NovelToon NovelToon

Li Shen Sang Penghancur

Chp 1

Di lereng bukit tempat Sekte Naga Langit berdiri megah, suara tawa bercampur ejekan memenuhi udara. Di tengah halaman latihan, seorang pemuda kurus dengan pakaian lusuh tampak terdorong ke tanah oleh sekelompok murid lain. Li Shen, remaja berusia 17 tahun, terbaring dengan tangan erat menggenggam sebuah kalung hitam sederhana yang tampak usang.

"Ayo, bangun, Li Shen! Bukankah kau juga ingin menjadi kultivator hebat?!" ejek seorang murid dengan rambut panjang yang terikat rapi, seraya menendang pedang kayu ke arah Li Shen.

"Atau mungkin kau ingin tetap merangkak di tanah seperti cacing?" tambah seorang lainnya, diiringi gelak tawa.

Li Shen bangkit perlahan, menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit. Tubuhnya yang kurus penuh debu, namun matanya tetap menatap lurus ke depan.

“Jangan menyentuhku lagi,” katanya pelan, suaranya terdengar lebih seperti permohonan daripada ancaman.

"Jangan menyentuhmu? Hah! Kau ini siapa, berani bicara begitu?" si rambut panjang mendekat, meraih kerah pakaian Li Shen, lalu menariknya hingga wajah mereka berdekatan. "Kau itu bukan siapa-siapa, tahu? Bahkan dantianmu rusak. Untuk apa kau masih di sini?"

"Eiya! Coba lihat, apa itu kalung di tangannya?" salah satu murid menunjuk ke arah kalung Li Shen.

"Ah, barang ini lagi! Kau memegangnya seperti harta karun, padahal mungkin cuma potongan besi tua. Biar kulihat lebih dekat!"

Li Shen merapatkan genggamannya pada kalung itu, tetapi dua murid lain sudah memegangi lengannya, memaksanya melepaskannya.

“Lepaskan!” teriaknya, suaranya parau. Ia meronta, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan.

"Kau benar-benar lemah, Li Shen." Salah satu dari mereka merebut kalung itu dan memainkannya di udara. “Apa kau berpikir benda ini akan membuatmu jadi kuat? Bahkan jika kau punya harta surgawi, dantianmu itu tetap rusak!”

Li Shen mencoba bangkit, tetapi salah satu murid menendang kakinya hingga ia jatuh lagi.

“Kembalikan kalung itu!” desaknya, kali ini matanya memerah, hampir menangis. “Itu… satu-satunya milikku.”

“Tentu, ambil saja!” Murid yang memegang kalung itu berpura-pura menyerahkan, lalu menariknya kembali saat Li Shen mengulurkan tangan. Gelak tawa mereka kembali pecah.

"Yah, kau ingin ini, 'kan? Kalau begitu, ambil sendiri!" Ia melemparkan kalung itu ke tanah berlumpur di dekat sungai kecil di pinggir halaman.

Li Shen merangkak menuju kalungnya, tidak memedulikan sorakan yang semakin keras. Saat ia akhirnya menggenggamnya, ia membersihkan lumpur yang menempel di permukaannya dengan hati-hati, bahkan dengan tangan yang gemetar.

“Lihat dia, seperti anjing yang mencari tulang!” seorang murid berseru, diikuti tawa yang menggema.

“Anjing? Kurasa lebih cocok disebut tikus!” tambah yang lain, membuat mereka semua tertawa lebih keras.

Namun, Li Shen tidak menjawab. Ia bangkit perlahan, memeluk kalung itu erat-erat di dada. Dengan pandangan menunduk, ia melangkah menjauh dari kerumunan.

Tawa mereka terus terdengar bahkan saat ia menghilang dari pandangan, menuju ke gubuk kecil di ujung kompleks sekte. Itu satu-satunya tempat yang bisa ia sebut rumah—sebuah bangunan reyot yang disediakan untuk murid-murid tanpa keluarga atau dukungan.

Saat malam tiba, Li Shen duduk di kasurnya yang tipis, memandangi kalung itu di bawah cahaya lentera. Jemarinya menyusuri ukiran halus di permukaan kalung, berusaha mencari jawaban dari benda kecil itu.

"Ayah... apa yang harus kulakukan?" pikirnya dalam hati. "Kenapa aku tetap bertahan di sini, di tempat yang hanya memberiku rasa sakit?"

Namun, seperti malam-malam sebelumnya, tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah suara angin yang berembus, seakan turut mencemoohnya.

Di luar gubuk, langkah-langkah kaki terdengar mendekat, diikuti suara familiar.

"Li Shen, kau di dalam? Besok pagi jangan lupa tugasmu membersihkan aula utama! Jangan berpikir kau bisa menghindar hanya karena kau lemah!" Suara itu diiringi tawa kecil sebelum akhirnya langkah itu menjauh.

Li Shen mengepalkan tangannya. Kalung di genggamannya terasa lebih berat dari biasanya. Di dalam kegelapan, ia hanya bisa menatap jauh ke luar jendela kecil di kamarnya, berusaha menahan rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya.

Namun di kedalaman matanya, tersimpan secercah harapan yang tidak pernah benar-benar padam. Meski tubuhnya lemah, dan dantian rusaknya membuatnya tampak tidak berdaya, Li Shen bersumpah pada dirinya sendiri. Suatu hari, dunia akan berhenti memandang rendah dirinya. Suatu hari, ia akan membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar pemuda cacat yang menjadi bahan ejekan.

 

Keesokan Harinya....

Mentari pagi baru saja menembus kabut yang menyelimuti Sekte Naga Langit. Li Shen sudah berdiri di depan aula utama dengan sapu di tangan. Aula megah itu, tempat para tetua sering berkumpul untuk membahas hal-hal penting, kini tampak kosong, namun tetap memancarkan keagungan yang membuat siapa pun merasa kecil.

Li Shen mulai menyapu dengan gerakan lambat, tangannya terasa berat karena memar-memar dari kemarin. Suara sapu bergesekan dengan lantai marmer menjadi satu-satunya suara yang menemani keheningan pagi.

Tak lama, suara langkah berat menggema di aula. Li Shen menoleh dan melihat Tetua Bai, seorang pria tua dengan janggut putih panjang, berdiri di ambang pintu. Wajahnya datar, namun matanya memancarkan kewibawaan yang membuat Li Shen segera menunduk.

“Li Shen,” suara Tetua Bai terdengar pelan namun tegas. “Kau di sini pagi-pagi sekali.”

“Saya diberi tugas untuk membersihkan aula utama, Tetua Bai,” jawab Li Shen, suaranya kecil namun cukup jelas.

Tetua Bai melangkah masuk, memeriksa sekeliling aula sebelum berhenti di dekat Li Shen. “Hmph. Kau tahu, anak sepertimu hanya memiliki satu kegunaan di sini.”

Li Shen terdiam, tetapi tangannya mengepal erat di gagang sapu.

“Kau hanya berguna sebagai pelayan,” lanjut Tetua Bai tanpa ragu. “Membersihkan aula, mencuci pakaian, membawa makanan. Itu satu-satunya alasan mengapa kau masih berada di sini.”

Li Shen menggigit bibirnya, menahan amarah yang bergolak di dadanya. Namun, ia tahu bahwa membalas hanya akan memperburuk keadaannya. Ia menundukkan kepala lebih dalam. “Saya mengerti, Tetua.”

Tetua Bai mendengus. “Bagus kalau kau sadar. Kau tahu, bukan? Dantianmu yang rusak itu membuatmu tidak akan pernah bisa berkultivasi seperti murid lain. Kau hanya beban di sini. Satu-satunya alasan kau tetap tinggal adalah karena Tetua Yuan bersikeras membawamu ke sini dulu.”

Mendengar nama Tetua Yuan, mata Li Shen sedikit melembut. Dia adalah satu-satunya orang di sekte ini yang memperlakukannya dengan kebaikan. Empat tahun lalu, saat usianya baru 13 tahun, Tetua Yuan menemukannya di desa kecil yang dilanda kelaparan. Kala itu, tubuh Li Shen begitu kurus dan hampir tak bernyawa, hanya bergantung pada kalung hitam yang tergantung di lehernya.

Tetua Yuan membawanya ke Sekte Naga Langit, memberinya makanan, tempat tinggal, dan sedikit rasa aman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, Tetua Yuan sudah tidak ada lagi di sekte ini, dia sudah meninggal satu tahun yang lalu.

Tetua Bai melangkah mendekat, menatap Li Shen dengan dingin. “Ingatlah ini, anak muda. Kau tidak akan pernah menjadi bagian dari para kultivator hebat. Terimalah kenyataan dan lakukan tugas-tugasmu dengan baik. Hanya itu yang bisa kau lakukan untuk membayar kebaikan Tetua Feng.”

Li Shen tidak menjawab, tetapi dalam hatinya, kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk. Ia menunduk lebih dalam, lalu melanjutkan pekerjaannya tanpa melihat ke arah Tetua Bai lagi.

Tetua Bai mendengus sekali lagi sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan Li Shen sendiri di aula yang kembali sunyi.

Li Shen berdiri di tengah aula, sapu di tangannya berhenti bergerak. Matanya menatap ke lantai yang mengilap, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia mengepalkan kalung hitam yang tergantung di lehernya, jari-jarinya menelusuri ukiran halus di permukaannya.

"Ayah, Ibu... Apakah aku benar-benar tidak berarti? Apakah aku hanya beban di dunia ini?" pikirnya dalam hati.

Namun, di sudut hatinya, ada suara kecil yang terus berbisik, menolak menyerah pada nasib. Li Shen menghela napas dalam, lalu kembali membersihkan aula. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak akan menyerah begitu saja.

"Jika aku hanya memiliki kalung ini, maka aku akan menjaga dan mencari kebenarannya. Suatu hari, aku akan membuktikan bahwa aku bukan hanya seorang pelayan."

Chp 2

Seminggu setelah kejadian di aula utama, suasana di Sekte Naga Langit menjadi lebih sibuk dari biasanya. Para murid tampak berlatih dengan penuh semangat di berbagai sudut halaman, masing-masing mempersiapkan diri untuk ujian kenaikan tingkatan yang akan diadakan hari itu.

Bagi seorang kultivator, tingkatan kekuatan menjadi cerminan bakat, kerja keras, dan status mereka. Sekte Naga Langit menggunakan sistem tujuh tingkatan untuk mengukur kemampuan para murid:

Ranah Dasar (Foundation Realm) – Fondasi awal, tempat para kultivator mulai merasakan energi spiritual.

Ranah Pengumpulan Energi (Energy Gathering Realm) – Mengumpulkan dan mengolah energi ke dalam dantian.

Ranah Kondensasi Inti (Core Condensation Realm) – Membentuk inti energi sebagai pusat kekuatan.

Ranah Jiwa Emas (Golden Soul Realm) – Kekuatan jiwa terbangun, membuat kultivator lebih unggul dalam serangan maupun pertahanan.

Ranah Transformasi Langit (Heavenly Transformation Realm) – Menguasai kekuatan yang melampaui batas manusia.

Ranah Penguasa (Sovereign Realm) – Tingkat tertinggi sebelum pencerahan absolut, memiliki kekuatan yang mampu mengubah wilayah luas.

Ranah Keilahian Tertinggi (Supreme Divinity Realm) – Puncak tertinggi, jarang ada yang mencapainya.

Masing-masing ranah terbagi lagi ke dalam tiga tahapan, yaitu: awal, menengah dan puncak

Bagi murid-murid Sekte Naga Langit, mencapai Ranah Pengumpulan Energi di usia muda sudah dianggap sebagai tanda kecemerlangan. Namun, di sudut halaman, Li Shen berdiri sendirian. Ia masih berada di Ranah Dasar, tingkat pertama yang menjadi dasar bagi para kultivator.

Para murid lain yang lewat memandang Li Shen dengan tatapan mengejek. Beberapa bahkan berbisik keras, memastikan suaranya terdengar.

"Untuk apa dia ikut ujian? Bahkan di Ranah Dasar pun dia tidak berkembang. Sampah tetaplah sampah."

"Kau benar. Kehadirannya hanya membuang waktu Tetua."

Li Shen mengepalkan tangannya, tetapi tetap berusaha mengabaikan mereka. Ia tahu, hari ini tidak akan mudah.

Aula Ujian

Aula utama Sekte Naga Langit telah diubah menjadi tempat ujian. Para tetua duduk di atas panggung tinggi, memandang para murid yang berbaris rapi di tengah aula. Di atas panggung, duduk pula Patriark Sekte, Zhao Tianhong, seorang pria paruh baya dengan rambut hitam panjang dan aura yang memancarkan kekuatan besar.

Zhao Tianhong berada di Ranah Transformasi Langit, tingkat kelima. Kehadirannya membuat aula terasa lebih menekan, bahkan bagi para murid berbakat.

"Selamat datang di ujian kenaikan tingkatan," suara Zhao Tianhong menggema di aula. Meski nadanya tenang, setiap kata membawa bobot yang tidak bisa diabaikan. "Ujian ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kemampuan kalian. Jangan kecewakan diriku, maupun Sekte Naga Langit."

Tetua Bai, yang bertugas memimpin ujian, berdiri dan memberikan penjelasan. "Murid akan diuji dalam tiga tahap: kemampuan dasar, kendali energi, dan teknik bertarung. Setiap tahap akan menentukan apakah kalian layak naik ke tingkat berikutnya."

Murid-murid mulai dipanggil satu per satu. Beberapa menunjukkan bakat luar biasa, terutama mereka yang telah mencapai Ranah Pengumpulan Energi. Sorak sorai dari penonton menggema saat murid-murid itu memperlihatkan kehebatan mereka.

Ketika giliran Li Shen tiba, aula menjadi hening. Tatapan para tetua, murid-murid, bahkan patriark, tertuju padanya. Beberapa murid yang duduk di belakang mulai berbisik.

"Kenapa dia ikut ujian? Apa dia tidak malu?"

"Dia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri!"

Li Shen melangkah ke tengah aula. Tangannya gemetar sedikit, tetapi ia mencoba menenangkan diri. Tetua Bai memandangnya dengan tatapan dingin.

“Li Shen, kau masih di Ranah Dasar, benar?” tanya Tetua Bai, meski jawabannya sudah jelas.

“Benar, Tetua,” jawab Li Shen, suaranya sedikit bergetar.

“Hmph, sangat jarang seorang murid seusiamu masih di Ranah Dasar. Baiklah, tunjukkan apa yang bisa kau lakukan.”

Tahap pertama dimulai: kemampuan dasar. Li Shen diminta mengendalikan energi spiritual sederhana untuk membentuk bola energi kecil. Para murid lain menyelesaikannya dengan mudah, tetapi bagi Li Shen, itu adalah tugas berat.

Li Shen mencoba mengumpulkan energi, tetapi dantian rusaknya membuat proses itu terasa seperti mencoba menyalakan api di tengah badai. Bola energi kecil akhirnya terbentuk, tetapi terlihat goyah dan tidak stabil.

“Hahaha! Itu bahkan lebih kecil dari api lilin!” salah satu murid mengejek, membuat aula dipenuhi tawa.

Tetua Bai menggelengkan kepala, sementara Zhao Tianhong hanya diam, memperhatikan tanpa ekspresi.

Tahap kedua: kendali energi. Li Shen diminta memindahkan bola energi ke target tertentu. Ia mencoba dengan sekuat tenaga, tetapi bola energi itu menghilang di tengah jalan, menyebabkan ejekan lebih keras dari murid-murid lain.

Tahap ketiga: teknik bertarung. Lawan yang diberikan untuk Li Shen adalah seorang murid di Ranah Pengumpulan Energi awal. Pertarungan itu berlangsung singkat—Li Shen bahkan tidak sempat menyerang sebelum ia dipukul mundur dengan satu serangan telak.

Li Shen terduduk di lantai, tubuhnya gemetar. Ia menggenggam kalung di lehernya, mencoba menahan air mata.

Tetua Bai berdiri, suaranya dingin. "Li Shen, dengan hasil seperti ini, kau jelas tidak layak untuk kenaikan tingkatan. Bahkan, keberadaanmu di sini hanya memalukan nama Sekte Naga Langit."

Aula menjadi sunyi. Patriark Zhao Tianhong akhirnya berbicara, suaranya tenang tetapi penuh tekanan.

“Li Shen, aku ingin tahu. Apa alasanmu tetap bertahan di sini?”

Li Shen mengangkat wajahnya, menatap patriark itu dengan mata yang memerah. Meski tubuhnya lemah dan penuh luka, ada tekad yang membara di matanya.

“Saya… saya ingin membuktikan bahwa saya bisa lebih dari ini. Saya tahu saya lemah, tetapi saya tidak akan menyerah.”

Kata-katanya membuat aula menjadi hening lagi. Beberapa tetua tampak terkejut, sementara sebagian besar murid mencibir. Zhao Tianhong menatapnya dalam diam sebelum akhirnya berkata, “Kita lihat saja, Li Shen. Tetapi ketahuilah, dunia ini tidak memberi belas kasihan kepada mereka yang lemah.”

Li Shen berdiri perlahan, membungkuk hormat sebelum meninggalkan aula. Meskipun hatinya terasa berat, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ini bukanlah akhir. Suatu hari, ia akan membuktikan bahwa dirinya layak berada di Sekte Naga Langit.

Satu minggu kemudian...

Hari itu, aula pertemuan di Sekte Naga Langit dipenuhi para tetua. Patriark Zhao Tianhong duduk di kursi utama, matanya tajam menatap semua yang hadir. Diskusi mereka mengarah pada satu hal: keputusan tentang keberadaan Li Shen di sekte.

“Patriark, saya pikir ini sudah cukup,” suara Tetua Bai memecah keheningan. “Hasil ujian kemarin membuktikan bahwa Li Shen bukan hanya lemah, tetapi juga tidak memiliki potensi. Membiarkan dia tetap berada di sini hanya akan mencoreng nama baik Sekte Naga Langit.”

Beberapa tetua mengangguk setuju, sementara yang lain tampak ragu.

“Tetua Bai benar,” tambah Tetua Lan. “Sekte Naga Langit adalah sekte yang besar dan dihormati. Jika murid-murid dari sekte lain mengetahui bahwa kami membiarkan seseorang seperti Li Shen tetap berada di sini, itu akan menjadi bahan ejekan.”

Namun, Tetua Han, yang dikenal lebih berperasaan, menyuarakan pendapat berbeda.

“Patriark, meskipun Li Shen memang lemah, kita tidak boleh melupakan alasan dia ada di sini. Tetua Yuan yang kini sudah tiada membawanya ke sekte ini bukan tanpa alasan. Ia percaya bahwa anak itu memiliki sesuatu yang istimewa.”

Zhao Tianhong mendengarkan dengan tenang, tetapi raut wajahnya tidak menunjukkan emosi. Setelah beberapa saat, ia mengangkat tangan, membuat semua suara di ruangan terhenti.

“Keputusan ini tidak mudah,” katanya dengan suara berat. “Tetapi Sekte Naga Langit bukan tempat bagi mereka yang lemah. Kita adalah salah satu sekte terkuat di wilayah ini, dan menjaga reputasi kita lebih penting daripada rasa kasihan terhadap seorang anak yang tidak memiliki potensi.”

Semua tetua menundukkan kepala, menerima keputusan patriark. Zhao Tianhong menambahkan, “Besok pagi, Li Shen akan diusir dari Sekte Naga Langit. Kita akan memberinya sedikit perbekalan agar dia bisa bertahan di luar. Itu adalah hal terakhir yang bisa kita lakukan sebagai penghormatan kepada mendiang Tetua Yuan.”

Keesokan harinya, kabar tentang pengusiran Li Shen tersebar ke seluruh sekte. Para murid langsung menjadikannya bahan gosip. Beberapa dari mereka bahkan tidak bisa menahan kegembiraan.

“Akhirnya! Aku sudah bosan melihat wajahnya di sini,” kata seorang murid dengan tawa sinis.

“Dia pantas mendapatkan ini. Sekte Naga Langit bukan tempat untuk sampah seperti dia,” sahut yang lain.

Sementara itu, Li Shen baru mendengar kabar tersebut ketika seorang pelayan sekte mengetuk pintu kamarnya. Dengan wajah murung, pelayan itu menyampaikan pesan.

“Li Shen, Patriark telah memutuskan… bahwa kau akan diusir dari sekte ini. Kau diberi waktu hingga matahari terbenam untuk pergi.”

Li Shen terpaku di tempatnya, matanya melebar. “Apa?” suaranya bergetar. “Kenapa… kenapa mereka mengusirku?”

Pelayan itu tidak berani menatapnya. “Aku hanya menyampaikan perintah. Maafkan aku.”

Setelah pelayan itu pergi, Li Shen duduk di lantai kamarnya. Pikirannya kacau, dadanya terasa sesak. Selama empat tahun ia tinggal di sekte ini, meskipun dihina dan dicemooh, ia tetap mencoba bertahan. Sekarang, semuanya hancur begitu saja.

Li Shen memandang kalung yang menggantung di lehernya, satu-satunya peninggalan ayahnya. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam kalung itu erat.

“Apakah… aku benar-benar tidak berguna?” bisiknya pada dirinya sendiri, air mata mengalir di pipinya.

Matahari hampir tenggelam ketika Li Shen berdiri di gerbang utama Sekte Naga Langit. Di hadapannya berdiri beberapa tetua, termasuk Tetua Bai, yang memegang perbekalan kecil untuknya.

“Ini untukmu,” kata Tetua Bai, menyerahkan tas yang berisi makanan dan sedikit uang. Namun, nada suaranya dingin, tanpa sedikit pun rasa simpati. “Gunakan ini dengan bijak. Dan ingat, mulai sekarang kau bukan bagian dari Sekte Naga Langit. Jangan pernah kembali.”

Di belakang mereka, puluhan murid berkumpul, menyaksikan pengusiran Li Shen. Beberapa bahkan sengaja mengejek dengan suara keras.

“Semoga sukses di luar sana, sampah!”

“Hati-hati jangan sampai mati kelaparan, hahahaha!”

Li Shen menahan semuanya. Ia tidak ingin memberi mereka kepuasan melihatnya menangis. Dengan tangan yang gemetar, ia menerima tas itu dan membungkuk hormat kepada para tetua.

“Terima kasih atas segalanya,” katanya dengan suara serak, sebelum berbalik dan melangkah pergi.

Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan gerbang, suara Tetua Han memanggilnya.

“Li Shen!”

Ia berbalik, dan melihat Tetua Han mendekatinya.

“Ingat kata-kataku ini,” kata Tetua Han, suaranya pelan tetapi tegas. “Kelemahanmu hari ini bukanlah takdirmu. Dunia ini luas, dan jalan seorang kultivator penuh dengan keajaiban yang tidak terduga. Jangan menyerah. Temukan potensimu, apa pun yang terjadi.”

Li Shen terdiam, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. Kata-kata Tetua Han menjadi satu-satunya harapan kecil di tengah kegelapan yang menyelimuti hatinya.

Saat langkahnya membawa dirinya menjauh dari Sekte Naga Langit, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir bebas.

“Suatu hari… aku akan kembali,” gumamnya dengan suara penuh tekad. “Dan aku akan membuat kalian menyesali keputusan ini.”

Langit malam menjadi saksi kepergiannya, seorang pemuda yang terluka tetapi tidak hancur, membawa luka batin yang akan menjadi bahan bakar untuk tekadnya di masa depan.

Chp 3

Malam mulai merayap, dan Li Shen melangkah tanpa tujuan di jalan tanah berbatu. Angin dingin malam menusuk kulitnya, tetapi rasa sakit di hatinya jauh lebih membekukan. Dunia terasa begitu luas dan kosong, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa sendirian.

Di tengah keheningan malam, pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke kenangan yang ia simpan erat-erat di dalam hatinya.

Saat Li Shen berusia enam tahun, ia hidup bahagia bersama orang tuanya di sebuah desa kecil di lembah. Ibunya, seorang wanita lembut bernama Lin Yue, adalah sosok yang penuh kasih. Setiap pagi, ia akan memasak bubur hangat untuk Li Shen sebelum mengantar putranya bermain di sekitar desa.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Ibunya mulai sering jatuh sakit, tubuhnya melemah dari hari ke hari. Ayah Li Shen, Li Jian, seorang pedagang sederhana, melakukan segala cara untuk mencari obat. Tetapi, penyakit Lin Yue terlalu parah untuk disembuhkan.

Li Shen mengingat malam terakhir bersama ibunya.

“Shen’er,” suara Lin Yue terdengar lemah, tetapi senyumnya masih sama seperti biasanya. Ia mengusap kepala Li Shen yang duduk di samping ranjangnya.

“Ibu akan selalu mencintaimu… Tidak peduli di mana ibu berada.”

Air mata Li Shen mengalir deras, tetapi ia terlalu kecil untuk memahami bahwa itu adalah perpisahan terakhir mereka. Ketika fajar menyingsing, Lin Yue telah pergi, meninggalkan kenangan manis yang selalu dirindukan Li Shen.

Setelah kematian ibunya, Li Jian berusaha sebaik mungkin untuk menggantikan peran Lin Yue. Meski sibuk dengan pekerjaan dagangnya, ia selalu memastikan bahwa Li Shen tidak merasa kesepian.

Pada ulang tahun Li Shen yang ke-8, Li Jian memberikan sebuah hadiah yang tidak pernah dilupakan oleh putranya.

“Ini untukmu, Shen’er,” kata Li Jian sambil menyerahkan sebuah kalung dengan liontin kecil berbentuk giok. Liontin itu berbentuk bulat dengan ukiran naga kecil di tengahnya.

Li Shen memandangnya dengan mata berbinar. “Ayah, ini cantik sekali!”

Li Jian tersenyum. “Aku membeli ini dari seorang kakek tua saat perjalanan dagang. Ia bilang, liontin ini membawa keberuntungan. Aku ingin kau selalu memilikinya, Shen’er.”

Li Shen memeluk ayahnya dengan erat. Sejak hari itu, kalung tersebut menjadi benda paling berharga baginya.

Namun, kebahagiaan kecil itu kembali direnggut ketika Li Shen berusia sepuluh tahun. Saat itu, Li Jian sedang melakukan perjalanan dagang ke kota tetangga. Li Shen menunggu kepulangan ayahnya dengan penuh antusias, berharap mendapatkan cerita baru tentang perjalanan dagangnya.

Tetapi, yang datang bukanlah ayahnya, melainkan seorang tetangga dengan wajah muram.

“Li Shen… aku harus memberitahumu sesuatu,” kata pria itu dengan nada berat. “Ayahmu… dia tidak akan kembali.”

Li Shen tidak langsung mengerti. Dengan suara gemetar, ia bertanya, “Kenapa? Apa yang terjadi pada ayahku?”

Pria itu menjelaskan bahwa kafilah dagang yang diikuti ayahnya diserang oleh sekelompok bandit di jalan pegunungan. Ayahnya mencoba melawan, tetapi kalah jumlah dan kehilangan nyawanya dalam serangan itu.

Li Shen merasa dunianya runtuh. Ia berlari ke kamar dan memegang kalung pemberian ayahnya, menangis hingga suaranya serak.

“Kenapa semua orang meninggalkanku?” ia berbisik di antara isak tangisnya.

Kembali ke Kenyataan

Li Shen tersentak dari lamunannya ketika suara burung hantu terdengar dari kejauhan. Ia meraih kalung giok di lehernya, menggenggamnya erat seolah itu adalah satu-satunya penghubungnya dengan masa lalunya yang bahagia.

“Kalung ini…” gumamnya pelan, suaranya dipenuhi emosi. “Aku tidak akan pernah melepaskannya. Ini satu-satunya hal yang aku punya… satu-satunya yang mengingatkanku pada Ayah.”

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Meski langkahnya ragu dan jalannya tidak menentu, ia tahu satu hal dengan pasti: ia tidak akan membiarkan dirinya hancur. Kenangan tentang orang tuanya menjadi satu-satunya kekuatan yang membuatnya terus berjalan, meski tanpa arah.

----------------

Langit memerah ketika fajar mulai menyingsing. Li Shen melangkah perlahan di jalan setapak yang membentang di antara bukit-bukit kecil. Angin pagi membawa embusan dingin, tetapi pikiran Li Shen melayang ke hal yang lebih besar—dunia yang luas dan penuh kekuatan yang hanya bisa ia bayangkan.

Li Shen tinggal di wilayah yang dikenal sebagai Dataran Barat, yang berada di bawah naungan Kekaisaran Tian Zhao. Meski besar dan penuh sejarah, Tian Zhao bukanlah kekaisaran terkuat di dunia. Dunia ini memiliki empat kekaisaran besar, masing-masing menguasai wilayah luas dengan keunikannya sendiri. Selain Kekaisaran Tian Zhao, ada Kekaisaran Qinghai di timur, Kekaisaran Beiwu di utara, dan Kekaisaran Nanrong di selatan.

Kekaisaran Tian Zhao dikenal sebagai tanah yang subur dan kaya energi spiritual, menjadikannya tempat yang ideal bagi sekte dan klan untuk berkembang. Namun, tidak seperti kekaisaran lain yang kekuasaannya terpusat, Tian Zhao memiliki struktur kekuasaan yang berbeda.

Wilayah kekaisaran ini dikuasai oleh berbagai sekte dan klan besar, yang mengelola wilayah mereka sendiri sebagai otoritas tertinggi. Setiap sekte atau klan memerintah dengan hukum mereka sendiri, sering kali lebih kuat daripada perintah kekaisaran. Hanya ibu kota kekaisaran, Kota Tianjing, yang berada di bawah kendali langsung Kaisar Tian Longyuan.

Kota Tianjing adalah pusat dari kekuasaan kekaisaran, tempat tinggal sang kaisar dan keluarganya, serta rumah bagi Istana Langit, simbol tertinggi otoritas Tian Zhao. Namun, pengaruh kaisar terbatas, karena ia harus berurusan dengan sekte-sekte besar yang sering kali memiliki agenda sendiri.

Sekte dan Klan Besar di Tian Zhao

Tian Zhao adalah rumah bagi banyak sekte dan klan yang tersebar di berbagai wilayah. Masing-masing memiliki keunikannya sendiri, baik dari segi kekuatan maupun tradisi:

Sekte Naga Langit: Salah satu sekte besar yang terletak di Gunung Azure, terkenal dengan penguasaan energi langit. Sekte ini pernah menjadi tempat tinggal Li Shen, meskipun kini hanya meninggalkan kenangan pahit baginya.

Klan Seribu Pedang: Sebuah klan besar di barat daya yang terkenal karena seni pedangnya yang sangat kuat dan presisi.

Sekte Awan Suci: Terletak di pegunungan utara, sekte ini menguasai elemen angin dan terkenal karena kecepatan tekniknya.

Klan Baihe: Salah satu keluarga dagang terbesar, mereka tidak hanya menguasai jalur perdagangan tetapi juga memiliki pengaruh di dalam banyak sekte.

Masing-masing sekte dan klan ini memiliki kekuatan besar, bahkan sering kali menyaingi otoritas kekaisaran. Hubungan di antara mereka sering kali dipenuhi persaingan, intrik, dan perebutan kekuasaan.

Kehidupan di Tian Zhao

Di wilayah yang penuh persaingan ini, hidup seorang kultivator tidak pernah mudah. Banyak yang bermimpi menjadi murid sekte besar, berharap dapat mencapai puncak kekuatan. Namun, hanya sedikit yang berhasil, dan sebagian besar berakhir sebagai pekerja biasa, pelayan sekte, atau pengembara tanpa tujuan.

Li Shen, yang kini menjadi pengembara, merasa asing dengan dunia ini. Ia memandang ke arah cakrawala, di mana puncak-puncak gunung berdiri menjulang, mengingatkannya pada sekte tempat ia dulu tinggal. Sekte Naga Langit, meski telah mengusirnya, tetap menjadi bagian dari ingatannya.

“Dunia ini terlalu besar… terlalu rumit untukku,” gumamnya. Tetapi, ia juga tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Meski tanpa arah, ia berjanji untuk bertahan, apapun yang terjadi.

Ia melanjutkan langkahnya, menapaki jalan panjang yang penuh ketidakpastian, sambil membawa kenangan pahit dan harapan kecil yang tersisa di dalam hatinya.

----------------

Langkah Li Shen membawanya ke tempat yang semakin asing. Setelah berhari-hari berjalan tanpa arah, ia tiba di pinggiran sebuah hutan lebat. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi, dengan daun-daunnya yang membentuk kanopi tebal. Cahaya matahari hanya menembus sedikit, menciptakan bayangan gelap yang bergerak pelan seiring tiupan angin.

Whoosh... whoosh...

Angin berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan di atasnya. Udara terasa lembap, dan aroma tanah basah bercampur dedaunan busuk memenuhi indra penciumannya.

Li Shen berdiri diam, memandangi hutan di depannya.

“Haruskah aku masuk?” gumamnya. Namun, jalan kembali tidak mungkin. Jika ia tetap di jalan setapak, kemungkinan besar ia akan bertemu dengan bandit atau—lebih buruk lagi—anggota Sekte Naga Langit yang membencinya.

Crack...

Kakinya melangkah ke atas ranting kecil yang patah, memecahkan keheningan di sekitarnya. Dengan langkah hati-hati, ia masuk ke dalam hutan.

Setiap langkahnya menghasilkan suara gemerisik dari dedaunan kering di bawah kakinya. Di antara suara langkahnya, terdengar kehidupan hutan: cuit-cuit suara burung kecil, dan krrk-krrk suara serangga yang terdengar aneh di telinganya.

Namun, semakin ia melangkah, semakin sunyi hutan itu. Suara burung-burung yang tadi ramai mulai menghilang, berganti dengan keheningan yang mencekam.

“Kenapa jadi sunyi seperti ini?” pikirnya. Dadanya berdegup lebih kencang. Li Shen mempererat genggaman pada kalungnya, satu-satunya benda yang membuatnya merasa tenang.

Trrr... trrrk...

Terdengar suara dari dedaunan yang bergerak di belakangnya. Li Shen menoleh cepat, matanya menyapu ke segala arah, tetapi tidak ada apa pun di sana.

“Siapa di sana?” tanyanya dengan suara bergetar.

Whoosh...

Angin berhembus kencang, membawa dedaunan jatuh ke tanah. Suasana semakin mencekam. Ia mencoba berjalan lebih cepat, berharap bisa keluar dari hutan ini sebelum hal buruk terjadi.

Namun, langkahnya terhenti ketika suara itu datang lagi, kali ini lebih dekat.

Trrkk... crakk...

Suara ranting patah, seperti ada sesuatu yang berat melangkah di antara pepohonan.

Li Shen berhenti di sebuah celah kecil di antara dua pohon besar. Nafasnya tersengal-sengal, tetapi ia mencoba untuk tidak mengeluarkan suara.

Tuk... tuk...

Detak jantungnya terdengar keras di telinganya. Ia merasakan hawa dingin menjalar di punggungnya. Lalu, ia melihatnya.

Seekor Beast Spirit muncul dari balik pepohonan. Tubuhnya besar, bulunya hitam pekat dengan garis-garis keemasan yang berkilauan. Mata merahnya menyala, menatap Li Shen seperti seorang pemburu yang menemukan mangsanya. Nafas binatang itu terdengar berat, seperti desiran angin kencang.

Hrrghhh...

Li Shen menelan ludah, mencoba mundur selangkah. Namun, ranting yang diinjaknya mematah dengan suara keras.

Crack!

Beast itu langsung menoleh tajam ke arahnya, mengeluarkan geraman rendah yang menggetarkan udara.

Grrrhhhh...

Li Shen terpaku. Kakinya terasa berat seperti ditahan oleh sesuatu. Beast itu berjalan mendekat, gerakannya tenang tapi penuh ancaman. Tubuh besar makhluk itu bergoyang dengan elegan, dan setiap langkahnya menciptakan suara lembut dari dedaunan yang terinjak.

Tuk... tuk... tuk...

Langkah Beast itu semakin mendekat. Li Shen mencoba mengatur nafasnya, tetapi dadanya terasa sesak.

Ketika Beast itu berhenti hanya beberapa meter darinya, ia membuka rahangnya, mengeluarkan raungan keras yang mengguncang seluruh hutan.

ROARRR!!!

Li Shen merasakan kakinya bergetar. Seluruh tubuhnya menegang, dan hawa dingin menjalar dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Ia tahu bahwa lari bukanlah pilihan, tetapi melawan juga tak mungkin.

“Apakah ini... akhirnya?” gumamnya, hampir tak terdengar di tengah suara gemuruh raungan Beast yang masih bergema di udara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!