NovelToon NovelToon

Pangeran Sampah Yang Menyembunyikan Kemampuannya

Chapter 1 : Akhir Dan Awal Yang Baru

Langit kelam memuntahkan hujan deras, menyelimuti medan perang dengan hawa dingin yang menusuk tulang dan aroma besi darah yang menguar tajam. Kilat menyambar dari kejauhan, cahayanya menerangi sosok seorang pria yang berdiri tegar di tengah kehancuran. Di sekelilingnya, tujuh roh raksasa melayang, masing-masing memancarkan kekuatan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, kegelapan, dan petir. Setiap serangan yang mereka lancarkan mengguncang bumi, meluluhlantakkan barisan musuh pengguna roh iblis.

Pertempuran telah berlangsung lama, tetapi hasilnya tak lagi diragukan. Pasukan persatuan kerajaan telah menang. Sisa-sisa musuh hanya bisa melarikan diri atau menyerah di bawah hujan yang tak kunjung reda. Namun, sang pria tidak merasakan euforia kemenangan.

Ia berdiri diam, tubuhnya penuh luka, napasnya berat. Pandangannya kosong menatap medan perang yang kini dipenuhi tumpukan mayat. Jeritan, dentingan senjata, dan raungan roh yang sebelumnya memenuhi udara kini digantikan oleh suara gagak yang hinggap di tubuh-tubuh tak bernyawa.

"Sudah berakhir," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam hujan deras. Namun, tak ada rasa lega dalam nada bicaranya.

Di dalam hatinya, ia tahu perang ini hanyalah awal dari yang lain. Akan ada lagi peperangan, lagi dan lagi, seperti siklus tanpa akhir. Ia hanyalah alat, diciptakan untuk bertarung.

Tetapi kini, hatinya lelah. Jiwanya hancur.

Langkah kakinya terdengar berat ketika ia berjalan menjauh dari kerumunan prajurit yang bersorak merayakan kemenangan. Ia tidak butuh tepuk tangan, tidak butuh pujian. Di bawah hujan deras, ia berhenti dan mencabut pedangnya dari sarung. Ketujuh roh yang setia mengikutinya perlahan menghilang, seolah memahami keputusan tuannya.

“Cukup,” bisiknya. “Aku muak dengan semua ini.”

Dengan satu gerakan cepat, ia menusukkan pedang ke dadanya sendiri. Darah hangat mengalir bercampur dengan air hujan, tubuhnya jatuh di antara mayat-mayat yang berserakan. Tak ada satu pun yang menyaksikan akhir hidupnya. Hanya burung gagak yang terbang melingkar di atasnya, seperti berkabung atas seorang pahlawan yang dilupakan.

.

.

.

Ketika ia membuka matanya lagi, ia tidak berada di medan perang. Tidak ada hujan, tidak ada gagak, tidak ada tumpukan mayat. Yang ada hanya langit-langit krem yang asing.

Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi sesuatu terasa berbeda. Tangannya kecil dan mungil.

"Eh? Di mana aku? Kenapa tanganku sekecil ini?" pikirnya, bingung.

Yang ia tahu, ia telah meninggalkan kehidupannya yang lama. Namun, apa yang terjadi kini bukanlah akhir yang ia harapkan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...----------------...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Lima tahun telah berlalu sejak kelahirannya kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria. Dalam usia lima tahun, ia telah dikenal di seluruh istana—bukan karena prestasi, melainkan karena kemalasannya yang luar biasa.

Di dunia di mana keluarga kerajaan terkenal dengan roh kontrak tingkat tinggi, Ferisu menjadi pengecualian. Ia tidak menunjukkan minat terhadap roh atau kekuatan apa pun. Bagi istana, ia adalah aib.

Pagi itu, Ferisu duduk di bangku taman istana. Matahari bersinar cerah, angin berhembus membawa aroma bunga-bunga. Namun, ia tidak menikmati semua itu. Dengan mata sayu, ia menatap langit biru, melarikan diri dari tanggung jawab dan kegaduhan istana.

"Kenapa mereka selalu mencariku? Bukankah lebih baik jika aku dibiarkan sendiri?" gumamnya, menyandarkan tubuhnya ke bangku.

Langkah kaki para pelayan terdengar mendekat. Mereka memanggil namanya, tetapi Ferisu hanya mendengus malas. Ia berbaring, menutupi wajahnya dengan tangan kecilnya, berharap mereka menyerah mencarinya.

"Ferisu-sama! Raja memanggil Anda untuk menghadiri pertemuan keluarga!" teriak seorang pelayan.

"Ah, tidak tertarik," jawabnya pelan, meski tahu mereka tidak akan menyerah.

Tidak seperti saudara-saudaranya yang ambisius dan membanggakan roh kontrak mereka, Ferisu memilih menjauhi semua itu. Kontrak dengan roh hanya mengingatkannya pada kehidupan sebelumnya—pertempuran, kekuatan, dan tanggung jawab yang menghancurkannya. Ia tidak ingin terikat pada apa pun lagi.

Namun, kedamaian singkatnya terganggu oleh langkah kaki tegas yang mendekat. Sebuah suara lantang memecah keheningan.

"Di sini kau rupanya!" seru seseorang.

Ferisu mendesah panjang. Tanpa membuka mata, ia tahu siapa pemilik suara itu—Verina Von Velmoria, kakak perempuannya yang terkenal akan ketegasan dan kemampuannya. Sebagai putri pertama, Verina telah menjalin kontrak dengan roh angin tingkat tinggi, Sigurd. Segel berbentuk sayap elang hijau menghiasi punggung tangan kanannya, lambang kemampuannya yang diakui seluruh kerajaan.

"Kenapa kau selalu bersembunyi, Ferisu?" tanya Verina, melipat tangan di dadanya. "Ayah sudah menunggu. Kau pikir bisa terus menghindar?"

Ferisu membuka sebelah matanya, menatap Verina dengan tatapan malas yang bercampur keengganan. “Apa pentingnya aku di sana? Mereka hanya akan membicarakan roh dan kontrak. Dua hal itu, terus terang, sangat membosankan bagiku.” Nada bicaranya datar, penuh penolakan.

Verina menarik napas dalam, berusaha keras menahan emosinya. Sorot matanya yang tajam menunjukkan betapa frustrasinya ia menghadapi adik bungsunya ini. “Sudah cukup, Ferisu! Kau tidak bisa terus-terusan seperti ini. Kau adalah anggota keluarga kerajaan Velmoria! Apakah kau tidak peduli dengan martabat keluarga kita?”

Ferisu menguap kecil, menutupi mulutnya dengan tangan mungil. Raut wajahnya jelas-jelas menunjukkan ia tak peduli. “Martabat keluarga? Aku rasa kalian semua sudah cukup hebat tanpa aku. Lagipula, tidak ada gunanya aku ikut. Jadi, biarkan aku di sini saja.”

Tatapan Verina semakin mengeras. Amarah yang semula coba ia tahan mulai mendidih. Dengan langkah cepat, ia meraih tangan Ferisu, memaksanya berdiri dari bangku taman yang ia duduki dengan nyaman.

“Hey, hey! Aku bisa jalan sendiri, tahu!” protes Ferisu, meski tubuh kecilnya tidak benar-benar melawan genggaman tegas kakaknya.

“Diam!” suara Verina terdengar dingin, hampir seperti perintah. “Kau harus datang. Ayah sudah menunggu, dan ia tidak akan menerima alasan apa pun. Semua orang harus hadir, termasuk kau!”

Ferisu mendesah panjang, membiarkan dirinya diseret oleh kakaknya tanpa perlawanan berarti. Punggung tangan kanan Verina dengan segel kontraknya yang berbentuk sayap elang hijau tampak jelas saat ia menggenggam tangan Ferisu dengan kuat. Simbol itu adalah pengingat pahit bagi Ferisu tentang jurang besar yang memisahkan dirinya dengan keluarganya—mereka semua telah diakui oleh roh-roh tingkat tinggi, sementara ia bahkan tak pernah berniat mencoba.

“Aku benar-benar tidak suka keluarga ini,” gumam Ferisu pelan, suaranya cukup keras untuk sampai ke telinga Verina.

“Terserah kau mau suka atau tidak,” balas Verina tanpa menoleh, nadanya tegas dan dingin. “Tapi kau tidak bisa terus menghindar dari tanggung jawabmu, Ferisu. Cepat atau lambat, kau harus menghadapi kenyataan ini.”

Langit biru yang cerah tampak tidak cocok dengan suasana hati Ferisu yang gelap. Ia hanya bisa menyerah, membiarkan Verina menyeretnya menuju pertemuan keluarga yang tak ia inginkan. Dalam hati, ia tahu betul bahwa ia tak bisa terus-menerus menghindar. Namun, untuk saat ini, ia hanya berharap tidak ada hal besar yang akan mengganggu kehidupannya yang ia usahakan tetap malas dan damai.

Chapter 2 : Upacara Kontrak

Ruangan megah dengan langit-langit tinggi dihiasi ukiran rumit dan lampu gantung kristal yang memancarkan kemegahan keluarga Velmoria. Di tengahnya, sebuah meja panjang dengan taplak berhias benang emas memantulkan keanggunan para penghuninya. Albert, sang pangeran pertama, duduk tegak dengan wibawa seorang pewaris. Di sebelahnya, Uegio terlihat santai, namun matanya tetap tajam mengamati suasana. Carmia, putri kedua, memutar cangkir tehnya perlahan, tatapannya menusuk meskipun bibirnya tersenyum tipis.

Di ujung meja, Raja dan Ratu Velmoria duduk dengan kharisma yang tak tergoyahkan, menjadi pusat perhatian dalam setiap pertemuan.

Namun, ketenangan itu terusik ketika pintu besar berderit terbuka, memperlihatkan Verina Von Velmoria yang masuk dengan langkah tegas, menyeret seorang anak kecil di belakangnya.

“Maaf atas keterlambatan kami,” ujar Verina dengan nada tenang, meskipun tangan kanannya masih mencengkeram lengan Ferisu yang tampak setengah menyeret kakinya, penuh enggan.

Sorot mata di ruangan itu serempak beralih pada Ferisu. Ekspresi sinis dan kecewa terpancar dari hampir semua orang di meja. Albert menyipitkan mata, Uegio mengangkat sebelah alis dengan senyum mencemooh, sementara Carmia menyandarkan dagunya pada tangan, menatap Ferisu seolah menonton sandiwara yang membosankan.

Begitu dilepaskan, Ferisu berjalan santai ke kursinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia duduk dengan posisi malas, menyandarkan tubuh kecilnya dan memejamkan mata, seolah ingin melarikan diri dari semua tatapan yang menghujamnya.

Keheningan itu akhirnya dipecahkan oleh suara berat Raja Velmoria. “Dua tahun lagi, usiamu akan mencapai tujuh tahun, Ferisu,” ujarnya, nadanya tegas namun lembut. “Seperti semua anggota keluarga Velmoria, kau akan mengikuti Upacara Kontrak Roh.”

Ferisu tetap diam, matanya tertuju pada burung-burung yang terbang bebas di luar jendela. Ia mengambil cangkir teh di depannya, menyesapnya perlahan tanpa peduli pada suasana tegang di ruangan itu.

Ketidaktanggapannya memancing amarah Albert. Dengan suara keras, ia mengetuk meja hingga cangkir teh di depannya bergetar. “Sudahlah, Ayah! Abaikan saja dia! Dia hanya akan mempermalukan keluarga kita lebih jauh!”

“Albert!” potong Verina tajam, tatapannya menancap ke arah kakaknya. Suaranya penuh otoritas, cukup untuk membuat Albert terdiam meski wajahnya masih menyiratkan kejengkelan.

Raja Velmoria menarik napas panjang, mengangkat tangannya untuk menenangkan suasana. “Ferisu, aku tahu ini mungkin terasa berat bagimu. Tapi kontrak dengan roh adalah hal yang mendasar bagi keluarga kita. Ini bukan hanya tradisi, tapi juga bagian dari takdir kita.”

Akhirnya, Ferisu berbicara, meski suaranya hanya sebuah gumaman pelan. “Takdir, ya…”

Ruangan menjadi sunyi. Semua orang menanti kelanjutan kata-katanya, tetapi Ferisu hanya meletakkan cangkirnya perlahan, lalu berdiri dari kursinya.

“Kalau hanya itu yang dibahas, aku izin pergi. Aku sudah mengantuk,” katanya, nadanya datar, tanpa emosi.

Tanpa menunggu izin, ia melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan keluarganya dalam kebisuan.

“Lihat! Ini semua karena Ayah terlalu memanjakannya!” seru Albert dengan nada semakin tinggi, tak mampu menahan amarahnya.

Raja tetap diam, pandangannya tertuju pada pintu yang baru saja tertutup. Ada sesuatu di matanya—entah rasa kecewa, rasa iba, atau pemahaman yang hanya ia sendiri yang tahu.

“Dia hanya seorang pemalas, Verina,” kata Carmia sambil menghela napas panjang, nada suaranya mencemooh. “Tidak semua orang sepertimu.”

Namun, Verina tetap menegakkan punggungnya, tatapannya tajam namun tenang. “Dia adikku. Dan aku percaya, pada waktunya, dia akan membuktikan dirinya.”

Sementara itu, di luar ruangan, Ferisu berjalan perlahan melewati lorong-lorong istana. Langkahnya lamban, pikirannya dipenuhi oleh kenangan dan keengganan terhadap takdir yang terus mengejarnya.

“Aku tidak butuh kontrak roh,” gumamnya lirih pada dirinya sendiri, suaranya hampir tenggelam oleh langkah kakinya yang kecil. “Tidak untuk dunia ini, tidak untuk mereka, dan tidak untuk diriku.”

Angin dari jendela yang terbuka menyentuh wajahnya, membawa aroma kebebasan yang terasa begitu jauh dari jangkauannya. Di dalam hatinya, ia tahu, waktu dua tahun tidak akan mengubah siapa dirinya. Dunia ini mungkin menunggu, tetapi ia tidak berniat mengikutinya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...----------------...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Dua tahun telah berlalu. Ruangan megah yang sama kini kembali dipenuhi oleh keluarga kerajaan Velmoria. Di ujung meja panjang, Raja Velmoria duduk dengan wibawa yang tak tergoyahkan, ditemani oleh Ratu di sisinya. Albert, Uegio, Verina, dan Carmia menempati kursi mereka masing-masing, memancarkan kebanggaan khas darah bangsawan.

Di sisi lain, Ferisu duduk bersandar dengan ekspresi bosan. Matanya yang sayu tetap terpaku pada jendela besar di sebelahnya, memandang burung-burung yang beterbangan bebas di langit biru.

“Ferisu,” suara Raja menggema di ruangan, tegas namun tenang. “Kau sudah berusia tujuh tahun. Saatnya kau melakukan Upacara Kontrak Roh, seperti semua anggota keluarga Velmoria.”

Ferisu tidak bereaksi. Tatapannya tetap tertuju ke luar, seolah ucapan ayahnya tidak lebih dari desiran angin.

“Hei! Ayah sedang berbicara denganmu!” bentak Carmia, nadanya tajam dan penuh emosi.

Namun, Ferisu tetap bergeming. Ia hanya menghela napas perlahan, seolah malas meladeni semuanya.

Raja menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Untuk memastikan upacaramu berhasil, aku telah memanggil Gustav Bismarck, pengguna roh bintang lima yang paling dihormati di kerajaan ini.”

Pintu besar ruangan terbuka perlahan, memperlihatkan Gustav, seorang pria berkarisma tinggi. Rambut putihnya berkilau di bawah cahaya lilin, dan mata kuning tajamnya menyapu ruangan dengan kepercayaan diri yang tenang.

“Saya datang memenuhi panggilan Yang Mulia,” ujar Gustav dengan sopan, membungkuk rendah di hadapan Raja.

“Terima kasih telah meluangkan waktu, Gustav,” balas Raja. “Kami percaya pada kemampuanmu.”

Gustav melirik Ferisu, yang masih diam tak bergeming di kursinya. Ia tersenyum tipis sebelum melangkah mendekatinya.

“Ferisu-sama,” panggil Gustav dengan nada ramah namun tegas. “Mari kita mulai.”

Ferisu menoleh perlahan, menatap Gustav dengan mata dingin. “Percuma,” katanya singkat. “Ini hanya buang-buang waktu.”

“Ferisu!” Verina memotong dengan nada tajam, tatapannya menusuk seperti pedang. “Hentikan sikap kekanak-kanakanmu! Kau seorang anggota keluarga kerajaan!”

Ferisu menghela napas panjang, lalu berdiri dengan enggan. “Baiklah, baiklah. Kalau itu membuat kalian berhenti mengomel,” gumamnya, berjalan malas ke tengah ruangan.

Gustav mulai menggambar lingkaran sihir dengan gerakan presisi. Cahaya keemasan memancar dari simbol-simbol yang terukir, memancarkan aura mistis yang memenuhi ruangan. Semua anggota keluarga menahan napas, menunggu momen yang sakral.

“Fokuskan pikiranmu, Ferisu-sama,” kata Gustav dengan lembut. “Panggil roh yang paling cocok dengan hatimu. Mereka akan datang jika kau memanggilnya dengan tulus.”

Ferisu berdiri diam di tengah lingkaran, matanya terpejam. Perlahan, lingkaran sihir itu bersinar terang, membuka portal ke Astral Zero. Energi para roh terasa mengalir masuk, memenuhi ruangan dengan aura tak kasatmata.

Namun, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Saat roh-roh itu mencoba mendekati Ferisu, energi aneh memancar dari tubuhnya, menolak mereka dengan kekuatan yang kuat.

“Aku tidak membutuhkan kalian,” bisiknya.

Tiba-tiba, lingkaran sihir menjadi tidak stabil. Cahaya yang semula terang mulai bergetar, berubah menjadi redup. Roh-roh yang mendekat mundur dengan panik, seolah dihadang oleh tembok tak terlihat.

“Tidak mungkin…” gumam Gustav, terkejut.

Beberapa detik kemudian, lingkaran sihir itu padam sepenuhnya. Tidak ada roh yang muncul. Tidak ada segel kontrak yang terbentuk.

Keheningan menyelimuti ruangan, memunculkan suasana yang semakin menekan. Gustav membungkuk dengan wajah penuh penyesalan. “Yang Mulia… Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya.”

Suasana berubah tegang. Albert memecah keheningan dengan tawa sinis. “Lihat, Ayah! Aku sudah bilang, dia hanya aib bagi keluarga ini! Bahkan roh pun tidak mau mengakuinya!”

“Albert!” Verina kembali memotong, nadanya lebih tajam dari sebelumnya. “Diam!”

Namun, kali ini, Ferisu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berbalik, melangkah pergi dari ruangan dengan tenang. Tidak ada kemarahan, tidak ada rasa malu. Ia hanya pergi, meninggalkan mereka di belakang.

“Ferisu!” Verina memanggil, tapi pangeran muda itu tidak berhenti.

Di lorong istana yang sepi, Ferisu berjalan dengan langkah ringan. Senyum tipis muncul di wajahnya.

“Seperti yang direncanakan,” gumamnya. “Aku tidak akan membiarkan diriku terikat pada apa pun. Tidak di dunia ini. Tidak oleh mereka.”

Angin malam bertiup pelan melalui celah jendela, membawa aroma kebebasan yang terasa begitu dekat, namun tetap tak terjangkau. Ferisu menatap langit berbintang, matanya penuh dengan tekad yang tidak pernah terlihat sebelumnya.

Chapter 3 : Menyelinap

Tiga tahun berlalu dengan cepat, dan Ferisu tetap dikenal dengan reputasinya sebagai "pangeran sampah"—tidak bisa melakukan kontrak roh, tidak bisa menggunakan sihir, ditambah sifat malasnya yang tak kunjung berubah. Reputasinya menyebar ke seluruh kerajaan Velmoria, menjadi bahan pembicaraan di kalangan bangsawan. Namun, di mata rakyat biasa, Ferisu adalah sosok yang berbeda.

Hari itu, suasana istana terasa aneh. Tidak ada keributan pagi seperti biasanya di kamar Ferisu. Biasanya, suara para pelayan yang berusaha membangunkannya akan menggema hingga ke lorong-lorong. Tetapi kali ini, kamar Ferisu kosong.

Di tempat lain, di tengah hiruk pikuk pasar pagi, Ferisu menguap lebar sambil berjalan santai di jalanan kota. Dia telah menyelinap keluar sejak fajar, menghindari rutinitas membosankan di istana. Jalanan sudah cukup ramai, dengan para pedagang yang bersemangat menjajakan dagangan mereka.

"Paman, aku minta sate dagingnya lima tusuk!" seru Ferisu, sambil menggaruk kepalanya yang masih terlihat kusut.

Penjual sate, seorang pria paruh baya dengan senyum lebar, tertawa kecil. "Oh, Ferisu-sama. Ternyata Anda lagi. Tunggu sebentar, saya siapkan untuk Anda."

Ferisu memang sering menyelinap keluar istana. Warga kota sudah mengenalnya, dan meskipun dia terkenal dengan reputasi buruk di kalangan bangsawan, rakyat jelata justru tidak memandangnya rendah. Ferisu dikenal ramah dan santai, tak seperti gambaran pangeran pada umumnya.

“Ah, Pangeran!” suara kecil seorang gadis memecah keheningan.

Ferisu menoleh dan melihat Melia, seorang gadis kecil yang sering ia temui di pasar. “Pagi, Melia-chan,” sapa Ferisu, mengangguk ringan.

“Apa Anda menyelinap lagi?” tanya Melia polos.

Ferisu tersenyum tipis, menempatkan jari telunjuknya di depan bibir. “Shhh! Jangan bilang siapa-siapa.”

Melia tertawa kecil, lalu mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. “Aku sedang belanja. Ibu menyuruhku membeli ini semua.”

Ferisu membaca daftar belanjaan itu dengan santai. “Hoo~ Apa perlu aku temani?”

Mata Melia berbinar. “Boleh?”

“Tentu, aku juga butuh jalan-jalan,” jawab Ferisu.

Pesanan sate Ferisu tiba tepat saat itu. Ia membayar dengan koin perunggu dan berjalan bersama Melia, membantu gadis kecil itu berbelanja.

Sepanjang perjalanan, warga kota yang melihat Ferisu menyapa dengan ramah.

“Ara, Ferisu-sama, masih suka menyelinap ya?” tanya seorang bibi pemilik toko sayur sambil tersenyum.

“Ferisu-sama, coba roti hangat ini! Cocok untuk sarapan,” seru pedagang roti.

“Pagi, Ferisu-sama,” sambut beberapa warga lainnya dengan anggukan hormat.

Ferisu membalas sapaan mereka dengan lambaian tangan dan senyuman kecil, meskipun kantuk masih jelas terlihat di wajahnya. Dia mengikuti Melia berkeliling pasar hingga semua barang di daftar belanjaan gadis itu terpenuhi.

“Terima kasih sudah menemani saya, Ferisu-sama,” kata Melia dengan tulus, membungkuk sopan.

“Tidak masalah. Hati-hati di jalan pulang,” balas Ferisu santai.

Setelah Melia menghilang di keramaian, Ferisu mendongak, merasakan teriknya matahari siang. “Ah, matahari sudah tinggi. Sepertinya aku harus pulang,” gumamnya sambil meregangkan tubuh.

Ferisu berjalan santai melewati lorong-lorong pasar, menikmati kebebasan singkatnya sebelum kembali ke kehidupan istana yang penuh tuntutan dan rutinitas yang ia benci.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...----------------...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Setelah melewati gerbang istana, Ferisu berjalan dengan santai, sama sekali tidak memperhatikan para penjaga yang sudah terbiasa melihat pangeran termuda itu menyelinap keluar. Mereka hanya saling pandang tanpa berkata apa-apa, seolah sudah menyerah untuk menegur.

Namun, ketenangan itu langsung sirna ketika suara lantang menggema di halaman depan.

"Akhirnya kau pulang juga... Ferisu!"

Verina berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya memancarkan amarah yang jelas. Sorot matanya tajam, menatap Ferisu yang hanya menguap kecil sambil menggaruk kepalanya.

"Dari mana saja kau?" tanyanya tegas.

Ferisu hanya mengangkat bahu. "Hanya jalan-jalan pagi dan mencari sarapan. Itu saja," jawabnya santai, tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun, lalu melangkah melewati Verina.

Namun, Verina dengan sigap mencengkeram bahunya. Cengkeraman itu cukup kuat untuk menghentikan langkah Ferisu.

"Tunggu sebentar!"

Ferisu menoleh dengan enggan, wajahnya menampilkan ekspresi kesal. "Ada apa, Kak?"

Verina memicingkan mata dan menunjukkan senyum yang menyeramkan. "Kau tidak lupa soal latihan, bukan?" tanyanya dengan nada penuh ancaman.

Seketika, ekspresi malas Ferisu berubah. Matanya melebar panik, dan tanpa pikir panjang, ia melepaskan cengkeraman tangan Verina lalu melarikan diri secepat mungkin.

"Hei! Berhenti! Jangan lari, Ferisu!" Verina berteriak sambil mengejarnya. Gaun yang ia kenakan berkibar-kibar, namun itu tak mengurangi kecepatannya.

...----------------...

Dari balik jendela istana, Carmia dan Uegio menyaksikan kejar-kejaran itu dengan ekspresi beragam.

"Ayunda Verina benar-benar keras kepala. Kenapa dia tidak mengabaikan saja Adik yang pemalas itu?" gumam Carmia sambil mendesah jengkel.

Uegio, yang berdiri di sampingnya, tersenyum kecil. "Yah, abaikan saja. Kau tahu bagaimana Ayunda Verina. Dia memang keras, tetapi sebenarnya dia sangat menyayangi Ferisu. Lagi pula, dia adik kita yang paling kecil."

Carmia memutar bola matanya. "Apa mungkin kau juga berpikir seperti Ayunda Verina?" tanyanya, kali ini dengan tatapan tajam ke arah kakaknya.

Uegio mengangkat bahu. "Kau salah paham. Aku juga tidak suka dengan sifat Ferisu yang seenaknya sendiri dan malas. Tapi... beberapa waktu lalu, aku melihat sesuatu yang membuatku berpikir ulang."

Carmia mengernyit. "Apa yang kau lihat?" tanyanya, penasaran.

Uegio menatap ke luar jendela, matanya menerawang. "Saat aku berjalan-jalan di kota, aku melihat Ferisu di pasar. Para warga... mereka tidak memandangnya seperti kita. Mereka menghormatinya."

Carmia menatap Uegio dengan skeptis, sulit mempercayai cerita itu. Namun, ia menyadari ada senyum kecil yang tulus di wajah kakaknya.

"Hmph... tetap saja, dia malas," gumam Carmia akhirnya, meskipun ada keraguan dalam suaranya.

...----------------...

Di luar sana, Verina masih mengejar Ferisu, yang berlari tanpa tujuan, hanya menghindari tangkapan kakaknya. Meskipun terkenal malas, Ferisu tampaknya memiliki bakat luar biasa dalam menghindari masalah—setidaknya untuk sementara.

Meskipun Ferisu berlari dengan segala daya, nasibnya tetap tak bisa dihindari. Pada akhirnya, Verina berhasil menangkapnya. Dengan senyum puas yang penuh kemenangan, Verina menyeret Ferisu ke halaman belakang istana untuk memulai latihan ilmu pedang.

"Baiklah, Ferisu. Hari ini kita fokus pada kekuatan dan ketepatan. Ayunkan pedangmu sepuluh kali, dengan posisi yang benar," perintah Verina tegas, tangannya bersedekap sambil mengawasi.

Ferisu berdiri dengan malas, pedang kayu di tangannya terasa lebih berat dari biasanya—atau mungkin itu hanya alasan di kepalanya. Ia mengayunkan pedang itu perlahan, tampak tanpa semangat.

"Satu... dua... tiga..." suaranya terdengar lemah, seperti mencoba menghitung hanya untuk menghabiskan waktu.

Verina memutar matanya, mendekat dengan ekspresi tak sabar. "Ferisu! Kalau kau hanya akan setengah hati, jangan buang waktuku. Ayunkan dengan benar, atau aku akan menambah lima puluh ayunan lagi!"

Ferisu mendesah panjang. "Haaah, Kakak terlalu serius. Ini hanya latihan..." gumamnya, namun ia mulai meningkatkan sedikit kekuatannya, cukup untuk menghindari tambahan hukuman.

Setelah satu jam penuh dengan keluhan dan ayunan yang setengah hati, Verina akhirnya menghentikan latihan. Matahari siang bersinar terik, membuat keringat mengalir di wajah Ferisu.

"Baiklah, cukup untuk hari ini," kata Verina akhirnya. Meskipun nada suaranya tegas, ada sedikit rasa kasihan melihat adiknya yang terlihat seperti akan roboh kapan saja. "Tapi besok kau harus berlatih lebih serius. Kau tidak bisa terus seperti ini, Ferisu."

Ferisu menjatuhkan pedangnya ke tanah dan langsung merebahkan tubuhnya di rerumputan, menghadap langit biru. "Haaaah... akhirnya selesai. Latihan ini selalu menyebalkan," gumamnya, matanya mulai terpejam.

Verina mendekat, duduk di sampingnya. "Kau tahu, Ferisu, aku tidak melakukan ini untuk diriku sendiri. Aku hanya ingin kau punya sesuatu yang bisa kau andalkan di masa depan."

Ferisu membuka sebelah matanya, melirik Verina. "Tapi, Kak... aku tidak peduli soal itu. Aku hanya ingin menjalani hidup dengan santai."

Verina menghela napas panjang. "Kau mungkin bisa santai sekarang, tapi dunia ini tidak akan selamanya membiarkanmu begitu. Suatu hari nanti, kau akan memahami apa yang kumaksud."

Ferisu tidak menjawab. Ia hanya menutup matanya lagi, menikmati angin siang yang sejuk. Dalam hatinya, ia tahu apa yang Verina katakan mungkin benar.

Sementara itu, Verina hanya bisa menatap adiknya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikap apatis Ferisu, sesuatu yang ia sendiri tidak bisa pahami sepenuhnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!