NovelToon NovelToon

I Love You, Mba!

I love you, mba!

"I love you, mba!"

Pupil mata Shazia melebar kala tak sengaja bertemu dengan seorang pria muda berpenampilan persis seperti preman pasar. Berambut gondrong, sedikit berkumis dan berjambang, bertindik, memakai jeans robek di kedua lutut, tiba-tiba melontarkan kata-kata nyeleneh tersebut padanya.

Pria tersebut senyam senyum entah apa maksud nya. Terlihat keren kagak, ngeselin iya.

Shazia tak mengenalnya, tapi pria tersebut berkeliaran disekitaran dekat rumah Emran, kekasih nya. Siapa dia? kakak Emran kah? adiknya kah? sepupunya kah? tapi jika dilihat dari penampilan dan sikapnya, pria tersebut sama sekali seperti bukan bagian dari keluarga alim dan paham agama seperti Emran.

Belum sempat Shazia menegur sikap anehnya, pria tersebut langsung pergi. Tapi pria tersebut menoleh dan mengedipkan mata pada Shazia disela langkahnya.

Mata Shazia sontak membola, dan segera berpaling sambil menggerutu kesal.

"Ish, dasar orang aneh."

"Shazia !"

Shazia terkejut mendengar suara Emran. Ia segera mengalihkan tatapannya ke arah kedatangan Emran, lalu menghela nafas lega setelah melihat sosoknya.

Tapi Shazia merasa ada yang aneh. Kenapa Emran datangnya dari arah lain bukan dari arah rumahnya?

"Maaf ya, Sha. Kamu harus menunggu agak lama," ucap Emran lembut setelah mendekat dengan Shazia." Tadi aku beli ini dulu di toko yang ada di sana." Emran menyambung ucapannya sembari memperlihatkan kantong plastik putih yang ditentengnya pada Shazia.

Shazia tersenyum hingga lesung pipinya menyembul. Lesung pipi yang membuat gadis itu tak hanya terlihat cantik saja tapi juga sangat manis. Cantik dan manis kombinasi yang membuat wajah Shazia tampak begitu cantik paripurna.

"Enggak apa-apa kok." Shazia memperlihatkan sikap biasa saja, tapi sebenarnya hatinya kecewa.

Bagaimana tak kecewa. Pertama, Emran tak menjemput, padahal pria itu sendiri yang meminta Shazia datang ke rumahnya dengan alasan masih sibuk dengan pekerjaannya. Kedua, Shazia harus menunggu cukup lama di pintu gapura yang menuju ke arah rumahnya karena Emran janji akan menyusulnya di gapura tersebut. Sampai ia digodain sama seorang pria bertampang seperti preman.

Tak mungkin kan, ujug ujug Shazia datang sendirian ke rumah Emran. Bukan dia banget datang ke rumah seorang laki-laki begitu saja. Apa lagi ini pertama kalinya ia mengunjungi rumah keluarga Emran yang notabane nya ayahnya seorang ustad.

"Ya sudah kalau gitu yuk, ibu dan ayah ku sudah siap menyambut kedatangan calon menantunya yang sangat cantik ini," goda Emran dengan senyuman yang tak kunjung hilang dari wajah tampan nya.

Mendengar kata-kata itu, semburat merah jambu mendadak menghiasi pipi Shazia. Perasaan kecewa nya kini diganti dengan perasaan senang. Tapi ada perasaan gugup juga, mengingat pertemuan ini merupakan pertemuan pertama kalinya dengan orang tua Emran. Bagaimana respon orang tua Emran padanya nanti? Demi apa ! ia sangat deg deg kan sekali.

Bismillah. Shazia menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba menghilangkan perasaan gugupnya.

Setelahnya, Shazia mengikuti gerak langkah Emran menuju rumahnya. Tapi di sela melangkah, sorot matanya tak sengaja menangkap sebuah pemandangan yang cukup lucu. Dimana seorang pria muda sedang dijewer dan diomeli oleh seorang pria paruh baya memakai kopiah putih.

Sebentar, sebentar itu kan....Shazia mengernyit. Pria yang dijewer itu kan pria yang sempat bertemu dengan nya dan melontarkan kata-kata yang sukses membuat jantungnya berdegup. Bukan baper sih, tapi lebih tepatnya menyebalkan.

Shazia segera menutup mulut, menahan tawanya yang ingin meledak. Tampangnya saja yang terlihat seperti preman, tapi nyalinya ya ampun.....Shazia cekikikan dalam hati. Entah lah, rasanya ia cukup terhibur melihat pemandangan lucu tersebut.

Langkah Emran terhenti begitu sadar Shazia berhenti. Ia mengikuti arah tatap Shazia, lalu menghela nafas dan geleng-geleng setelah tak penasaran. Bukan lagi pemandangan yang baru, tapi seringkali dilihatnya ketika anak itu datang ke rumah ini.

"Shazia !"

Shazia terkesiap dan bersikap kikuk saat Emran menyebut namanya.

"Ngapain sih kamu nontonin anak bragajulan yang enggak punya akhlak itu? buang-buang waktu kita aja." Dari nada bicaranya, sepertinya Emran tak menyukai pria yang ia panggil anak bragajulan tersebut.

Shazia tak bersuara. Hanya matanya saja yang berkedip dengan arah tatap pada Emran. Benarkah yang berbicara agak sarkas ini Emran, kekasih nya yang selalu bersikap lemah lembut padanya bahkan pada semua orang?

"Sudah, yuk. Ibu ku sudah terlalu lama menunggu kita." Emran kemudian berlalu.

Shazia geleng-geleng tak mengerti, lalu segera menyusul Emran yang sudah melangkah lebih dulu.

Sebenarnya, Shazia ingin bertanya pada Emran tentang laki laki yang sedang diomeli tadi. Tapi melihat sikap Emran yang sepertinya tak suka, keinginan nya itu pun terpaksa diurungkan.

"Ayok, masuk." Emran mempersilahkan Shazia masuk ke dalam rumahnya yang tampak asri setelah mengucapkan salam.

Shazia mengangguk senyum.

Setelah di bawa pada perkumpulan keluarga Emran yang diadakan di halaman belakang rumah asri tersebut, Shazia tertegun melihat cukup banyaknya orang di sana. Ia pikir hanya orang tuanya saja, rupanya saudara-saudara dari paman bibi sepupu bahkan ada beberapa anak kecil pun turut berkumpul di sana. Sepertinya Emran memang sengaja mengumpulkan seluruh anggota keluarganya untuk memperkenalkan Shazia sebagai calon wanita yang akan ia nikahi.

Shazia langsung memperlihatkan senyuman terbaiknya saat orang-orang itu menatap padanya.

"Wah, ini to calon istrimu, Ran?" Tanya Malik, paman Emran.

Emran mengangguk senyum." Iya, paman."

"Cantik banget, Ran. Cocok sama kamu," kata istri Malik yang juga ikut memuji kecantikan Shazia.

"Terima kasih, Bi," ucap Emran melirik pada Shazia.

Shazia tak bersuara. Ia hanya tersenyum malu-malu.

Tak hanya paman dan bibi Emran saja yang memuji kecantikan Shazia, tapi beberapa saudara-saudara yang lain pun turut memujinya.

Kemudian, Emran meminta Shazia untuk menyalami seluruh keluarganya termasuk ibunya, Nuria yang sejak tadi hanya diam. Sikap nya pun tampak biasa saja, tak seantusias keluarga yang lain.

"Umi, ini Shazia. Wanita yang pernah Emran ceritakan pada Umi." Emran memperkenalkan Shazia pada Nuria yang duduk santai dan agak terpisah dari saudaranya yang lain.

Nuria sedikit mengangkat wajahnya melihat pada Shazia. Ia tersenyum tipis dan segera kembali ke posisi asal.

Shazia yang kikuk karena sikap Nuria yang tampak cuek pun hanya diam mematung, sampai Emran berbisik." Ayok salaman sama Umi."

Dengan perasaan gugup, Shazia menuruti perintah Emran. Ia merendahkan badannya seraya menyodorkan tangannya pada Nuria, karena posisi wanita baya itu sedang duduk.

"Nama saya, Shazia, Umi."

Nuria menyambut tangan Shazia tanpa sepatah kata dan wajah datar. Sepertinya ia terpaksa melakukan nya.

Tak lama, seorang pria paruh baya datang seorang diri.

Shazia terdiam sesaat kala Emran memperkenalkan pria baya tersebut padanya." Ini kan orang tua yang menjewer laki-laki tadi." Shazia membatin." Jadi ini ayah nya Emran. Terus laki-laki yang di jewer tadi siapa nya Emran ?"

"Ayok, nak Shazia silahkan duduk." Sikap ayahnya Emran lebih hangat dibandingkan dengan sikap ibunya.

Shazia mengangguk senyum lalu duduk di samping Emran.

Obrolan santai dan diselingi candaan pun berlangsung sambil menikmati cemilan yang tersedia di atas meja yang membentang panjang.

Sikap keluarga besar Emran yang baik dan welcome padanya membuat hati Shazia menghangat dan merasa cukup nyaman berada di tengah-tengah mereka.

"Ehem. Apa kamu masih memiliki orang tua, Shazia ?" Nuria yang sejak tadi diam saja tiba tiba bersuara dengan kalimat pertanyaan pada Shazia.

Shazia sempat tertegun, namun kemudian ia mengangguk ragu.

"Ibu mu seorang apa? ehem, maksud saya kerja apa?" Tanya Nuria lagi, sementara lainnya hanya menyimak.

"Ibu saya hanya orang biasa. Dan dia punya usaha kecil-kecilan, umi," jawab Shazia gugup namun berusaha bersikap tenang.

"Ayah mu?"

Deg. Pertanyaan Nuria berikutnya berhasil membuat jantung Shazia berdentam hebat. Umi menanyakan ayahnya yang ia sendiri tak tahu siapa dan dimana keberadaanya.

"Ehem. Kamu tahu kan, Emran itu berasal dari bibit bebet bobot yang jelas. Dan Ayah Emran seorang ustad yang cukup terkenal dan disegani. Ya, kami enggak mau aja sampai Emran salah memilih pasangan hidupnya."

Bertengkar

Shazia termangu sesaat mendengar kata-kata Umi Nuria. Bibit bebet bobot yang jelas. Maksud nya? Ia mencoba mencerna sampai ia mengerti. Umi Nuria seakan menegaskan dan menekankan padanya jika wanita yang akan Emran nikahi harus lah berasal dari asal usul yang jelas.

Lantas, apakah ia termasuk memiliki bibit bebet bobot yang jelas? Shazia meneguk ludahnya yang getir. Bagaimana ia bisa menjadi istrinya Emran, ia saja bukan wanita yang memiliki kriteria calon menantu yang diinginkan oleh Umi Nuria.

Shazia lahir dari rahim seorang wanita tanpa memiliki seorang suami. Ia pun tak tahu siapa ayah biologisnya dan dimana keberadaanya. Masih hidup kah, sudah mati kah. Sang ibu tak pernah bercerita sosoknya, dan selalu menghindar jika ia bertanya. Entah apa yang terjadi di masa lalu, dan entah apa yang sedang disembunyikan oleh ibunya itu.

"Ya Allah, syaratnya sesulit ini untuk menjadi istrinya Emran dan menantu seorang ustad." Shazia membatin dengan perasaan teramat sedih.

Shazia kemudian melirik pada Emran yang hanya diam dengan wajah tampak tegang. Sepertinya pria itu sama seperti Shazia, terkejut, dan tak menyangka jika ibunya akan berbicara demikian pada Shazia.

Shazia pikir, Emran sudah bercerita pada keluarganya. Tapi sepertinya belum. Jika sudah tak mungkin kan Umi Nuria tanya-tanya lagi tentang orang tuanya.

Timbul tanda tanya di otak Shazia, kenapa Emran belum bercerita pada keluarganya? padahal ia sudah membicarakan hal ini sebelum menerima Emran sebagai calon suaminya. Belum siap kah, takut kah, atau malu memiliki calon istri yang tak ber-nasab? Astagfirullah. Shazia beristigfar dalam hati. Membuang jauh-jauh fikiran negatifnya terhadap Emran.

Shazia menarik nafas dalam-dalam, mencoba membuang rasa sesak yang mengganjal di kerongkongan.

Lalu dengan segenap keberanian, ia menatap lagi pada wajah datar Umi Nuria.

"Saya sebenarnya......" Ucapan Shazia mengambang kala netra matanya tak sengaja menyorot ke arah seorang laki-laki yang sedang berjalan ke arah mereka. Tepat di belakang umi Nuria dan ustad Ramlan.

"Dia lagi !!" kening Shazia mengernyit. Dimana-mana ada pemuda itu. Tadi di depan gapura, terus di halaman samping, sekarang ada disini.

Ucapan Shazia yang tanpa sadar dan terdengar nyaring itu membuat semua orang mengalihkan tatapan mereka pada pemuda tersebut.

"Kak Shakaaaa......" Alia, salah satu sepupu kecil Emran langsung turun dari kursinya dan berteriak dengan wajah berbinar-binar. Gadis kecil itu meneriaki nama pemuda yang datang tersebut seraya berlari kecil.

Shaka ! jadi namanya Shaka !. Berkat gadis kecil yang meneriakinya itu, kini Shazia tahu namanya.

"Hallo Alia cantik !!" Shaka membalas sambutan Alia dengan senyuman lebar. Berjongkok dan mencubit gemas pipi tembemnya, membuat Alia tertawa cekikikan.

"Kak Shaka kemana aja sih? Tau enggak. Alia sudah tiga kali kesini tapi kak Shaka nya enggak ada terus. Alia kangen banget tau sama kak Shaka," celoteh Alia manja. Bibirnya dikerucutkan.

Shaka tergelak dan lagi-lagi mencubit pipi Alia dengan gemas." Ah, yang bener kamu kangen sama kakak. Kamu ingin ketemu kakak paling ada maunya ya kan !!"

Interaksi akrab dan hangat antara Shaka dan Alia, Shazia seperti melihat sisi lain di diri pemuda tersebut. Ternyata dibalik penampilan nya yang amburadul, Shaka tampak begitu menyenangkan bagi seorang anak kecil seperti Alia. Dan sepertinya Shaka juga menyukai anak kecil. Lihat saja caranya berinteraksi dengan gadis kecil tersebut.

Sebaliknya calon suaminya, Emran. Emran memang selalu berpenampilan perfeksionis dan bersikap sopan pada semua orang. Tapi tampaknya, Emran tak menyukai anak kecil. Seperti tadi saat Alia mendekatinya, Emran hanya mengulurkan tangannya untuk di salim tanpa berbuat seperti yang Shaka lakukan pada Alia.

"Mau ngapain kamu ke sini, Shaka ?" Dari nada pertanyaan dan wajah datar umi Nuria, sepertinya ia tak menyukai kedatangan Shaka.

Shaka seperti orang lain yang bertamu tapi tidak disambut ramah oleh si empunya rumah.

Hal tersebut membuat Shazia bertanya-tanya, siapa sebenarnya pemuda tersebut? Jika salah satu anggota keluarga ini, masa iya ibunya Emran bersikap ketus padanya.

Shaka yang tengah menggoda Alia pun lantas melihat pada umi Nuria." Emangnya kenapa kalau aku kesini, bu ustadzah? Ini rumah ku juga, kan?" Shaka membalasnya dengan sikap yang tampak tenang dan senyuman yang tak kunjung sirna.

Bola mata umi Nuria membesar. Tampaknya ia menahan rasa kesalnya pada Shaka.

"Setidaknya kamu ganti dulu pakaian kamu dengan pakaian yang lebih sopan, ka. Baru kamu kemari dan kumpul sama kami. Emangnya kamu enggak malu sama paman, bibi, sepupu-sepupu mu dan....." Ustad Ramlan melihat ke arah Shazia." Tamu istimewa kami."

Shaka langsung menatap pada Shazia dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

Shazia yang ditatap tanpa kedip pun segera berpaling salah tingkah. Bukan baper sih, tapi lebih tepatnya risih saja ditatap terus menerus.

Shaka kemudian berjalan memutari meja, membuat Shazia mendadak merinding, apalagi melihat Shaka berjalan ke arahnya sambil terus menatapnya.

"Eh, eh kamu mau ngapain? jangan macem-macem sama calon istri ku." Emran dengan sigap menahan tangan Shaka yang terulur ke arah Shazia.

Shaka berdecak." Ya ampun. Siapa yang mau macem-macem sih. Aku cuma mau kenalan sama calon kakak ipar ku doang kok," kata Shaka.

Kakak ipar !! kalau dia menyebutnya kakak ipar, berarti Shaka ini.......dia adiknya Emran. Shazia membatin.

"Enggak bisa. Kamu enggak boleh menyentuh tangan calon istriku secuil pun? Menyingkir sana." Dengan tegas Emran mengatakan nya, dan ia menghentak kasar tangan Shaka, membuat pemuda tersebut sedikit terdorong.

Shaka tersenyum smirk. Perbuatan kasar Emran tentu saja menyulut emosinya. Namun, ia masih bisa mengontrolnya.

"Memangnya kenapa kalau aku kenalan sama calon kakak ipar? apa kakak takut calon kakak ipar akan jatuh cinta sama aku dan kakak tersaingi?" Shaka sepertinya sengaja memancing emosi Emran.

Mendengar itu, bola mata Shazia sontak melebar. Jatuh cinta sama........ Shazia melirik dan memindai tubuh Shaka dari bawah ke atas dengan posisi menunduk. Tepat saat sorotannya kepergok Shaka, pria itu justru mengedipkan mata sambil senyam senyum.

Pupil mata Shazia seketika melebar dan segera berpaling ke arah lain. Oh ya ampun. Mana mungkin ia bisa jatuh cinta sama preman. Kelakuannya pun genit. Astagfirullah. Shazia beristigfar dalam hati.

Emran berdecak kesal.

"Mimpi kamu Shaka. Mana mungkin wanita terhormat seperti Shazia akan jatuh cinta sama anak berandalan yang selalu bikin onar kayak kamu," balas Emran yang mulai geram.

Shaka terdiam sejenak. Entah apa yang pemuda itu pikirkan. Namun sorot matanya terarah pada Shazia yang tengah diam menunduk.

"Kakak yakin, kalau calon kakak ipar yang cantik ini enggak akan jatuh cinta sama aku!" Tantang Shaka diikuti senyuman penuh arti.

Rahang Emran mengeras. Pancaran matanya pun kian nyalang. Shaka benar-benar berhasil menyulut emosi pria tampan yang selama ini selalu bersikap lemah lembut dan sopan pada semua orang.

Emran secepat kilat menarik kaos atas Shaka. Tangan nya mengepal di udara.

Bertengkar 2

Emran secepat kilat menarik kaos atas Shaka. Tangan nya mengepal di udara. Bugh. Dengan emosi yang tak terkontrol, ia melayangkan pukulan keras pada wajah Shaka.

Semua orang terkejut melihat tindakan kasar Emran terhadap Shaka termasuk Shazia. Tak disangka, Emran yang terkenal memiliki sifat sikap yang sangat baik dan lemah lembut bisa berbuat kasar pada saudara nya sendiri.

Shaka tak melawan, tapi bukan berarti ia tak mampu melawan Emran. Ia hanya mengusap bibirnya yang mengeluarkan darah. Namun dibalik kesakitan nya itu, tak ada yang tahu jika pemuda itu menyimpan senyuman puas.

Ini merupakan rencananya. Ia ingin menunjukan pada semua orang terutama pada orang tuanya bagaimana peringai asli anak yang selalu dibanggakan dengan segudang prestasi akademis katanya. Anak yang memiliki akhlak yang sangat baik katanya. Memiliki jiwa sosial yang tinggi dan sangat menyayangi orang tua katanya, ya hanya katanya. Karena pada kenyataanya, anak yang mereka agung-agung itu memiliki sifat yang licik dan seorang penjilat.

Cih. Shaka sama sekali tak iri dengan prestasi Emran. Ia tak iri saat orang tuanya kerap kali membelikan apa saja yang Emran mau. Ia tak iri saat ayahnya membelikan Emran mobil. Ia juga tak iri saat orang tuanya memutuskan Emran lah yang akan menjadi penerus sekaligus pewaris pondok pesantren yang dikelola oleh ayah mereka, Ramlan.

Tapi ada hal lain yang membuatnya membenci Emran, yaitu kakaknya itu kerap kali mengadu yang bukan-bukan pada orang tua mereka tentangnya sehingga orang tua nya hilang respek dan kepercayaan padanya. Terutama kepercayaan dari ayahnya, Ramlan.

Shaka tak peduli jika yang hilang kepercayaan padanya itu adalah umi Nuria. Karena wanita itu memang sudah tak menyukainya dari semenjak ia masih sangat kecil. Maklum, umi Nuria hanya ibu tiri yang tak pernah menyayanginya.

Yah, Shaka dan Emran merupakan kakak adik, satu ayah lain ibu. Umi Nuria ibunda Emran, sementara Shaka, ia lahir dari istri kedua Ramlan yang sudah meninggal dunia.

Emran yang kini jadi santapan semua mata pun bersikap salah tingkah.

"Saya, saya hanya ingin melindungi Shazia. Si Shaka berani banget melecehkan calon istri saya. Jadi wajar kan sekali-kali saya beri dia pelajaran biar jera." Emran membela diri. Ia tak ingin keluarganya mengecap pandangan buruk terhadapnya. Ia juga menyesal kenapa tak bisa menahan emosi. Pasti semua orang bertanya-tanya dan meragukan nya termasuk Shazia.

Mendengar alasan Emran, Shazia terbengong dengan arah tatap pada Emran. Shaka melecehkan dia? Apa iya begitu? Tapi menurutnya, Emran ini sepertinya tak bisa membedakan mana yang kalimat pelecehan dan mana kalimat yang hanya usil menggoda. Shaka ini tidak melecehkan dia, anak itu hanya usil menggodanya.

Shazia memang tak menyukai kata-kata Shaka, tapi bukan berarti ia membenarkan tindakan Emran. Oke lah, Emran membelanya tapi apa harus dengan cara memukul? Apalagi di saksikan oleh beberapa anak kecil. Adegan yang tidak bagus untuk mereka tonton.

Rasanya Shazia ingin menegur Emran, tapi melihat orang-orang disekelilingnya, ia pun terpaksa hanya bisa menahan. Nanti saja ketika mereka sedang berdua.

"Lagian kamu juga Shaka. Salah mu sendiri ngapain kesini dan bikin onar. Sudah bagus kamu kelayapan di luar sana dan enggak usah balik lagi." Umi Nuria bersuara dengan nada yang ketus.

Shaka langsung menatap umi Nuria dengan perasaan kesal. Namun, ia berusaha menahan kekesalan nya. Malas juga meladeni ocehan wanita yang ia sebut ular betina. Unfaedah.

"Ya wajar lah, Yuk, kalau Shaka pulang. Ini kan rumah Shaka juga. Yuk Nuria lupa ya kalau rumah ini dibangun di atas tanah milik Yuk Sarah." Hamid, adik dari Ramlan tak kuasa menahan mulutnya untuk tak membuka sebuah rahasia. Ia tak suka pada ucapan Umi Nuria yang menginginkan Shaka tak pulang lagi ke rumah.

Umi Nuria sontak melotot pada Hamid. Sepertinya ia sangat terkejut. Tak menyangka adik ipar nya akan membocorkan salah satu rahasia di depan banyak orang termasuk Shaka.

Shaka tersenyum puas melihat ekspresi Umi Nuria yang di skakmat langsung oleh paman nya. Jangan dikira ia tak tahu tanah yang luasnya seribu meter persegi ini milik siapa. Itu sebabnya kenapa ia masih menginjakkan kakinya di rumah ini karena ada hak nya. Jika tidak, ia tak akan pernah mau lagi bertatap muka dengan orang-orang seperti umi Nuria dan anaknya, Emran.

Sarah. Siapanya di keluarga ini ? Shazia penasaran. Tampaknya keluarga Emran ini penuh dengan teka teki yang tak terpecah kan.

Emran diam menatap Hamid. Ucapan pamannya itu tentu saja membebani pikirannya. Apa iya tanah luas ini milik ibunda Shaka bukan ibunya dan ayahnya? Emran geleng-geleng menyangkal. Tak mungkin istri kedua ayah nya itu orang kaya. Tapi jika benar, ia tak bisa membayangkan si Shaka pasti akan merasa besar kepala.

"Tapi dia datang cuma mau bikin onar lho, Mid. Dia itu_"

"Sudah, sudah." Ramlan menengahi sekaligus memotong ucapan umi Nuria yang ingin membela diri dan Emran.

Jangan dikira Ramlan tak merasa kesal atas apa yang sudah terjadi. Ia hanya berusaha diam dan sabar. Ia juga kesal atas tindakan Emran yang memukul Shaka dan ingin menegur kedua anaknya, terutama menegur Emran.

"Enggak usah di bahas lagi. Enggak enak kan sama nak Shazia."

Shazia yang disebut namanya pun menoleh pada ustad Ramlan.

"Maaf ya, nak Shazia. Baru pertama kalinya datang kesini eh malah gaduh seperti ini."

Shazia hanya tersenyum canggung, kemudian melihat pada Shaka yang tengah mengelap jejak darah di bibirnya yang mulai mengering.

"Apa luka nya parah?" Tanya Shazia yang merasa khawatir melihat bibir Shaka mulai membengkak.

Ya, Shazia khawatir. Karena gara-gara dirinya Emran jadi gelap mata dan melukai adiknya itu.

Mendengar pertanyaan wanita yang diam-diam dicintainya itu, Shaka tertegun dengan arah tatap pada Shazia. Apakah ia sedang bermimpi sosok bidadari itu berbicara padanya.

"Perlu saya obati lukanya enggak?"

Shaka langsung mengangguk-anggukan kepalanya begitu ia sadar.

Emran yang tak suka Shazia menawarkan diri untuk mengobati luka di bibir Shaka pun langsung berkata dengan nada marah." Enggak bisa. Apa-apaan kamu ngobatin anak berandalan itu. Dia bisa mengobati dirinya sendiri. Enggak perlu kamu yang obati."

"Emran !"

Emran menoleh pada Ramlan.

"Biarkan aja nak Shazia membantu mengobati Shaka. Kamu ikut sama Abi. Abi mau bicara sama kamu."

"Tapi, Abi. Shazia calon istri Emran. Masa_"

"Lah, emang kenapa kalau calon istrimu mengobati calon adik iparnya? lagian nanti juga akan di bantu sama mbok Iyem. Nak Shazia enggak sendiri," tukas Ramlan.

Emran mendengkus kasar, dan menatap Shaka dengan tatapan benci.

"Awas saja kalau kamu berani macam-macam sama calon istriku," ancam Emran pada Shaka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!