...Proudly Present a Romance Story—Cinta 'Terkontrak'...
...Written by Luckygurl_...
...“Ini hanyalah cerita fiksi. Jika ditemukan kesamaan nama tokoh, latar belakang, jabatan, alur, ataupun konflik dengan realita, itu adalah kebetulan semata.”...
...WARNING!!!...
...⚠️ Mature, harsh word, imperfect and anti-hero main character, angst, family issues ⚠️...
...Please, kasih cinta dan dukungan kalian, serta menghargai author atas karyanya dengan cara follow akun author, like dan komen di setiap part, dan juga kasih ulasan ya. Dengan hal sederhana seperti itu, kalian sudah memberikan dukungan besar untuk author lebih semangat....
...Terima kasih 💋...
...Happy reading......
...****************...
Menjadi sekretaris dari Sadewa Pangestu, CEO Angkasa Corporation yang terkenal dingin, adalah tantangan yang tidak pernah benar-benar tidak bisa diatasi oleh Senja Maharani. Gadis yang akrab disapa, Maha, itu seperti berjalan diatas tali tipis setiap hari—satu langkah salah, dan ia bisa jatuh kedalam jurang. Pekerjaan selalu menumpuk dan bahkan sekedar menarik nafas panjang pun terasa seperti kemewahan.
Tapi hidup di ibu kota tidak memberikan banyak pilihan. Gaji di Angkasa Corporation cukup besar untuk menopang kebutuhannya, sesuatu yang sulit ditemukan tempat lain. Setiap kali keinginan itu berhenti muncul, Maha hanya perlu melihat angka-angka di slip gajinya. Demi bertahan hidup, ia rela menjadikan kewarasannya sebagai taruhan.
Pagi ini, Maha duduk di balik mejanya yang penuh dengan dokumen. Lokasinya yang persis di luar ruangan Sadewa hanya menambah beban mentalnya saja. Setiap kali pintu ruangan Sadewa terbuka, hawa dingin dari dalam seolah merambat keluar, menyelimutinya dengan tekanan yang tak kasat mata. Entah bagaimana, pria itu selalu berhasil membuat siapapun merasa kecil hanya dengan tatapan tajamnya.
Maha menyandarkan punggungnya di kursi, melepas kacamatanya dengan gerakan lelah. Tangannya yang dingin menekan pangkal hidungnya, mencoba meredakan ketegangan yang menggelayuti kepalanya sejak pagi. Matanya terpejam sesaat, seolah berharap kelelahan yang mendera bisa luruh begitu saja. Helaan nafasnya pun terdengar berat, di penuhi keputusasaan yang tertahan.
Beristirahat sejenak adalah hal langkah. Bahkan di hari libur, Sadewa tetap saja mengirimkan daftar tugas yang seakan tidak ada habisnya. Ditengah kelelahan yang semakin menumpuk, Maha hanya bisa bertanya dalam hati.
Sampai kapan aku bisa bertahan?
Dengan enggan, ia kembali mengenakan kacamatanya, menarik nafas panjang sebelum menatap tumpukan berkas di depannya. Matanya bergerak cepat, membaca baris demi baris data yang seakan tak berujung.
Ting!
Sebuah notifikasi masuk, memecah keheningan, membuat Maha mengalihkan perhatiannya pada benda pipih yang tergeletak di meja. Ia melihat layar ponselnya yang menampilkan pesan baru. Senyum kecil seketika itu terbit di di wajah ayu Maha begitu membaca nama pengirimnya.
From: Mas Danu - Maha, ayo makan bersama di kantin.
Sejenak, rasa penat yang sejak tadi menghimpit nya seakan lenyap begitu saja. Maha menggenggam ponselnya erat, membaca pesan itu berulang kali. Seolah kata-kata Danu mempunyai kekuatan magis untuk menghangatkan hati yang lelah.
“Andai saja, Pak Sadewa, semanis Mas Danu,” gumamnya. “Mungkin aku rela disuruh-suruh, sekalipun itu bermalam di kantor.” kekehan kecil lolos dari bibirnya, membuat atmosfer yang sebelumnya berat kini terasa lebih ringan.
Akan tetapi, momen singkat itu tidak bertahan lama. Terlalu larut dalam pesan Danu, Maha sampai tidak menyadari kehadiran seseorang yang berdiri tegak beberapa menit yang lalu di mejanya. Sadewa Pangestu, pria itu menatap Maha tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya berbicara lebih banyak daripada bibirnya yang terkatup rapat. Aura dingin tiba-tiba menyelimuti seakan menjadi alarm alami. Tatapan intens yang nyaris bisa dirasakan tanpa perlu melihat.
Maha menelan ludahnya, ia perlahan mengangkat kelapa dan detik itu juga, senyumnya menguap.
Sadewa berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, ekspresinya dingin seperti biasanya. Sorot matanya begitu tajam, memancarkan ketegasan menatap langsung ke arah Maha tanpa berkedip. Rahangnya pun mengeras, seolah menahan ketidaksabaran yang mulai menipis.
“Apakah berkas saya sudah selesai kamu kerjakan?” Suara bariton Sadewa memecah keheningan, nadanya rendah tapi tegas—cukup untuk membuat Maha tersentak kaget.
“Astaga!”
Reflek, Maha hampir menjatuhkan ponselnya, jantungnya seakan ingin lompat dari tempatnya. “S-sudah, Pak Sadewa…” jawabnya dengan suara pelan dan terbata.
Wajahnya rasanya memanas, campuran rasa malu dan juga panik membuatnya buru-buru berdiri. Tangannya langsung sibuk mengacak tumpukan berkas di meja, mencoba mencari dokumen yang diminta Sadewa. Namun, karena gugup, pikirannya terasa kosong. Tangannya gemetaran saat memeriksa setiap tumpukan hingga akhirnya…
Bruk!
Beberapa berkas jatuh berserakan di lantai. Maha memekik kecil, tubuhnya membeku sejenak sebelum akhirnya menatap tumpukan kertas yang kini berantakan di sekitar kakinya. Panik langsung menyergapnya. Aduh, pakai jatuh segala, sih! Maha mendengus dalam hati, menahan rasa kesal yang mendesak di dadanya.
“Sebentar ya, Pak…” ucapnya dengan kaku sambil meringis, berusaha menutupi kepanikan yang jelas terpancar dari gerak-gerik nya. Sekilas, matanya melirik ke arah Sadewa—pria itu tetap berdiri tegak tanpa ekspresi, sama sekali tak terganggu oleh kekacauan di hadapannya.
Dia sebenarnya orang apa patung, sih? Apa urat wajahnya putus? Senyum dikit juga nggak bakal bikin dunia runtuh, kok! Gerutu Maha dalam hati sambil buru-buru menunduk, tangannya sibuk menyisir meja, mencari map yang diminta Sadewa.
Tangannya gemetaran, entah karena panik atau tekanan yang selalu ia rasakan setiap kali berhadapan dengan pria itu. Tapi satu hal yang pasti, berkas itu harus ditentukan secepat mungkin.
Nah, ketemu! Maha berseru dalam hati dan membuat hatinya merasa lega. Senyum kecil muncul tanpa sadar di wajahnya. Namun, belum sempat ia berdiri dengan percaya diri, keberuntungan tampaknya benar-benar enggan berpihak padanya.
Bruk!
Kepalanya terbentur keras ke pinggiran meja. Maha meringis kesakitan, kedua tangannya pun reflek memegangi dahinya yang berdenyut nyeri.
“Aduh!” Pekiknya lirih. Matanya berair menahan sakit yang menjalar tajam. Bangsat! Maha mengutuk dalam hati. Rasa perih itu benar-benar membuatnya ingin menangis, tapi didepan Sadewa? Oh, jangan harap.
Sementara itu, Sadewa yang melihat kekacauan itu dari awal hanya memutar bola matanya, malas. Ekspresinya jengah seolah sudah terlalu sering menghadapi kejadian serupa.
“Apakah saya harus menunggu lebih lama lagi, Maharani?” tanya Sadewa, suaranya terdengar rendah, tegas, dengan kesabaran yang jelas mulai menipis.
Dibawah meja, Maha mengepalkan kedua tangannya. Nafasnya berderu pelan, berusaha menahan emosi yang mulia membara di dada nya. Sabar, Maha, sabar! Ia menggigit bibir bawahnya, menekan rasa kesal yang hampir meledak. Tanpa menjawab, Maha berdiri perlahan. Sementara dahinya masih berdenyut nyeri, tapi ia mengabaikannya. Dengan ekspresi datar—meskipun jelas ada ketidaksabaran tersirat di wajahnya—ia menyerahkan map biru itu ke tangan Sadewa.
Sadewa, pria itu mengambilnya dengan gerakan santai, tapi tatapannya tetap terarah pada Maha. Sekilas, ada sesuatu dalam sorot matanya—entah itu penilaian, kejengkelan, atau hanya kebiasaan mengamati setiap detail. Namun, seperti biasa. Sadewa sulit untuk ditebak.
Tanpa sepatah katapun, Sadewa memutar tubuhnya dan berjalan santai kembali ke ruangannya. Pintu tertutup dengan bunyi pelan, meninggalkan Maha yang masih berdiri di tempatnya.
“Ya ampun!” Maha mendesah keras, suaranya terdengar frustasi. “Dia nggak bisa ngomong ‘terima kasih’ atau apa gitu?!”
Meskipun mencoba menenangkan diri, wajahnya masih merona—entah karena malu, sakit, atau amarah yang menggelegak. Maha kembali duduk di kursinya sambil mendengus kesal, matanya melirik tajam ke arah pintu ruangan Sadewa.
Sumpah kalau bukan karena gaji, aku juga ogah bertahan dan kerja sama CEO dingin kayak Sadewa! Batin Maha kesal.
...****************...
Didalam ruang kerja yang luas, Sadewa Pangestu berdiri menghadap jendela. Tapi senyum kecil di wajahnya membuktikan bahwa pikirannya tidak sedang sibuk dengan tumpukan berkas di meja. Baru saja ia masuk ke dalam ruangannya, namun telinganya masih bisa menangkap gerutuan samar dari luar.
“Lucu sekali.” gumamnya, nyaris seperti bisikan sambil menahan tawa kecil. Tangannya merapikan dasi dengan gerakan santai sebelum akhirnya duduk di kursi kerjanya yang empuk.
Sadewa tak bisa menahan senyumnya saat mengingat ekspresi Maha yang kesal dengan wajah memerah. Tatapannya geram dan bagaimana gadis itu saat terbentur meja. Bukan karena ia menikmati saat melihat orang terluka, tapi ada sesuatu yang menghibur dari tingkah ceroboh sekretaris cantiknya itu.
“Dasar gadis ceroboh.” desisnya, nada suaranya terdengar geli seraya jarinya mengetuk permukaan meja. Sementara matanya terpaku pada map biru yang baru saja diberikan Maha.
Sudah satu tahun, tanpa sadar Sadewa menemukan hiburan baru di balik kesibukannya—mengusik Senja Maharani, sekretarisnya yang cerdas dan menarik. Bagi Sadewa, Maha adalah kombinasi unik yang jarang ia temui. Gadis itu pandai berbicara didepan publik, teliti dalam pekerjaannya, dan meskipun sering terlihat kesal, ia tetap menjalankan tugasnya dengan baik.
Menarik.
Sadewa mengakui itu dalam hati. Bukan hanya karena Maha cerdas atau profesional dalam pekerjaannya, tapi ada sesuatu dalam cara gadis itu berusaha tetap tegar meskipun berada dibawah tekanannya. Entah bagaimana, melihat Maha berusaha menahan kesal justru semakin membuatnya ingin menguji batas kesabaran gadis itu.
Mungkin sudah saatnya saya menaikkan level permainan ini, sudut bibirnya sedikit terangkat lebih lebar, pikirannya mulai menyusun strategi baru. Namun, dibalik keisengannya, Sadewa tahu satu hal—Senja Maharani bukan sekedar sekertaris biasa dimatanya.
Ditengah hiruk pikuk kafe Nirmala yang dipenuhi oleh suara percakapan dan dentingan gelas. Maha duduk lemas di kursinya. Wajahnya tampak lelah, matanya kosong, seolah energinya telah terkuras habis. Tangannya memegang cangkir kopi yang isinya nyaris tak tersentuh, uap tipis masih mengepul di permukaannya.
Pencahayaan temaram kafe menambah suasana hangat, tapi Maha tidak merasakan kenyamanan itu sepenuhnya. Di meja pojok, ia dan Niken duduk berhadapan. Secangkir kopi dan piring kecil berisi camilan masih setia menemani mereka. Namun, perhatian keduanya lebih tertuju pada percakapan yang mengalir pelan.
Didepannya, Niken—sahabat sekaligus tempat Maha berbagi keluh kesah—memperhatikannya dengan tatapan prihatin.
“Kayaknya kamu butuh pergi ke psikiater, deh,” celetuk Niken tanpa basa-basi.
Maha menatap Niken dengan mata menyipit. “Emangnya aku gila?” Tanyanya datar, suaranya sarat akan kelelahan.
“Hampir. Soalnya keliatan banget dari matamu, kosong. Kayak lagi bawa beban berat banget,” Niken mengangkat bahunya, ekspresinya tampak serius.
Maha mendesah panjang, pundaknya pun turun seiring helaan nafasnya. Wajahnya terlipat dalam ekspresi letih yang sulit disembunyikan. “Aku nggak butuh psikiater, Ken. Butuh ku liburan dan tidur panjang tanpa gangguan. Kerja kayak nggak ada liburnya. Sumpah, Sadewa itu ngeselin banget! Mentang-mentang dia CEO, jadi seenaknya sama karyawan!” nada suaranya meninggi, penuh frustasi. Ia menenggak kopinya kasar, berharap rasa pahit itu sedikit meredakan stress nya.
Niken tersenyum kecil sambil menyeruput minumannya. “Eh, tapi Sadewa bersikap kayak gitu cuma ke kamu, loh. Ke karyawan yang lain, nggak tuh,”
"Iya, ‘kan?! Rasanya aku ini kayak budaknya. Masa hari Minggu, waktunya orang istirahat, dia nelpon nyuruh aku bikin laporan. Psikopat banget nggak, sih?” balas Maha sambil memutar bola matanya, kesal.
Niken terkekeh. Ia sudah terbiasa dengan keluhan yang satu ini. “Dari dulu cerita kamu itu-itu aja—Sadewa, Sadewa, Sadewa. Jangan-jangan kamu nggak sadar kalau sebenarnya dia suka sama kamu,” ujarnya menggoda.
Maha langsung mendengus, nyaris terdesak. “Ya ampun, Ken, pikiranmu kejauhan. Memangnya aku ini siapa, huh? Aku, tuh, cuma sekretaris yang kerjaannya berantakan. Sadewa mah pasti nggak bakal suka sama cewek modelan kayak aku gini,”
Niken tersenyum tipis. Matanya menyipit seolah sedang menilai. “Emangnya kamu tahu kayak gimana kriterianya Sadewa?” tanyanya santai, namun ada nada menggoda yang memancing.
Sejenak, Maha terdiam, sebelum akhirnya meledak dalam tawa. “Ya nggak tahu, lah. Aku, ‘kan, cuma karyawannya. Ngapain mikirin dia?!” jawabnya sambil tertawa.
Suasana yang tadinya tegang, pun mulai mencair. Maya kembali menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba menikmati sejenak kedamaian dari rutinitas yang menguras. Namun, Niken tahu betul, dibalik tawa itu, Maha menyimpan banyak luka yang tak selalu bisa ia sembunyikan. Ia masih ingat bagaimana suatu kali ia memergoki Maha menangis di toilet kantor, berusaha keras menahan tangisnya dengan membasuh wajahnya menggunakan air wastafel.
Niken ingin mengungkapkan betapa ia bangga pada sahabatnya itu, yang tetap bertahan meski begitu banyak tekanan. Tapi, ia tahu, Maha hanya butuh seseorang yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi.
“Aku selalu disini, loh, kalau mau curhat. Nggak masalah banget kalau kamu mau ngeluh terus soal Sadewa. Hitung-hitung aku juga ikut terhibur,” Cetus Niken dengan senyum lebar, menenangkan.
“Thanks ya, Ken. Punya kamu, tuh, lebih mahal daripada punya psikiater,”
“Ya Iyalah, aku ini paket lengkap. Bisa dengerin curhatan, bisa bikin ketawa, gratis.” jawab Niken sambil tertawa.
Maha merasa sedikit lebih ringan. Meskipun malam itu ia masih membawa sisa beban pekerjaan. Sebab kehadiran Niken memberinya jeda kecil yang cukup berharga—sebuah pelipur lara dalam kehidupan yang penuh tekanan.
Malam semakin larut, dan obrolan bersama Niken di kafe Nirmala menjadi penutup hari yang cukup menegangkan bagi Maha. Meski begitu, waktu terus berjalan, dan rutinitas tetap menunggu. Setelah membayar tagihan, Maha bangkit dari kursinya, menatap sekilas kearah Niken yang masih duduk dengan senyum penuh pengertian, lalu melangkah keluar menuju mobil.
...****************...
Sesampainya di apartemennya, Maha menarik nafas panjang. Apartemen itu luas, bergaya modern, dan terlihat mewah dengan segala desain interior mencerminkan gaya hidupnya yang mapan. Tapi, dibalik semua kemewahan itu, ada kekosongan yang sulit ia hindari.
Maha tinggal sendirian di unit apartemennya, orang tuanya yang seharusnya menjadi tempatnya berbagi kebahagiaan, sudah lama berpulang ke pangkuanku Tuhan. Sebagai anak tunggal, Maha tidak punya keluarga untuk berbagi hari-hari. Kesedihan itu kadang datang begitu mendalam, meski ia jarang mengakuinya, bahkan kepada dirinya sendiri.
Mobil Suv-nya meluncur perlahan ke dalam basement apartemen. Suara mesin yang berderu perlahan menggema di ruang bawah tanah yang sepi. Sesaat setelah itu, Maha keluar dari mobil dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya. Kelelahan hari itu seolah menumpuk di setiap langkahnya, dan sesekali, ia mengatur nafasnya, berharap agar beban ini cepat berlalu.
Jika dilihat dari dekat, Maha itu adalah sosok wanita yang memikat. Wajahnya cantik dengan kulit putih bersih, ditambah tubuhnya yang proporsional. Lekuk tubuhnya—dari dada hingga pinggul—sering kali menarik perhatian.
Tak sedikit pria kaya dan mapan mencoba mendekatinya, menawarkan segala bentuk kemewahan. Namun, Maha bukan tipe wanita yang mudah terpikat oleh harta. Hingga kini, tidak ada satupun yang berhasil mengisi ruang di hatinya.
Begitu memasuki unit apartemennya, Maha langsung menuju walk in closet. Dengan gerakan terbiasa, ia melepaskan pakaian kantornya, mengganti dengan piyama dress berbahan satin lembut yang jatuh nyaman di tubuhnya. Potongan pakaian tidurnya sedikit terbuka dibagian dada, tapi Maha tidak mempermasalahkannya. Kenyamanan selalu menjadi prioritasnya setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan.
Baru saja hendak melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan wajah, dering ponsel menghentikan langkahnya. Maha menoleh kearah tas yang tergeletak diatas meja, lalu meraihnya dengan cepat. Begitu melihat nama yang tertera di layar, seulas senyum mengembang di wajahnya.
Mas Danu calling…
Ada sesuatu yang berbeda setiap kali Danu menghubunginya, entah itu sekedar pesan singkat atau panggilan telepon seperti saat ini. Membuat perasaan hangat menjalar di dadanya, sebuah gejolak kecil yang sulit dijelaskan. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat telepon dengan suara yang terdengar sedikit lebih ceria dari biasanya.
“Halo… iya, Mas… ada apa?” sapa Maha setelah panggilan tersambung. Suaranya ringan, meski ada getaran di ujung nya.
“Kamu sudah dirumah, Maha?” jawab Danu dari seberang telepon, suaranya terdengar hangat, lembut, seperti melodi yang menenangkan telinga Maha.
“Iya, Mas, baru sampai,” Maha tersenyum kecil, merasa canggung dengan perasaannya sendiri. “Hm… kenapa, Mas?” Tanyanya.
“Ng… cuma mau bilang kalau besok pagi aku jemput, kita berangkat bareng ke kantornya, oke?” ujar Danu.
Nada bicaranya santai, tapi entah kenapa kalimat itu terasa lebih istimewa bagi Maha dari sekedar ajakan biasa. Maha pun menggigit bibirnya pelan, menahan senyum yang hampir meluap.
“Iya, Mas. Oke...” jawabnya, berusaha tenang meski jantungnya berdetak lebih cepat.
Dari seberang telepon, Maha mendengar tawa kecil Danu. Seakan pria itu bisa membaca kegugupannya.
“Terimakasih, Maha. Kalau begitu aku tutup dulu teleponnya, ya. Selamat malam dan mimpi indah.”
Begitu panggilan telepon berakhir. Maha masih menatap layar ponselnya, jari-jarinya menggenggam erat perangkat itu. Sejenak, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan hangat yang mengalir setelah percakapan singkat tadi.
Danu—karyawan, Angkasa Corporation yang tampan dan perhatian, berhasil membuat Maha merasakan sesuatu yang jarang ia alami. Tidak banyak pria yang bisa menyentuh hatinya seperti ini. Tapi Danu berbeda. Kehadirannya membawa kenyamanan yang sulit dijelaskan, seperti oase ditengah gurun yang sunyi.
Maha membuka matanya dengan senyum cerah. Pagi ini terasa berbeda, seakan dunia menyambutnya dengan lebih hangat. Cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela besar apartemennya jatuh lembut di wajahnya, membangkitkan perasaan nyaman yang jarang ia rasakan di pagi hari.
“Selamat pagi, dunia… semoga hari ini menyenangkan.” Ucapnya pelan, seperti mantra yang selalu ia ulang setiap pagi.
Hidupnya memang tak selalu mulus, badai masalah kerap datang tanpa permisi. Tapi setidaknya kalimat itu memberinya harapan, bahwa hari ini lebih baik dari kemarin.
Tapi ada sesuatu yang membuat Maha berdebar lebih cepat pagi ini. Ia bukan tipe wanita yang mudah terpengaruh hal-hal kecil, namun pesan singkat dari Danu semalam masih tersisa di pikirannya. Mendadak, perutnya terasa geli , seakan ada sekumpulan kupu-kupu yang beterbangan tanpa kendali.
Sialan!
Maha terkekeh pelan, ia mengusap wajahnya seolah bisa mengusir kegugupan yang mendadak muncul. Namun, perasaan itu tetap ada—menyenangkan sekaligus membuatnya sedikit cemas. Ada sesuatu yang berbeda dalam rutinitasnya kali ini. Sesuatu yang mungkin saja bisa berkembang menjadi lebih sekedar kebiasaan sehari-hari. Sesuatu yang membuatnya, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, menantikan hari ini dengan hati yang ringan.
Tak lama setelah membuka mata, Maha segera bangkit dari ranjang dengan semangat yang lebih tinggi dari biasanya. Langkahnya ringan menuju kamar mandi, dan begitu air hangat dari shower menyentuh kulitnya, sensasi relaksasi perlahan menyebar dari ujung kepala hingga kaki.
Rasanya seperti beban yang menumpuk ikut luruh bersama tetesan air. Dalam keheningan itu, Maha menikmati setiap detik kesejukan yang menyapu tubuhnya, membiarkan sejenak pikirannya kosong dari segala kepenatan.
Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang lebih segar, siap menghadapi hari. Langkahnya menuju walk in closet yang luas, tempat koleksi pakaiannya tersusun rapi. Pemandangan itu selalu memberikan rasa nyaman—seolah-olah dunia bisa ditaklukkan dengan pilihan pakaian yang tepat. Namun seperti biasa, pagi ini ia masih harus menghadapi tantangan kecil yaitu, memilih outfit.
Dengan tangan terlipat di pinggang, Maha memandangi deretan kemeja dan blus yang tergantung rapi di depannya. Alisnya sedikit mengeryit, tanda kebingungan mulai melanda.
“Pakai yang mana, ya?” gumamnya sambil mengetukkan jari ke dagu, lalu tanpa sadar mulai menyenandungkan, “Cap, cip, cup, kembang kuncup!” sembari menunjuk pakaian secara acak.
Setelah beberapa menit mempertimbangkan, mata Maha akhirnya tertuju pada sebuah blus satin berwarna krem. Ia menariknya dari gantungan dengan senyum kecil. “Nah, cakep juga ini.” gumamnya. Seolah pakaian itu sudah ditakdirkan untuknya hari ini. Blus itu memiliki potongan elegan namun santai, sempurna untuk suasana kantor yang sibuk tanpa menghilangkan rapi dan berkelas.
Blus krem itu membalut tubuh ramping Maha dengan sempurna, menciptakan siluet anggun yang semakin menonjolkan pesonanya. Ia memadukan nya dengan rok pensil berwarna senada, yang menambah kesan profesionalitas tanpa menghilangkan sentuhan feminin. Tak butuh banyak aksesoris, cukup riasan tipis yang memberikan kesan segar dan natural di wajahnya. Maha menatap pantulan dirinya di cermin dan mengangguk kecil, merasa puas dengan tampilannya pagi ini.
Sebagai sentuhan terakhir, ia menyemprotkan parfum favoritnya—aroma floral yang lembut dan mewah langsung menyebar di udara, meninggalkan kesan anggun hingga ujung kaki. Senyum puas terukir di wajahnya, merasakan bahwa segalanya telah siap.
Ting! Tong!
Suara bel pintu yang tiba-tiba berbunyi membuat jantung Maha berdetak sedikit lebih cepat. Matanya berbinar, tahu betul siapa yang datang. Dengan cepat, ia meraih tas tangan berwarna coklat kesayangannya yang tergeletak di meja rias, lalu melangkah keluar kamar dengan hati sedikit berdebar.
“Iya, sebentar…” seru Maha sambil berlari kecil ke arah pintu. Heels tinggi yang dikenakannya sedikit menghambat langkahnya, tapi ia berusaha tetap gesit. Ada semacam antusiasme yang mendorongnya untuk segera membuka pintu.
“Iya, Mas, tung—”
Kata-katanya terputus begitu saja. Senyum yang tadi menghiasi wajahnya seketika memudar, tergantikan oleh keterkejutan yang sulit disembunyikan.
Sadewa.
Tubuh Maha terpaku, sementara jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena senang, melainkan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menyergap. Kehadiran Sadewa adalah sesuatu yang tidak ia harapkan, apalagi di pagi yang seharusnya berjalan menyenangkan.
Sementara Sadewa, menatapnya dengan ekspresi bingung. Namun, ada sedikit keangkuhan dimatanya. “Apa kamu pikir yang datang adalah kekasihmu?” Ucapnya. Nada suaranya terdengar tajam, seolah sengaja menusuk.
Maha menghela nafas pelan, berusaha mengendalikan diri. Ia menggeleng, tidak ingin memberikan reaksi yang berlebihan, meskipun dalam hatinya amarah sudah mulai membara. Tidak ada yang lebih merusak mood-nya selain melihat pria menyebalkan itu di hadapannya. Seolah-olah seluruh rencana dan semangat paginya hancur dalam sekejap.
Sadewa menyilangkan kedua tangannya kedalam saku celana. “Kamu tidak mempersilahkan saya masuk?” tanyanya, seakan kehadirannya itu adalah hal lumrah.
Maha menyilangkan tangannya di dada, menatap Sadewa dengan tatapan dingin. “Ada apa, Pak Sadewa, datang kesini?” tanyanya, suaranya terdengar agak dingin. Ia tahu sikapnya ini tidak sopan, tapi ia merasa tidak perlu bersikap formal saat ini, terlebih lagi bukan di kantor.
Sadewa tampak tak peduli atas sikap Maha. Dengan santainya, ia melangkah masuk ke dalam unit Maha tanpa menunggu izin lebih dahulu. “Saya ini tamu, loh, Maha dan saya juga bos kamu. Kenapa tidak sopan begitu sama saya?” balasnya, seolah tidak terpengaruh dengan penolakan yang terlihat jelas dari Maha.
Maha mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, ia berusaha menahan diri. Jantungnya berdegup lebih cepat antara kesal dan frustasi. Orang sinting! Rutuknya dalam hati. Ingin rasanya Maha mengusir pria itu sekarang juga, tapi ia tahu betul bahwa beradu mulut dengan Sadewa hanya akan membuatnya terlihat kalah.
Sementara itu, Sadewa sudah berjalan santai masuk kedalam, melepas satu kancing jasnya dan matanya mulai menjelajahi setiap sudut unit Maha. Mata elangnya menangkap setiap detail desain interior apartemen Maha—minimalis, elegan, dan cukup mewah. Perabotan berkualitas tinggi yang tertata rapi dengan pemilihan warna lembut yang sangat sesuai dengan karakter Maha. Ternyata selera Maha tinggi juga, pikirnya.
Pada sudut lainnya, Maha sibuk di dapur, ia tengah meracik sesuatu untuk menjamu tamunya yang entah datang dengan tujuan apa. Kepalanya dipenuhi pertanyaan tentang kedatangan Sadewa. Namun, ia memilih untuk tidak memperlihatkan keraguan nya.
Setelah merasa puas dengan apa yang dilihatnya, Sadewa pun kembali melangkah dengan santai menuju sofa empuk di ruang tamu. Ia duduk dengan rileks, menyilangkan kaki dan menyandarkan punggungnya. Sementara matanya, tetap tertuju pada Maha yang sedang berdiri membelakanginya.
Sempurna, gumamnya dalam hati. Meskipun Sadewa tidak mengucapkannya keras-keras. Penampilan Maha memang tidak bisa dipungkiri, begitu anggun dan sempurna di matanya. Semua gerak-gerik Maha terkesan begitu teratur, dan meskipun ia tidak pernah memuji Maha secara langsung. Sadewa tidak bisa mengelak bahwa ia merasa kagum pada gadis itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!