NovelToon NovelToon

Hello Tuan Harlan

Kembali ke masa lalu

Reina terkesiap, napasnya terengah-engah. Dia menatap sekitar dengan panik.

Setelah cukup tenang, kini dia merasa heran. Ke mana para algojo yang tadi tengah menyiksanya.

Kini, pandangan Reina menyisir ke arah ruangan yang terlihat terang.

Ini sangat familier. Batin Reina.

Benar saja, Reina memperhatikan ruangan sempit itu dengan saksama. Setelahnya dia melihat dirinya sendiri. Melihat tubuhnya yang masih utuh meski hanya tinggal kulit membungkus tulang.

Namun tak ada luka patah, tak ada darah. Reina menepuk dirinya dengan keras. Apakah ini alam baka. Gumamnya masih tak percaya.

Ketukan keras di pintu membuatnya terlonjak. Ini kamarnya, kamar di rumahnya dulu.

Pertanyaannya, kenapa dia bisa ada di sini. Lalu di mana lelaki kejam bernama Harlan yang tadi menyiksanya?

"Non!" panggil seseorang di depan pintu. Air mata menggenang di pelupuk matanya.

Itu adalah suara orang yang sangat dikenalnya dan dia merindukannya.

"Non!" panggilnya lagi dengan tidak sabar.

Reina bangkit dari kasur tipisnya. Samar ia ingat jika dulu dia tinggal di kasur lusuh itu.

"Bi Astrid?" panggil Reina seraya memeluk seorang wanita paruh baya itu dengan erat.

"Ya ampun, Non kenapa? Apa mimpi buruk lagi?" nada panik wanita itu semakin membuat tangis Reina semakin kencang.

"Bibi, syukurlah bibi masih hidup. Maafkan aku—"

"Non ini bicara apa? Tentu bibi masih hidup. Tapi bisa jadi bibi akan segera mati jika Non ngga segera melepaskan pelukannya," balas wanita itu dengan kekehan.

Reina melepaskan pelukannya. Dia lantas menatap ke arah sekitar. Ini rumahnya.

Apa dia koma dan kembali sadar lalu di bawa ke rumahnya?

"Hei kok bengong, Non ngga mau berangkat ke acara pesta kelulusan?" tanya Astrid heran.

Reina mengernyit heran. Pesta kelulusan? Apa maksudnya? Dia sudah menikah sejak tiga tahun lalu. Lantas apa maksud pelayan rumahnya tentang pesta kelulusan?

"Apa maksud bibi? Aku ini sudah lulus, bahkan sudah menikah, sekarang ini aku—" ucapan Reina terhenti saat dia teringat dengan kandungannya.

Anak yang ia sayangi meski tak pernah diinginkan oleh suaminya— Edwin.

Bahkan di saat kejadian keji itu, dirinya mati-matian menjaga kandungannya dari pukulan membabi buta yang di lakukan oleh anak buah Harlan padanya.

Namun sekeras apa pun ia melindungi, nyatanya darah yang keluar dari daerah sensitifnya membuat Reina sadar jika ia telah kehilangan anaknya akibat siksaan yang di lakukan lelaki keji bernama Harlan itu.

Air mata Reina kembali mengalir saat mengingat bagaimana ia kehilangan anak yang di kandungnya.

"Non ini ngomong apa? Jangan aneh-aneh Non. Non benar-benar membuat saya takut!" keluh Astrid.

Tak lama pandangan Reina tertuju pada sebuah kalender yang menunjukan tahun di mana ia baru lulus sekolah menengah atasnya.

"Bi, kenapa kalendernya belum di ganti?"

Astrid semakin heran dan juga cemas saat mendengar ucapan tak masuk akal nona mudanya.

"Astaga sepertinya mimpi non sangat buruk semalam ya. Ya sudah Non sebaiknya ngga usah datang saja."

Belum sempat Reina menjawab, sebuah suara membuatnya semakin keheranan.

"Kamu ngga datang ke pesta kelulusan?" suara itu masih sama. Nada manja yang selalu membuat orang lain terbuai tapi justru membuat Reina muak.

Ini bukan mimpi, semua seperti kejadian tiga tahun silam.

Mengabaikan pertanyaan Elyana— saudari tirinya. Reina memilih menatap cermin di dalam kamarnya.

Ini wajahnya tiga tahun lalu. Rambut serta wajah yang selalu terlihat pucat adalah wajahnya dulu.

Apa dia kembali ke masa lalu? Jika iya, bagaimana bisa?

"Kenapa dia? Sudah aneh makin tambah aneh aja," cibir Elyana lagi.

Benar, kini Reina menyadari jika entah bagaimana, tapi dia di beri kesempatan hidup lagi dan kembali ke masa lalu.

"Non?" cicit Astrid khawatir.

Reina berbalik dan tersenyum kepada pelayan yang masih dipertahankan ayahnya. Setelah kedatangan Elyana dan ibunya. Semua pelayan yang dulu ikut dengan keluarganya digantikan.

Hanya Astrid saja yang dipertahankan sebab sang ayah hanya bisa makan masakan wanita itu.

"Terima kasih Bi, aku baik-baik aja. Aku mau bersiap."

Astrid bingung mendengar ucapan terima kasih dari nona mudanya.

Namun dia tetap bersyukur jika semuanya baik-baik saja, sedangkan Reina berterima kasih karena merasa lega sebab bisa bertemu wanita itu lagi.

"Jangan mempermalukan kami di sana. Anggap kita tidak saling mengenal!" ucapan kasar itu meluncur dari mulut Laksmana Angkasa, kakak pertama Reina yang juga menjadi orang pertama yang membenci Reina dan menyalahkan dirinya atas kematian ibu mereka.

Reina mengepalkan tangannya erat. Dia berjanji di kehidupan ini, ia tak akan lagi menjadi wanita lemah yang rela ditindas oleh keluarganya.

"Kau tenang saja, tak ada satu pun yang tahu kalau aku ini bagian keluarga Angkasa. Aku adalah keturunan Suwito," balas Reina dingin.

Laksmana yang mendengar ucapan adik bungsunya, terpaku tak percaya. Gadis yang biasanya hanya diam dan patuh pada mereka kini bahkan bisa bicara dengan nada dingin yang asing.

"Baguslah," dengus Laksmana menyembunyikan kegundahannya.

Tak jauh dari mereka, sosok pemuda lain juga tak kalah terkejutnya.

Reina yang biasanya hanya diam lalu menangis, kini bahkan berani menjawab kakak pertamanya.

"Kak Vano juga akan hadir di acara kelulusanku kan?" pinta Elyana manja.

Kedua saudara laki-laki itu memperlakukan adik tirinya dengan baik. Semua mereka lakukan karena ingin menyakiti Reina lebih dalam.

Mereka sangat puas saat menatap wajah penuh keirian Reina saat mereka lebih memanjakan Elyana.

Dulu hanya Laksmana yang membenci dan menyalahkan Reina. Tak lama lelaki itu memprovokasi ayah dan adiknya untuk ikut membenci Reina juga.

Meski kala itu Vano dan ayahnya tak membenci Reina, tapi sikap mereka yang mengabaikan Reina juga cukup membuat Laksmana puas.

Reina kembali ke kamar. Ia benar-benar kembali ke masa lalu tapi dengan ingatan masa depan yang ia bawa.

Kejadian tadi juga samar-samar ia ingat. Namun kala itu dirinya tak menjawab ucapan menyakitkan dari kakak pertamanya.

Ia yang lemah hanya bisa menangis dan menerima keadaan. Kini, masa depan sudah mulai ia rubah.

Satu persatu kejadian tengah ia ingat. Lalu senyum sinis terkembang di sudut bibir pucatnya.

Masa depan akan berubah, apa takdir akan kembali mempermainkannya atau dia yang harus jungkir balik menghadapi takdir kejam kehidupan masa depannya.

.

.

.

Lanjut

Berubah

Setelah membersihkan diri, Reina ingat jika, sebentar lagi Elyana akan datang dan memberikannya sebuah gaun yang justru akan membuatnya malu di pesta perpisahan nanti.

Reina bingung, apa ia harus datang dan tetap di permalukan atau memilih berdiam diri saja di rumah dengan berpura-pura sakit.

Kalau pun harus datang, dia tak mungkin mengenakan gaun dari Elyana. Lalu harus mengenakan apa?

Reina menghela napas saat melihat ke arah lemari pakiannya. Di sana hanya terdapat kaus dan juga celana dari berbagai jenis bahan saja.

Ia tak memiliki gaun dan tak pernah bermimpi bisa memiliki sebuah gaun yang harganya sangat mahal itu.

Mengharapkan dari sang ayah jelas sangat tak mungkin.

Reina ingat jika ayahnya juga sangat membencinya. Parahnya lagi, lelaki yang harusnya menjadi cinta pertamanya itu akan membiarkan sikap istrinya yang selalu bersikap kasar padanya.

Reina kehilangan sang ibu saat usianya baru menginjak 12 tahun. Saat itu ia memang memaksa keluarganya untuk pergi ke pantai.

Ayahnya sempat menolak karena keadaan ibu mereka tak memungkinkan untuk berpergian jauh.

Tatyana— setelah melahirkan Reina memang kondisi tubuhnya tak bisa kembali sehat seperti dulu.

Wanita itu sering sakit-sakitan, hingga membuat Reina tak memiliki kenangan dengan keluarganya saat berpergian.

Di hari ulang tahunnya, dia memaksa karena ingin merasakan indahnya berpergian bersama keluarga seperti teman-teman sebayanya.

Tatyana yang tak tega, akhirnya memaksakan diri untuk ikut.

Benar saja, bencana tak pernah ada yang tahu. Reina yang lepas pengawasan karena sibuk mencari kerang, tersapu oleh derasnya ombak yang tiba-tiba datang menghantam tubuh kecilnya.

Saat itu, Hendro— sang ayah tengah mengambil selimut di hotel untuk Tatyana, sedangkan kedua anak lelakinya Laksmana dan Vano hanya terdiam bingung saat ibu mereka tiba-tiba berlari menuju pantai untuk menyelamatkan Reina.

Reina memang di temukan oleh penjaga pantai, sayangnya Tatyana yang justru menghilang terbawa ombak yang mengganas.

Mereka semua merasa kehilangan. Setelah kejadian itu, Laksmana-lah orang pertama yang menyalahkannya. Lelaki itu seolah merasa hanya dirinya yang kehilangan ibu mereka. Dia seakan lupa jika Reina juga sama terlukanya dengan mereka.

Semua itu semakin diperburuk setelah ayah mereka menikah lagi dengan Meike dan membawa wanita itu serta anaknya untuk tinggal bersama.

Dulu Reina hanya merasa diabaikan, tapi setelah kedatangan ibu tirinya hidupnya semakin mengenaskan, karena selain mendapat kekerasan verbal, Reina juga harus merasakan kekerasan fisik dari wanita itu dengan dalih mendisiplinkannya.

.

.

Pintu kamarnya terbuka tanpa persetujuannya. Benar saja, Elyana yang sudah berdandan dengan cantik datang membawa sebuah pakaian di lengan kirinya.

Gadis itu tersenyum meremehkan. Ia lalu melempar pakaian yang sudah Reina tebak itu adalah gaun yang akan mempermalukannya.

Gaunnya memang indah dan mewah. Namun gaun itu seperti gaun pernikahan, benar-benar terlalu berlebihan jika hanya untuk sebuah pesta kelulusan.

"Aku udah tebak kalau kamu pasti ngga punya gaun. Pakailah, itu buatan desainer terkenal yang pasti mahal. Jangan anggap aku dan mamihku kejam karena tak memikirkanmu," cibirnya.

Reina tak membalas, dia masih menatap cermin di depannya.

Tak menunggu jawaban Reina, Elyana segera berlalu dari sana.

Reina menghela napas. Dia menatap gaun pemberian Elyana dengan pandangan sendu.

Ada apa dengan takdir ini. Apa yang harus dia perbaiki? Batinnya merancu.

Tak lama ketukan kembali terdengar, lagi-lagi tanpa menunggu persetujuannya seseorang masuk ke dalam kamarnya.

"Non?" panggilan itu ternyata dari Astrid. Reina mengernyit heran kala melihat Astrid datang dengan membawa sesuatu di kantong plastik hitam.

Ini tak ada di ingatan masa lalunya. Kepala Reina sakit, apa ada yang berubah dari masa lalunya, atau dia yang tak ingat beberapa kejadian di masa lalu.

"Non kenapa?" tanya Astrid panik saat melihat Reina memukul kepalanya.

"Ngga papa Bi, aku cuma sedikit pusing. Ada apa Bi?"

Astrid ingin membuka suara, tapi ia urungkan saat melihat sebuah gaun indah tergeletak di kasur tipis milik majikannya.

Kasur Reina terlihat sangat menyedihkan, bahkan dirinya yang hanya seorang pelayan saja memiliki kasur yang lebih layak dari majikannya itu.

Semua memang atas perintah Meike yang katanya ingin mendisiplinkan majikan mudanya itu.

Ingin sekali Astrid meminta Reina untuk pergi dari rumah itu. Dia benar-benar tak tega dengan keadaan Reina yang dibuang oleh keluarganya.

"Ternyata Non sudah punya gaun. Bibi kira, Non kebingungan tadi karena belum punya gaun," jelasnya.

"Gaun?" beo Reina dengan mata berbinar.

Meski kejadian ini tak Reina ingat apa pernah ada di masa depannya. Setidaknya ia bersyukur tak harus mempermalukan diri dengan menggunakan gaun yang di berikan oleh Elyana.

Reina mengambil gaun yang di bawa oleh Astrid. Matanya berbinar, gaun putih itu sederhana tapi tetap terlihat elegan.

Tak terasa air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia tahun gaun siapa yang di bawa oleh Astrid.

"Ini milik ibu," lirihnya.

"Iya Non, ada beberapa barang milik nyonya di rumah saya. Maaf saya tak bisa menyelamatkan semua saat kejadian itu," sesal Astrid.

Reina mengingat samar kejadian saat ibu tirinya baru datang ke rumahnya.

Dengan keangkuhan dan juga persetujuan dari ayahnya, wanita licik itu meminta agar semua barang peninggalan ibunya disingkirkan.

Meike berdalih jika masih menyimpan barang seorang yang telah tiada hanya akan membuat suram suasana rumah.

Dan ajaibnya ayahnya setuju, seolah semua cinta itu telah menguap dan tergantikan oleh Meike.

Reina tahu sang ayah sempat sendiri cukup lama sebelum akhirnya menikah dengan Meike setahun lalu.

Namun apa harus setergila-gila itu sampai dia merelakan semua barang mendiang ibunya di musnahkan.

"Non bisa ke sana untuk melihatnya. Meski tak banyak setidaknya bisa melepaskan kerinduan Nona."

Reina tersenyum tak lupa ia mengucapkan rasa terima kasihnya.

"Dan ini—" Astrid kembali memberikan sesuatu ke tangannya.

Reina tercekat, itu adalah sejumlah uang milik pelayannya.

"Apa ini Bi?"

Astrid terkekeh, "apa non mau datang ke pesta tanpa berias? Datanglah ke salon. Maaf bibi hanya bisa memberikan segitu. Tapi Non tenang saja. Datanglah ke salon ini, di sana uang ini cukup untuk biaya riasnya. Riasan di sana juga bagus."

"Bi, aku ngga tahu lagi bagaimana harus berterima kasih. Terima kasih karena selalu berada di sisiku Bi."

Reina memeluk sang pelayan dengan haru. Astrid segera berlalu dari sana sebelum pelayan lain melaporkan tindakannya pada Meike.

Reina lantas berlalu dari rumah menuju alamat yang Astrid katakan.

Di depan gerbang, dia sedikit menyingkir saat mendengar suara klakson di belakangnya. Mobil milik kakak pertama serta keduanya berlalu dari sana.

Di susul mobil Elyana, sungguh menyedihkan ia yang darah daging keluarga Angkasa justru harus berjalan kaki menuju jalan utama.

"Non sepedanya sudah saya perbaiki, Non bisa menggunakannya sekarang," ucap Tama, penjaga keamanan sekaligus suami dari Astrid.

Ah Reina juga lupa jika ia memang di berikan kendaraan oleh sang ayah, yaitu sebuah sepeda.

Reina tak mengeluh, dia kembali ke dalam dan mengambil sepedanya.

.

.

.

Lanjut

Hal Baru

Reina menatap tak percaya pada cermin di depannya.

Benarkah itu dirinya?

"Kamu memang sudah sangat cantik. Ahh ... Aku bahkan ingin memajang fotomu sebagai hiasan agar orang semakin tahu bahwa riasanku memang bagus!"

Lelaki gemulai itu menatap penuh kagum pada hasil karyanya.

Reina menatap lelaki itu dengan senyum terkembang.

"Terima kasih sudah membuat penampilanku sangat baik. Aku puas."

Reina mengeluarkan uang yang tadi ia terima dari Astrid dan membayar jasa riasnya.

Lelaki di depannya menerima dengan perasaan sendu.

"Kamu akan ke sekolah dengan memakai sepeda?" lirih lelaki gemulai itu tampak sedih dengan keadaan Reina.

"Tidak apa-apa. Aku biasa seperti ini."

"Hei, itu jika kau menggunakan pakaian sekolah. Lihatlah, kau menggunakan gaun pasti akan sangat sulit menggunakan sepeda. Apa tak memanggil taksi online saja?"

Reina meremas tangannya sendiri. Uang dari mana lagi. Uang yang Astrid berikan hanya cukup untuk membayar jasa riasnya saja.

"Sudah ... Sudah. Tak perlu kamu mengeluarkan wajah memelas seperti itu. Aku tahu hidupmu sulit. Maka di masa depan, bekerjalah dengan keras, karena dunia ini sangat kejam, kau tahu?"

Tak lama lelaki gemulai itu menghubungi seseorang. Setelahnya dia lalu menatap Reina lagi. Dia menelisik karena menurutnya penampilan gadis itu serasa ada yang kurang.

Dengan tangan bertumpu satu sama lain sambil memegang dagu, dia kembali menatap Reina sambil berputar.

Reina juga ikut bingung sebab seingatnya kejadian ini juga tak ada di masa depannya.

Ternyata sejak memutuskan untuk memperbaiki masa depannya, masa lalunya banyak terjadi hal baru yang membuatnya cukup cemas juga.

"Ah iya. Apa kau akan menggunakan sepatu bututmu itu? Pantas aku merasa sejak tadi penampilanmu ada yang kurang!"

Reina kembali menatap bagian bawah gaunnya. Gaun yang tingginya di atas mata kaki jelas tak akan serasi dengan sepatu sekolahnya yang telah butut itu.

"Sepertinya aku punya yang cocok dengan gaunmu itu."

Tak lama lelaki itu pergi ke dalam ruangan dan membawa sebuah kotak yang sangat cantik menurut Reina.

"Benarkan ini sangat cocok. Ah sepertinya mereka memang di takdirkan untuk bersama!"

Kebahagian berlebihan itu membuat Reina tersenyum bahagia. Ternyata banyak orang di dunia ini yang masih perduli padanya.

Entah ke mana saja dia dahulu hingga bisa mengabaikan orang-orang yang tak hadir seperti saat ini.

Sebuah sepatu dengan hak yang hanya 7 centi membuat penampilan Reina sangat sempurna.

Lelaki itu semakin puas dnegan penampilan Reina dan meminta gadis itu untuk mengiklankan salonnya pada teman-temannya nanti.

Reina hanya mengangguk, dalam hati dia berdoa semoga Tuhan membalas perbuatan baiknya.

Tak lama sebuah mobil hitam datang. Lalu keluar seorang pemuda kurus dari arah kemudi.

"Yash! Kau baru bangun? Kau memang menjengkelkan!" gerutu lelaki gemulai itu lagi pada sopir.

"Hei aku ini seseorang yang memang hidup di dunia malam, kenapa kau bawel sekali." Lelaki itu lantas menatap Reina.

"Iya, aku meminta kamu mengantarkan dia! Ingat jangan kau goda, dia masih anak di bawah umur," ancamnya tegas.

Lelaki itu terkekeh tapi tetap memberi hormat layaknya seorang prajurit.

Reina merasa canggung saat lelaki itu membuka pintu mobil untuknya.

"Kenapa? Kamu mau duduk di belakang?" tanya lelaki itu heran.

"Ah tidak, maaf aku hanya gugup."

Reina bergegas masuk. Setidaknya dia akan terlambat jika masih memikirkan hal baru ini.

"Kamu ngga lupa bawa undangannya kan?" ucap lelaki itu memecah kesunyian selama perjalanan.

"Tidak, terima kasih sudah mengingatkan," balas Reina canggung.

"Ini adalah pesta kelulusan, tapi jangan menggila juga, ingat masa depanmu ya. Euforia terkadang membuat kau kehilangan tujuan hingga melepaskan sesuatu yang berharga," saran lelaki yang penampilannya menurut Reina sangat urakan.

Entah kenapa perasaan Reina menghangat, sesuatu yang harusnya keluar dari mulut kedua kakak lelakinya, justru keluar dari orang lain.

Reina merasa dia seperti mendapatkan kasih sayang dari lelaki lain karena hilangnya kasih sayang sang kakak.

"Hei kenapa kamu menangis? Aku hanya mengingatkan, jangan sampai kamu menyesal. Jangan anggap serius ucapanku, nanti riasanmu rusak," ucap lelaki itu panik.

"Terima kasih Ka, terima kasih karena telah memberiku nasihat."

"Astaga, itu hanya sebuah ucapan sederhana."

Tak terasa mereka sudah sampai di sekolah Reina. Gadis itu terkejut karena lelaki itu seolah tahu di mana dia bersekolah.

Reina menatap lelaki itu. Sorot matanya menuntut penjelasan.

Lelaki itu bahkan hanya terkekeh tanpa merasa terintimidasi sedikit pun.

"Sekolah yang sedang merayakan pesta kelulusan hanya sekolah ini, jadi ngga usah heran."

Reina keluar dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Saking tidak pernah diperhatikan oleh lelaki di rumahnya, sebuah nasihat membuat hatinya menghangat.

Tentu itu harusnya tak bisa di biarkan, andai dia masihlah gadis dengan pemikiran di usia 19 tahun tentu sangat berbahaya. Peran keluarga sangatlah penting di masa tumbuh kembang anak-anaknya.

Namun karena Reina terlahir kembali dengan pemikiran dewasa, dia tetap bisa memilah perkataan yang menjadi nasihat untuknya.

Dia menatap ke arah pintu sekolah yang terbuka lebar. Berbagai mobil mewah telah terpakir di sana.

Para siswa pun berpakaian sangat bagus hari ini. Lagi, Reina bersyukur kehadirannya tak menjadi bahan tontonan siswa lain seperti dulu.

Dia berjalan menuju ruang auditorium. Untungnya ia masih ingat tata letak bangunan sekolahnya.

"Rei!" panggil seseorang hingga membuat Reina menghentikan langkahnya.

Dua orang gadis berjalan dengan cepat ke arahnya. Bukannya senang seperti kehidupan masa lalunya, Reina justru menatap ke dua gadis itu dengan dingin.

Grace dan Vika sampai di tempatnya, Grace yang peka menatap keanehan dari sikap Reina yang tenang dan terkesan acuh.

Biasanya gadis itu akan tersenyum cerah dan menyambutnya dengan riang. Kali ini Reina bahkan hanya terdiam tanpa emosi di wajahnya membuat Grace tidak nyaman.

"Astaga kamu cantik banget Rei!" pekik Vika yang hanya dibalas seringai tipis.

Di masa lalu, Reina akan berbinar mendengar pujian sahabat-sahabatnya ini. Namun mengingat kepedihan karena kedua sahabatnya juga akan mengkhianatinya di masa depan, membuat Reina tak bisa memancarkan kebahagaian bertemu dengan mereka.

"Edwin pasti terpukau sama penampilan kamu ini—" sambungnya lagi yang tak memperhatikan keengganan Reina.

Grace masih membaca situasi akan perasaan gadis itu yang tiba-tiba berubah asing.

"Kamu ngga papa?" mereka berdua tahu siapa Reina dan bagaimana kehidupan gadis itu.

Bagaimana gadis itu disakiti secara mental dan fisik oleh keluarganya.

Reina melirik Grace yang pandangannya terlihat sendu. Di banding dengan Vika, Grace memang sedikit bisa mengerti Reina.

Namun jangan salah, di masa depan, justru gadis itu yang mampu menghancurkan hatinya lebih dalam karena ikut membantu perselingkuhan Edwin dan Elyana hanya karena ia tergila-gila dengan kakaknya, Vano.

"Memang Reina kenapa?" pertanyaan itu meluncur dari mulut seorang pemuda yang baru saja bergabung dengan mereka.

.

.

.

Lanjut

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!