Setiap orang memiliki impian untuk bisa memiliki kehidupan yang sempurna, baik itu dalam urusan karir, pendidikan, maupun percintaan.
Setiap orang juga memiliki jalan ceritanya masing-masing, ada yang memang terlahir dengan segala bentuk kebahagiaan, ada pula yang harus berjuang untuk sebuah kebahagiaan itu sendiri.
Seperti yang di alami oleh Dion, terlahir dengan segala bentuk kebahagiaan. Namun di tengah perjalanan hidupnya yang hampir cemerlang, ia harus menelan pil pahit akan kehidupan rumah tangganya.
Impiannya untuk sukses dengan karir juga statusnya sebagai suami harus ia jalani dengan susah payah, ketika sebuah takdir telah Tuhan tuliskan pada garis tangannya.
Ia harus mampu menanggung segala beban sendirian, tak ada yang bisa ia lakukan selain menjalaninya.
Berat rasanya ketika kenyataan, tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan.
Namun tak ada pilihan, semua ia lakukan walau harus ada yang di korbankan. Terutama kebahagiaannya sendiri.
***
Aldion Malik Addausy seorang pria berusia dua puluh delapan tahun, berprofesi sebagai manager sekaligus pemilik cafe ternama di kota Bandung. Dion, orang-orang biasa memanggilnya begitu. Perawakannya yang tinggi juga memiliki postur tubuh profosional membuat siapapun terpesona, terutama wanita.
Dion memang memiliki daya tarik tersendiri dimata para wanita, ia kerap kali mendapat surat-surat kecil yang sengaja pengunjung wanita titipkan pada pelayan ketika hendak membayar tagihan makanan.
Impian para wanita lajang untuk bisa menjadi pendamping Dion pupus sudah, karena tepat dua tahun lalu ia memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya.
Ya, kini Dion sudah berstatus suami orang. Namun tak sedikit wanita yang tak peduli dengan statusnya itu, banyak para pengunjung cafe yang datang hanya agar bisa memandang ketampanan wajah Dion dari jarak dekat.
Jabatannya sebagai pemilik cafe tak membuatnya besar kepala, seringkali ia juga menyapa para pengunjung bahkan melayani pesanan mereka. Sungguh pria idaman setiap wanita.
Senyumnya mengembang ketika sosok seorang wanita melambaikan tangan padanya, sorot matanya tampak penuh cinta kasih.
"Sayang, kenapa kamu kesini?" Tanya Dion.
"Aku bosan dirumah, jadi aku memutuskan untuk menemuimu, Mas." Melati tersenyum indah.
Lesung pipi tampak menambah aura kecantikan padanya, sungguh pasangan yang serasi.
Melati Aurora, wanita beruntung yang dapat meluluhkan hati pria dingin seperti Dion.
Usianya tiga tahun lebih muda dari Dion, kaki jenjang juga lekuk tubuh bak biola membuat iri para wanita yang mengidamkan tubuh ideal.
Keduanya tampak begitu harmonis, sikap lembut tak canggung Dion perlihatkan didepan orang banyak.
"Ramai sekali hari ini," ucap Melati sembari mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru cafe
"Iya, mungkin karena menjelang malam minggu." Dion menjawab, ia juga melakukan hal yang sama dengan istrinya. Memperhatikan setiap aktifitas yang ada di cafe.
"Kamu istirahat di ruangan saja, Mas harus mengecek sesuatu dulu."
Melati mengangguk patuh, ia mengikuti langkah suaminya menuju sebuah ruangan di sudut cafe.
Dion membukakan pintu ruangannya, dan melati masuk kedalamnya.
"Mau Mas bawakan makanan atau minuman?" Tanya Dion.
"Boleh, aku mau jus alpukat saja."
"Pesanan segera datang," ucap Dion sembari mengelus lembut puncak kepala istrinya.
Melati tersenyum dengan manisnya, ia menatap punggung suaminya yang kini telah hilang dari pandangannya.
Melati menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa, ia juga memainkan ponselnya untuk sekedar menghilangkan kejenuhan.
Raut wajah Melati seketika berubah, hidungnya mengendus menghirup aroma masakan yang begitu kuat.
Tiba-tiba saja entah kenapa ia merasa sangat mual, Melati sontak berlari menuju kamar mandi.
Perutnya seakan meminta untuk memuntahkan isi didalamnya.
Dion kembali dengan segelas jus ditangannya, ia mengerutkan keningnya ketika tak melihat Melati ditempat dimana ia meninggalkannya.
Matanya beralih pada sudut ruangan, ia mendengar suara didalam sana.
"Sayang, kamu di dalam?" Tanya Dion sembari mengetuk pintu kamar mandi.
Tak ada jawaban, ia hanya mendengar Melati yang tengah muntah-muntah.
"Sayang, kamu kenapa? Tolong buka pintunya!" Teriak Dion.
Tak lama, pintu pun terbuka. Mata Dion kini menatap cemas pada istrinya, Melati tampak begitu pucat.
"Sayang, kamu kenapa? Apa kamu sakit?" Tanya Dion.
"Entahlah, aku tiba-tiba saja merasa mual." Melati menjawab dengan suara parau.
"Mual? Kenapa bisa?" Tanya Dion.
"Aku juga tidak tahu. Tadi aku mencium aroma masakan yang kuat, dan tiba-tiba saja aku mual."
Dion memapah Melati menuju sofa, ia mendudukkan istrinya disana.
"Apa perlu kita pergi ke dokter?" Tanya Dion.
Melati menggeleng, "tidak perlu," ucapnya.
Dion tampak begitu khawatir pada istrinya, pertama kali ia melihat Melati seperti ini.
"Baiklah kalau begitu. Oh iya, minumlah. Mudah-mudahan bisa meredakan mual."
Dion menyodorkan gelas berisi jus alpukat pada istrinya.
Melati mengangguk, ia meminum jus itu dengan cepat.
"Aku kenapa? Apa jangan-jangan..."
Melati bertanya-tanya dalam batinnya, tersimpan harapan besar di lubuk hatinya.
Sungguh ia menantikan kabar bahagia itu.
"Kenapa diam?" tanya Dion.
Melati menggeleng cepat, ia tak ingin suaminya tahu dulu tentang apa yang ia pikirkan.
"Tidak apa-apa," jawabnya.
"Gimana? Masih mual?" tanya Dion dengan khawatir.
"Sedikit, Mas. Oh iya, kalau Mas masih ada kerjaan tidak apa-apa, aku bisa sendiri, kok." Melati menyarankan.
"Mas khawatir, Mas disini saja." Dion menolak.
"Mas, cafe lagi rame. Aku sudah merasa baikan, kok. Mas kerja lagi aja," pinta Melati.
Dion memang tahu kondisi cafenya yang ramai, ia juga tak tega membiarkan karyawannya sewalahan.
"Ya sudah, Mas kerja lagi. Kalau ada apa-apa segera beritahu Mas, yah."
Melati mengangguk patuh, "iya, Mas. Sana kerja lagi," suruhnya.
Dion tersenyum, sebelum pergi meninggalkan ruangan ia lebih dulu meninggalkan kecupan di kening istrinya.
"Baik-baik disini, yah."
Melati tersenyum, ia merasa sangat beruntung memiliki suami yang sangat menyayanginya.
"Semoga aku bisa secepatnya memberimu keturunan, Mas. Sudah dua tahun kita menikah, tapi aku belum juga hamil."
Sudah seperti menjadi keharusan, setiap yang berumah tangga untuk memiliki keturunan. Hal itu juga banyak menjadi permasalahan diantara pasangan muda yang baru menjalani biduk rumah tangga, mereka akan merasa resah jika tak kunjung diberi keturunan.
Terlebih, ketika cemoohan datang dari setiap sudut.
Tak sedikit pula yang melakukan berbagai usaha untuk mendapatkan keturunan, sekalipun harus menggelontorkan biaya tak sedikit. Bahkan upaya apapun mereka lakukan, agar dapat memiliki keturunan yang kelak akan melanjutkan kehidupan mereka.
Namun, semua kembali pada sang maha pemilik kehidupan. Kita hanya tokoh utama di setiap kehidupan masing-masing, dan Tuhanlah yang telah menyiapkan segalanya untuk kita jalani.
Tuhan akan menilai, sekuat apa kita menghadapi setiap ujian yang diberikan.
Dan siapa-siapa saja yang bersabar, kelak ia akan menuai hasil yang setara dengan usahanya.
Bandung, 04 Juni 2020
19:00 WIB.
Di sebuah rumah bernuansa putih, tempat dimana Dion dan Melati tinggal.
Dion memang sengaja mendekor rumahnya sesuai keinginan sang istri, ia akan melakukan apapun asal istrinya itu merasa nyaman.
Disinilah keharmonisan Dion dan Melati tercipta, tak pernah terjadi perselisihan selama pernikahan mereka.
Malam ini suasana terasa begitu dingin, diluar hujan turun dengan derasnya.
Melati tengah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, ia merasakan lelah yang amat pada tubuhnya.
Melati juga merasakan kepalanya seperti berputar-putar, membuatnya tak mampu untuk sekedar berdiri dan berjalan.
Dion yang baru saja selesai membersihkan diri, segera menghampiri istrinya yang tertidur.
"Sayang, bangun. Kita makan malam dulu," ajak Dion.
Melati menggeliat, ia membalikkan tubuhnya mengahadap Dion.
"Hemm, aku makan disini saja. Aku malas turun ke dapur," jawab Melati.
"Kok malas? Kenapa, apa kamu masih merasa mual?" Tanya Dion.
Melati mengangguk, "kepalaku juga terasa pusing, Mas."
Dion meraba kening istrinya, tangannya kini beralih menuju leher istrinya.
"Tapi kamu tidak demam," ucap Dion.
"Ya sudah, Mas bawakan makananmu kesini. Besok pagi, kita ke dokter. Mas tidak mau terjadi apa-apa padamu," imbuh Dion.
"Hemm, baiklah. Terima kasih," ucap Melati.
"Iya. Mas ke dapur dulu," ujar Dion dan di angguki oleh Melati.
***
Dion menuruni anak tangga, hendak menuju dapur.
Di rumah mereka tinggal bertiga, Dion, Melati, dan satu orang asisten rumah tangga.
"Bi, masak apa hari ini?" Tanya Dion pada Bi Ai.
Bi Ai menoleh, dan mendekat pada majikannya.
"Bibi masak ayam goreng, capcay, sama sambal terasi. Aden mau makan sekarang?" Tanya Bi Ai.
"Iya, Bi."
"Iya sudah, Bibi siapkan dulu," ucap Bi Ai.
"Tidak usah, Bi. Biar aku saja," ucapan Dion menghentikan Bi Ai yang hendak menyiapkan makanan di atas meja.
Dion mengambil sebuah piring, ia mengisi nasi juga lauk pauk dengan porsi cukup banyak diatasnya.
"Den, tumben makannya banyak?" Tanya Bi Ai terheran melihat majikannya yang mengambil porsi dua orang dalam satu piring.
"Makanannya aku bawa ke kamar, Bi. Melati sedang malas turun katanya," ujar Dion.
"Loh, memangnya Non Melati kenapa? Sakit, Den?" Tanya Bi Ai lagi.
"Entahlah, Bi. Tadi di resto dia muntah-muntah," sahut Dion.
"Muntah? Kok bisa, Den?" Bi Ai masih penasaran, disebabkan memang Melati sangat jarang sekali sakit.
"Aku juga tidak tahu, Bi. Katanya dia mencium bau masakan yang bumbunya kuat," jawab Dion.
Ia tak segan berbincang dengan asisten rumah tangganya. Bi Ai memang sudah menjadi kepercayaan keluarga sejak Dion masih duduk di bangku sekolah pertama.
"Apa jangan-jangan Non Melati hamil?" Tebak Bi Ai.
Dion terdiam sejenak, ia mencoba mengingat salah satu ciri-ciri awal kehamilan.
"Masa sih, Bi?" Tanya Dion.
"Kok masa sih, ya ucap aamiin dong Den."
"Eh iya aamiin, Bi."
"Sudah di bawa ke dokter?" Tanya Bi Ai.
"Belum, Bi. Besok pagi rencananya baru mau ke dokter," jawab Dion.
"Bawa langsung ke dokter kandungan, Den. Siapa tahu beneran hamil." Bi Ai menyarankan.
Dion mengangguk, "iya deh, besok aku bawa Melati ke dokter kandungan," ucapnya.
"Semoga Non Melati beneran hamil yah, Den." Bi Ai mendoakan.
"Aamiin, doakan yah Bi."
"Pasti, Den."
"Ya sudah, aku ke kamar dulu. Melati pasti sudah menunggu," ucap Dion.
"Iya, Den."
Dion berlalu meninggalkan dapur, dan berjalan dengan semangatnya menuju kamar.
***
Sesampainya disana, Dion dengan semangat membangunkan istrinya.
"Sayang, ini makanannya."
Melati menggeliat dan menatap menu yang ada didalam piring, seketika raut wajahnya berubah seakan tak berselera.
"Aku ingin makanan lain," ucap Melati.
Dion mengerutkan keningnya, "makanan apa, sayang?" Tanyanya.
Sejenak Melati memikirkan makanan yang sedang ia inginkan, dan pilihannya jatuh pada makanan yang sebelumnya tak pernah ia cicipi sama sekali.
"Aku ingin karedok," ucap Melati.
"Karedok? Kamu yakin mau makan itu?" Tanya Dion.
Melati mengangguk, wajah manjanya membuat Dion tak kuasa untuk menolak.
"Jam segini memangnya masih ada yang jual karedok?" Tanya Dion.
"Aku tidak tahu," jawab Melati dengan polosnya.
"Kalau tidak mau carikan karedok, aku tidak jadi makan." Melati merajuk.
Dion beranjak dari tempatnya, dengan cepat ia berlalu meninggalkan Melati dan berniat untuk membeli karedok.
Melati menatap punggung suaminya, "kenapa aku tiba-tiba ingin makan karedok? Aku kan tidak terlalu suka sayuran mentah," ucapnya dalam hati.
Melati kembali membaringkan tubuhnya, menunggu suaminya pulang membawa pesanannya.
Dion terlihat kebingungan, ia hendak bertanya pada Bi Ai tempat yang menjual karedok.
"Bi, jam segini apa masih ada yang jual karedok?" Tanya Dion.
Bi Ai sejenak berpikir, "rasanya tidak ada, Den. Kenapa memangnya?" Tanya Bi Ai.
"Melati ingin karedok, kalau aku tidak membelikannya dia tidak mau makan," ujar Dion.
"Walah, Non Melati ngidam?" Tanya Dion.
Dion terdiam, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Entahlah, Bi. Jadi bagaimana?" Tanya Dion.
"Bibi tidak yakin kalau jam segini masih ada yang jual karedok, tapi bagaimana kalau..."
Ucapan Bi Ai terhenti sejenak, membuat Dion penasaran dibuatnya.
"Kalau apa, Bi?" Tanya Dion.
Bi Ai tersenyum penuh kemenangan, membuat sang majikan semakin kebingungan dibuatnya.
"Kalau Bibi saja yang membuatnya, kebetulan stok sayuran masih ada di lemari pendingin," ujar Bi Ai.
Dion berpikir sejenak, "Bahan-bahannya lengkap?" Tanya Dion.
"Sebentar Bibi lihat dulu."
Bi Ai berjalan menuju lemari pendingin, ia memeriksa sayuran yang tersisa didalamnya.
"Kacang panjang ada, mentimun ada, touge ada. Hemm, sepertinya lengkap."
"Bagaimana, Bi?" Tanya Dion.
"Ada, Den. Lengkap semua," jawab Bi Ai sembari menutup pintu lemari pendingin.
"Baguslah. Emm, bumbunya?" Tanya Dion kembali.
"Gampang, Den. Ada bumbu kacang siap saji, cabai rawit juga masih ada." Bi Ai tersenyum senang.
"Baiklah kalau begitu, buatkan sekarang Bi."
Bi Ai mengangguk dan segera mengambil sayuran yang di perlukan, lalu ia mencucinya terlebih dulu.
"Aku bantu apa?" Tanya Dion.
"Bantu doa, Den." Bi Ai terkekeh.
Dion pun ikut tertawa, dengan sabar Dion menunggu asisten rumah tangganya itu beraksi.
Hampir lima belas menit berlalu, dan karedok pun telah selesai dibuat.
"Den, coba dulu. Kurang apa?" Pinta Bi Ai.
Dion meraih sendok kecil, dan memasukan satu suapan karedok kedalam mulutnya.
Lidah Dion kini tengah bergoyang, merasakan sensasi rasa yang dimunculkan.
"Enak, Bi. Pedas," ucap Dion.
"Mudah-mudahan Non Melati suka," ujar Bi Ai sembari memberikan sepiring berisi karedok pada Dion.
"Iya semoga, Bi. Terima kasih," ucap Dion.
"Iya, sama-sama, Den."
Dion pun berlalu meninggalkan dapur, dan bergegas kembali ke kamar.
Sesampainya disana, ia berjalan mendekati istrinya yang tengah terbaring diatas tempat tidur.
"Sayang, bangun. Karedoknya makan dulu," pinta Dion sembari menepuk pelan pipi istrinya.
Melati menggeliat, namun ia masih terlelap dalam tidurnya.
Dion mencoba kembali membangunkan Melati, namun usahanya tetap saja gagal.
Ia menaruh piring yang dibawanya keatas nakas, dan terduduk ditepi tempat tidur dengan raut wajah melemas.
"Tadi minta karedok, sudah dibuatkan malah tidur."
Dion menggerutu dalam hatinya.
Ia menatap wajah polos istrinya, rasa kecewanya sirna ketika teringat ucapan Bi Ai tentang ciri-ciri kehamilan.
"Semoga segera hadir malaikat kecil di tengah-tengah kita, sayang."
Dion mengecup pelan kening Melati dan menyelimuti tubuh mungil istrinya itu.
Pagi-pagi sekali Dion telah rapih dengan pakaian casualnya, ia tengah bersiap-siap untuk mengantar istrinya ke dokter kandungan.
"Sayang, mandinya masih lama?" Tanya Dion pada Melati yang sedang ada di dalam kamar mandi.
"Sebentar lagi," sahut Melati di balik pintu.
Dion menghela nafasnya, "jangan lama-lama," pintanya.
Dion menunggu dengan sabar, ia mempersiapkan apa saja yang harus di bawanya.
"Uang cash ada, stok di dapur cafe juga sepertinya cukup." Dion terdiam sejenak, lalu ia hendak menghubungi karyawannya untuk memberitahu bahwa hari ini ia tidak akan datang ke cafe.
Panggilan tersambung dengan cepat.
"Halo selamat pagi, Pak Dion."
Seseorang di balik telepon menyapa.
"Pagi, Ra. Hari ini saya tidak akan datang ke cafe, tolong kamu atur sebisamu, ya!" Pinta Dion pada Ara.
"Oh siap, Pak. Cafe dijamin aman," jawab Ara dengan percaya diri.
Ara adalah karyawan pertama yang menemani Dion membangun resto, ia sudah tak segan lagi pada Ara.
Begitupun Ara, ia selalu di perlakukan seperti teman dekat oleh Dion. Namun Ara juga masih bisa bersikap profesional tentang pekerjaan.
"Beneran, yah. Awas kalau terjadi hal yang tidak-tidak!" Seru Dion pada Ara.
"Baik Pak Bos. Laksanakan," jawab Ara.
"Ya sudah, saya tutup, yah."
Panggilan telepon pun terputus.
***
Melati keluar dari kamar mandi, ia segera bersiap-siap. Melihat Dion yang mulai terlihat kesal menunggu, membuatnya bersiap secepat mungkin.
"Aku sudah selesai," ucap Melati.
Dion menganggkat wajahnya yang sedari tadi menunduk menatap layar ponsel, ia segera berdiri dan meraih kunci mobil yang tergeletak di atas nakas.
Kini mereka tengah berjalan menuruni anak tangga, Dion tampak antusias hari ini.
"Bi, kita pergi dulu."
Dion menyempatkan untuk berpamitan pada Bi Ai.
"Iya, Den. Semoga lancar," ucap Bi Ai.
"Aamiin," jawab Dion dan Melati bersamaan.
Dion membukakan pintu mobil untuk istrinya, setelah itu ia segera menyusul berlari masuk kedalam mobil.
Dion mulai menghidupkan mesin mobilnya, dan mobil pun mulai melaju meninggalkan hunian mewah mereka.
Di tengah perjalanan, Dion fokus mengendari mobilnya. Sedangkan Melati, ia tampak terdiam merasakan nyeri di bagian bawah perutnya.
Sesekali Melati meringis, tangannya juga mengusap bagian yang dirasa nyeri.
"Kamu kenapa, sayang?" Tanya Dion sembari memperhatikan istrinya yang tampak kesakitan.
"Bagian ini, sakit sekali." Melati berbicara dengan nada yang terdengar menahan nyeri.
"Ah," ringisnya.
Dion panik, ia memberhentikan mobilnya terlebih dulu.
"Yang mana?" Tanyanya.
"Yang ini," tangan Melati menunjuk bagian yang dimaksud.
"Sejak kapan?" Tanya Dion.
"Baru saja, Mas. Ah, sakit." Melati kembali meringis.
Dion semakin panik, ia kembali menjalankan mobilnya. Kecepatan laju mobil ditambahnya, ia ingin segera memeriksakan istrinya.
"Kamu tahan, yah. Sebentar lagi sampai," pinta Dion dengan gemetar.
Melati hanya mengangguk, matanya terpejam menahan rasa nyeri yang semakin menjadi.
***
Sesampainya di rumah sakit, Dion segera membantu istrinya turun dari mobil.
Dion juga memanggil seorang perawat dan meminta sebuah kursi roda untuk Melati.
Dion yang di bantu perawat mendudukkan Melati pada kursi roda, dan membawanya ke dalam.
"Tunggu disini sebentar, Pak, Bu. Saya akan memanggilkan dokternya terlebih dulu," pinta perawat itu.
Dion mengangguk, dan melihat perawat itu berlalu meninggalkannya dengan Melati. Dion berjongjok di hadapan istrinya, sesekali ia juga menyibakkan rambut yang menghalangi wajah istrinya.
"Masih sakit, sayang?" Tanya Dion dengan khawatir.
Melati mengangguk lemah, tangannya semakin kuat menekan bagian bawah perutnya.
Tak lama seorang wanita paruh baya berjalan kearah mereka, ia tak lain adalah dokter kandungan yang sudah memiliki janji dengan Dion sebelumnya.
"Mari masuk, Pak, Bu." Dokter itu membukakan pintu dan masuk ke dalam ruangan di ikuti oleh Dion juga Melati.
Dion menempatkan Melati untuk berbaring, sedangkan dokter segera memeriksa keadaan Melati.
Dengan telaten dokter itu memeriksa Melati, ia juga melakukan tindakan usg untuk bisa melihat kedalam rahim.
Dokter itu terlihat tersenyum ketika melihat sebuah kantung yang ada di dalam rahim Melati, namun seketika raut wajahnya berubah tak terbaca.
Pemeriksaan selesai, Dion membantu Melati untuk bangun.
Entah mengapa dokter itu memanggil seorang perawat untuk masuk kedalam ruangannya, membuat Dion merasa tidak tenang akan hal itu.
Dokter kembali menatap Dion juga Melati, kali ini beliau memasang wajah ramah.
"Selamat, Pak, Bu, kalian akan segera menjadi orangtua."
Dion dan Melati terlihat bahagia, dengan cepat Dion berhambur memeluk istrinya.
"Usia kandungannya masih sangat muda, baru terlihat kantungnya saja. Di perkirakan usia kandungan Ibu itu empat minggu satu hari," ujar Dokter.
"Jaga selalu kesehatan, jangan melakukan banyak kegiatan yang bisa membuat Ibu cepat lelah." Dokter menambahkan.
Di tengah perbincangan seorang perawat mengetuk pintu ruangan, dan segera mengampiri dokter.
"Ada yang bisa saya bantu, Dok?" Tanyanya.
"Sus, tolong ajak Ibu Melati berkeliling taman rumah sakit. Ibu Melati butuh menghirup udara segar agar pikirannya tenang," pinta dokter dan di angguki oleh perawat itu.
Melati dan Dion saling bertukar pandang, namun mereka sama sekali tak membantah atau mempertanyakan permintaan dokter itu.
Setelah Melati dibawa keluar oleh perawat, kembali dokter itu melanjutkan perbincangannya dengan Dion.
"Dok, apa terjadi hal serius pada istri saya?" Tanya Dion. Ia sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"Begini, Pak. Ada benjolan di rahim istri Bapak, dan seiring membesarnya janin bertambah besar pula benjolannya. Itu bisa berpengaruh pada kandungan istri Bapak," ujar dokter itu dengan wajah serius.
Dion terhentak, kabar bahagia beserta kabar buruk didapatkannya secara bersamaan.
"Benjolan apa itu, Dok? Apa bisa membahayakan calon anak kami?" Tanya Dion dengan tatapan nanar.
Dokter itu menghela nafasnya dalam, "bukan hanya membahayakan janin yang istri Bapak kandung, tetapi juga bisa membahayakan nyawa istri Bapak sendiri."
Dion terkejut, tulang-tulangnya seakan melemas. Dion tak bersuara, matanya mulai memerah.
"Apa yang harus saya lakukan, Dok?" Tanya Dion.
Dokter itu mengatupkan kedua bibirnya, ia tampak berpikir untuk menyampaikan tindakan yang mungkin bisa menyelamatkan nyawa Melati.
"Satu-satunya cara agar istri Bapak selamat, yaitu..."
"Apa itu, Dok?" Dion menyela ucapan sang dokter.
"Mengugurkan janin," ucap Dokter dengan berat hati.
Dion terkejut, ia menutup wajahnya menahan tangis.
Ia sangat terpukul, bagaimana bisa kebahagiaan yang baru saja ia dapatkan harus kembali di renggut oleh sebuah penyakit yang entah sejak kapan bersarang dirahim istrinya.
"Apa tidak ada cara lain, Dok?" Tanya Dion seakan berharap ada hal lain yang dapat menyelamatkan istri juga calon anaknya.
"Saya akan berikan obat pereda nyeri juga penguat janin, jika berhasil kemungkinan bayi bisa lahir dengan selamat, tetapi jika seiring membesarnya ukuran janin dan sakit istri Bapak semakin memburuk tidak ada jalan lain kecuali menggugurkannya," ujar dokter itu.
"A-apa benjolan itu adalah kanker, Dok?" Tanya Dion dengan miris.
"Ada kemungkin iya, Pak. Kami akan memeriksa istri Bapak setiap bulannya, dan mengecek perkembangan benjolan itu juga." Dokter memaparkan.
Dion mengangguk pasrah, ia menyetujui segala yang disarankan oleh dokter itu.
Kini Dion keluar dari ruangan, dan berjalan tertatih mencari istrinya.
Sampailah Dion di sebuah taman, ia menatap sendu Melati yang tengah duduk manis di kursi taman.
Dion berjalan mendekat, ia segera bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
"Sayang," panggil Dion pada Melati.
Melati menoleh, raut wajahnya begitu bahagia.
"Mas, kenapa lama sekali? Apa yang kalian bicarakan?" Tanya Melati.
Dion terdiam, ia tak sanggup jika suatu saat Melati harus menerima kenyataan pahit ini.
"Mas, kenapa bengong?" Tanya Melati lagi.
"Emm, tidak bukan apa-apa. Kita pulang sekarang," ajak Dion.
Tanpa rasa curiga, Melati mengangguk menuruti permintaan suaminya.
Mereka kini meninggalkan rumah sakit, Melati dengan perasaan bahagianya sedangkan Dion dengan pikiran juga batinnya yang berkecamuk.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!