NovelToon NovelToon

Suamiku Kau Rebut, Kudapatkan Papamu

Bab 1 Penemuan Struk Penginapan

     "Ok, nanti kita ketemu, ya. I love you." Bima mengakhiri sambungan telponnya dengan seseorang di ujung telpon dengan mesra. Kalimat aku mencintai kamu dalam bahasa Inggris sudah dua kali dia dengar dari bibir suaminya, kala Sauza berhasil mengikuti Bima ke ruang kerjanya secara sembunyi-sembunyi.

     Bima menjauh dari kamar dan kini berada di ruang kerja hanya untuk menerima panggilan telpon dari seseorang. Sauza menajamkan pendengarannya, dan ternyata kalimat-kalimat mesra terdengar dari bibir Bima. Bukan saja sekali, tapi ini kali kedua Bima terdengar seperti itu. Dan ini sangat menyakiti hati Sauza.

    Sauza sudah tidak bisa menahan rasa penasaran dan sabar lagi. Dia harus meminta penjelasan dan menanyakan siapa sebenarnya lawan bicaranya di telpon tadi yang diberikan kalimat cinta itu?

     "Siapa yang kamu berikan kalimat aku cinta kamu itu, Mas?" cegat Sauza saat Bima melangkahkan kakinya keluar pintu ruang kerjanya. Bima tersentak kala mendapati Sauza di depan ruang kerjanya, wajahnya tiba-tiba pias dan sedikit memerah. Bima tampak sangat gugup.

     "Apa maksud kamu? Aku tidak bilang seperti itu, mungkin pendengaran kamu saja yang salah. Lagipula ngapain kamu jauh-jauh dari kamar kemari hanya untuk menguping pembicaraan aku dengan klien, seperti tidak ada kerjaan saja?" Bima balik kesal dengan sikap Sauza yang mempertanyakan ucapannya tadi di telpon.

     "Iya, kamu memang tidak bicara seperti itu, tapi kamu bilang i love you pada lawan bicaramu itu. Lalu kenapa juga kalau itu memang klien kamu, kamu harus jauh-jauh menerima telpon sampai ke ruang kerja segala? Mencurigakan banget," sergah Suaza menumpahkan unek-uneknya.

     Bima memejamkan matanya seakan baru sadar bahwa kini istri yang sudah dinikahinya hampir tiga tahun itu mengetahui gelagat mencurigakannya.

     "Kamu itu salah dengar. Sudah, jangan terlalu berprasangka buruk. Kamu ini sepertinya kelelahan karena seharian bekerja di rumah. Ayo, sebaiknya kita ke kamar. Nanti sore aku harus berangkat ke luar kota, ada pertemuan dengan klien. Jadi tolong, siapkan beberapa potong baju untuk aku bawa." Bima segera menarik lengan Sauza menuju kamarnya.

     "Tapi, Mas ...."

     "Sudah, jangan banyak bicara dulu. Sebaiknya kamu persiapkan keperluan aku." Bima menarik Sauza tidak sabar ke dalam kamar.

     "Tapi aku sudah dua kali mendengar pembicaraan kamu di telpon, dan mengucapkan cinta pada orang di ujung telpon." Sauza hanya mampu mengatakan kalimat itu di dalam hati saja.

     Sorenya tiba, satu buah koper yang sudah diisi barang-barang kebutuhan Bima sudah siap. Sauza tahu betul apa yang dibutuhkan Bima jika keluar kota. Kali ini rasanya Sauza berat untuk ditinggalkan jauh oleh Bima, dia seperti tidak rela.

      "Boleh Mas aku ikut, ingin rasanya aku ikut sama kamu, mendampingi kamu saat kerja keluar kota." Sauza merengek manja di lengan Bima.

     "Tidak bisa, Sayang. Lain kali pasti ada waktu untuk kita. Aku akan meluangkan waktu untuk we time. Kita akan bulan madu agar perut kamu cepat isi dan kita diberi momongan," hibur Bima seraya mengecup kening Sauza dan meraba perutnya yang rata.

     Sauza terlihat berkaca-kaca, dia begitu sedih mengingat dirinya sampai saat ini masih belum diberikan momongan. Pernah suatu kali Bima menanyakan tentang anak, sayangnya Sauza masih belum memberikan jawaban yang meyakinkan, karena pada dasarnya rahimnya belum ditumbuhi janin.

     "Sudah, jangan sedih. Lain kali kita pergi, ya. Sekarang aku harus segera pergi, aku takut kemalaman nanti dalam perjalanan." Bima merengkuh bahu Sauza lalu mencium kening perempuan cantik itu.

     Dengan hati yang terpaksa, Sauza melepaskan kepergian Bima. Bima meraih kopernya dan diseret keluar kamar, sementara Sauza mengikuti Bima. Namun Sauza kembali masuk karena ia takut ada barang lain yang ketinggalan Bima.

     "Tunggu sebentar, Mas." Sauza menuju meja rias, memindai meja itu memastikan tidak ada barang milik Bima yang tertinggal di sana. Lalu menuju lemari. Siapa tahu ada dalaman Bima yang masih tertinggal dan belum ia masukkan ke dalam koper. Semua aman, dan sepertinya tidak ada yang tertinggal.

     Sauza kembali dan membalikkan badan menuju pintu kamar. Namun, mata Sauza dibuat penasaran saat melihat secarik kertas mirip struk. Sauza meraih kertas itu yang ternyata memang secarik kertas struk pembayaran.

     Tulisan komputer terbaca dengan jelas, pembayaran penginapan dua hari di sebuah hotel yang sudah tidak asing di telinganya. Hotel bintang lima dengan bayaran sehari semalam yang lumayan.

    Kening Sauza mengkerut. Tanggal dan hari pembayaran penginapan hotel itu seakan sinkron dan mengingatkan Sauza pada keberangkatan suaminya bulan lalu ke luar kota.

     "Kota Cirebon? Struk pembayaran hotel milik siapa sampai sebesar ini? Bukankah satu bulan lalu Mas Bima keluar kota tapi bukan ke Cirebon?" Sauza membatin penasaran.

     Bulan yang lalu suaminya pamit keluar kota, katanya ke Bogor. Tapi kali ini ia menemukan bukti struk pembayaran penginapan hotel selama dua hari di kota udang itu. Sauza menyimpan rapi bukti struk itu. Dia punya firasat buruk dari bukti struk itu, sampai Sauza memutuskan kali ini nekad akan mengikuti ke mana Bima pergi.

     Sauza menyiapkan diri. Berdandan tipis menyisir rambut, menggunakan celana kulot dan menambahkan kardigan sebagai outer. Lalu menyiapkan masker, kaca mata hitam yang sudah ia masukkan ke dalam tas sampirnya.

     Sebelum keluar kamar, Sauza memesan grab untuk perjalanan pengintaiannya yang kali pertama ini dia lakukan atas kecurigaan terhadap suaminya.

     Sauza berjalan keluar kamar, lalu menuruni tangga dan menyusul suaminya yang sudah berada di halaman rumahnya memanaskan mobil. Tentu saja tas sampirnya ia sembunyikan di belakang tubuhnya, supaya tidak kelihatan suaminya.

     "Mas, kamu sudah siap?" sapa Sauza saat melihat Bima mencoba mobilnya digas dari dalam.

     "Kenapa lama banget di dalam?" bukan jawaban, melainkan kalimat protes dari bibirnya disertai mimik kesal.

     "Maaf, Mas," ucap Sauza sembari menghampiri suaminya dan meraih tangan Bima lalu menciumnya. Bima membalas dan mengecup bibir Sauza sekilas.

     "Hati-hati, Mas. Jangan lupa sebulan lagi anniversary tiga tahun pernikahan kita," ucap Sauza sembari melambaikan tangan pada Bima yang mulai melajukan mobilnya.

     "Tididdd."

     Bunyi klakson diperdengarkan satu kali oleh Bima tanda ia benar-benar pergi. Bersamaan dengan itu grab yang dipesan Sauza datang, Sauza keluar gerbang rumah dan mencegat grab itu yang ternyata pesanannya.

     Sauza menutup kembali gerbang rumah, lalu ia masuk ke dalam grab itu, duduk di belakang Supir.

     "Pak, tolong ikuti mobil berwarna krem metalik bernopol B 1 MA itu. Tidak usah dekat-dekat, Pak. Yang penting jarak aman dan terpantau." Sauza memberikan aba-aba pada Supir setengah baya itu.

     "Baik, Neng." Supir itu patuh, lalu segera melajukan mobilnya mengikuti mobil Bima.

NB: Bismillah, ini karya Author yang sudah beberapa bulan lalu di up di akun lama Author, dan ternyata kurang peminat. Pihak NT sudah mengijinkan karya ini di up di akun baru dengan syarat belum kontrak.

     Author ingin mengajak kalian ke suasana yang lain dengan cerita yang diluar abdi negara. Semoga kalian suka.

Bab 2 Membuntuti Mobil Bima

    Mobil Bima meluncur dengan kecepatan sedang. Kurang lebih satu kilo meter jarak tempuh, mobil Bima tiba-tiba belok ke kiri menuju sebuah jalan pemukiman penduduk yang tidak asing bagi Sauza.

    "Mau apa Mas Bima belok ke sini?" batin Sauza bertanya penasaran.

    "Neng, apakah kita ikuti saja mobil itu?"

    "Ikuti saja Pak," titah Sauza sembari tubuhnya mendongak melihat ke arah depan. Mobil Bima berjalan perlahan, sebab dari arah berlawanan ada mobil lain yang akan lewat juga. Berhubung ini jalan ke sebuah kampung, otomatis jalannya hanya muat untuk dua mobil saja, itupun saat bertemu, salah satu mobil harus berhenti dan menepi dahulu.

    Mobil Bima terus melaju masuk ke jalan itu. Sauza tahu jalan ini merupakan jalan menuju rumah salah satu sahabat dekatnya, yaitu Mira. Bukan rumah Mira sebetulnya, melainkan rumah neneknya. Sejak mamanya Mira meninggal, Mira lebih memilih tinggal dengan sang nenek dari pihak mamanya.

    Sauza jadi kangen dengan Mira, seandainya saat ini dia sedang tidak ada misi mengikuti Bima, suaminya, ingin rasanya mampir saja ke rumah Mira dan bercengkrama dengannya.

    "Rindu rasanya dengan Mira, sudah enam bulan kita tidak bertemu. Tapi, Mira kan wanita karir, sibuk bekerja sih," batin Sauza sembari mengingat kebersamaannya dengan Mira dulu.

    "Neng, mobil itu sudah berbalik arah lagi. Itu lihat di depan." Suara Pak Supir cukup mengagetkan Sauza, sayang sekali dia tadi terlalu larut dalam lamunan saat mengenang kebersamaannya dengan Mira, sampai dia lupa tengah mengamati Bima.

    "Aduh, Pak, bagaimana ini?" Sauza kalang kabut sendiri. Untung saja dia duduk di jok tengah sehingga tidak perlu menunduk untuk menghindari Bima. Buru-buru Sauza meraih kaca mata hitam dan maskernya dari dalam tas lalu segera memakainya. Sauza kini bisa leluasa menatap keluar jendela kaca mobil tanpa takut dikenali Bima.

    Tepat saat mobil bertemu, grab yang ditumpangi Sauza mengalah dan menepi. Sauza sekilas melihat ke dalam mobil Bima, di sana Bima sudah tidak sendiri lagi, melainkan berdua dengan seorang perempuan yang usianya sekitar 24 sampai 25, tidak jauh darinya. Namun sayang, perempuan di dalam mobil Bima itu memakai masker dan kaca mata hitam juga.

    Siapa dia? Sayang sekali perempuan itu memakai masker dan kaca mata hitam, sama seperti dirinya yang kini memakai kedua benda itu untuk menyamarkan dirinya dari Bima, sang suami.

    Pikiran buruk mulai muncul di kepala Sauza. Jantungnya mendadak berdebar kencang tak karuan, dan tubuhnya seakan lemas. Padahal Sauza belum tahu siapa perempuan di dalam mobil bersama suaminya tadi.

    "Putar balik, Pak. Tetap ikuti mobil tadi," pinta Sauza lemah. Pak Supir setengah abad itu nampak prihatin, sepertinya dia memahami gelagat Sauza yang saat ini sedang mengintai suaminya.

    "Mobil tadi berhenti sebentar di sini dan putar balik di sini." Pak Supir memberitahu tanpa diminta.

    "Lalu?" Sauza penasaran.

    "Ada seorang perempuan sebaya dengan Eneng masuk ke dalam mobil, dia menggunakan masker dan kaca mata hitam," ujar Supir itu lagi.

    "Apa? Putar balik, Pak. Jangan sampai tertinggal. Saya harus mengikuti mobil itu. Kalaupun jaraknya jauh, ikuti saja. Saya akan bayar ongkosnya." Sauza memberi perintah dengan nada risau.

    Supir itu segera putar balik sama persis seperti mobil yang Bima jalankan tadi. Sauza menatap tajam ke arah sebrang rumah di bahu kanan jalan, yang merupakan rumah neneknya Mira, di mana Mira tinggal.

    "Apakah perempuan tadi Mira?" tanyanya dalam hati yang tiba-tiba sedih. Mata Sauza mulai berkaca-kaca. Bagaimana tidak, setelah penemuannya tadi dengan sebuah struk pembayaran penginapan hotel, kini dia menemukan fakta bahwa Bima telah menjemput seorang perempuan yang diduga seumuran dengannya tepat di depan rumah nenek sahabatnya.

    Meskipun perempuan yang dilihatnya belum jelas siapa-siapanya, hati Sauza cukup sedih dan terluka. Terlebih gelagat Bima bulan-bulan ini memang berbeda, tidak sehangat dulu.

    "Tenang, Neng. Saya akan ikuti mobil itu dengan jarak aman dan tidak mencurigakan," balas Pak Supir sambil fokus dengan kemudinya dan tetap tujuannya adalah mobil Bima di depannya.

    "Iya, Pak terimakasih."

    Sauza mengarahkan pandangannya ke depan, tapi kabur karena bulir bening itu mulai keluar dan menetes. Sesekali ia mengusap bulir itu di pipinya dengan ujung kardigan.

    Dua bulan yang lalu, Sauza teringat kembali pertengkarannya dengan sang suami, disaksikan mama mertuanya, Bu Jeny.

    "Aku hanya ingin anak, apakah aku salah? Kamu ini sepertinya mandul dan tidak bisa memberikan aku anak. Buktinya ...." Kalimat kemarahan Bima yang terputus itu menimbulkan pertanyaan dalam benak Sauza. Dia merasa ganjil dengan kalimat buktinya. Sauza menduga, Bima menuduhnya mandul, sedangkan dirinya sempat diperiksa ke Dokter kandungan bahwa rahimnya bagus dan produktif. Bahkan saat itu Bima yang mengantar ke Dokter.

    "Aku tidak mandul, Mas. Bukankah kita berdua pernah diperiksa dan Dokter yang memeriksa kita, bilang bahwa kita sehat? Itu artinya aku tidak mandul. Mungkin saja belum saatnya kita diberi kepercayaan. Toh pernikahan kita juga baru akan berjalan tiga tahun, itu bukan waktu yang harus ditakutkan. Sebab masih banyak perempuan lain yang menantikan momongan sementara pernikahan mereka lebih lama dari kita," sergah Sauza kala itu dengan air mata yang berlinang.

    Pertengkarannya berakhir, kala mamanya Bima menengahi. Bima memilih pergi kala itu untuk menghindari Sauza, bukan meminta maaf atau meraih hatinya supaya jangan bersedih. Gelagat seperti itu, awal mula keraguan di dalam hati Sauza terhadap suaminya. Sebab sikap Bima, sejak itu mulai berubah.

    Dua jam perjalanan, akhirnya mobil Bima tiba di sebuah hotel. Hotel yang sama yang tertera di struk pembayaran yang Sauza temukan tadi di ranjang. Mata Sauza menatap tajam ke dalam halaman hotel ternama itu. Jantung Sauza kembali berdebar, tubuhnya seakan lemas. Tapi dia harus menguatkan hati, sebab hari ini juga jika benar dugaannya, maka Sauza harus meminta penjelasan dari Bima.

    Mobil Bima mulai parkir.

    "Neng, apakah mobilnya dimasukkan saja?" Supir itu bertanya menyentak Sauza yang tengah fokus ke dalam halaman hotel.

    "Iya, Pak, masuk. Tapi tunggu penumpang di dalam mobil itu keluar." Pak Supir mengangguk patuh.

    Beberapa saat kemudian, pintu mobil itu mulai terbuka. Bima keluar duluan, lalu memutar tubuhnya ke depan mobil dan membuka pintu kiri mobil. Dengan perlahan tapi pasti seseorang dari pintu itu keluar, tangannya disambut Bima dengan mesra. Hati Sauza mulai panas, jantungnya berdetak kencang dan air matanya mulai turun.

    Terdengar isak tangis, tapi mata Sauza tetap fokus pada mobil Bima yang kini mulai ditutup kembali pintunya. "Apakah perempuan itu Mira, kalau iya, kenapa dia begitu tega?"

    "Yang kuat Neng, walau saya tidak tahu masalahnya apa. Tapi disaat begini Eneng harus berusaha kuat, apalagi kalau Eneng mau menghampirinya. Apakah Eneng mau menghampiri atau tidak jadi?" Pak Supir merasa iba, dia hanya bisa memberikan kata-kata yang bisa menguatkan Sauza, sebab ia pun sama memiliki anak perempuan, jika hal yang sama terjadi pada anak perempuannya, tentu saja ia pun akan bersedih.

    "Masuk, Pak. Saya akan berusaha kuat," titah Sauza yang segera dipatuhi Pak Supir. Sebelum Bima dan perempuan itu memasuki ruang resepsionis, Sauza segera turun dari grab dan berlari mencegat Bima dan perempuan yang bersama Bima.

    "Oh, jadi ini yang kamu bilang keluar kota itu?" cetus Sauza sembari menarik masker dan kaca mata perempuan itu secara bersamaan. Bima dan perempuan itu terkejut bukan main.

    Sauza pun tidak kalah terkejutnya, saat ia melihat dengan jelas siapa sesungguhnya perempuan yang digandeng mesra oleh Bima, suaminya.

    "Kamu?" Sauza membelalakkan matanya hampir keluar.

Bab 3 Kepergok Akan Cek In

Sauza membelalakkan matanya, setelah dia berhasil menarik kaca mata dan masker perempuan seusianya itu. Rasanya ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Kamu, Mira?" kejutnya dengan mulut menganga.

"Sauza."

Bima dan Mira berpekik menyebut nama Sauza bersamaan, mereka sangat kaget setelah kebersamaan mereka diketahui Sauza.

"Ke~kenapa kamu bisa berada di sini?" Bima bertanya dengan wajah tegang, sementara Mira melipir dan berdiri di belakang Bima, menghindari dari amukan Sauza. Saat ini saja mata Sauza sudah melotot ke arahnya.

"Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu ada di sini bersama dia? Bukankah Mas Bima mau keluar kota, tapi kenapa berada di hotel ini bersama dia? Apa kalian akan cek in dan melakukan perbuatan mesum di hotel ini?" tuding Sauza berpekik dan lantang sampai suaranya terdengar oleh orang-orang di sekitar hotel itu.

"Za pelankan suaramu. Itu tidak seperti bayanganmu. Kami ini sedang rapat. Perusahaan aku dengan perusahaan tempat dia bekerja sedang menjalin kerja sama, dan Mira salah satu perwakilannya," kelit Bima dengan wajah yang masih tegang.

Sauza tahu, Bima sedang berbohong padanya. Wajah tegang dan memerah seperti itu sudah bisa Sauza tebak, apa sebenarnya yang sedang disembunyikan suaminya.

"Bohong, kalian berbohong. Aku tahu kalian memang mau melakukan kerja sama, tapi kerja sama secara birahi." Sauza berteriak lantang sampai tamu-tamu hotel ada yang ikut keluar dan menyaksikan kemarahan Sauza.

"Sudah, diam. Nanti aku jelaskan." Bima meraih bahu Sauza dan merangkulnya agar istrinya itu diam. Tapi Sauza berontak dan berhasil menarik lengan Mira, lalu berkata tidak kalah lantang.

"Kamu juga Mira, kenapa kamu tega-teganya menusuk aku dari belakang? Padahal kamu tahu kita sahabatan. Tapi mengapa perlakuanmu seperti ini? Apakah kamu tidak laku sampai tega merebut suami sahabat sendiri? Aku menyesal, dari dulu aku selalu mengalah dan membela kamu jika kamu mendapat bullyan dari teman-teman kamu, kalau akhirnya pengkhianatan yang kamu balas," pekiknya sembari menjambak rambut Mira sekuat tenaga.

"Awwwww, sakit Za," teriak Mira menahan rambutnya yang ditarik Sauza.

"Sauza, lepaskan. Ini bisa menyakiti kepala Mira." Bima berhasil melepaskan tangan Sauza dari kepala Mira dibantu penghuni hotel.

"Diam, kamu. Dasar pengkhianat."

"Plakkk."

Tamparan keras mengenai wajah Bima. Sauza berlari mendekati grab dan memasukinya, lalu memerintahkan Pak Supir untuk keluar dari area hotel dan kembali ke rumah.

"Sauzaaa." Bima memanggil.

Sayang sekali teriakan Bima sama sekali tidak didengar Sauza, dia pergi bersama grab yang ditumpanginya.

Mira menatap kepergian Sauza dengan berbagai kecamuk rasa. Mukanya memerah karena menahan malu dilihat orang-orang.

"Mas, bagaimana ini? Kenapa sampai ketahuan Sauza, katanya kamu sudah sangat hati-hati?" protes Mira dengan muka sedih dan kecewa.

"Sudah, kita kembali ke rumah. Aku harus luruskan dan membujuk Sauza sebelum dia laporan sama Mama." Bima menuju mobil dan urung cek in di hotel itu. Mobilnya keluar dari halaman hotel. Para tamu hotel ikut bubar setelah kepergian mobil Bima.

Grab yang ditumpangi Sauza terus membelah jalanan kota itu menuju rumah Bima. Di dalam mobil, Sauza tidak henti menangis. Tapi dia masih sadar, nangis saja tidak cukup menyelesaikan masalah. Dengan cepat dia segera menghubungi Bu Jeny mama mertuanya untuk datang ke rumah. Karena Sauza tahu, Bima juga sedang dalam perjalanan dan kembali ke rumah.

Bu Jeny menerima panggilan dari Sauza dengan heran, karena suara Sauza diiringi isak tangis.

"Za, kamu kenapa. Kamu di mana?" Bu Jeny bertanya dengan risau.

"Kenapa Sauza, Ma?" tanya seorang pria muda yang wajahnya sekilas mirip Bima, dia tampan dan lebih muda dua tahun dari Bima. Dia **Jamal** adik kandung Bima yang dulu sebelum Sauza dijodohkan dengan sang kakak, Jamal sudah menyukai Sauza. Tapi sayang, cintanya tidak sempat ia ungkapkan. Sauza keburu dijodohkan dan menerima perjodohan dengan Bima sang kakak.

"Sauza menangis dan mengatakan bahwa dia memergoki perselingkuhan kakakmu dengan sahabatnya sendiri si Mira. Mama harus ke rumah Bima sekarang, sebab Bima juga menyusul dan pulang ke rumah setelah kepergok mau memasuki lobi hotel."

Jamal terkesiap.

"Jamal ikut, Ma." Bu Jeny dan Jamal bersiap dan keluar dari rumah, di depan pintu rumah, mereka berpapasan dengan **Pak Kavi**, papanya Jamal dan Bima.

"Ke mana kalian, seperti buru-buru?" tanya Pak Kavi penasaran. Bu Jeny dan Jamal hanya melambai dan bergegas menuju mobil Jamal yang terparkir, tidak lama mobil itu berlalu dan menuju rumah Bima yang jaraknya bisa ditempuh kurang lebih lima belas menit.

Sementara Grab yang ditumpangi Sauza sudah tiba di depan halaman rumah Bima. Sauza membayar ongkosnya sebelum turun.

"Terimakasih banyak, Pak," ucapnya seraya berjalan menuju gerbang.

"Sama-sama, Neng. Yang sabar, ya, Neng." Supir grab itu pun segera berlalu dari depan gerbang rumah Bima.

Tidak berapa lama, mobil Bima tiba dan segera masuk ke dalam gerbang mencegat Sauza yang akan menapaki teras.

Bima turun diikuti Mira. Bima meraih lengan Sauza dan menahannya. Bima sedikit lega, sebab di halaman rumahnya belum ada mobil orang tuanya, padahal tadi Bima sudah was-was bahwa Sauza akan segera menghubungi kedua orang tuanya, seperti masalah sebelum-sebelumnya Sauza memang sering melibatkan orang tua Bima jika mereka bertengkar.

"Tunggu dulu, biar Mas jelasin duduk masalahnya. Aku dan Mira tidak terlibat hubungan apa-apa selain bisnis. Sudah aku katakan di hotel tadi bahwa perusahaanku dengan perusahaan tempat Mira bekerja sedang menjalin sebuah kerja sama dan Mira salah satu utusannya."

Mendengar itu, Mira sedikit kecewa, maunya Bima langsung saja membeberkan apa yang sebenarnya terjadi.

"Tidak, kalian bohong. Kalian terlibat cinta dan kalian berdua sedang berkhianat di belakang aku. Kalian tega." Sauza terus menyangkalnya. Kini matanya beralih pada Mira, seketika emosinya meluap dan tangannya seakan sudah tidak tahan ingin menampar wajah sok melankolis dan imut itu.

"Kamu Mira, wajahmu yang sangat lembut dan melankolis itu rupanya hanya topeng belaka. Begini cara kamu menjadi seorang perebut suami orang, dengan berkata melas-melas dan wajah sok imut. Ternyata kamu iblis betina yang tega merusak sebuah nilai persahabatan," pekik Sauza lantang seraya berhasil mendaratkan tamparan di wajah mulus sok imut Mira.

"Awwww. Sakittt." Mira memekik seraya memegangi wajahnya yang terkena tamparan Sauza.

"Sauza, sekali lagi kamu gunakan tanganmu untuk menampar Mira, maka ...."

"Maka apa? Kamu mau balas tampar aku demi pelacur murahan seperti dia. Tampar saja, aku tidak takut," tantangnya seraya menyodorkan wajahnya ke hadapan Bima. Bima mengangkat jemarinya perlahan.

Tetes bening yang keluar dari mata Sauza sejenak meluluhkan Bima. Hatinya berdesir, wajah yang dulu sangat dia cintai dan tidak sanggup ia sakiti, tapi kini kenyataannya berbalik, Bima tega mengkhianati tulusnya cinta Sauza. Padahal Bima pun masih sama dan mencintai Sauza, tapi nafsu ternyata lebih menggoda imannya, terlebih dia tidak kuasa dengan Mira yang secara diam-diam sering menghubungi Bima dan menjerat Bima.

"Bima, apa yang akan kamu lakukan? Kamu mau menampar istri kamu?" Bu Jeny dan Jamal tiba-tiba datang dan menarik tubuh Sauza yang sudah pasrah jika tadi ditampar Bima.

Bima dan Mira terkejut dengan kedatangan Bu Jeny dan Jamal. Bima pasti tahu resiko setelah ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!