yang telah di sediakan untuk keluarga bangsawan, pejabat, juga orang penting lainnya. Karena harga sewa tempat cukup mahal orang biasa tidak mampu untuk menyewanya. Ada setidaknya tujuh kamar yang telah di pesan Nyonya tua Chao beberapa hari sebelumnya. Li Anhe mendapatkan kamar yang berada tidak jauh dari kamar neneknya. Setelah perjalanan cukup jauh juga berdesakan seharian semua orang masuk ke dalam kamar masing-masing. Sedangkan Li Anhe harus menemani neneknya mengobrol hingga pukul sembilan malam.

 "Sudah larut. Yi er, kamu juga harus beristirahat."

 Nyonya tua Chao tidak tega melihat cucunya dengan tubuh lemah masih saja berbakti kepada dirinya.

 "Baik. Nenek aku pergi dulu," Li Anhe memberikan salamnya sebelum keluar dari kamar. Saat dia melangkah keluar pemandangan malam membuatnya berhenti sejenak. Dia bergerak menuju ke salah satu kursi di salah satu Paviliun halaman penginapan. Penginapan itu berada di atas bukit dan semua pemandangan di bawah cukup menakjubkan. Selama kehidupan sebelumnya dia tanpa sadar melewatkan semua pemandangan yang indah itu. Yang ada di pikirannya hanya tugas, tugas dan tugas. Ketenangan yang ia dapatkan ini membuat hatinya lebih nyaman.

 "Nona muda, cuaca malam ini lebih dingin dari biasanya. Saya akan mengambilkan jubah tebal di kamar," pelayannya bergegas menuju ke kamar Nona kelimanya.

 Li Anhe memandang kearah langit berbintang luas dengan bulan bulat di atas sana. Pemandangan tembok kekaisaran juga terlihat menjulang tinggi di bawah. "Ternyata aku juga bisa memandang dunia dengan pemikiran berbeda," bibirnya mengembang perlahan. Wajah cantik di bahwa sinar rembulan seperti dewi langit yang turun dari bumi. Kecantikannya di turunkan dari ibunya bukan ayahnya. Karena keelokan wajahnya kakak tertuanya dan kakak keduanya merasa tersaingi. Li Anhe juga sadar akan hal itu dia memutuskan untuk tidak ikut campur di keluarganya dan memiliki untuk berdiam di halaman miliknya sendiri. Setiap keluar rumah wajahnya akan di tutupi kain putih bersih. Semua orang luar selalu menganggap Nona kelima keluarga Li memiliki wajah jelek penuh koreng. Tapi siapa yang sangka jika kecantikan itu sangat langka.

 Hanya hari ini Li Anhe keluar tanpa penutup wajah. Hampir semua orang menatapnya di sepanjang tanjakan menuju kuil. Nona pertama yang haus akan pujian selalu menatap tajam kearahnya tapi tidak ada keluhan yang keluar dari mulutnya.

 Di antara kegelapan, suara dari balik semak belukar terdengar. Li Anhe dengan insting yang telah terasah alami tentu tahu jika ada orang di dalam kegelapan. Dia duduk tenang namun juga waspada.

 "Nona muda," pelayannya memberikan jubah tebal.

 "Kita kembali," Li Anhe bangkit berjalan pergi di ikuti pelayannya.

 Baru saja mereka masuk ke dalam kamar. "Aku masih lapar. Apa kamu bisa membuatkan aku bubur kacang merah?"

 "Tentu," pelayannya pergi keluar setelah mendapatkan perintah.

 Di dalam kamar hanya ada gadis muda itu. Atau mungkin tidak hanya dia saja yang ada di sana. Dia duduk di kursi dengan tenang.

 Belati telah siap di tenggorokannya.

 "Aku tidak akan menyakiti mu," suara seorang laki-laki terdengar dari balik punggungnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!