NovelToon NovelToon

Karena Malam

BAB 1

...Pengenalan...

Akshan Atharanu Albrecht, seorang pria muda berbakat, pintar, dan memiliki begitu banyak penggemar. Akshan merupakan anak campuran, dengan ibu yang berketurunan Indo-Arab dan ayah yang berketurunan Indo-Jerman. Perpaduan yang sempurna untuk menghasilkan anak-anak yang tampan dan cantik jelita.

Akshan adalah aktor muda yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya. Sejak kecil ia sudah sering muncul di layar televisi dan bioskop-bioskop seluruh Indonesia. Iklan, serial TV dan film sudah sering ia bintangi.

Selain karier yang cemerlang, dia tetap tidak melupakan pendidikannya. Kemampuannya di bidang akademik pun sangat baik, dia berhasil berkuliah di Oxford University. Bukan dengan kekayaan atau prestasinya di bidang seni, tapi karena memang otaknya yang super encer.

Tak hanya di Indonesia, di Inggris juga ia menjadi pusat perhatian, walau ayah ibunya merupakan darah keturunan yang berbeda, tapi Akshan plek ketiplek mirip sekali dengan ayahnya yang benar-benar seperti bule Jerman. Apalagi matanya yang berwarna biru kehijauan. Warna yang memang kontras dengan orang Asia yang biasanya memiliki pupil mata berwarna gelap seperti hitam atau cokelat.

Tentu ketampanannya lah yang menjadi unsur utama, ditambah badan atletis yang terlihat sangat seksi, membuat bukan hanya penggemar perempuannya saja yang tergila-gila, tapi juga banyak pria yang menjadi fansnya, apalagi pria yang sedikit 'melambai', mereka sangat menggilainya. Termasuk aku.

Namaku Sienna Ann Lovelace. Tidak, jangan berpikiran bahwa aku turunan Indo sama dengan pria yang ku ceritakan di atas, Akshan. Aku gadis asli keturunan Indonesia, ayahku Sunda dan ibuku Jawa, tapi karena sejak lahir aku di Jakarta, logatku sedikit rada betawi.

Ya, orangtuaku memang bisa dibilang sedikit kebarat-baratan, mungkin karena dulu mereka sempat berkuliah di luar negeri. Kultur di sana mungkin bisa saja memengaruhi pemikiran mereka berdua. Ya, sekarang pun mereka tinggal di sana sih, karena ayah sedang merintis usaha di Jerman.

Mereka juga bertemu dan menikah di Jerman, tapi melahirkanku di Jakarta, katanya sih nenekku takut ibu gak sanggup mengurus aku sendirian karena belum berpengalaman merawat bayi, ditambah itu di negara orang yang budayanya jauh berbeda dengan nenek moyangnya di sini.

Nenekku yang dari sebelah ibu memang sedikit agak kolot, tapi nenekku yang kolot itu yang memberiku nama Sienna yang artinya perempuan, simple bukan? Lalu Ann adalah pemberian ibu karena dia sangat menghormati panutannya, Ann Tsukamoto.

Dilihat dari namanya, sebenarnya mungkin beliau itu berasal dari Jepang. Setahuku, beliau adalah ilmuwan yang penemuannya bermanfaat untuk memahami sistem darah pada pasien kanker yang akhirnya dapat mengarah pada proses penyembuhannya. Anyway, ibuku adalah dokter bedah yang sangat hebat.

Kemudian Lovelace adalah pemberian ayah. Sama dengan ibuku yang sedikit aneh karena menyukai sesuatu pasti pol-polan, ayahku juga ikut memberi nama seorang ilmuwan yang lumayan ia kagumi. Bukan suka pake banget sih, tapi katanya namanya unik dan pas buatku.

Ada Lovelace merupakan seorang ilmuwan perempuan yang membuatnya menjadi programmer komputer pertama di dunia. Inget ya, Ada itu nama depannya bukan ada dalam arti kata sesuatu barang subjek atau objek yang ada. Eh.. ehmm.. ya begitu lah ya, pokoknya nama ilmuwan itu Ada Lovelace.

Ayahku bernama Reynaldi dan ibuku bernama Kasih. Mereka berdua adalah orang hebat, dan pastinya mereka adalah panutanku. Walau tak pernah sekalipun aku ingin menjadi seperti mereka dalam menjalani karierku.

Aku punya mimpiku sendiri, mimpi yang entah mulai dari kapan. Dan beruntungnya aku memiliki keluarga yang sangat menyayangi dan menghargai segala keputusanku, mereka pasti selalu mendukungku.

Menjadi anak semata wayang dari seorang ayah Reynaldi dan ibu Kasih, tidak serta merta membuatku menjadi anak manja yang hanya akan merengek jika menginginkan sesuatu, atau pun marah ketika tidak dipenuhinya mauku.

Mereka -kedua orang tua dan kakek nenekku, justru menjadikanku anak yang mandiri. Aku bahagia memiliki mereka sebagai orang tuaku, kakekku, nenekku, pelindung dan penyemangat hidupku.

Ayah dan ibu, bahkan sampai kakek dan nenekku, berteman baik dengan orang tua Akshan, yaitu om Daniel dan tante Nabilla atau yang sering ku panggil uncle Niel dan aunt Billa. Itu juga karena aku berteman dekat dengan Tania, adik kandung Akshan.

Akshan adalah anak pertama dari tiga bersaudara, ia memiliki dua saudara yang dua-duanya adalah perempuan. Satu adalah saudara kembarnya, Agnes Atharani Albrecht dan Tania adalah adik bungsunya, Angella Athania Albrecht, sahabat baikku.

Entah kenapa Tania tidak suka dipanggil dengan nama depannya, katanya sih Angel adalah nama yang terlalu manis, terdengar sangat manja dan menurutnya itu sama sekali tak cocok untuknya.

Padahal kenyataannya dia memang lah gadis yang sangat manja dan kadang sedikit kekanakan. Mungkin karena dia anak bungsu dan seluruh anggota keluarganya memang sangat memanjakannya.

Bisa dikatakan bahwa aku dan Tania adalah sahabat tak terpisahkan. Kemana-mana kami selalu bersama, hingga keluargaku berlibur pun aku akan membawanya, begitu pun aku yang selalu diajaknya ikut serta dalam perjalanan liburan keluarganya.

Tentu karena orangtua kami sudah saling mempercayai, jadi dengan mudah kami berjalan kesana-kemari asal bersama-sama dan ada yang menjaga. Sering juga kami jalan bertiga dengan kak Akshan kalau dia sedang tidak ada jadwal apa pun.

Aku sangat menyukainya, tapi mungkin ia hanya menganggapku sebagai adiknya saja, sama seperti Tania yang memang adik kandungnya. Sedangkan kak Agnes, cukup sulit untuk bisa berkumpul dengannya.

Berbeda dengan kak Akshan yang humble dan mampu berkomunikasi dengan orang lain sehingga membuatnya mudah bergaul, kak Agnes tidak seperti itu. Dia adalah gadis yang introvert dan lebih senang mengurung diri daripada harus berkumpul dengan orang lain.

Akshan dan Agnes adalah saudara kembar yang sangat jauh berbeda, mungkin karena jenis kelamin mereka yang beda hingga kepribadian pun bisa berbanding terbalik. Entah lah, yang aku tahu pasti, keluarga itu saling menyayangi satu sama lain walau berbeda pemikiran sekali pun.

Setelah sekian lama aku dan Tania bersahabat, tak ada lagi dinding pemisah antara kami berdua. Termasuk tentang aku yang menyukai kak Akshan, kakak laki-lakinya. Ia sangat tahu seberapa besar aku menyukainya, hingga ia sering sekali mencoba mendekatkan kami berdua.

Tapi sayang bukan kepalang, kak Akshan dan aku terlalu bodoh untuk mengetahui perasaan masing-masing. Aku yang memiliki bentuk tubuh yang tidak proporsional ini pun merasa sangat tidak pantas untuknya.

Aku memang memiliki tinggi yang lumayan sebagai seorang perempuan, tapi badanku yang bisa dikatakan cukup gemuk membuatku selalu minder. Badanku tinggi besar dan aku yakin itu bisa membuat para lelaki kabur duluan sebelum mendekatiku.

Tapi sekali lagi, selain keluarga, aku juga beruntung memiliki sahabat seperti Tania yang selalu berusaha membuatku bangkit. Tania selalu bisa membuat senyum dan tawaku menjadi ceria.

Tapi setelah berbagai macam hal yang kami lewati bersama, mungkin sekarang sudah saatnya kami mengambil jalan masing-masing, aku ingin mecapai impianku, dan ia juga ingin menggapai mimpi-mimpinya.

Bersahabat dan selalu melakukan hal yang sama bukan berarti cita-cita dan keinginan kami pun selalu sama. Kini, kami akan memulai hari-hari yang sudah dipastikan akan menguras hati dan air mata karena saling menahan rindu satu sama lain.

--

Salam!

Sebelum masuk ke chapter berikutnya, kembali aku ingatkan agar bijak dalam memilih bacaan ya, ada beberapa explicit content yang gak cocok buat yang di bawah umur di beberapa chapter ke depan. 🤗😬🤫

Selamat membaca, sayang! 🔥

Oh ya, ini karya pertamaku.. tolong terus dukung dengan cara likes, beri komentar positif, vote, kasih bintang 5, terus follow juga yaaaah..

Yang udah, makasih banyak.. apalagi yang udah kasih tips sm hadiah, ah.. i love you so much 🥰❤️

Salam sayang,

Chanings_

BAB 2

...Berpisah...

Tania adalah sahabat terbaikku dari kami menginjakkan kaki di depan kelas sebuah TK ternama di kota Jakarta. Dia gadis yang cantik, imut, dan ceria. Dia mengajakku berkenalan terlebih dulu. Dia juga yang mengajakku bermain dan kami selalu tertawa bersama.

Bak sahabat pada umumnya, kami juga sering sekali berselisih faham, mulai dari pakaian, parfum, sampai memperdebatkan seorang lelaki baik atau tidak. Tapi baru sebentar beradu mulut, kami pasti akan langsung akur kembali.

Tak pernah bisa marahan sampai lebih dari tiga jam. Seperti itulah perjalanan persahabatan kami hingga kini kami berada di detik2 terkahir perpisahan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam pertama kalinya kami harus berpisah karena cita-cita kami yang berbeda.

Tania sangat terobsesi dengan mimpinya menjadi seorang designer, sedang aku yang selama ini mengagumi bangunan dan hobiku menggambar, tentu menjadi arsitek adalah impian terbesarku. Maka dari itu, kami terpaksa harus berpisah demi mengejar mimpi-mimpi itu.

“Tan, lu yakin mau kuliah di Paris?" tanyaku sedikit khawatir.

"Yakin, Si" jawab Tania, tegas.

"Yakin bisa hidup sendiri di sana?” tanyaku sambil meringis menautkan alis kiri dan kananku.

“Yakin lah! Harus yakin! Demi impian gue selama ini, gue pasti bisa kok, Si. Lu jangan bikin gue down dong, lu harusnya semangatin gue ih!” gerutu Tania sambil memelas, memanyunkan bibirnya.

Aku hanya tersenyum dan memeluknya, “Iyah, maafin gue yah. Abisnya kan lu anak manja yang gak pernah jauh dari keluarga lu dan juga gue, gue cuma khawatir sayang”.

Terdengar suara isakan, Tania menangis. “Iyah, gue emang anak manja, Si. Gue sempet mikir sih nanti gue bakal kayak gimana. Tapi mungkin ini kesempatan gue buat belajar mandiri, Si” ucapnya sambil cemberut, kemudian mengusapkan jari mungilnya di pipi untuk menghapus jejak air mata yang sempat mengalir.

Aku semakin mengeratkan pelukanku, aku sangat menyayanginya. Aku anak tunggal, jadi aku anggap Tania sebagai adik, karena aku lebih tua enam bulan dari Tania, tapi tak jarang dia juga mampu berlaku sebagai kakakku.

"Iyah sayang, lu pasti bisa kok. Kalau lagi libur juga nanti kita bisa saling ngunjungin, kan dari Jerman ke Perancis atau pun sebaliknya gak sejauh kita pulang ke Indonesia, paling sekitar 1jam naik pesawat, jadi kita bisa sekalian liburan bareng deh, keliling Eropa nanti kita" aku lanjut tertawa kecil untuk menenangkannya. "Heheee..."

Tania pun semakin memeluk tubuh gempalku. "Hmmm Siiiiii, makin sayang gue sama lo. Andai kak Akshan jadi sama lu, bisa jadi sodara beneran ya kita"

Seolah tanpa beban, gadis berambut cokelat itu mengucapkannya sembari nyengir memperlihatkan giginya yang putih, dihiasi gingsul yang membuatnya semakin terlihat manis.

Aku hanya diam dan tersenyum tipis mendengar ucapan Tania. Dia tahu seberapa besar aku mengagumi kakaknya. Di dinding kamarku tertempel banyak sekali poster kak Akshan, bahkan saking gilanya aku sempat membuat poster bergambar kak Akshan dengan tinggi dan besar yang sama seperti bentuk tubuh aslinya.

Aku selalu merasa geli mengingat hal itu. Untungnya tidak lama aku mengalami kegilaan itu. Untung juga aku taruh gambarnya di dalam lemari, kalau tidak, mungkin kakek dan nenek akan benar-benar memasukkanku ke dalam rumah sakit jiwa.

Walau sering bertemu kak Akshan karena aku sering ke rumah Tania, bahkan menginap di sana, tapi tetap saja aku selalu bergetar dan hatiku serasa melayang saat bertemu kak Akshan, apalagi saat-saat kami berjalan bersama, rasanya mau terbang ke bulan. Fans yang sangat sukses!

Tania selalu tahu saat aku senang atau pun sedih hanya dengan melihat mataku, begitu pun aku, aku sudah hafal dengan segala tingkah gadis manja itu. Melihat ada sesuatu yang berbeda, kami langsung mengerti apa yang sedang kami fikir dan rasakan.

“Gue gak mungkin lah Tan bisa sama kak Akshan, badan gue aja kayak badak begini. Jangankan dibandingin sama artis-artis cantik yang suka deketin dia, sama penggemarnya yang lain aja jauh. Hmmm…” desahku yang mencoba sadar diri.

Ya, aku sadar akan diriku yang dilihat saja mungkin tidak begitu enak dipandang. Wajahku mungkin memang lumayan cantik, dengan kulit putih dan tinggiku juga bisa dibilang semampai.

Tapi bobot tubuhku yang berlebih, mana ada yang mau padaku. Apalagi kak Akshan yang selalu dikelilingi wanita-wanita cantik dan seksi. 'Udahlah, gak usah mimpi!' batinku berteriak ngilu.

"Gue dianggap sebagai adiknya sendiri aja udah bangga kok, udah senengnya pake banget.. dia ramah dan bahkan gak malu jalan sama gue, itu udah bahagianya nget nget nget, Tan.. gue juga bisa dibilang fans yang paling beruntung karena bisa sedeket ini sama kalian.. hehe..”

Aku tersenyum dan Tania pun mengangguk tanda setuju, atau mungkin tak tahu lagi apa yang harus dia ucapkan, melihat mimik mukanya yang datar tak terartikan.

---

Beberapa hari telah berlalu, acara perpisahan kelas dua belas di sebuah gedung mewah sudah sukses digelar oleh sekolah, dan kini saatnya berpisah. Kami saling menangisi kepergian masing-masing.

Aku sedih karena harus merelakan sahabatku hidup sendiri di negara orang dan otomatis akan membuatku selalu khawatir padanya, sedangkan aku di Jerman akan tinggal di asrama dan masih luamayan dekat dengan kediaman kedua orangtuaku.

Ya, mereka memang tinggal disana setelah aku lulus SD. Aku tak ikut mereka karena merasa sudah betah di Jakarta, dan tentu saja alasan terbesarku adalah karena persahabatanku dengan Tania, tidak akan mudah mendapatkan sahabat seperti dia di sana.

Kemudian kami memutuskan untuk aku tinggal bersama nenek dan kakekku, karena memang sebenarnya, selama ini pun kami tinggal di rumah mereka. Kakek dan nenek hanya memiliki ibu dan om Ijal sebagai anak mereka.

Om Ijal adalah adik ibuku, yang saat itu masih berkuliah di luar negeri, membuat nenek sedikit lebih posesif pada ibu, apalagi setelah kelahiranku. Ia tak ingin jauh dari putera puterinya, ya, orang tua mana yang menginginkan hal itu.

Tapi setelah aku memasuki Sekolah Menengah Atas, nenek dan kakekku lebih sering berpetualang menikmati masa tua mereka. Tentu dengan effort yang lumayan agar nenek mau menjalani petualangan itu bersama kakek.

Karena aku yang sudah dirasa cukup dewasa juga, dapat memilah mana yang baik dan yang buruk untuk dilakukan, dan juga atas dukungan keluarga Tania yang selalu siap menampungku di kala aku sendiri. Jadi lah nenek berhasil luluh.

Aku senang dan sangat mendukung mereka, mereka pantas melakukannya, berkeliling dunia. Mereka selalu romantis walau kadang berselisih, tapi aku tahu mereka selalu saling mencintai, karena lima menit kemudian juga mereka baikan lagi. Ahh, aku makin penasaran. Apakah aku bisa seperti mereka nanti? Tua bersama dalam bahagia. Dengan siapa tapi yah?

Ayah dan ibuku juga sama saja seperti orangtuanya, meskipun mereka selalu sibuk dengan kegiatan masing-masing, tapi mereka selalu mencoba meluangkan waktu untuk setidaknya sarapan dan makan malam bersama setiap harinya.

Walau setelah itu tak jarang juga ibu kembali ke rumah sakit dan ayah yang juga kembali ke kantor. Mereka sering sekali lembur. Tapi aku senang mereka selalu terlihat harmonis dan saling menyayangi satu sama lain. Semoga selamanya akan terus seperti itu.

BAB 3

...Kembali...

4 tahun kemudian..

Akhirnya setelah melewati berbagai macam hal, aku pun mampu menyelesaikan studi dan dapat kembali ke Indonesia. Tentu dengan sahabatku, Tania. Kami berangkat bersama dari Frankfurt, Jerman, dan kini sudah mendarat dengan baik di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Indonesia.

Tapi sayangnya, Tania sebenarnya hanya ikut pulang untuk berlibur saja, impiannya menjadi fashion designer hebat masih belum dicapainya, masih harus banyak belajar katanya. Sekarang saja ia mencuri-curi waktu karena sedang magang di salah satu designer kondang di Paris, Perancis.

Huh, untung saja bossnya sangat baik hingga mengizinkannya ikut pulang kampung bersamaku. Tania beruntung, aku yakin sebentar lagi dia akan segera mendapatkan mimpinya. Gadis manja itu luar biasa, ternyata dia bisa gigih juga.

Sedangkan aku, aku kira sudah cukup. Aku akan memulai karierku di Jakarta saja. Melamar di beberapa perusahaan atau membangun perusahaanku sendiri, tentu dengan dukungan dan sokongan dana dari ayahku. Ia sangat antusias membantu anak semata wayangnya ini.

Tapi, untuk seorang yang bahkan baru lulus kuliah, apakah akan dipercaya? Kurasa tidak, jadi dengan lembut tapi tegas aku menolaknya. Sempat terlihat wajah kecewa, tapi tak lama, karena sifatku yang berpegang teguh dan percaya diri dengan kemampuanku sendiri, ini memang turun darinya.

Karena orangtuaku masih tetap harus di Jerman, kakek dan nenekku juga lebih senang mengunjungi kami, alih-alih kami yang mengunjungi mereka. Jadi aku sama sekali tidak pernah pulang ke Indonesia selama 4 tahun menimba ilmu di sana.

Bayangkan, betapa rindunya aku dengan kota kelahiranku, negataku, Indonesiaku. Aku sudah tidak sabar ingin mengililingi kota Jakarta. Empat tahun, itu adalah waktu yang sangat cukup untuk kota ini bertumbuh kembang. Aku penasaran, sudah seperti apa dan berapa banyak bangunan baru yah? Ah, aku sungguh tidak sabar. Rasanya hatiku membuncah riang menunggu saat-saat itu.

Dari kejauhan, samar-samar aku mendengar keriuhan, ku lihat ada kerumunan orang. Ternyata orang yang paling ku rindukan berdiri di depan sana. Wajah tampannya, badan yang tinggi besar dengan senyum memesona. Oh Tuhan, rasanya aku ingin terbang kembali saking senangnya.

Ku remas tangan Tania dan senyum lebar terbit di mukaku. "Tan, itu kak Akshan kan? Abang lu kan?"

"Iyah, biasa aja dong muka lo, tutup tu mulut ntar keburu laler masuk" ketus Tania seraya langsung menutup mulutku dengan tangan kanannya dan aku tersenyum malu ke arah Tania.

"Itu lap dulu ilernya neng, cengar cengir aje.. hahhaha..." dengan gerakan sigap aku memegang mulut, tapi tidak ada air liur atau apapun selain keringat yang ada di bagian antara hidung dan bibirku. Tania pun tertawa terbahak-bahak melihatku salah tingkah.

"Ish, lu mah ah ngeselin!" gerutuku sambil menghentak-hentakkan kaki.

Setelah itu, kami terus melaju dengan hatiku yang masih terbang di awang-awang, melesat lembut penuh gairah menuju pangeran tampan di seberang sana. Tania mulai menghambur, berlari kecil ke arah kakak laki-lakinya itu.

Sesampainya di hadapan pria itu, Tania langsung memeluknya setelah kak Akshan merentangkan tangan siap menerima pelukan rindu dari sang adik. Sedikit demi sedikit orang-orang yang tadi mengerubungi kak Akshan bepergian. Mungkin mereka tahu bahwa idolanya juga membutuhkan privasi. Penggemar yang bijak.

"Aaahhh kangeeeeeennn… eh tapi kok sendiri? Dimana kak Agnes? Mama? Papa? Kenapa cuma kakak aja yang jemput? Mereka gak kangen sama aku apa? Ih kebiasaan, kesel ah.. aku gak mau pulang aja!"

Tania langsung memborbardir kak Akshan dengan pertanyaan dan pernyataan tanpa memberi jeda, memberi waktu untuk kak Akshan menjawabnya. Hal yang malah membuat mereka yang mendengar dan melihatnya tergelak. Entah kenapa sifatnya tidak pernah bisa berubah, dia selalu menjadi gadis manja untuk kami yang menyayanginya.

"Woo.. sabar adikku sayang, gak usah ngegas gitu dong.. Mereka gak ikut karena lagi nunggu kita di rumah, mungkin mereka lagi bikin kejutan.." ucap kak Akshan dengan santai.

Aku hanya terdiam mematung karena mereka terlihat sibuk sendiri dan mengabaikanku. Sedikit tertusuk hatiku rasanya, tapi melihat senyuman terbit di antara kedua adik-kakak itu langsung terasa menyejukkan. Jujur aku iri, iri karena aku tidak punya kakak, iri karena aku tidak punya adik, dan iri karena aku juga ingin dipeluk kak Akshan.

"Uhmm.. Kamu Sienna kan?" tanya kak Akshan dengan wajah yang sedikit tak percaya.

Aku tersentak kaget, saat kak Akshan menyadari keberadaanku, bahkan kini ia sudah memegang bahuku. Sempat kecewa juga, kok dia malah nanya ya, apa sudah lupa denganku?

"Oh.. ehh.. iiiya kak, ini aku, Sienna.."

Huft, kenapa aku segugup ini, padahal dulu juga aku sama halnya dengan Tania, centil dan menunjukkan dengan terang-terangan rasa sukaku. Tapi mungkin karena ini pertemuan pertama kami setelah 4 tahun. Ahh, iyah, pasti seperti itu, rutukku dalam hati.

"Wah wah, sejak kapan Sissy-ku menciut? Kamu kurus banget, Si. Apa terlalu banyak beban ya saat kuliah? Kamu gak apa-apa? Gak ada keluhan sakit tapi kan? Sehat-sehat aja kan?" tanyanya panjang, sifatnya sama dengan adiknya. Sekali buka mulut gak cukup satu pertanyaan terlontar. Tapi apa tadi, Sissy-ku? Ya Tuhan, nikmat mana lagi yang ku dustakan. Bener-bener penggemar tersukses!

"Haha.. adik sama kakak nih sama aja. Nanya tuh satu-satu aja dulu, udah dijawab baru nanya lagi" Tawaku rasanya begitu lepas karena kekonyolan dua orang itu.

"Biasa aja ketawanya, Si" Ucap kak Akshan sambil memelukku dan menepuk-nepuk puncak kepalaku. Aku hanya diam, tersentak dan bingung. Tadi saja rasanya sudah terbang, sekarang berasa nebeng satelit keliling bumi bahkan mungkin udah keliling Galaksi Bima Sakti!

"Tadi om sama tante udah telpon, kamu ikut kami yah. Karena kakek dan nenek kebetulan sedang di Raja Ampat. Ah, dua sejoli itu memang selalu bikin iri.." Ucapnya dengan senyuman khas yang menyejukkan.

Aku hanya mengangguk dan ikut tersenyum. Dia pun melepas pelukannya dengan belaian lembut pada rambutku sebagai adegan penutup. Sekali lagi, kalau ada roket, kayaknya terbangku jauh lebih cepat saking senangnya. Kalau di komik/manga atau anime pasti ada adegan mimisan saat ini.

"Okay, ayo kita pulang!" kami mengucapkannya dengan serentak lalu tertawa.

Terlihat banyak pasang mata yang menatap kami dengan intens. Tapi aku sadar bahwa yang mereka lihat adalah kak Akshan, karena ia seorang artis papan atas yang sedang heboh diperbincangkan. Keputusannya untuk hengkang dari dunia entertainment sangat menggemparkan.

Tapi aku memaklumi, aku juga sudah dengar ceritanya melalui Tania. Katanya kak Akshan mau fokus bantu papanya mengurus perusahaan. Karena mau bagaimanapun kan kak Akshan putera satu-satunya di keluarga itu.

Walau kak Agnes juga jago dalam mengurus perusahaan selama ini, nyatanya Uncle Niel tetap ingin kak Akshan yang mewarisi tahtanya. Dan kak Agnes adalah pendukung. Sedangkan Tania tidak ingin terlibat, dia hanya ingin menjadi designer hebat dan memiliki butiknya sendiri, brandnya sendiri. Kemudian impiannya yang lain adalah menjadi ibu.

Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang, bahkan cenderung lambat membelah kota. Tania meminta kakaknya agar tidak ngebut. Aku tahu Tania sengaja, ia mengerti aku sangat menyukai bangunan. Butuh berjalan santai untuk sekedar menikmatinya. Aku tersenyum sepanjang jalan, bahagia sekali rasanya.

Ibukota memang hebat, Kota Jakarta berkembang pesat dalam kurun waktu empat tahun. Sudah banyak bangun baru yang menjulang tinggi mencakar langit di sana sini. Tapi yang aku senang tetaplah saat aku melihat beberapa Taman Kota yang tertata rapi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!