Seorang wanita tengah berjalan menyusuri jalanan sepi malam itu. Gelapnya malam membuatnya setengah merinding, bukan karena takut ada makhluk halus. Ia lebih takut pada orang jahat yang kerap berkeliaran di atas jam 11 malam.
Ia mencoba terus menghubungi ayahnya agar lebih cepat menjemputnya. Namun tidak ada jawaban dari ayahnya.
Benar saja, dari kejauhan terdengar suara motor yang meraung-raung dipermainkan si pengemudi.
Wanita itu merasa semakin takut dan mencoba mempercepat langkahnya. Ia tidak berani menoleh ke arah motor yang semakin mendekatinya. Ia merasa takut dengan apa yang mungkin terjadi. Ia terus mencoba menghubungi ayahnya, tapi ponselnya tetap tidak dijawab.
Suara motor semakin keras, memecah keheningan malam. Wanita itu merasa seperti diintai. Ia mencoba mencari tempat yang aman untuk bersembunyi, tapi tidak ada tempat yang terlihat aman. Di sekitarnya hanya persawahan yang terbentang luas dan sangat jauh dari permukiman penduduk.
Tiba-tiba, motor itu berhenti di sampingnya dan salah satu penumpangnya berbicara dengan nada yang tidak menyenangkan.
"Hallo cantik. Wih boleh juga nih cewek. Udah cantik seksi lagi. Boleh kita temani?" satu diantara mereka mulai menggoda.
"Tidak perlu!" wanita itu mempercepat langkahnya.
"Deeeuh galak amat. Jangan galak-galak Mbak. Aku jadi penasaran," satu lagi mulai menunjukkan itikad yang tidak menyenangkan.
"Iish apaan sih. Sana pergi!" ujarnya ketus.
Motor yang ditumpangi 3 preman, menghadang jalan wanita itu, sehingga langkah wanita itu terhenti.
"Kalian mau apa?" tanya wanita itu lirih.
Dia merasa debaran jantungnya berdetak sangat cepat manakala ketiga preman itu mendekat ke arahnya.
Salah satu preman menyeringai sementara dua orang lainnya tertawa lepas, seolah hendak menerkam mangsanya yang begitu menggoda.
Wanita itu menyesali keputusannya untuk kerja lembur, sehingga ia harus pulang selarut ini.
Wanita yang memakai kemeja putih yang dibalut dengan jaket rajut warna ungu dan rok pendek selutut warna hitam itu bernama Naya Aurelia (26th), seraya bekerja di kantor notaris kota kelahirannya.
Jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya. Dari kantor ia naik angkot selama 20 menit, kemudian turun di perempatan jalan yang memang jarang ada ojek kalau malam. Setiap pulang kerja ia selalu dijemput ayahnya.
Malam ini sangat disayangkan ayahnya telat menjemput, padahal sebelumnya ayahnya selalu siap untuk menjemputnya.
Ketiga preman tersebut berjalan mengitari Naya sambil memperhatikan lekuk tubuhnya.
Naya merasa risih. Jiwa Naya merasa terancam manakala 3 orang preman sudah menghalangi jalannya. Ia hanya berharap ada orang yang akan menyelamatkannya.
"Ya Allah bantu aku menghadapi preman-preman ini. Datangkan orang lain yang baik hati untuk menolongku saat ini..." harapnya dalam hati.
"Jangan mendekat! Atau aku akan berteriak..." Naya memundurkan langkahnya begitu para preman hendak mendekatinya.
"Teriak? Ha...ha...ha..." suara itu terdengar mengerikan.
"Berteriaklah nona manis! Tidak akan ada orang yang mau melewati tempat sepi seperti ini!" salah satu preman terus mendekat seperti serigala yang kelaparan.
"Toloooong....toloooong. Jangan mendekat! Aku mohon jangan lakukan apa pun padaku!" Naya begitu takut.
Ia memeluk tubuhnya manakala seorang preman berusaha menyentuhnya. Ia memejamkan matanya sambil berharap ada orang yang datang menolongnya. Walaupun kemungkinannya sangat tipis sekali, mengingat tempat yang ia pijaki sangat jarang dilewati penduduk larut malam begini. Namun..
Bug
Bug
Bug
Seorang lelaki datang menyerang 3 preman sekaligus. Dia sepertinya sudah piawai dalam bela diri. Dia adalah Ammar (27 th), lelaki tampan yang sengaja lewat untuk mencari warung karena gas yang ada di kontrakannya sudah habis.
"Ini balasan buat kalian yang sudah mengganggu istriku!" Ammar menendang tubuh salah satu preman hingga tumbang.
Naya bergeming, matanya membulat melihat seorang lelaki tampan mengaku sebagai suaminya. Ia sama sekali tidak mengenal lelaki itu.
"Kurang asem, kamu ngaku-ngaku sebagai suaminya, hah!" satu orang preman maju, dia memperhatikan interaksi keduanya.
"Ya aku suaminya. Aku telat menjemputnya tadii. Sayang, kamu tidak apa-apa? Maaf aku telat menjemputmu," lelaki itu terlihat sempurna membohongi preman tersebut. Ia menghampiri Naya yang terlihat gugup dan takut.
"Kamu jangan takut, ini hanya strategi agar kamu bisa lolos dari preman tersebut," bisik Ammar pelan.
"Namamu siapa?"
"Na..ya," jawab Naya lirih.
"Aku Ammar. Bersikaplah seperti seorang istri pada suaminya," titahnya.
Naya masih gugup, ia masih tidak menyangka ada orang yang menolong tapi mengaku sebagai suaminya.
"Ayo kalian pergi. Ngapain kalian masih di sini, pergi!"
Ammar mengusir preman tersebut. Ia berharap aktingnya bisa membuahkan hasil.
Preman tersebut bukannya pergi malah terkekeh.
"Memangnya aku percaya kalau kalian pasangan suami istri? Tidak, aku tidak percaya," ujar preman tersebut sanksi.
"Kalian tidak percaya?"
"Ya jelas lah. Kalau kalian benar suami istri buktikan sesuatu pada kita, iya engga bro!" Preman tersebut meminta persetujuan.
"Apa yang ingin aku buktikan, hah!"
"Cium dia!"
Naya tersentak kaget. Ia semakin merasa tidak nyaman dan gugup. Ia tidak menyangka bahwa situasi ini akan berkembang menjadi seperti ini. Ia memandang Ammar dengan tidak percaya, apakah ia akan melakukan apa yang preman itu minta?
Ammar memandang Naya dengan mata yang tenang, lalu ia menghampiri Naya dan memeluknya. Naya merasa seperti terjebak dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia hanya bisa berdiri diam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ammar lalu mencium kening Naya dengan lembut, membuat Naya merasa semakin tidak nyaman.
"Cium bibirnya!"
"Ya Allah, tidak ada cara lainkah selain ini?" protes Naya dalam hati.
"Ayo cium bibirnya!" desak preman itu lagi.
Naya kembali tersentak, hanya bisa bergeming. Tubuhnya seolah membeku ketika bibir laki-laki asing itu menempel di bibirnya. Wajahnya merona karena malu, marah, kecewa menjadi satu. Ia mengepalkan kedua tangannya.
Pertolongan macam apa ini? Lelaki asing yang menjadi penolongnya justru merampas dengan paksa kening dan bibirnya yang masih suci. Bahkan kekasihnya pun tidak pernah meminta sesuatu yang barusan dilakukan lelaki asing tersebut.
Preman-preman itu terkekeh dan mengacungkan jempol, "Wah, keren! Kalian benar-benar pasangan suami istri!"
"Pergilah sebelum aku bertindak lagi! Dan jangan pernah mengganggu istriku lagi, paham!"
"Ayo Bro, sepertinya kita salah sasaran!" satu diantara preman tersebut mengajak yang lainnya pergi.
Akhirnya preman tersebut pergi. Deru motor tersebut sangat memekakkan telinganya meninggalkan Naya dan Ammar.
"Maaf, anggap kejadian tadi tidak pernah ada. Sekarang aku antar kamu pulang. Lain kali tutup tubuhmu dengan hijab. Agar preman tadi tidak berani menggodamu!"
Naya menatap tajam laki-laki asing yang ada di depan matanya.
"Marahnya nanti aja. Aku antar kamu sampe rumah. Kalau kamu merasa rugi akan kejadian tadi, aku akan bertanggung jawab," kata Ammar ambigu.
Motor Ammar berhenti tepat di halaman rumah yang sangat sederhana. Di teras terlihat dua orang yang menghampiri keduanya. Mereka adalah orang tua Naya.
"Alhamdulillah Naya akhirnya kamu pulang juga. Maaf, ayahmu tidak bisa menjemputmu tadi. Motor Ayahmu mogok di jalan. Saat kamu telepon Ayahmu sedang memperbaiki motornya tapi ternyata belum berhasil. Tuh motornya harus masuk UGD!" terang Mina, Ibunya Naya memberi penjelasan agar Naya tidak marah.
"Lah kamu diantar siapa?" tanya Mina menelisik laki-laki yang berada di samping Naya dan motor bututnya.
Rudi, Ayahnya Naya pun demikian. Seraya menatap tajam laki-laki asing yang sudah mengantar putrinya.
Ammar mengangguk sopan, "Saya Ammar Bu. Kebetulan tadi kami bertemu di jalan..." Ammar meraih tangan Mina dan rudi secara bergantian.
Naya memotong penjelasan Ammar dengan cepat.
"Ammar yang menolong Naya dari gangguan preman tadi, hampir saja Naya jadi santapan makan malam buat mereka, Bu..." jelasnya dengan suara bergetar.
"Astagfirullah...terus kamu tidak apa-apa, Nay?" tanya Mina khawatir.
Naya menggeleng lemah lalu menunduk lesu.
"Masuklah Ammar! Ada yang mau Bapak bicarakan. Terima kasih kamu sudah menolong Naya," Rudi mengajak Ammar menuju ruang tamu.
"Sama-sama Pak," katanya sopan.
Ammar duduk berhadapan dengan Rudi. Ia mendengarkan ucapan Rudi dengan sikap yang tenang.
"Kamu masih lajang?"
Ammar tersenyum, "Iya Pak, saya masih lajang. Tapi maaf sebelumnya. Tadi saya sudah lancang mengaku sebagai suami dihadapan para preman. Tapi beneran tidak ada maksud lain. Itu strategi saya menolong putri Bapak."
Rudi terlihat manggut-manggut, ia tersenyum, "Tidak apa-apa. Kebetulan putri Bapak pun masih lajang. Gimana kalau kalian menikah saja. Mewujudkan ucapan Ammar tadi?"
Ammar sangat terkejut dengan tawaran Rudi. Ia tidak menyangka, Rudi akan menawarkan sesuatu di luar dugaannya. Padahal pengakuannya sebagai suami hanya untuk melindungi Naya dari jeratan Sang preman. Mengapa jadi dianggap serius?
"Pak maaf, saya... saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Ini terlalu cepat." Ammar menjawab dengan terbata-bata.
Ammar merasa tawaran Ayah Naya terlalu mendadak dan tidak terduga. Dia tidak bisa memutuskan hal yang sangat penting bagi hidupnya itu sendirian. Ia harus membicarakan hal tersebut dengan kedua orang tuanya.
Naya pun ikut terkejut dengan tawaran Ayahnya. Kalau tawaran Ayahnya diterima, bagaimana dengan kekasihnya yang jauh di sana? Yang tentunya masih berharap hubungannya akan baik-baik saja.
"Tapi Yah?" Naya mencoba untuk protes.
"Sudah jangan tentang Ayah. Kamu butuh perlindungan. Ayah tidak bisa berada di sampingmu setiap hari. Kalau kamu sudah menikah, ayah merasa tenang."
"Tapi Yah, bagaimana dengan Mas Reno?"
Ia hanya sekedar mengingatkan bahwa dirinya merasa masih ada hubungan dengan kekasihnya, walaupun sudah lama tidak ada beritanya.
"Dengar! Sampai saat ini tidak ada kabar dari Reno. Sudah hampir 2 tahun tidak ada berita. Kamu masih mau menunggunya? Jangan bodoh. Kamu harus menikah dengan Ammar yang sudah menolongmu, yang sudah melindungimu."
"Tapi Naya belum kenal Ammar Yah,"
"Dengan seiring berjalannya waktu, kalian pasti akan saling mengenal dan saling mencintai. Ayah melihat ada kebaikan di hati Nak Ammar," ujar Ayahnya begitu mantap dengan pilihannya.
"Nak Ammar, kamu sekarang tinggal di mana?"
"Saya ngontrak di dekat SMP Negeri di kota ini."
"Kamu ngajar di sana?"
"Iya Pak, saya baru saja diangkat P3K di sana."
"Nah kalau begitu tidak ada alasan lagi. Pekerjaanmu sudah cukup untuk mengarungi rumah tangga bersama putri saya. Tidak ada penolakan lagi. Silakan bawa kedua orang tuamu untuk melamar anakku!" titah Rudi.
Tiba-tiba...lamunan itu terhenti manakala terdengar suara gedoran pintu dari luar. Naya terhenyak suara itu terdengar keras sekali.
Tok
Tok
Tok
"Ammar...Ammar...buka pintunya!"
Suara itu terdengar memekakkan telinga. Naya membukanya dengan perlahan. Terlihat seorang wanita paruh baya sedang berkacak pinggang.
"Aku tidak peduli suamimu seorang guru! Aku hanya mau, tunggakan kontrakan yang belum dibayar harus lunas hari ini!"
"Maaf Bu. Nunggu Mas Ammar pulang ya!"
"Tidak bisa! Enak saja, bisa-bisa aku dibohongi lagi gegara kalian mudik duluan. Sebelum mudik bayar dulu kontrakannya. Aku engga mau kejadian tahun lalu terulang lagi, paham!" ujarnya dengan sorot mata yang tajam.
"Bu maaf. Walaupun kami telat bayar tapi pada akhirnya lunas, bukan?"
"Itu dulu. Sekarang tidak bisa begitu. Ingat bayar dulu baru mudik!" hardiknya.
"Iya...iya, aku bayar sekarang!" ujar Naya pada akhirnya mengalah juga.
Naya beranjak menuju kamarnya. Dia mengambil uang yang seharusnya ia gunakan untuk menyewa mobil, untuk bisa mudik tahun ini. Tapi harus kandas. Ia harus rela berdesakan dengan penumpang lain di dalam bus.
"Ini ya bu. Jadi lunas tidak ada tunggakan lagi," Naya menyerahkan uang 1 juta untuk melunasi kontrakannya.
Sekarang Naya sudah mengarungi rumah tangga bersama Ammar hampir dua tahun. Dan kini Naya sedang hamil besar.
Sejak menikah, penampilan Naya berubah. Dia berpakaian lebih sopan, memakai gamis hampir setiap hari. Dia tidak lagi bekerja. Dia menjadi ibu rumah tangga yang patuh pada suaminya, karena Ammar selalu menunjukkan cinta kasihnya yang membuatnya merasa ada di atas awan.
"Mas tadi yang punya kontrakan nangih. Dia tidak sabar ingin segera dilunasi. Jadi terpaksa deh uang buat nyewa mobil dipake bayar kontrakan." kata Naya begitu Ammar pulang dari sekolah.
Mereka rencananya sepulang sekolah mau berangkat mudik.
"Ya sudah tidak apa-apa. Maaf ya tahun ini kita mudiknya naik bus. Semoga si utun baik-baik saja," Ammar mengusap perut Naya yang semakin membesar.
Naya tidak bisa berbuat apa-apa. Ia menerima keputusan Ammar karena keadaan.
Mereka pun berangkat ke terminal dengan menggunakan angkot. Senyum Ammar selalu tersungging di bibirnya.
Sesampainya di terminal, Naya hanya bergeming menatap bus warna ungu yang hampir penuh. Ia merasa tidak yakin untuk menaiki bus tersebut.
"Mas yakin akan naik bus ini? Sudah penuh lho Mas," Naya merasa ragu untuk naik bus tersebut.
Ammar tersenyum, "Mau gimana lagi, Sayang. Tidak ada bus lain selain ini. Akan ada lagi jam lima sore. Bisa-bisa kita kemalaman sampai sana. Kita harus cepat sebelum tempat duduk yang kosong itu diduduki orang lain!" Netranya masih melihat ke atas untuk memastikan jok yang kosong.
Ammar menarik tangan Naya dengan pelan, "Nah duduk sini ya! Biar Mas yang berdiri,"
Naya menggeserkan badannya memberikan ruang buat Ammar, "Sini Mas duduk, lumayan dikit juga. Yang penting nempel, jadi engga usah berdiri," ujar Naya berusaha berbagi tempat duduk.
"Ga usah Sayang. Biar Mas berdiri saja. Biar sambil jagain kamu," tolak Ammar sambil memegang tiang dalam bus.
"Tapi Mas. Akan sangat berbahaya kalau Mas tetap berdiri. Lagi pula jarak tujuan kita masih jauh," ujar Naya mengingatkan.
"Engga apa-apa Sayang. Nanti kan ada penumpang yang turun di Kalideres, jadi Mas bisa duduk dekat kamu juga," Ammar masih pada pendiriannya.
Naya mendengus kesal. Untuk kesekian kalinya Ammar tidak mengindahkan ucapannya.
Ammar dengan terpaksa naik bus tersebut karena memang tidak ada lagi bus yang menuju tempat kelahirannya.
Bus berjalan lambat. Walau penumpang sudah penuh, kernet bus tersebut masih menarik penumpang lain.
Kernet terlihat turun, masih menawarkan mobilnya pada penumpang yang benar-benar sangat ingin secepatnya sampai ke kampung halaman.
Kernet kembali naik setelah memasukkan beberapa penumpang. Pintu bagian depan sudah ditutup, karena sudah melebihi kapasitas. Sementara pintu belakang masih terbuka,
"Pir...mau taro di mana penumpangnya? Ini sudah penuh lho!" protes salah satu penumpang yang ikut berdesakan di dalam bus tersebut.
"Ampun deh, memangnya kita ikan teri apa, dioven begini?" protes penumpang lainnya sambil mengipas badannya yang mulai kegerahan.
"Eh Net, kamu bisa lihat tidak? Di dalam sudah sesak. Masa mau nambah penumpang lagi, dasar engga punya hati!"
"Protes sama sopirnya bu, jangan ke saya. Saya cuma jalanin tugas," kilah kernet beralasan.
"Kamu dong yang kasih tahu ke sopirnya, jangan diem aja kayak kebo!" titah penumpang lain sewot.
Kernet hanya tertawa. Ia masih saja mengangkut penumpang yang akan turun di Kalideres. Memang hanya bus tersebut yang terkenal sangat terjangkau ongkosnya.
Makin lama bus yang mereka tumpangi semakin penuh. Sehingga bus terasa sesak dan sumpek.
Bagai ikan teri yang dioven, para penumpang yang duduk saling berdesakan, bahkan ada yang berdiri di lorong bus. Ammar yang berdiri di dekat pintu belakang, merasa tidak nyaman dengan keadaan bus yang seperti ini. Dia khawatir bus akan kehilangan kendali dan menyebabkan kecelakaan.
Ammar mencoba untuk berpindah ke tempat yang lebih aman sambil mencarikan tempat duduk lainnya buat Naya, tapi tidak ada tempat yang tersedia. Dia hanya bisa berdoa agar bus sampai tujuan dengan selamat.
"Net ayo cepat berangkat, bilangin tuh sopirnya! Jangan narik penumpang terus. Ini udah kayak dioven tahu!" protes Ammar datar.
Kernet itu hanya tertawa. Mereka sama sekali tidak terlihat khawatir atas kondisi bus tersebut.
Kernet menutup pintu bus setelah melihat kapasitas mobil sudah terpenuhi sesuai keinginan mereka. Mobil melaju pelan saat akan melintasi pintu tol, dan kernet mulai menghitung uang tiket dari penumpang.
Sopir bus juga mulai merasa lebih santai, karena mobil sudah penuh dan mereka bisa mulai mengantarkan penumpang ke tujuan. Sopir memasang handsetnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah melewati pintu tol, sopir membawa mobil dengan kecepatan sedang, namun tidak berlangsung lama. Menit berikutnya, bus tersebut melaju dengan kecepatan tinggi. Mereka dibuat terombang-ambing di bawah kendali seorang sopir yang mengendarai bus dengan arogan. Hal ini membuat para penumpang teriak histeris. Mereka merasa khawatir terjadi kecelakaan.
"Hey Pir, pelan-pelan napa bawa mobilnya! Kalau mau mati jangan ngajak-ngajak kita!" salah satu penumpang mulai protes.
"Pir...aku ga mau mati sekarang. Aku belum kawin woy!" gertak pemuda yang memakai kaos abu-abu.
"Net, kasih tahu itu sopirnya. Jangan diam aja! Dari tadi cuma ketawa ga jelas! Kamu engga khawatir apa, dengan keselamatan para penumpang! Jiwa kami terancam gegara tuh sopir!" gertak seorang ibu-ibu yang tidak kedengaran oleh si kernet, apa lagi sama sopir. Ibu-ibu tersebut duduk dekat dengan Naya.
"Jangan-jangan sopirnya lagi mabok!" ujar yang lain.
"Dasar sopir edun. Nyupir kok seenaknya sendiri,"
Kernet dan sopir sama saja tidak mengindahkan ucapan penumpang. Mereka terus melakukan tindakan yang membahayakan keselamatan penumpang. Hal ini membuat penumpang merasa tidak nyaman dan khawatir tentang keselamatan mereka.
Hampir semua penumpang berkomentar di dalam bus. Membuat Ammar jengah. Tiba-tiba kepala Ammar terasa berat, tubuhnya lemas. Ia merasakan sakit yang pernah ia rasakan sebelumnya. Dadanya sesak, keringat dingin mengucur di punggung dan keningnya. Ammar menekan kepalanya, menyandar di bahu jok yang Naya duduki.
"Mas mau ke mana?" tanya Naya yang melihat Ammar beranjak dari tempat berdirinya menuju kernet.
"Mau ngasih tau kernet biar bisa memberi peringatan sama sopir!" ujarnya sambil menekan kepalanya yang terasa berat.
Tiba-tiba, bus melakukan pengereman mendadak, membuat penumpang terjatuh ke depan. Lalu melaju kembali dengan sangat kencang, sehingga Ammar merasa lemas dan tidak kuat lagi berdiri tegak. Kepalanya terasa berputar, tubuhnya berkeringat, dan dadanya sesak. Ia memejamkan matanya, berusaha untuk mengumpulkan kekuatan.
Sementara itu, kernet membuka pintu bus bagian belakang, mengira Ammar ingin turun. Tapi Ammar tidak bisa berbicara atau memberi tahu kernet agar sopir mengendarai mobilnya dengan santai saja demi keselamatan para penumpang.
Kernet menggedor-gedor badan mobil untuk meminta sopir berhenti, tapi sayangnya sopir tidak mendengarnya. Ammar merasa semakin lemas dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Mobil menyalip ke sebelah kiri, membuat tubuh Ammar reflek terbentur daun pintu. Tubuhnya terjatuh dari bus yang berjalan sangat cepat, dan ia terpental ke udara sebelum terguling di pinggiran aspal jalan tol.
Ammar merasa sakit dan disorientasi, tubuhnya terbentur keras ke aspal. Ia berusaha untuk bangun, tapi tubuhnya terlalu lemah dan sakit. Ammar hanya bisa terbaring di pinggiran jalan tol, tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Saat itu, dia hanya bisa berharap bahwa ada seseorang yang akan menolongnya.
Sementara itu, penumpang yang melihat kejadian tersebut berteriak histeris. Banyak mobil yang melintas di belakang sana.
Naya berteriak histeris ketika melihat suaminya, Ammar terlempar keluar dari bus dan jatuh mencium aspal. Ia tidak bisa percaya apa yang terjadi di depan matanya.
Naya merasa seperti dunianya runtuh, dan ia tidak bisa bergerak atau berbicara. Ia hanya bisa menatap ke arah suaminya yang tergeletak di aspal sementara bus masih berjalan dengan cepat. Ia merasa sedih dan panik.
Naya ingin keluar dari bus untuk menghampiri suaminya yang tertinggal jauh di belakang tapi ia merasa kakinya terlalu berat untuk bergerak. Ia hanya bisa menangis dan berteriak, memohon agar suaminya bisa selamat.
"Mas Ammar! Mas Ammar!" teriaknya, tapi suaranya terdengar lemah dan tidak terdengar oleh siapa pun.
Bus tetap berjalan, meninggalkan Ammar yang terluka parah di belakang. Naya merasa seperti kehilangan segalanya.
Beberapa menit kemudian, seolah memiliki kekuatan ekstra untuk berteriak.
"Maaaas, Ya Allah... Sopir berhenti! Kumohon berhenti! Itu suamiku yang jatuh, Sopirrrrrr!" Naya berteriak histeris, bangkit dari tempat duduknya. Namun dicegah oleh Ibu-ibu yang di sampingnya.
Hal ini mengundang ricuh para penumpang bagian depan yang baru tahu kecelakaan yang menimpa suaminya.
Mereka berusaha untuk menenangkan Naya, tapi Naya tidak bisa tenang. Ia tidak bisa membayangkan jika harus kehilangan Ammar, suaminya yang sangat dicintainya.
Naya berpikir tentang bayinya yang masih dalam kandungan, dan bagaimana nasibnya kelak jika lahir tanpa ayah di sisinya. Naya tidak bisa membayangkan bagaimana harus melanjutkan hidup tanpa Ammar.
"Tenang ya Neng. Ya Allah. Kernet bilangin sopirnya suruh berhenti! Kamu kok diam saja, satu nyawa jatuh kamu bisa-bisanya diam. Pak tolong ke depan pukul aja sopirnya! Sopir kok dagleg, kupingnya tuli apa!"
Ibu tersebut sangat marah pada sopir dan kernet, karena mereka tidak segera berhenti setelah Ammar jatuh dari bus. Ia meminta kernet untuk memberitahu sopir untuk berhenti, tapi kernet tampaknya tidak bereaksi.
Ibu tersebut kemudian meminta seorang pria untuk pergi ke depan dan memukul sopir untuk memaksa dia berhenti.
Sementara itu, ia terus mengusap punggung Naya untuk menenangkan dan memberikan dukungan. Ibu tersebut sangat empatik terhadap Naya dan ingin membantu dia dalam situasi yang sangat sulit ini.
"Bu, itu suamiku. Suamiku jatuh. Ya Allah selamatkan suamiku. Bagaimana kalau suamiku ditabrak kendaraan lain Bu?" Naya histeris tangan kanannya menunjuk ke sembarang arah.
"Sabar ya Neng. Semoga suamimu selamat!" Ibu tersebut terus saja memberi ketegaran pada Naya.
"Pak...Bapak yang dekat sopir, tolong bilangin sopirnya suruh berhenti!" Teriak penumpang lelaki pada seorang Bapak yang berdiri di dekat sopir karena mobil masih melaju dengan kencang. Ia tidak tega melihat Naya yang berbadan dua menangis pilu.
Bapak tersebut menepuk sopir dengan keras. Si Sopir membuka headset yang menempel di telinganya. Ia mendongak.
"BERHENTI!" Teriak Bapak yang berdiri dekat sopir dengan tatapan tajam.
"Ya ellah emang kenapa sih? Jalan cepat biar cepat nyampe!" ujar Sopir nyantai, ia masih menjalankan mobilnya.
"Pala lu botak, penumpang di belakang ada yang jatuh, lu engga denger? Budek lu ya!" sarkas Bapak tersebut sangat marah.
Ciiiiit!
Mendadak bus dihentikan dengan keras, membuat para penumpang hampir hilang keseimbangan. Mereka semua terjatuh ke depan, dan beberapa orang terjatuh ke lantai bus. Suara teriakan dan komplain terdengar dari para penumpang yang merasa terganggu dan ketakutan. Suasana di dalam bus menjadi tegang dan tidak nyaman.
"Dasar sopir gila...!" gerutu salah satu penumpang yang kepalanya terbentur lantai.
Semua penumpang berhamburan keluar dari bus, marah dan kecewa dengan kejadian yang baru saja terjadi. Sopir diseret ke luar bus dan langsung dikeroyok oleh beberapa penumpang yang merasa bahwa sopir bertanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi. Kernet pun tidak bisa lari karena penumpang lainnya juga berhasil mengeroyoknya.
Aksi main hakim sendiri pun tak terelakkan lagi, dan situasi menjadi semakin kacau dan tidak terkendali. Polisi harus segera datang untuk mengatasi situasi ini dan mencegah kekerasan lebih lanjut.
Naya keluar dari bus berusaha menembus penumpang yang menghalangi jalannya. Ia berlari untuk mengejar suaminya yang tertinggal jauh, namun dicegah ibu-ibu yang memegangi tubuh Naya.
"Sabar Neng. Ya Allah. Astagfirullah," Ibu tersebut mengusap punggung Naya dengan lembut.
"Maas Ammaaaaarr!" teriak Naya histeris.
Naya meratapi nasibnya, air matanya mengalir deras sampai ia terduduk di tempat yang sama. Ia tidak siap kalau harus ditinggalkan Ammar dalam keadaan hamil besar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!