"Sayang, hari ini ada apa sih kok aku di ajak ke restoran? Aku takut kita tidak akan bisa bayar kalau makan di sini," bisik Adelia.
Adrian hanya senyum-senyum saja. Ia tidak menanggapi serius perkataan istrinya. "Kamu boleh pesan apa saja, termasuk makanan yang kau idam-idamkan selama ini," ujar Adrian.
"Nggak ah, aku takut nggak bisa bayar," jawab Adelia lagi. Ia tidak yakin dengan perkataan suaminya.
"Sebenarnya, aku naik jabatan jadi Wakil Direktur. Jadi, hari ini aku dapat hadiah bonus dari kantor," kata Adrian.
"Benarkah?!" Adelia terperanjat kaget langsung berdiri dan memeluk Adrian. Hingga pengunjung restoran ikut kaget dan berbisik-bisik. Melihat yang lainnya memperhatikan dirinya, Adelia langsung malu. Ia duduk lagi dan tersenyum pada Adrian.
"Sayang, kok mendadak banget sih. Kenapa kau tidak pernah bilang jika di promosikan perusahaanmu?" tanya Adelia.
"Bagaimana aku bilang, aku juga tahunya hari ini. Mendadak aku di panggil dan pemilik perusahaan menjabat tanganku terus mengucapkan selamat jika aku terpilih jadi Wakil Direktur yang baru," tutur Adrian.
"Benarkah, berarti itu namanya rejeki," lanjut Adelia.
"Iya, rejeki pernikahan kita. Baru saja tiga bulan menikah denganmu, sudah naik jabatan. Sebentar lagi, naik jabatan jadi ayah," kelakar Adrian.
Adelia terdiam. Ia resah memikirkan tentang kehamilan. Adelia tidak pernah berterus terang pada Adrian jika dirinya belum tentu bisa hamil karena ada kista dalam rahimnya.
"Kenapa kau diam? Apa makanan di sini tidak enak?" tanya Adrian.
"Ti ... tidak," ucap Adelia. Ia lebih baik merahasiakannya dan mengobati penyakitnya itu secara diam-diam sampai sembuh.
Kehidupan Adelia berubah drastis setelah Adrian menjadi Wakil Direktur. Ia tidak lagi menempati rumah kontrakannya yang terdahulu. Adrian membeli rumah mewah di kawasan elit. Dan tentunya motor matic bututnya sudah ia jual. Sekarang berangkat kerja di antar sopir dan memakai mobil.
Selama ini Adelia terbiasa hidup sederhana. Ia cenderung tidak berubah seratus persen. Baju yang di kenakannya juga biasa. Bukan setelan dari branded ternama. Berbeda dengan Adrian, laki-laki itu seperti orang berbeda. Mulai dari atas sampai bawah harganya tidaklah murah.
"Sayang, harusnya sekarang kamu itu di salon. Dandan atau perawatan apalah," kata Adrian.
"Iya sih, tapi aku merasa perawatan di salon buang duit aja Mas. Lagi pula kau sudah sangat mencintaiku. Aku tidak ingin meminta hal yang berlebihan, apalagi menghabiskan uangmu," tutur Adelia.
"Kan uangku banyak, jadi kau tidak perlu cemaskan hal itu," kata Adrian bangga.
"I ... iya, Mas," jawab Adelia.
"Sayang, mulai sekarang kau harus belajar hidup seperti kalangan atas. Aku tidak mau kau memakai baju biasa saja. Kau harus dandan dan membeli baju bermerek. Agar orang-orang tahu kita dari kalangan atas," ucap Adrian. Ia lalu mengeluarkan kartu kreditnya.
"Ini buat keperluanmu. Kau bisa memakainya," kata Adrian.
Sejak saat itu hidup Adelia serba kecukupan. Ia tidak lagi mengeluhkan kekurangan uang atau belanja. Rumahnya bagus, bajunya bagus-bagus dan makanannya juga enak-enak. Tapi, semakin hari Adelia merasa kesepian karena Adrian makin sibuk dengan pekerjaannya. Ia sering pulang sore dan malam.
"Halo, iya sayang sebentar lagi aku pulang. Kamu tunggu ya," kata Adrian di telepon.
"Iya, Mas. Aku akan selalu tunggu kamu," jawab Adelia.
Ia tidak pernah marah jika Adrian pulang telat. Karena ia tahu Adrian sudah capek bekerja. Ia tidak ingin menjadi wanita yang suka menuntut.
Adelia tertidur di sofa, ia merasa sesuatu yang dingin menyentuh keningnya. Adelia pun membuka matanya.
"Eh, mas sudah pulang?" tanya Adelia.
"Sudah, kenapa kau tidur di sini?" tanya Adrian sambil membopong tubuh Adelia.
"Aku menunggumu pulang, Mas," jawab Adelia.
"Ooh."
"Mas, sudah makan?" tanya Adelia.
"Sudah, tadi di kantor ada acara makan-makan. Mau tidak makan, enggak enak sama teman kantorku," terang Adrian.
"Oh, ya sudah kalau begitu. Tidak apa-apa," ucap Adelia. Ia sebenarnya sedari tadi menunggu Adrian pulang. Berharap bisa makan bersama. Adelia merasa satu demi satu ada yang berubah semenjak suaminya jadi Wakil Direktur.
Adrian menurunkan tubuh Adelia. "Aku mau mandi dulu, kamu tidur saja di kamar," kata Adrian.
"Baik, Mas."
Padahal perut Adelia sudah terasa sangat lapar. Bagaimana mungkin ia bisa tidur dalam keadaan lapar. Tengah malam, ia pun melipir ke dapur untuk makan seadanya. Entah mengapa ia merasa seperti pencuri di rumahnya sendiri.
Adelia menikmati makanannya di dapur. Ia yakin jika Adrian sudah tertidur. Makanya ia memberanikan diri untuk makan. Karena Adrian paling tidak suka melihatnya makan terlalu malam.
"Sayang, kaukah itu?" suara Adrian mengagetkan Adelia.
"I ... iya," jawab Adelia.
"Jangan makan tengah malam dong sayang, kamu tahu sendiri kan. Efek makan tengah malam. Perut kamu bisa buncit. Dan aku paling tidak suka perempuan yang tidak bisa menjaga tubuhnya," kata Adrian.
Hati Adelia rasanya sakit sekali mendengar teguran dari Adrian. Ia terpaksa makan tengah malam karena menunggu Adrian pulang. Namun setelah pulang Adrian malahan sudah makan.
Adelia terpaksa mengendap-endap makan secara sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan suaminya. Ia tahu jika suaminya tidak suka melihatnya makan di tengah malam. Adrian memang tidak suka wanita gemuk. Maka dari itu, Adelia selalu berusaha menjaga pola makannya agar tidak gendut.
"Lain kali jika ingin makan larut malam, kau makan buah saja," kata Adrian. Ia lalu kembali ke kamarnya.
Adelia menghentikan makannya. Rasanya sudah tidak enak lagi. Ia tidak berselera setelah mendengar perkataan Adrian. Ia memutuskan untuk kembali tidur di kamar.
Saat membuka pintu kamar, ia melihat Adrian sudah memunggunginya. Terdengar dengkuran halus. Ia tahu jika suaminya kelelahan, tapi Adelia tidsk bisa tidur. Ia beringsut turun ke kamar mandi.
Di kamar mandi Adelia melihat kemeja yang baru saja di pakai Adrian dari kantor. Ia merasa risih jika ada baju kotor bergelantungan di kapstok . Adelia memungutnya, berniat memasukkannya ke keranjang pakaian kotor.
Matanya mengerjap berulangkali, manakala melihat ada lipstik merah di kerah baju suaminya. Ia mengira mungkin itu adalah bekas lipstiknya. Tapi, hari ini ia memakai lipstiknya yang model baru. Yang tidak bisa menempel sembarangan.
Lalu, lipstik siapakah itu? Hati Adelia merasa tidak enak. Ia tidak ingin mencurigai suaminya. Mungkin ada wanita yang terjatuh tak sengaja memeluk suaminya, atau apa lagi. Adelia bersikeras untuk tidak memikirkan segala kemungkinan yang ada.
Tapi saat ini, hatinya berontak ingin tahu kebenarannya. Adelia tidak ingin berprasangka buruk pada suaminya. Ia terus meyakinkan dirinya sendiri, jika kecurigaannya tidaklah benar.
"Sayang, kamu dimana?" tanya Adrian . Buru-buru Adelia masukkan baju itu ke dalam tempat pakaian kotor. Ia pun keluar dari kamar mandi.
"Aku baru saja dari kamar mandi," kata Adelia.
"Oh, ya sudah. Sini aku peluk," kata Adrian merangkul pinggang ramping Adelia.
'Oh, Tuhan pria ini kelihatan sangat mencintaiku. Tidak mungkin jika ia _,'
**
Adelia masih saja memikirkan bekas lipstik yang ada di kerah kemeja suaminya. Meskipun Adrian memeluknya semalaman, tapi pikirannya tidak tenang. Ia tertidur karena lelah bermain dengan pikirannya sendiri. Menerka-nerka siapakah sebenarnya pemilik lipstik itu.
Pagi pun tiba, Adelia sudah sibuk di dapur ikut membantu menyiapkan sarapan. Meskipun rasa kantuk menderanya, namun ia tetap berusaha untuk tidak terlihat mengantuk.
"Non, kurang tidur ya?"
Adelia hanya tersenyum mendengar pertanyaan salah satu asisten rumah tangganya yang sudah mulai akrab dengannya.
"Biasanya, pasangan pengantin baru memang suka lembur. Apalagi belum dapat momongan," imbuh ARTnya.
"Mbok Darsih bisa saja, doakan saja semoga cepat dapat momongan ya, Mbok," ucap Adelia.
"Tentu saja setiap habis sholat, simbok selalu doakan. Agar rumah ini segera ramai dengan suara tangis bayi," balas Mbok Darsih.
"Terima kasih, ya Mbok."
"Ini aku letakkan di meja makan dulu, biar saya yang menatanya," kata Adelia.
Simbok Darsih mengangguk. Ia sudah terbiasa memasak bersama Nyonya Besarnya. Tentu saja ketika Tuannya masih tertidur. Karena Adrian tidak suka jika Adelia mengerjakan pekerjaan dapur. Katanya seorang Nyonya tidak boleh bau dapur.
Adelia masih sibuk menyajikan piring-piring makanan di atas meja. Ia tidak tahu jika ada sepasang mata yang memelototinya dari jauh.
"Adelia!" Suara keras dari belakang membuatnya berjingkat.
Pria itu berjalan cepat dan langsung menarik lengan Adelia hingga membuat piring yang di pegang Adelia pecah berantakan.
"Prang!"
"Kamu bagaimana sih, pegang piring saja tidak becus!" sentak Adrian.
"Mas kok bilang gitu, sih."
"Tadi, mas yang buat aku kaget," protes Adelia.
"Kamu yang salah, tapi tidak mau di salahkan. Kamu pasti tahu kan dengan jelas, alasannya apa aku memanggilmu tadi," kata Adrian.
"Iya," jawab Adelia menunduk pasrah.
"Sudah kubilang jangan kerjakan pekerjaan pembantu. Kamu itu seorang Nyonya. Istri Wakil Direktur ... eh malah kerjaannya di dapur," kata Adrian sinis.
"Mas, jangan bilang begitu dong. Aku begini kan juga ingin memperhatikanmu. Membuatkanmu masakan yang enak, itu sebagai wujud perhatianku, Mas," terang Adelia.
"Alaah ... kamu itu susah banget di ajak naik kelas. Ingat, kamu itu istri seorang Wakil.Direktur. Jaga sikapmu!" tandas Adrian.
Tak ingin menyulut pertengkaran di pagi hari, akhirnya Adelia memilih untuk diam. Mengalah bukan bersrti kalah. Hanya saja tidak enak di dengarkan ART nya. Apa kata mereka nantinya?
Adrian masih saja terus mengomel, dan mulutnya berhenti mengomel saat makanan sudah mendarat masuk ke dalam mulutnya. Makannya lumayan banyak, ia sudah habis satu piring kemudian nambah lagi.
Dalam hati Adelia merasa senang karena suaminya cocok dengan masakannya. Tapi ia tidak berkomentar apapun, takut Adrian marah lagi. Keduanya diam hingga acara makan selesai. Barulah Adrian membuka suara.
"Nanti tidak usah tunggu aku seperti kemarin. Ada rapat, jadi mungkin pulangku agak malam," kata Adrian.
"Apa setiap hari harus pulang malam, Mas?" keluh Adelia.
"Sudahlah, jangan banyak ngeluh. Harusnya kamu bersyukur punya suami Wakil Direktur. Kebutuhanmu semua aku penuhi, jadi wajar dong kalau ada pengorbanan waktu," ucap Adrian penuh tekanan.
"Iya, Mas," jawab Adelia lemah. Lagi-lagi ia memilih bungkam daripada harus bertengkar.
"Ya sudah, aku berangkat dulu. Kamu boleh ke Mall atau salon jika kamu bosan di rumah."
"Iya, Mas."
Adelia mengantarkan Adrian sampai depan pintu. Ia melambaikan tangannya sampai mobil suaminya hilang dari pandangannya.
Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah. Adelia bingung hari ini harus melakukan apa. Ia bukanlah seorang wanita yang suka berpangku tangan apalagi menerima uang dari suaminya begitu saja.
Adelia adalah seorang wanita lulusan S2 jurusan ekonomi. Tentunya sangat di sayangkan jika dia hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Diam-diam Adelia merintis usaha online nya tanpa sepengetahuan suaminya. Karena kesibukan Adrian, ia tidak pernah tahu jika Adelia punya usaha sendiri di bidang jual beli kosmetik.
Sebagai istri ia tidak ingin berbohong pada Adrian, tapi sikap Adrian selama ini yang begitu keras dan melarangnya bekerja ini itu, membuatnya urung untuk mengatakannya.
Adelia bekerja sama dengan teman kuliahnya dulu. Ia tidak pernah packing di rumah tapi ia punya karyawan yang mengurusi semuanya. Perusahaan kecil yang nantinya ia harapkan bisa menjadi besar dan ia turunkan pada anaknya.
Sementara di kantor, seorang wanita berparas cantik memiliki bentuk tubuh yang molek, padat dan berisi sedang berdiri di samping Adrian.
"Pak, ini laporannya yang kemarin Bapak tanyakan," kata perempuan cantik itu.
Ia memakai rok span pendek dan blazer ketat yang membalut tibuhnya dengan sempurna. Kaki jenjangnya putih mulus, dan bibirnya memakai lipstik berwarna nude.
Adrian melihat dari atas hingga ke bawah. Beberapa kali ia meneguk salivanya dengan kasar. Matanya tak sengaja mengintip belahan dada perempuan di depannya itu.
"Aku sangat lelah, bisa kau pijat pundakku sekarang," perintah Adrian.
"Bisa, Pak."
"Tunggu, aku akan duduk di sofa sana," kata Adrian bangkit dari kyrsi kebesarannya. Ia mulai duduk di sofa tamu.
Jari-jari lentik perempuan itu mulai menari-nari di pundak Adrian. Memijit punggung Adrian sedikit demi sedikit. Adrian memejamkan matanya, ia tersenyum sendiri. Membayangkan sesuatu yang hanya dirinya yang mengerti.
"Kamu dari bagian apa?" tanya Adrian dalam keadaan mata terpejam.
"Dari bagian keuangan, Pak," kata wanita itu.
"Hemm, mau naik jabatan jadi sekretaris?" tanya Adrian.
"Ma ... mau, Pak," jawab perempuan cantik itu.
"Namamu siapa?" tanya Adrian.
"Salsa, Pak."
"Hemm, Salsa mulai besok kamu jadi sekretarisku. Aku suka bajumu hari ini," puji Adrian.
"Te ... terima kasih, Pak," jawab Salsa.
"Hanya itu?" tanya Adrian. Salsa kebingungan menjawab pertanyaan bosnya.
"Maksud, Bapak?" tanya Salsa tidak mengerti.
"Maksudku, boleh nanti sore aku mengantarmu pulang?" tanya Adrian.
"Tap ... tapi_,"
"Tidak ada tapi-tapian, kamu mau kan jadi sekretarisku?" tanya Adrian penuh iming-iming.
"I ... iya, mau Pak."
"Maka dari itu, mulai sekarang jangan pernah menolak niat baikku," kata Adrian tersenyum penuh arti.
"Iya, Pak," jawab Salsa.
"Pijatnya sudah selesai, kembalilah ke ruanganmu. Nanti, jika aku panggil kau harus segera datang menemuiku," kata Adrian.
"Baik, Pak."
Sore pun tiba, Salsa sudah masuk ke dalam mobil Adrian. Lelaki itu tersenyum melirik karyawan cantiknya. Mereka duduk di belakang berjejeran. Dan tentu saja sang sopir hanya bisa bungkam menyaksikan kenakalan Tuannya.
Mobil pun berhenti tepat di depan apartemen Salsa. "Boleh, aku masuk ke dalam?" tanya Adrian.
"Tentu, Pak. Silahkan. Akan saya buatkan kopi," kata Salsa. Adrian pun masuk ke dalam apartemen Salsa.
"Kamu tinggal sendirian di sini?" tanya Adrian.
"Iya, saya tinggal sendiri," jawab Salsa sambil meletakkan cangkir kopinya di atas meja.
Lagi-lagi mata Adrian jelalatan mengintip belahan dada penuh milik Salsa yang terlihat sedikit.
---Bersambung---
"Maaf, Bu Adelia tidak bisa menginap lama-lama."
"Ya, tidak apa-apa, Nduk. Sekarang kamu kan sudah punya rumah sendiri. Ibu sudah cukup senang kamu mau berkunjung ke rumah ibu," balas ibunya. Ia melepas kepergian putri satu-satunya itu dengan pandangan berkaca-kaca.
Adelia mencium punggung tangan kedua orang tuanya bergantian. Ia sebenarnya ingin tinggal lebih lama di rumah kedua orang tuanya. Tapi, Adelia takut jika terlalu lama menginap Adelia tidak bisa menyembunyikan kegalauannya. Bisa-bisa orang tuanya tahu masalahnya dengan Adrian.
Sesampainya di rumah, langkah Adelia terhenti manakala melihat rumahnya sudah di dekorasi apik. Adelia di sambut banyak bunga di sekitarnya, ia melihat ke kanan dan ke kiri. Ada apakah ini? Mengapa sebagai tuan rumah, di rumahnya sendiri ada acara dia tidak tahu sama sekali.
Baru dua hari Adelia menginap di rumah orang tuanya. Tapi, keadaan rumahnya sudah berubah drastis. Ia melihat banyak tamu undangan yang tidak di kenalnya berdatangan. Adelia seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Mbok Darsih berjalan tergopoh-gopoh mendekati Adelia. "Mbok, ini ada apa sebenarnya?"
"A ... anu, Non." Mbok Darsih terlihat gugup. Ia mencengkeram rok seragam pelayannya dengan kuat. Wajahnya tertunduk.
"Katakan, Mbok ini ada apa?" tanya Adelia.
Adelia melihat kesana kemari terlalu banyak bunga yang menghalangi pandangan matanya. Hingga bola matanya terbelalak manakala melihat spanduk yang menunjukkan foto suaminya bersama Salsa memakai gaun pengantin.
"Kamu sudah keterlaluan, Mas," ucap Adelia lirih. Ia meninggalkan Mbok Darsih yang masih tertunduk. Menangis, ya hati Adelia kembali terasa sakit melihat dengan mata kepalanya sendiri saat suaminya menikahi wanita lain.
"Sah!" Langkah Adelia kembali terhenti saat memasuki ruang keluarga. Salsa sedang mencium punggung tangan Adrian. Semua para tamu mengucapkan selamat pada mereka.
"Mas?" Suara Adelia bergetar mencoba memberanikan diri bersuara. Kenyataan ini terlalu pahit untuknya. Adrian menoleh ke belakang menyaksikan Adelia sudah datang.
"Kau sudah datang rupanya, tidak mengucapkan selamat padaku?" kata Adrian tanpa rasa bersalah.
"Kau tega, Mas."
Adelia langsung berlari masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak peduli dengan tatapan para tamu yang melihatnya penuh rasa kasihan ataupun tanda tanya.
Adrian tidak mengejar Adelia. Ia malahan sibuk menyalami para tamunya yang memberikan selamat atas pernikahan mereka.
"Kau tidak mengejar istrimu?" sindir Salsa.
"Dia kan sudah tahu hubungan kita, lagi pula kalau aku tidak menikah lagi mana mungkin aku bisa memiliki keturunan," balas Adrian seenaknya.
Salsa tersenyum penuh kemenangan. Sekarang ia sudah menjadi istri sah Adrian. Sebentar lagi ia ingin mendepak Adelia dari rumah agar dialah satu-satunya istri Adrian. Dan ia yakin tidak lama lagi akan terjadi.
Di kamar Adelia menangis, ia seperti sampah di rumahnya sendiri. Tak di anggap dan selalu di abaikan. Adrian telah bertindak semena-mena, bahkan berani menikah lagi tanpa seijinnya.
Ia menangisi nasibnya, Adelia menyangka perubahan Adrian terjadi karena rasa kecewanya terhadapnya yang tak kunjung memiliki anak. Tapi, bukankah Adrian juga bermain perempuan lain juga. Tidak hanya Salsa. Semakin pening dan sesak memikirkan Adrian, ia memutuskan untuk tidur. Hatinya lelah menghadapi ulah suaminya.
Tidak, Adelia tidak bisa tidur dengan mudahnya. Suara para tamu dari luar juga mengganggunya. Sekarang ia seperti katak dalam tempurung di dalam rumahnya sendiri. Bersembunyi dari hiruk pikuk manusia yang mungkin sekarang tidak peduli keberadaannya. Atau mungkin malah menertawakannya.
Suara ketukan pintu berhasil membuyarkan lamunan Adelia. Ia beranjak dari ranjangnya untuk melihat siapa yang datang ke kamarnya. Adelia tidak langsung membukakan pintu, ia menengok di lubang kaca pintunya. Ternyata Mbok Darsih. Adelia baru yakin membukakan pintu.
"Ada apa Mbok?" tanya Adelia.
"Ini, Mbok bawakan makanan untuk Non. Non, pasti lapar."
Adelia mengamati makanan yang di bawa Mbok Darsih. "Enggak, Mbok. Aku tidak mau makan makanan menu pesta pernikahan mereka. Mendingan aku kelaparan saja," tolak Adelia.
"Jangan begitu, Non. Nanti Non, bisa sakit. Ini bukan menu pesta. Tapi simbok buat khusus untuk Non," balas Mbok Darsih.
"Oh, maaf ya Mbok. Kalau begitu alu mau memakannya."
Adelia mengambil nampan yang di pegang Mbok Darsih. Ia membawanya di kamarnya.
"Terima kasih, Mbok. Hanya Mbok yang pedulikan aku di sini," ucap Adelia terharu. Ia memeluk Mbok Darsih seperti ibunya sendiri.
"Yang sabar, Non. Kalau tidak kuat mendingan Non minta cerai saja," ucap Mbok Darsih. Ia duduk di pinggiran ranjang Adelia. Wanita yang usianya tak muda lagi itu memandang kasihan pada Adelia.
"Tidak bisa, Mbok. Kalau cerai, aku takut ayahku akan terkena serangan jantung," jelas Adelia.
"Oh, jadi karena alasan itu, Non mempertahankan pernikahan dengan Tuan?" tanya Mbok Darsih.
"Benar, Mbok. Selain itu juga aku masih berharap Mas Adrian berubah. Kami pacaran lama, entah mengapa aku merasa tidak mengenalnya," balas Adelia.
"Memang kalau orang sudah menikah itu akan ketahuan watak aslinya," ucap Mbok Darsih lirih.
"Benar, Mbok."
"Makan dulu, Non. Keburu dingin. Mbok mau kembali ke dapur," pamit Mbok Darsih.
"Iya, Mbok.
Adelia kembali sendirian. Sebenarnya ia malas makan, berhubung Mbok Darsih sudah membuatkannya susah-susah. Ia akhirnya mau makan.
"Aku butuh tenaga untuk melawan mereka."
Adelia berusaha menyemangati dirinya meski ia tidak yakin apakah bisa melakukannya. Ia sudah makan separuh nasinya, namun suasana hatinya memang tidak terlalu baik sehingga ia tidak bisa menghabiskannya dalam waktu cepat.
"Apa aku harus pergi dari rumah ini?" gumamnya.
Ia tidak ingin setiap hari hatinya tersakiti dengan ulah kedua orang itu. Tapi, pergi kemana? Tidak mungkin Adelia kembali ke rumah orang tuanya. Bisa-bisa ayahnya langsung anfal.
"Tidak, tidak boleh ... aku harus bertahan di sini. Sampai aku bisa memikirkan jalan keluarnya."
Adelia keluar untuk menaruh nampan dan piringnyadi dapur. Suasana kelihatan sepi, sepertinya para tamu sudah pulang. Adelia bisa bernafas dengan lega karena ia bisa bergerak lebih leluasa.
"Apa kau istri pertama Adrian?" Tiba-tiba seorang wanita yang tidak di kenalnya datang menanyainya.
"Benar." Adelia mengiyakannya.
"Oh, kenapa kamu membiarkan suamimu menikah lagi?" tanyanya.
"Dia butuh anak, dan aku belum bisa memberikannya," jawab Adelia.
"Belum bisa, bukan berarti mandul kan?"
"Maaf, kalau perkataanku keterlaluan. Hanya saja aku tidak suka melihat wanita di khianati suaminya," balas perempuan itu.
Adelia hanya tersenyum getir menanggapi perkataan perempuan cantik itu.
"Lalu aku bisa apa? Dia tidak pernah mau mendengarkanku," kata Adelia.
"Laki-laki buaya memang seperti itu, kau harus melawannya. Membalas semua perlakuan suamimu. Setelah puas membalasnya, baru kau menceraikannya," tandasnya.
Mata Adelia sampai membelalak mendengarkan perkataan wanita cantik di depannya.
"Siapa kamu, kenapa kau begitu peduli pada urusanku?"
---Bersambung---
"Siapa aku?"
"Aku juga sama sepertimu, wanita yang menjadi korban kezaliman laki-laki," balas perempuan itu.
"Oh," jawab Adelia.
"Ya, sudah aku permisi dulu." Wanita itu tidak menyebutkan namanya. Adelia juga heran siapakah wanita berhati baik itu yang tiba-tiba memberi dukungan padanya.
"Makan terus! Sudahku bilang kau akan jadi gemuk jika makan terus!" teriak seseorang dari belakang yang mestinya Adelia tahu pasti siapa pria itu.
Adrian menarik lengan Adelia cukup keras. "Sakit, Mas," rintih Adelia.
"Sakit? Dari dulu sudah ku peringatkan jangan terlalu banyak makan."
"Kau mau gendut seperti babi, hah!" teriak Ardian. Pria itu masih mengenakan tuxedo pengantinnya. Sementara Salsa bergelayut mesra di lengannya.
"Udah, ah Mas. Biarkan saja dia gendut seperti babi. Memang wanita kampungan seperti dia kalau di bilangin bandel," cecar Salsa.
"Yuk, kita ke kamar. Udah enggak sabar nih, mau malam pengantin," kata Salsa melirik ke arah Adelia. Berharap wanita itu akan cemburu padanya.
Adrian membiarkan Adelia berdiri mematung. Ia pergi berlalu bersama madunya. Rasanya Adelia sudah muak melihatnya. Setiap hari menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain membuat sesak di hatinya.
Ia meletakkan piring itu di cucian piring dengan tangan gemetar. Tiba-tiba tangan seseorang terulur mengambil piring di tangan Adelia. "Sudah, biar simbok yang mencucinya, Non," kata Mbok Darsih.
Adelia menyeka air matanya yang tak di sadari turun begitu saja.
"Terima kasih, Mbok."
Mbok Darsih hanya tersenyum menanggapi perkataan Adelia. Ia kasihan dengan Adelia karena terus saja di sakiti tuannya. Tapi, Mbok Darsih tidak bisa berbuat apapun. Ia hanya bisa membantu Adelia sebisanya. Karena bagaimanapun posisinya hanya sebagai pembantu rumah tangga.
Adelia berjalan keluar rumah, melihat sisa-sisa dekorasi yang belum di ambil pemiliknya. Kembali dadanya sesak merasakan betapa sakitnya di khianati. Lalu Adelia masuk ke dalam rumah melewati kamar Salsa. Terdengar lirih erangan wanita penggoda itu. Seolah memang sengaja di perdengarkan untuk membuatnya cemburu.
Kaki Adelia gemetar melangkah ke kamarnya sendiri. Rumah sebesar itu seakan sempit. Dulu, biasanya Adelia bermanja-manja di kamar bersama Adrian. Ia pun tak pernah mendengar Adrian menyebut perempuan lain. Masa yang bahagia apakah akan kembali lagi?
"Tidak, aku tidak bisa memaafkan tindakanmu, Mas. Kau sudah cukup keterlaluan," kata Adelia lirih. Ia menatap lemari pakaiannya.
Hati Adelia benar-benar sudah hancur, di iringi air matanya yang tak berhenti meleleh di pipinya ia pum mengemasi pakaiannya ke dalam koper.
Matanya menyapu ke arah seluruh ruangan, ia menyeka air matanya sendiri.
"Aku pergi, Mas. Aku menyerah. Siapapun tidak akan tahan hidup bersama madunya," ucap Adelia. Ia pun menarik kopernya keluar kamar menuruni anak tangga.
Adelia mencoba menguatkan dirinya. Kali ini Adrian tidak mungkin bisa mencegahnya karena dia sedang indehoy dengan istri barunya. Dan mungkin sudah terbang sampai langit ke tujuh.
"Non, mau kemana?" tanya Mbok Darsih kaget melihat Adelia sudah membawa kopernya.
"Saya pamit, Mbok," ucap Adelia lemah.
"Kalau selama ini aku ada salah sama Mbok, di maafkan ya," kata Adelia.
"Non, tidak pernah salah. Justru Simbok yang merasa bersalah karena tidak bisa membantu apa-apa," keluh Mbok Darsih memeluk Adelia.
Mereka berdua menangis. Meski tidak ada ikatan darah, namun kebaikan Mbok Darsih selama ini pada Adelia menumbuhkan rasa sayang pada pembantunya.
"Sudah, Non. Jangan berlama-lama keburu Tuan Adrian tahu," peringat Mbok Darsih.
"Iya, Mbok."
Adelia berdiri di halaman menatap rumahnya untuk terakhir kali. Rumah itu memang indah dan megah. Namun seperti neraka bagi Adelia.
Ia pun masuk ke dalam taksi online yang sudah di pesannya. "Kemana, Non?"
Adelia bingung harus menjawab apa. "Jalan aja dulu, Pak."
Yang terpikirkan di benak Adelia hanyalah Kartika, wanita itu yang bisa menjadi sandarannya saat ini. Dan tentunya mencarikan apartemen atau pun tempat tinggal sementara untuknya.
"Turun di jalan Arjuna, Pak," kata Adelia. Jalan Arjuna adalah letak rumah Kartika. Hari ini weekend, pastinya Kartika berada di rumah. Biasanya perempuan itu suka tidur seharian kalau sedang libur.
Setelah menyerahkan uang lembaran, Adelia turun dari taksi. Seseorang membukakan pintu gerbang untuk Adelia. Mereka sudah hafal betul dengan Adelia. Karena Adelia adalah teman akrabnya Kartika.
"Non Kartika masih di kamarnya. Langsung saja naik ke atas, Non," kata ARTnya.
"Terima kasih, ya Mbok," kata Adelia pada Mbok Tinah.
Adelia menaiki anak tangga menuju kamar Kartika, dulu sewaktu masih kuliah Adelia sering menginap di rumah Kartika. Mereka memang sudah akrab semenjak sekolah nenengah.
Tok tok tok
Tak ada sahutan dari dakam. Lalu Adelia mencoba memberanikan diri membuka pintu kamar Kartika. Pantas saja tidak mendengar apapun. Di telinga Kartika di pasang earphone.
"Ini aku!" Adelia melepaskan earphone yang menempel di telinga Kartika. Kaget mendengar suara wanita yang cukup di kenalnya, Kartika buru-buru beranjak duduk.
"Loh, kok bisa ada di sini?" tanya Kartika bingung.
"Ya, tadi aku masuk lewat jendela kamarmu!" balas Adelia.
Kartika menengok ke arah jendela. "Sepertinya tidak mungkin deh, kamarku kan ada di lantai dua."
"Ya iyalah, aku lewat pintu kok. Kamunya saja yang tidak tahu aku masuk lewat mana," jawab Adelia.
"Ngomong-ngomong ada angin apa sih kemari?" tanya Kartika mulai serius.
"Bantu aku nyari apartemen yuk, buat tempat tinggal sementaraku."
"Apartemen sementara? Memangnya kamu kenapa? Di usir oleh suamimu yang jahat itu?" Cecar Kartika.
"Enggak di usir sih, cuman aku sendiri yang tidak tahan dengan perlakuan mereka."
"Berarti kamu pergi diam-diam meninggalkannya?" tanya Kartika.
"Ya, aku tidak tahan lagi Kartika. Masa iya mereka menikah di rumahku!" tangis Adelia kembali pecah.
"Astaghfirullah, mereka sudah keterlaluan."
"Bener-bener amoral tuh mereka," umpat Kartika.
"Maka dari itu, tolong bantu aku carikan tempat tinggal. Aku lagi kalut, bingung mau kemana."
Adelia mencurahkan segala rasa yang di tanggungnya sendiri. Kartika mendengarkannya dengan seksama. Ia kasihan nasib sahabatnya itu. Hanya pelukan hangat yang mampu Kartika berikan saat ini sebagai penglipur lara Adelia.
"Sudah, jangan menangis. Tindakan kamu ini sudah bener. Untuk apa kamu menangisi orang yang tidak pantas kamu tangisi."
"Ingat Adelia, mereka dua manusia yang kagak ada akhlak. Aku yakin suatu saat mereka pasti masuk neraka jahannam. Namun sebelum pembalasan di akhirat berjalan. Kamu juga harus membalas perlakuan suamimu," terang Kartika.
"Dengan apa Kartika. Kata Mas Adrian aku sudah tidak menarik lagi," keluh Adelia.
"Bodoh, dia tidak bisa melihat permata yang ada di depannya. Malahan memilih sampah," balas Kartika.
---Bersambung---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!