NovelToon NovelToon

Pernikahan (Bukan) Impian

Patah Lagi

Alina turun dari jok motor Marsudi dengan gerakan cepat. Ia tidak peduli jika langkahnya tampak kasar, atau jika orang-orang di pinggir jalan melirik mereka dengan rasa ingin tahu.

"Lin, ayo kuantar pulang… Jangan begini, malu dilihat orang," pinta Marsudi, suaranya setengah memohon.

Namun, Alina tak menggubris. Wajahnya yang biasanya lembut kini terlihat keras. Ia terus melangkah, meninggalkan Marsudi tanpa sedikit pun menoleh.

"Alinaa!" sekali lagi Marsudi memanggil, suaranya sedikit gemetar. Ia menjalankan motornya pelan, berusaha mengejarnya, tapi hatinya tahu, tidak ada gunanya.

"Udah, aku pulang sendiri! Kamu pulang saja, Mar. Gak usah ngikutin aku!" seru Alina sambil menoleh sekilas.

Matanya enggan menatap wajah pria itu lebih lama.

Sudah cukup.

Sudah terlalu sering aku dipaksa menjalani sesuatu yang hatiku sendiri tidak mau.

Sebuah taksi biru melintas. Tanpa ragu, Alina mengangkat tangannya, menghentikan kendaraan itu, lalu segera masuk ke dalamnya tanpa memberi Marsudi kesempatan berkata apa-apa.

Marsudi hanya bisa memandang kepergiannya. Tangannya mengusap rambutnya sendiri, frustasi.

'Capek aku pergi sama cowok kampungan begitu. ' batin Alina sambil memandang keluar jendela taksi.

Hari ini seharusnya jadi momen yang menyenangkan. Akhirnya, Alina bersedia ia ajak pergi ke acara sahabatnya. Tapi entah kenapa, di tengah jalan, gadis itu tiba-tiba berubah. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang menolak kebersamaan mereka.

Dan Marsudi bingung mesti bersikap bagaimana. Sampai akhirnya tadi ketika ia berusaha mengajak Alina pergi, dan tidak langsung pulang ke rumah, kemarahan Alina menjadi jadi. Dan dia akhirnya meminta turun di tepi jalan.

Marsudi menarik napas panjang. Ia menatap jalan yang kini kosong, tempat Alina baru saja berdiri. Baru sadar bahwa Alina dan taksinya sudah berlalu dari hadapannya.

"Ya Allah, kalau memang bukan jodoh, aku harus bilang apa…"

Hatinya terasa sesak. Sudah sekian lama ia memendam perasaan untuk Alina, tapi belum sempat cinta itu tumbuh, ia sudah merasa kalah.

Pelan-pelan, ia menyalakan mesin motornya, melaju perlahan menuju rumah. Namun, perjalanan kali ini terasa lebih berat. Bukan karena jalanan yang macet, tapi karena hatinya yang remuk.

******

Sesampainya di rumah, Alina langsung masuk ke kamarnya. Rumah tampak sepi. Adiknya mungkin masih di kampus, sementara ibunya kemungkinan berada di panti asuhan peninggalan kakeknya.

Setelah berganti pakaian dan mencuci muka, Alina membaringkan diri di kasur. Tangannya meraih ponsel, membaca beberapa pesan masuk. Tapi baru satu menit online, tiba-tiba ada panggilan masuk.

Marsudi.

Alina menatap layar itu beberapa detik sebelum akhirnya menekan tombol "Matikan". Ia tak ingin mendengar suaranya. Tidak sekarang. Tidak ketika hatinya sedang kacau.

Ia meletakkan ponsel di samping bantal, lalu menatap langit-langit kamar. Sejenak, pikirannya melayang jauh ke masa lalu.

Dua tahun yang lalu...

Saat itu, ia tengah mempersiapkan diri untuk menerima lamaran seseorang.

Seorang pria tampan dengan tinggi 182 cm, tubuh proporsional, dan senyum yang bisa membuat hatinya berdebar.

Muchsin.

Sebuah nama yang masih menyisakan luka dalam.

Sebuah cinta yang ternyata hanya tipuan belaka. Dan sampai detik saat itu tak ada satu pun alasan yang bisa Alina pahami, apa yang sebetulnya terjadi

Alina menarik napas panjang, tapi hatinya tetap terasa sesak. Matanya mulai terasa panas. Lalu, sebulir air mata jatuh di pipinya.

Mas Muchsin,

Kenapa bayangannya masih ada di sini?

Berjuang Melupakan

Masih jelas tergambar dalam ingatan, kata kata indah Muchsin yang terakhir kalinya,

"Lin, aku akan datang lagi, membawa semua keluargaku untuk meminangmu. Kamu sabar ya. Gak akan lama kok. Beri aku waktu untuk mempersiapkan dengan baik. "

"Beneran kamu janji mas? "

"Iya. Inshallah aku datang. Tapi saat ini aku gak bisa lama ya Lina. Aku mampir sebentar tadi dari Surabaya dan Ini mau meeting lagi ketemu rekan bisnisku."

"Meeting dimana? Boleh aku ikut? " tanya Alina percaya diri.

Namun Muchsin menolak. Ia nampak gugup. Sayangnya Alina tak mampu melihat sikap Muchsin yang mencurigakan. Hati dan pandangannya tertutup rasa cinta yang sedemikian besar.

"Maaf Lin, ini khusus untuk para lelaki saja. Kapan kapan kamu pasti aku kenalkan dengan kawan kawanku. Tapi untuk hari ini, maaf aku belum bisa."

Alina pun mengangguk lesu. Namun tetap tersungging senyum di wajahnya. Tak berapa lama Muchsin berpamitan. Ia mencium tangan bu Anik, ibu Alina. Dan terakhir membiarkan Alina mencium punggung tangannya.

Saat itu firasat Alina tak enak. Ia pun berkali kali mengirim chat setelah mereka berpisah. Hari itu pukul lima sore, chat terakhir Alina tidak dibaca lagi oleh Muchsin.

'Oh mungkin lowbat. ' prasangka baik Alina. Tetapi sampai malam hari handphone Muchsin mati. Bahkan sampai keesokan harinya. Alina hanya mendoakan calon suaminya itu agar hatinya lebih tenang. Seminggu, dua minggu, sebulan, waktu berganti dan hingga hari itu telah dua tahun lamanya Muchsin hilang bak ditelan bumi.

Alina bahkan sempat mencari keberadaannya di Surabaya, tetapi alamat yang diberikannya ternyata palsu. Tak ada nama Muchsin disana. Hati Alina seperti diremas jika ingat semua kenangan singkat bersama Muchsin. Rindunya telah membatu. Dan seolah olah pintu hatinya karatan sehingga sulit dibuka lagi.

Bayangan bayangan yang terus berkelebat itu semakin membuat air matanya terus menetes. Alina tidak sadar sampai sesenggukan. Sehingga ketika punggungnya diusap seseorang ia spontan menjerit kaget.

"Aaaaahhhhhh........!!! " Alina terbelalak. Ia pun spontan terduduk.

"Astaghfirullah Linaaa...., ngagetin aja sih" Bu Anik tiba tiba terloncat sambil memegangi dadanya.

"Ibuuuu..... Ibu yang ngagetin aku.... hiks... " Alina mengucek matanya yang terasa perih karena menangis berjam jam.

"Kamu udah sholat Magrib, Nak? " tanya ibunya tiba tiba.

"Haahhh?!?! Jam berapa ini Bu? "

"Udah jam enam lebih. Buruan bangun, magrib kok tidur. " Bu Anik masih mengomel pada Alina dan bukannya menghibur putri satu satunya itu. Dan langkahnya justru menjauh dari kamar putri satu satunya itu.

Alina menarik nafas panjang sambil duduk di pinggir tempat tidur. Rupanya ia ketiduran sambil menangis mengingat kekasih hatinya yang sudah dua tahun meninggalkannya. Beranjak perlahan ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil wudhu.

Dalam sujudnya ia meminta agar dirinya mampu melupakan Muchsin dan bisa membuka hatinya untuk orang lain yang dia harap lebih baik darinya.

Tepat selesai berdoa ia mendengar adzan Isya berkumandang, dalam hatinya merutuki dirinya sendiri yang tertidur sore hari menjelang malam sehingga nyaris terlambat sholat. Meski termasuk gadis modern, Alina termasuk yang rajin beribadah karena didikan keras ayahnya almarhum dan ibunya yang menurutnya tidak pernah menyayanginya.

Malam itu yang biasanya ada makan bersama antara Alina, Bu Anik dan Adik Alina yang bernama Rudy, harus absen karena Alina yang kehilangan mood gara gara peristiwa tadi pagi bersama Marsudi.

"Kakakmu kenapa Rud? " tanya Bu Anik sambil mengambil nasi dan lauk untuk dirinya sendiri.

"Gak ngerti Bu. Tadi pagi sih dijemput ama kawannya cowok pas banget berangkat bareng aku juga ke kampus."

"Siapa? Pernah kesini? "

"Kayaknya belum Bu. Aku baru lihat orangnya. Gak sempat kenalan juga. Tapi kayak udah dewasa gitu, meskipun postur nya agak kurang seimbang sih kalau sama Mbak Lina. " Rudy sambil menyuap nasi.

Bu Anik manggut manggut dan mereka berdua akhirnya menghabiskan makan sambil bercerita sambil lalu tentang peristiwa hari itu.

Sementara Alina yang sama sekali tidak merasa lapar ia enggan keluar kamar sekedar bergabung dengan ibu dan adiknya. Ia tentu saja malu karena matanya bengkak habis menangis seharian. Sehingga ia putuskan selesai sholat Isya lebih baik berbaring lagi dan pergi tidur.

Lampu kamar sudah ia matikan ketika mendengar pintu kamarnya diketuk.

Tok...... tok...... tok.....

"Mbaaa.... mau makan gak? " terdengar suara Rudy.

"Nggak Dek..... disimpan aja makanannya." Alina berteriak.

Dan sudah tidak terdengar lagi suara Rudy di depan kamarnya. Biasanya setelah makan malam anggota keluarganya masuk kamar masing masing dan lanjut beristirahat hingga keesokan harinya. Alina memutuskan bangun lagi, mendamaikan hatinya dengan mengaji sampai terbit rasa kantuknya.

Jodoh Untuk Alina

Beberapa hari kemudian.......

Alina masih termenung di kamarnya. Sesaat ia tak tahu harus melakukan apa. Bingung. Resah. Masih teringat kata kata ibunya barusan.

"Pokoknya kamu harus segera menikah Lin. Ibu gak mau diomongin orang, gara gara kamu telat jodoh dan dikatain orang sekampung dengan predikat perawan tua"

"Tapi Bu..... " sela Alina

"Gak ada tapi tapi," tegas ibunya.

"Iwan itu anaknya baik.  Ibunya satu group pengajian dengan Ibu. Dia juga PNS, hidup kamu terjamin nantinya.

Ibu sudah sampaikan kalau nanti malam dia akan bertemu kamu sebelum resmi melamar. Kamu harus pertimbangkan itu. "

Sedetik tatapan Alina membulat memandang ibunya yang bicara terlalu bersemangat sambil menunjuk nunjuk tangan ke arah wajahnya.

Kemudian ia mengerang...

"Bu,  tapi bertemu dulu kan...  Aku gak mau kalau kawan ibu itu cowok yang gak bisa nyambung diajak ngobrol."

Berkata demikian Alina memonyongkan mulutnya.  Ada nada penolakan di intonasinya. Dia masih trauma dengan Marsudi yang sama sekali gak nyaman diajak ngobrol. Buat Alina standar otak memang nomor satu. Setelah itu wajah. Selebihnya materi bisa dicari bersama. Tapi bahkan tak satupun orang terdekat dengannya paham apa maunya. Termasuk ibunya yang menurut Alina lebih mementingkan pikiran orang daripada kenyamanan anaknya sendiri. Tak sadar Alina pun mendengus.

Ibunya hanya geleng geleng kepala sambil berlalu. "Dasar anak susah diatur! "

Alina pun segera masuk kamar dan membuka diarynya. Selama ini bukan dia tidak menerima kehadiran seorang pria.

Kejadian beberapa tahun lalu yang membuat ia terluka kembali terbayang di pelupuk matanya. Muchsin, lelaki keturunan Arab yang menurutnya sempurna,  begitu saja meninggalkannya bahkan setelah melamarnya. Sehingga ia akhirnya mengunci pintu hatinya rapat rapat. Seolah takut kejadian itu akan terulang lagi. Dan saat ini kenapa juga ibu masih saja memaksakan aku segera menikah.... aku sudah nyaman sendiri, gumamnya putus asa.

"Ya Allah aku bukan tidak mau menuruti ibuku. Tapi hatiku masih enggan menerima siapapun.... Tunjukkan jalanMu Ya Allah, berikan yang terbaik untukku." Basah mata Alina mendoa pada Sang Kuasa untuk dirinya sendiri.

Dia sudah selesai sholat magrib saat pintu kamarnya diketuk oleh ibunya.

Perempuan berusia 26 tahun itu melipat mukenanya.

"ya Bu, sebentar. "

"Iwan sudah datang Lin. Kamu segera ke depan sana. Biar ibu yang buatkan minum"

Giliran ada maunya aja, ibu mau susah payah...Alina mendecak kesal.

Malas sekali rasanya bertemu orang yang sama sekali tak diinginkannya.

Sambil menyeret sendal nya Alina menuju ruang tamu.

Dia terkejut sesaat mendapati Iwan,  laki laki itu sudah duduk di kursi tamu.

Dasar gak sopan, gumamnya perlahan.

Jangan tanya penampakannya karena Alina malas menatap wajah berkacamata tebal itu. Cupu, batin Alina.

"Assalamualaikum" sapa Iwan ramah

"Waalaikumsalam" meski enggan menjawab Alina tetap memperdengarkan suaranya perlahan

Dia pun duduk di kursi terjauh dari tempat Iwan berada.

Alina pun terdiam sambil terus memainkan gawainya.

Iwan mencoba terus mengajak mengobrol namun Alina hanya menjawab sepatah dua patah kata.

Sama sekali Alina tidak menunjukkan ketertarikan dengan pembicaraan Iwan.

Bahkan Alina menunjukkan gelagat tak suka. Akhirnya Iwan pun berpamitan karena ia sadar meskipun Alina cukup cantik di matanya, namun sikapnya bagai es batu yang nampak tak mungkin mencair. Persis saat ia berdiri ibu Alina datang membawa minuman dingin dan sepiring kue.

"Loh Nak Iwan mau kemana? Ini kuenya belum dicicipi. "

Iwan pun berdusta, "Maaf bu barusan ada panggilan kawan lumayan darurat, saya minta ijin malam ini gak bisa lama lama karena harus segera menolong kawan"

"Ooh begitu" raut wajah ibu Anik nampak kecewa. Sedetik dia melirik Alina yang justru menunjukkan wajah sumringah saat Iwan berpamitan.

Hal itu membuat Bu Anik curiga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!