Malam itu angin berhembus kencang menerbangkan dedaunan yang kering, menimbulkan suara gemerisik ranting-ranting yang saling bersentuhan dengan enggan. Diatas sana, bulan setengah lingkaran bersinar terang, bintang-bintang bertaburan di langit luas.
Cuaca cerah, hamparan sawah yang sudah ditanami padi terlihat jelas di lereng barat Desa Laskar Merah, rumah-rumah warga tersebar di area lima puluh hektar, jika memandang ke selatan maka akan nampak bukit-bukit yang berdiri hampir sama tinggi, cerita rakyat tentang bukit itu adalah bukit pelindung.
Bukit-bukit itu menjadi pelindung bagi desa Laskar merah. Air dari bukit itu mengalir jernih ke sungai sebelah timur, hingga desa Laskar tidak pernah kekurangan air.
Sementara bagian Utara adalah kawasan terlarang, karena disana terdapat mulut jurang dalam. Kata orang-orang tua, tidak diketahui seberapa dalam jurang itu, warga dilarang kesana karena sangat berbahaya.
Namun, malam ini, dua orang nampak bergegas menuju Utara. Mereka adalah sepasang muda mudi, yang pria baru menginjak usia tujuh belas tahun, postur tubuhnya tinggi, matanya teduh dan memiliki rambut lebat hitam.
Si wanita, juga gadis tujuh belas tahun, rambut panjang sepinggangnya terkadang berkibar terkena angin malam. Wajahnya yang seputih pualam nampak bersinar, bibirnya merah segar, dan alisnya yang melengkung bak bulan sabit menaungi mata hitam legamnya.
"Apa tidak dingin?" Si pemuda bernama Naraka Bumi Angkara bertanya dari samping, ia tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari jalan meskipun sedang berjalan berdampingan dengan kecantikan yang dapat menghancurkan sebuah negara
Larasati Delima menggeleng. Tangannya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, bibir merahnya berkedut, "Kamu yakin ayahmu tidak mengetahui kepergian kita?"
Ayah Bumi bernama Saloka, orang paling kaya di Desa Laskar Merah. Badannya tinggi tegap, wajahnya sedikit beringas dan sangat pendiam.
Bumi dan Delima sudah menjalin hubungan selama enam bulan, dan tentu saja Saloka menolak hubungan tersebut. Karena terus-terusan di tentang dan di minta untuk mengakhiri hubungan, Bumi dan Delima memilih kabur dan akan hidup di tempat lain tanpa seorang pun dapat mengganggu hubungan mereka.
Tujuan mereka bukanlah pergi ke Desa lain, melainkan akan menuruni jurang dalam di Utara, ingin mengetahui benarkah jurang itu sangat dalam atau hanya omong kosong belaka. Para orang tua mengatakan bahwa jurang itu tidak berdasar, tapi, Delima meyakinkan Bumi bahwa ada kehidupan di bawah sana.
Tidak terasa keduanya sudah mencapai mulut jurang, Bumi mengeluarkan tali karmantel dari dalam tasnya dan mengikatkan pada pohon besar.
"Kamu turun dulu,"Delima mengikatkan tali ke pinggang kekasihnya itu, sengaja berlama-lama sembari mengusap pinggang Bumi sensual. Dia tersenyum menatap Bumi,"Aku akan menyusul."Bisiknya dengan suara merdu.
"Baiklah. Aku akan turun dulu, talimu sudah ku ikat juga, kamu harus cepat."Kata Bumi mendorong lembut Delima ke samping lalu dengan hati-hati mulai turun ke bawah.
Delima, gadis cantik itu menatap dari atas sambil tersenyum melihat kekasihnya yang sudah turun. Jemari lentiknya meraba sekitar pinggang, dari sana dia mengeluarkan sebuah pisau bermata dua.
"Bumi! Setelah mencapai dasar katakan padaku apa yang ada dibawah sana!"Delima berteriak keras, Bumi mendongak dan matanya membelalak lebar saat menyaksikan Delima memotong tali tersebut.
Tali terpotong menjadi dua, Bumi turun dengan kecepatan tinggi kedalam jurang. Mulutnya terbuka, namun tidak ada teriakan yang keluar. Senyum manis Delima masih terukir cantik di wajahnya saat memotong tali, gadis itu tersenyum manis seolah mengejek kebodohannya.
Kenapa kamu melakukan ini? Bumi bertanya walau suaranya tidak keluar sama sekali. Dia terus meluncur jatuh ke dalam jurang dalam dan gelap itu.
"Bagaimana?"
Suara berat yang berasal dari belakang membuat Delima menoleh-Saloka berdiri disana sembari menghisap rokok tembakau. Lelaki empat puluh tahunan itu menatap Delima dengan sorot matanya yang tajam seperti elang.
"Dia sudah meluncur masuk kedalam jurang."Delima bangkit dan menghampiri pria paruh baya itu, bibirnya masih tersenyum seolah-olah apa yang terjadi pada bumi tidak menggangu nya sama sekali.
"Bagaimana? Sekarang kamu percaya?"Tanya Saloka menatap lekat lekuk tubuh Delima yang terbungkus baju longgarnya. Saloka buang sisa rokok ke tanah lalu menginjaknya dengan ujung sepatu.
"Tentu,"Delima berdiri sangat dekat dengan Saloka, jemarinya menelusup masuk kedalam baju Saloka dan mengusap dada kekarnya dengan jemari lentiknya. Ia juga menatap mata Saloka sambil tersenyum manis, menggigit sedikit bibirnya, wajahnya amat menggoda namun matanya bersinar lebih terang daripada bulan diatas sana
"Ehm.."Saloka melenguh, matanya memerah dan kabut birahi menyelimuti sekujur tubuhnya, darahnya mengalir panas. Tangannya meraih tengkuk Delima dan melumat bibir gadis itu, lidahnya menelusup masuk dengan lincah kedalam mulut Delima dan bermain liar disana. Menyesap setiap inci mulut gadis itu.
Tangan kekar beruratnya membuka kancing baju Delima, memperlihatkan benda padat berisi yang lebih putih dari wajahnya, Saloka yang diselimuti nafsu melahapnya seperti sapi kelaparan.
"Lokaahh..."Desahan manja keluar dari bibir Delima saat mulut Saloka berpindah ke dadanya, bermain dengan lihai disana. Kepalanya mendongak menikmati setiap sentuhan.
Entah menikmati atau tidak, wajahnya nampak sangat aneh. Bibirnya mengeluarkan suara penuh kenikmatan, tapi, wajah dan matanya nampak polos tanpa nafsu. Perpaduan aneh yang tidak di sadari oleh Saloka.
"Kamu sudah lama menginginkan ini?"Tanya Saloka dengan suara serak penuh desakan nafsu. Pria itu bawa delima ke bawah pohon beringin tua yang berdiri gagah tak begitu jauh dari mulut jurang. Pohon yang seringkali mendapat image angker namun saat ini digunakan sebagai tempat berbuat mesum.
"Kamu tahu, aku sangat ingin."Delima berbaring. Matanya melirik kearah jurang, ada senyum aneh di wajahnya. Senyuman yang kontras sekali dengan aksi liar yang sedang mereka lakukan.
Delima kembang desa Laskar Merah, kecantikannya sudah tersebar ke seantero negeri. Memiliki dan menikmati tubuhnya sudah menjadi impian setiap pria.
Dari sekian banyak pria yang datang untuk mempersuntingnya, untuk mengikat hubungan bersamanya, Delima hanya menjatuhkan pilihan pada satu orang.
Cukup lama kedua insan itu berbaring menyatu di bawah pohon itu, di saksikan oleh burung gagak yang entah sejak kapan bertengger pada salah satu ranting.
"Cuacanya cerah dan bulannya sangat indah. Bukankah malam ini adalah malam paling indah?"Delima bertanya, ia duduk bersandar pada batang pohon setelah aksi panas mereka selesai. Delima merentangkan tangan, membiarkan angin malam menyapa tubuh polosnya.
Lama sekali masih belum ada jawaban dari Saloka. Hening sekali tempat itu, Delima menoleh kesamping dan mendapati Saloka terbaring pucat disebelahnya. Perutnya robek dan isinya menghilang.
"Sayang sekali, pria perkasa sepertimu harus mati secepat ini."kata Delima datar.
Gadis itu memakai kembali bajunya, mengikat tinggi rambut panjangnya lalu meninggalkan tempat itu beserta mayat Saloka yang mulai dingin.
***
Like, komen dan vote yaa...
Tubuh pemuda itu terus meluncur jatuh kedalam jurang dalam nan gelap, bahkan setelah tiga menit masih belum mencapai dasar jurang. Matanya menatap lurus ke langit malam yang dipenuhi hamparan bintang, malam ini indah sekali.
Namun, sayang sekali, keindahan malam ini harus rusak oleh pengkhianatan yang ia terima. Delima yang dengan gencar mendekatinya, membuatnya jatuh cinta, lalu saat hubungan mereka tidak direstui, Delima juga yang menyarankan untuk pergi menuruni jurang dalam.
Gadis itu yang meyakinkan Bumi bahwa dasar jurang tidaklah menakutkan, Delima yang mengatakan dengan penuh kasih sayang bahwa dibawah sana mereka berdua akan hidup bahagia.
Inikah kebahagiaan yang di maksud? Mengirim dirinya untuk mati di dalam jurang dalam dan gelap. Jika saja bukan gadis itu yang sengaja menjatuhkannya, hati Bumi tidak akan sesakit ini.
Perlahan kesadarannya mulai hilang, matanya tertutup dan dari sudut matanya keluar setetes air mata yang kala jatuh langsung berderai di hempas angin malam yang bertiup kencang.
Saat kesadarannya sepenuhnya hilang, dasar jurang terlihat, sebelum tubuhnya benar-benar menyentuh tanah sekelebat bayangan biru berkelebat cepat kearahnya. Bayangan itu menangkap Bumi dengan kecepatan tinggi, setelah berhasil mendapatkan pemuda itu, ia jungkir balik dua kali di udara lalu berkelebat cepat kearah timur.
Sosok itu bergerak secepat angin dan dalam sekejap mendarat sempurna di depan sebuah rumah beratap tinggi. Sambil terus menggendong Bumi, ia melangkah lebar ke tangga yang hanya ada tiga undakan.
"Nyonya, Anda kembali lebih cepat?"Seorang wanita memakai baju yang sama muncul dari dalam, membuka lebar pintu dan membiarkan orang yang dipanggil nona masuk kedalam.
Orang itu masuk kedalam dengan Bumi di gendongannya. Langkahnya ringan hampir tidak ada beban saat menginjak lantai papan. Ia terus melangkah hingga sampai di sebuah ruangan berbentuk jajar genjang, dalam ruangan itu terbentang sebuah permadani biru laut mulai dari pintu masuk hingga ke sebuah kursi empuk yang ada di ujung ruangan.
"Analika, kau kah itu?"Satu suara bertanya dari atas kursi. Rupanya orang yang duduk diatas kursi tinggi itu adalah pria tua berusia hampir tujuh puluhan, rambutnya sudah memutih, matanya terpejam, tubuhnya ceking dan posturnya tinggi. Meskipun dia sedang duduk namun masih sangat jangkung.
"Iya, paman." Si wanita meletakkan Bumi di atas permadani, lalu melipat kedua tangan diatas perut dan menjura hormat pada si pria tua.
Cahaya aneh berwana kebiru-biruan bersinar terang di ruangan itu hingga wajah wanita berpakaian biru terlihat jelas saat dia menatap lurus ke depan. Wajahnya seindah namanya, rambutnya bercampur antara hitam dan biru, dia memiliki wajah oval dengan hidung mancung, bola matanya berwarna biru. Bibirnya merah muda, namun saat tidak tersenyum fitur wajahnya menjadi sangat dingin.
"Siapakah yang kau bawa?"Si pria tua membuka matanya, dia juga memiliki mata biru. Netra nya itu menyorot tajam bak pedang algojo yang dapat membelah segala sesuatu menjadi dua dengan sangat cepat.
"Anak manusia yang di buang ke negeri kita,"Analika menjawab sembari duduk pada salah satu kursi di sisi kanan.
Mata biru pria tua itu menatap Bumi tanpa berkedip kemudian dia berkata, "masih sangat muda. Apa yang hendak kau lakukan pada dia?"
Analika tersenyum miring, sudut matanya bergerak teratur, ia menatap tepat di mata pamannya dan barangkali hanya dia seorang yang berani bersikap demikian. "Dia akan menjadi anakku, paman. Aku akan memasukkannya ke Akademi Langit Hitam."
Saat mengatakan itu Analika nampak sangat bengis, pada kedua bola matanya berkobar api ganas. Dia mengedipkan mata, api langsung padam dan wajahnya kembali normal.
"Apa? Kau akan mengirimnya kesana?"si pria tua berdiri dan melangkah lebar ke arah keponakannya, "Kau kan tahu, langit hitam sangat ketat dan susah sekali masuk kesana. Bahkan anak muda keturunan pemerintah pun banyak yang menyerah masuk kesana."
"Karena itulah dia menjadi anakku, paman. Dia akan ku ajarkan bagaimana caranya menjadi penyihir sejati, dia akan aku ajarkan bagaimana bermain pedang, bahkan jika perlu akan ku ajarkan dia cara bermain nyawa." Analika menatap tajam sang paman, menepuk dadanya dan berkata, "Anak Analika tidak akan sulit untuk masuk kedalam akademi itu, paman."
"Baiklah. Kau ajari lah dia, masih ada tiga bulan lagi sebelum penerimaan murid baru."
Analika mengangguk memberi hormat kemudian membawa Bumi keluar dari ruangan itu. ia menendang pintu salah satu kamar yang sudah lama kosong di rumah itu, dan meletakkan Bumi diatas ranjang dengan sangat hati-hati.
" Caeruleus sembilan, bawalah embun kesini." gumamnya sambil membuka jari-jarinya membentuk cakar, cahaya berwarna biru pudar keluar dari sela-sela jarinya. Melihat itu Analika membawa tangannya ke sekujur tubuh Bumi dalam gerakan mengusap.
Cahaya biru pudar itu menyerap masuk kedalam daging dan tulang Bumi. Kelopak mata Bumi bergerak-gerak sebentar kemudian matanya terbuka lebar.
"Delima!"Desis Bumi mengubah posisi menjadi duduk tanpa sadar. Matanya mengerling sekitar ruangan, dia menatap heran mendapati satu sosok wanita cantik sedang menatapnya dingin.
"Siapa kau?!"Bumi patut waspada, karena bisa jadi ini jebakan lain dari Delima. Mengingat wanita membuat hati Bumi kembali sakit, jadi ia menundukkan kepala menghindari kontak mata dengan Analika.
"Namaku Analika, Dewi penyihir paling cantik di wilayah pemerintahan kerajaan Castaria." Analika melipat kedua tangannya di depan dada, "Aku menyelamatkan nyawamu, kau terjatuh dari ketinggian yang sangat tinggi."
"Terimakasih sudah menolongku,"Mendengar pihak lain baru saja menolongnya, Bumi dengan cepat mengucapkan terimakasih.
"Terimakasih saja tidak cukup."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan untuk membalasnya?"Tanya Bumi bingung.
"Menjadi anakku."
Bumi kaget, ia perhatikan wajah serius Analika. Wanita ini masih terlalu muda untuk menjadi ibunya, mungkin usianya tidak jauh berbeda dengan bumi.
"Aku sudah hidup selama tiga ratus tahun dan tentu saja sangat pantas menjadi ibumu."kata Analika kesal.
"Seratus tahun?" Bumi melongo, bagaimana mungkin wanita cantik yang masih sangat muda sudah hidup selama itu. Bumi tidak ingin percaya tapi melihat wajah serius Analika membuat nyali nya ciut untuk bertanya lebih jauh.
Bumi memperhatikan sekelilingnya dengan seksama, ia baru menyadari bahwa ruangan ini sangat aneh. Semua yang ada dalam ruangan ini berwana biru. Bumi mengangkat tangannya dan menghela nafas lega kulitnya tidak ikut berubah warna.
Tempat apa ini?
Bumi memijit keningnya yang tiba-tiba saja pusing, beberapa kali mencubit lengannya dan saat merasakan sakit, Bumi yakin kalau sekarang tidak sedang bermimpi.
Ah, Jangan-jangan aku sudah di alam baka. Wanita ini bisa jadi malaikat yang sedang menyamar. Batin Bumi, tanpa sadar beringsut menjauhi Analika.
***
Like, komen dan vote yaa...
"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Analika mengerutkan dahinya bingung.
"Aku masih hidup?" Bumi balik bertanya.
Analika mengangguk lantas duduk diatas kursi di samping tempat tidur. Rambut panjang sepinggangnya nampak sangat indah dalam ruangan temaram bercahaya biru pudar itu, alis bulan sabitnya melengkung indah dan bergerak sedikit saat memperhatikan Bumi penuh minat.
"Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku adalah salah satu Dewi Caeruleus. Saat kau keluar dari rumah ini, kau akan mendengar segala berita buruk tentangku,"
"Orang-orang menyebutku sebagai Dewi paling ganas dan paling kejam." Analika menatap tajam tepat di kedua bola mata Bumi, dia berkata dengan serius, "Menjadi anakku kau akan di segani, dihormati, ditakuti dan di musuhi. Tapi, jika kau tidak mau menjadi anakku, katakan sekarang juga, biar ku bunuh kau langsung malam ini."
Merinding sekujur tubuh Bumi mendengar kata-kata itu, tubuhnya mengejang dan untuk waktu yang lama hanya bisa diam tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun.
Wanita cantik yang mengeluarkan kata-kata mengerikan itu nampak sangat santai, seolah yang dia katakan adalah sesuatu yang biasa.
"Jangan jadi laki-laki lembek! Seorang laki-laki harus tegas dan meyakini kata hati lalu menyinkronkan dengan logika." Analika meraih wajah pucat Biru, mata birunya berkilap tajam.
"Berikan jawabanmu sekarang!"Titahnya dingin.
Biru mengepalkan tangannya kuat hingga urat-uratnya menonjol, terbayang olehnya wajah lugu dan cantik Delima. Wanita yang dia percayai, wanita yang dia cintai dan wanita yang berhasil membodohi nya.
Delima mengkhianatinya ketika ia telah menjatuhkan pilihan padanya. Bumi menyayanginya dengan tulus dan memperlakukannya dengan baik. Setelah semua yang Bumi lakukan, gadis itu ingin membunuhnya tanpa menjelaskan apapun.
Mati di dalam jurang ini adalah keinginan Delima. Tidak! Bumi tidak akan mati disini. Dia akan bertahan dan suatu hari nanti akan kembali ke desa Laskar merah dan menuntut penjelasan pada gadis itu.
"Aku bersedia."Jawab Biru mantap. Dia berusaha untuk terlihat tegar, cahaya redup di mata hazelnya tidak mampu menyembunyikan gejolak hatinya.
Nampaknya anak ini baru saja mengalami peristiwa yang menyakitkan. Batin Analika yang berhasil menebak tepat sasaran.
"Siapa namamu?"Tanya Analika mulai melembut.
"Naraka Bumi Angkara...."
"Panggil aku ibu!"perintah Analika, nada suaranya mulai naik lagi.
"Ibu,"Rasanya aneh memanggil seseorang dengan sebutan ibu lagi setelah sekian tahun. Lidahnya kelu, tidak terbiasa.
" Mulai hari ini namamu adalah Bumi filius Caeruleus." Kata Analika pelan, dia mengeluarkan sebilah pisau dari balik baju longgarnya. Pisau itu dia gunakan untuk menyayat telapak tangannya, lalu juga menggunakannya untuk menyayat telapak tangan Bumi. Dengan cepat Analika menempelkan telapak tangan berdarahnya pada telapak tangan Bumi.
"Aaaaaaarrrgh....!" Bumi berteriak kesakitan, nafasnya terengah-engah. Rasa sakit yang belum pernah dia rasakan menyerang sekujur tubuhnya. Keringat dingin bercucuran di dahi dan punggungnya.
Seeessss...seeesssss...seeeesss...
Suara mendesis memenuhi kamar itu, darah Analika dan Bumi bercampur acak hingga menimbulkan getaran yang sangat kuat. Ada asap biru tebal keluar dari celah-celah penyatuan telapak tangan itu. Bumi meringis, darahnya bergejolak panas, dan seluruh persediaannya seakan rontok, tulangnya seolah dicabut dan dipisahkan dari dagingnya.
Peristiwa yang amat menyiksa itu berlangsung selama tiga puluh menit. Keringat bercucuran di kening keduanya.
Setelah tiga puluh menit getaran berhenti dan suasana kembali hening. Wajah Bumi semakin pucat, dan tenaganya terkuras habis.
"Tidurlah. Besok pagi aku akan mengenalkan mu kepada seluruh anggota keluarga."kata Analika. Setelah itu dia keluar dari kamar Bumi dan pergi ke pondok kecil yang ada di belakang rumah utama.
Kini hanya tinggal Bumi sendirian dalam kamar serba biru dengan cahaya biru temaram. Dia menolehkan kepala kearah kanan, matanya tertuju pada jendela yang agak aneh. Bumi berdiri menahan pusing di kepala, dia berjalan ke dekat jendela.
Bumi mengulurkan tangan untuk menyentuh kunci jendela, membukanya dan melihat keluar. Rupanya kamar yang dia tempati ada di lantai dua, dia bisa melihat halaman luas yang dikelilingi bunga-bunga yang telah bermekaran.
Lalu, di kejauhan Bumi melihat rumah-rumah bertingkat dan beratap lonjong dengan warna yang berbeda-beda. Biru, hijau, hitam,merah, putih dan masih banyak lagi.
Tempat yang aneh.
Bumi menutup kembali jendela dan kembali berbaring. Dimana dia sebenarnya sekarang? Tempat ini aneh dan tidak umum.
Karena kelelahan Bumi mulai mengantuk dan terlelap dalam waktu singkat.
...°°...
Keesokan paginya, Bumi bangun lebih awal. Jadi saat Analika datang mengunjunginya, dia sudah duduk dengan tenang diatas kursi dekat jendela sembari menatap keluar, memperhatikan bunga serba biru di halaman.
"Kau sudah mandi?"Tanya Analika muncul di pintu, dia membawa sesuatu di tangannya. Wanita cantik itu mendekati Bumi dan meletakkan yang dibawa itu diatas pangkuan Bumi, "Mulai hari ini pakailah pakaian ini. Nanti pelayan akan membawakan sisanya kemari. Cepat mandi dan ganti bajumu."
"Dimana kamar mandinya?"Tanya Bumi karena sejujurnya dia sudah mencarinya sejak tadi.
"Di dalam lemari sebelah kiri,"
Dalam kamar itu ada dua lemari dengan ukuran yang sama dan warna yang sama. Diletakkan menempel pada dinding. Sedikit ragu Biru membuka lemari sebelah kiri.
Aneh sekali.
Dalam lemari itu ternyata ada mata air berwana biru yang mengalir deras. Biru masuk kedalam dan mulai membersihkan dirinya.
Tidak lama kemudian Bumi selesai mandi dan memakai pakaian yang diberikan Analika. Jubah berwarna biru gelap dengan desain burung elang di kerahnya. Barangkali karena pertama kali memakai pakaian seperti itu, Bumi merasa aneh saat mengenakannya.
"Bagus, kau terlihat tampan."puji Analika saat Bumi keluar dari dalam lemari mandi.
"Ikut aku!"Analika memimpin jalan. Keduanya menuruni tangga lalu berbelok ke lorong sebelah kiri. Analika membawanya masuk kedalam sebuah ruangan luas yang di dalamnya terdapat meja panjang dan kursi berjejer di sekeliling meja.
Sudah ada dua orang memakai jubah yang sama duduk disana. Analika membawa Bumi duduk di salah satu kursi.
"Siapa dia?"Seorang wanita yang memiliki wajah mirip dengan Analika bertanya.
"Dia Bumi, anakku, Bu."Kata Analika, "Bumi perkenalkan dirimu."
"Lika!"Wanita itu berteriak, "Aku memintamu menikah dan melahirkan anak, bukan membawa anak orang lain kesini."Marahnya.
"Apa bedanya? Dia anakku dan tidak ada yang bisa melarangnya."jawab Analika acuh, dia tidak takut dengan kemarahan ibunya.
"Lika-"
"Sudahlah."Pria tua yang duduk di kursi utama yang sejak tadi diam mengeluarkan suara, Analika dan ibunya terdiam dan duduk dengan kesal di kursi masing-masing.
" Sudah berapa lama kalian hidup? Kenapa masih berteriak di meja makan? Seperti anak kecil saja."Kata pria itu, lalu matanya menatap Bumi tanpa berkedip.
"Paman, maksudku baik, Lika sudah menjadi gunjingan orang. Bahkan ada rumor yang mengatakan bahwa dia belum bisa melupakan pria brengsek itu. Dia harus segera menikah dan membungkam mulut mereka,"Kata wanita itu lagi.
"Sudahlah, Nina, ini sudah menjadi keputusan Lika. Anakmu sudah dewasa, jangan ikut campur urusannya. Dia sudah bisa menimbang baik dan buruknya."
"Aku Severus Caeruleus, pemimpin di rumah ini. Dia-"Severus menunjuk pada perempuan berambut pendek dengan wajah garang itu, "Anina, ibu dari Analika yang berarti dia adalah nenekmu."
Bumi hampir saja tersedak saliva sendiri, Anina memang memiliki wajah lebih dewasa daripada Analika tapi tetap saja belum pantas dipanggil sebagai nenek.
"Siapa namamu?"Tanya Nina ketus, mata biru gelapnya bak pedang tajam yang menghujam ulu hati Bumi.
Untuk beberapa saat Bumi tidak bisa berkata-kata, dia merasa bahwa perempuan itu sedang berusaha membuatnya takut lalu mengusirnya.
"Namaku Bumi-"
"Baiklah, kau harus mengikuti semua aturan di rumah ini. Jika berani melanggar, kau tidak akan bisa lagi melihat matahari terbit."Kata Nina dingin dan melemparkan ancaman kematian.
"Ak-aku akan mengikutinya,"Ucap Bumi pelan, dia melirik Lika yang santai saja. Bukankah ibu normal akan membela anaknya?
Ah, bumi lupa dia hanya anak angkat yang digunakan sebagai alat dan tentu saja tidak akan terlalu berarti bagi Analika.
Setelah pertengkaran singkat itu, makan pagi dimulai dalam diam, hanya ada suara dentingan sendok dengan piring porselen.
Makanan disini sama dengan makanan pada umumnya, tapi tempat ini bukanlah dunia manusia seperti Desa Laskar merah. Perlahan dan diam-diam Bumi akan mencari tahu dimana dia berada sekarang.
"Setelah ini kamu bisa belajar di ruang belajarku. Hanya tersisa tiga bulan lagi sebelum pendaftaran akademi dibuka, kamu harus mempersiapkan diri sebaik mungkin. Paham Bumi?"Tanya Analika setelah menghabiskan satu porsi bubur putih.
"Iya, Bu."Lidah Bumi masih kelu memanggil wanita semuda Analika ibu.
Bumi belum terbiasa dengan ketegasan Analika, setiap kali dia berbicara entah kenapa tidak bisa ditolak. Wanita itu tidak membiarkannya memilih pilihan lain.
***
Like, komen dan vote.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!