NovelToon NovelToon

Amanah Cinta Yang Ternoda

BAB 1 Sebuah Firasat

Pagi yang cerah, matahari menyinari langit biru dengan lembut. Suara burung-burung berkicau di luar jendela, menemani pasangan suami istri dalam menyambut hari libur puasa dan lebaran.

Udara segar dan sejuk memenuhi paru-paru, membuat mereka merasa hidup dan siap menghadapinya dengan penuh kebahagiaan.

Siapa pun pasti bahagia jika momen terbesar lebaran bisa berkumpul bersama keluarga. Termasuk pasangan Naya Aurelia (26 th) dan Ammar Arkana (28 th). Mereka terlihat sangat senang, akhirnya liburan yang mereka tunggu telah tiba, mereka memilih liburan tahun ini mudik ke kampung halaman Ammar di daerah pegunungan.

"Hati-hati sayang, kamu sedang hamil. Jangan sampai anak kita kenapa-napa," Ammar mengingatkan Naya istrinya agar berhati-hati untuk tidak membawa beban berat.

"Iya...Naya tahu kok. Jadi kita mudik pake apa, Mas?" tanya Naya untuk memastikan.

"Bus aja ya!" jawabnya singkat.

"Yah kok bus sih Mas? Kita rental mobil aja, gimana?" protes Naya sambil memberi solusi.

"Engga bisa sayang. Uangku engga cukup buat rental mobil. Yang ada nanti Mas engga bisa kasih uang ke ibu. Kasihan ngasih juga kan engga bisa tiap bulan. Jadi tolong pahami ya! Apalagi Mas harus menabung juga untuk persiapan biaya persalinan. Itu pasti membutuhkan uang yang tidak sedikit," ucapnya lembut.

Naya mendengus kesal. Ia menganggap suaminya tidak pengertian. Disaat dirinya hamil, ia harus merasakan berdesakan dengan penumpang lain di dalam bus. Tidak bisa dibayangkan, betapa sasaknya naik bus.

"Katanya khawatir sama anak, huft," gumam Naya membatin.

Dia tidak ingin terjadi keributan hanya karena hal sepele. Biarlah dia terus yang mengalah. Kalau tidak begitu, pasti perang dunia kedua selalu terjadi.

"Kamu doakan, karir Mas bagus. Tidak hanya sebagai tenaga honorer saja, namun Mas tahun ini bisa lolos jadi pegawai P3K. Biar bisa merubah perekonomian keluarga kita. Kita bisa punya mobil sendiri biar bisa buat mudik," ujar Ammar menenangkan istrinya dengan penuh harapan ke depannya bisa berubah.

Ammar bekerja sebagai guru SMP di sekolah negeri di kotanya. Ia sudah mengabdi selama 5 tahun, namun belum juga diangkat jadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Setidaknya kalau diangkat jadi tenaga P3K, ia bisa mengajukan sertifikasi, sebagai guru profesional.

"Aamiin. Coba kalau Mas tidak melarangku bekerja. Tentunya aku bisa membantumu memulihkan perekenomian keluarga kita," sesal Naya yang lulusan sarjana hukum.

Naya selalu dilarang untuk bekerja di mana pun. Ammar ingin istrinya tetap di rumah saja sambil menanti buah hati yang akan lahir beberapa minggu ke depan.

"Tidak perlu bekerja. Percaya sama Mas. Mas pasti bisa membahagiakanmu, Sayang. Hanya waktu yang bisa menjawab semua itu," Ammar selalu percaya diri.

Ammar tidak ingin membebani istrinya dalam mencari nafkah. Gaji honor bulanan yang biasa diberikan kepada istrinya sudah dipergunakan sebaik mungkin.

Ammar juga berusaha mengambil pekerjaan tambahan di luar sana, dengan mengajar les privat. Walaupun keadaan hidup yang sederhana, mereka bisa lalui dengan rasa syukur.

"Ya sudah. Aku percaya kok," akhirnya untuk kesekian kalinya Naya mengalah.

Naya memperhatikan suaminya yang masih berkemas.

"Gimana sudah siap?" Ammar berkacak pinggang, netranya melihat barang bawaan yang akan dibawa siang ini.

"Siap Bos!" Naya memberi hormat dengan menempelkan tangan kanan di pelipisnya

Ammar tersenyum mengusap perut istrinya yang membesar diusia kandungan 8 bulan.

"Aku ingin kamu bisa melahirkan di kampung Ibu. Biar nanti ada yang menemanimu saat aku tidak ada," pesan Ammar sambil mengecup perut istrinya.

"Ya elah Mas, kalau Mas kerja mah engga apa-apa aku ditinggal berdua juga sama dede bayi. Aku tidak mau membebani Ibu. Kasihan," tolak Naya secara halus.

"Ya terserah kamu saja. Yang penting kamu tidak terbebani," akhirnya mengalah.

"Ya engga dong Mas. Aku justru mau merawat anak kita sendiri tanpa bantuan siapa pun, termasuk ibu," tegas Naya yakin.

Ammar menatap istrinya dengan rasa syukur. Naya selalu mengerti keadaannya walaupun kerap protes. Ia termasuk istri penurut. Ini menambah rasa nyaman ketika keadaannya sedang terpuruk.

"Ya sudah jangan lama-lama natapnya, nanti pengen lagi. Kita berangkat yuk!" ajak Naya menoel hidung suaminya.

Ammar terhenyak lalu tersenyum. Dia menatap istrinya dengan intens.

"Mas boleh peluk kamu?" pinta Ammar penuh harap sebelum berangkat.

Naya memicingkan matanya, heran. Tidak biasanya suaminya bertingkah aneh seperti itu. seperkian detik akhirnya ia mengangguk.

Ammar memeluk istrinya dengan penuh perasaan sayang, seolah tak ingin terpisahkan.

"Tetaplah tegar dan ikhlas menerima takdir Allah, Sayang. I love you, Naya," pesan Ammar mengurai pelukan. Seraya mencium kening istrinya cukup lama.

"Kok nangis?" Naya mengerutkan keningnya manakala melihat mata suaminya mengembun.

"Hey kenapa?" tanya Naya penasaran.

"Engga apa-apa. Kamu tetap yang terbaik dalam hidupku, Nay," ucapnya lirih.

Naya menatap wajah suaminya lama, perasaan yang timbul di hatinya jadi tak menentu melihat sikap sang suami yang menurutnya agak aneh.

Naya merasa ada yang tidak beres dengan sikap Ammar. Ia merasa bahwa suaminya sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

Ia mencoba untuk membaca ekspresi wajah Ammar, tapi suaminya hanya tersenyum dan mencium keningnya lagi. Cukup lama.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas Ammar?" tanya Naya dengan suara yang pelan tapi penasaran.

Ammar menggelengkan kepala dan memeluk Naya erat.

"Tidak ada yang terjadi, Sayang. Aku hanya merasa sangat mencintaimu dan ingin selalu melindungimu dari segala hal," katanya dengan suara yang lembut.

Naya masih merasa ada yang tidak beres dan aneh. Suaminya yang biasa cuek dan tidak romantis tetiba mendadak berubah menjadi seorang yang perhatian dan romantis. Namun ia tidak ingin memperdebatkan hal itu lagi.

Naya hanya memeluk Ammar dengan erat dan mencoba untuk percaya dengan ucapannya.

"Ya Allah, firasat macam apa ini?" gumam Naya beristighfar dalam hati, menepis semua pikiran ataupun perasaan buruk yang tiba-tiba merayapi hatinya.

BAB 2 Ammar Kecelakaan

"Ck...kalau Mas menggombal terus, lantas kapan kita akan berangkat? Nanti keburu panas. Mending kalau engga puasa. Lah ini kan kita lagi puasa, Mas. Yuk berangkat sekarang aja!"

Ammar melihat jam dinding yang ada di dalam kamar, sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB. Ia lalu menggendong tas ranselnya.

"Oke kita berangkat sekarang ya! Sini Mas bawakan tasnya. Kamu engga usah bawa yang berat-berat," Ammar menyambar tas besar yang dibawa istrinya.

Naya tersenyum bangga melihat suaminya mengerti dengan kondisinya saat ini. Apalagi saat suaminya menautkan jemari tangannya, dia merasa sentuhan kasih sayang yang mendalam.

"Aku akan selalu menjagamu dan anak kita," kata Ammar sambil menatap Naya dengan mata yang penuh cinta.

Naya merasa hatinya terasa hangat dan aman, dia tahu bahwa suaminya akan selalu ada untuknya dan anak mereka. Dia membalas senyum suaminya dan menekan jemari tangannya lebih erat, merasakan kebersamaan dan kasih sayang yang tak terhingga.

Mereka pun berangkat ke terminal dengan menggunakan angkot. Senyum Ammar selalu tersungging di bibirnya.

Sesampainya di terminal, Naya hanya bergeming menatap bus warna ungu yang hampir penuh. Ia merasa tidak yakin untuk menaiki bus tersebut.

"Mas yakin akan naik bus ini? Sudah penuh lho Mas," Naya merasa ragu untuk naik bus tersebut.

Ammar tersenyum, "Mau gimana lagi, Sayang. Tidak ada bus lain selain ini. Akan ada lagi jam lima sore. Bisa-bisa kita kemalaman sampai sana. Kita harus cepat sebelum tempat duduk yang kosong itu diduduki orang lain!" Netranya masih melihat ke atas untuk memastikan jok yang kosong.

Ammar menarik tangan Naya dengan pelan, "Nah duduk sini ya! Biar Mas yang berdiri,"

Naya menggeserkan badannya memberikan ruang buat Ammar, "Sini Mas duduk, lumayan dikit juga. Yang penting nempel, jadi engga usah berdiri," ujar Naya berusaha berbagi tempat duduk.

"Ga usah Sayang. Biar Mas berdiri saja. Biar sambil jagain kamu," tolak Ammar sambil memegang tiang dalam bus.

"Tapi Mas. Akan sangat berbahaya kalau Mas tetap berdiri. Lagi pula jarak tujuan kita masih jauh," ujar Naya mengingatkan.

"Engga apa-apa Sayang. Nanti kan ada penumpang yang turun di Kalideres, jadi Mas bisa duduk dekat kamu juga," Ammar masih pada pendiriannya.

Naya mendengus kesal. Untuk kesekian kalinya Ammar tidak mengindahkan ucapannya.

Ammar dengan terpaksa naik bus tersebut karena memang tidak ada lagi bus yang menuju tempat kelahirannya.

Bus berjalan lambat. Walau penumpang sudah penuh, kernet bus tersebut masih menarik penumpang lain agar bisa naik.

Kernet terlihat turun, masih menawarkan mobilnya pada penumpang yang benar-benar sangat ingin secepatnya sampai ke kampung halaman.

Kernet kembali naik setelah memasukkan beberapa penumpang. Pintu bagian depan sudah ditutup, karena sudah melebihi kapasitas. Sementara pintu belakang masih terbuka,

"Pir...mau taro di mana penumpangnya? Ini sudah penuh lho!" protes salah satu penumpang yang ikut berdesakan di dalam bus tersebut.

"Ampun deh, memangnya kita ikan teri apa, dioven begini?" protes penumpang lainnya sambil mengipas badannya yang mulai kegerahan.

"Eh Net, kamu bisa lihat tidak? Di dalam sudah sesak. Masa mau nambah penumpang lagi, dasar engga punya hati!"

"Protes sama sopirnya bu, jangan ke saya. Saya cuma jalanin tugas," kilah kernet beralasan.

"Kamu dong yang kasih tahu ke sopirnya, jangan diem aja kayak kebo!" titah penumpang lain sewot.

Kernet hanya tertawa. Ia masih saja mengangkut penumpang yang akan turun di Kalideres. Memang hanya bus tersebut yang terkenal sangat terjangkau ongkosnya.

Makin lama bus yang mereka tumpangi semakin penuh. Sehingga bus terasa sesak dan sumpek.

Bagai ikan teri yang dioven, para penumpang yang duduk saling berdesakan, bahkan ada yang berdiri di lorong bus. Ammar yang berdiri di dekat pintu belakang, merasa tidak nyaman dengan keadaan bus yang seperti ini. Dia khawatir bus akan kehilangan kendali dan menyebabkan kecelakaan.

Ammar mencoba untuk berpindah ke tempat yang lebih aman sambil mencarikan tempat duduk lainnya buat Naya, tapi tidak ada tempat yang tersedia. Dia hanya bisa berdoa agar bus dapat sampai tujuan dengan selamat.

"Net ayo cepat berangkat, bilangin tuh sopirnya! Jangan narik penumpang terus. Ini udah kayak dioven tahu!" protes Ammar datar.

Kernet itu hanya tertawa. Mereka sama sekali tidak terlihat khawatir atas kondisi bus tersebut.

Kernet menutup pintu bus setelah melihat kapasitas mobil sudah terpenuhi sesuai keinginan mereka. Mobil melaju pelan saat akan melintasi pintu tol, dan kernet mulai menghitung uang tiket dari penumpang.

Sopir bus juga mulai merasa lebih santai, karena mobil sudah penuh dan mereka bisa mulai mengantarkan penumpang ke tujuan. Sopir memasang handsetnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Setelah melewati pintu tol, sopir membawa mobil dengan kecepatan sedang, namun tidak berlangsung lama. Pada akhirnya bus tersebut melaju dengan kecepatan tinggi. Mereka dibuat terombang-ambing di bawah kendali seorang sopir yang mengendarai bus dengan arogan. Hal ini membuat para penumpang teriak histeris. Mereka merasa khawatir terjadi kecelakaan.

"Hey Pir, pelan-pelan napa bawa mobilnya! Kalau mau mati jangan ngajak-ngajak kita!" salah satu penumpang mulai protes.

"Pir...aku ga mau mati sekarang. Aku belum kawin woy!" gertak pemuda yang memakai kaos abu-abu.

"Net, kasih tahu itu sopirnya. Jangan diam aja! Dari tadi cuma ketawa ga jelas! Kamu engga khawatir apa, dengan keselamatan para penumpang! Jiwa kami terancam gegara tuh sopir!" gertak seorang ibu-ibu yang tidak kedengaran oleh si kernet, apa lagi sama sopir. Ibu-ibu tersebut duduk dekat dengan Naya.

"Jangan-jangan sopirnya lagi mabok!" ujar yang lain.

"Dasar sopir edun. Nyupir kok seenaknya sendiri,"

Kernet dan sopir sama saja tidak mengindahkan ucapan penumpang. Mereka terus melakukan tindakan yang membahayakan keselamatan penumpang, seperti mengemudi dengan kecepatan tinggi dan tidak memperhatikan kondisi jalan. Kernet dan sopir lebih memprioritaskan keuntungan dan waktu tempuh yang cepat, daripada keselamatan penumpang. Hal ini membuat penumpang merasa tidak nyaman dan khawatir tentang keselamatan mereka.

Hampir semua penumpang berkomentar di dalam bus. Membuat Ammar jengah. Tiba-tiba kepala Ammar terasa berat, tubuhnya lemas. Ia merasakan sakit yang pernah ia rasakan sebelumnya. Dadanya sesak, keringat dingin mengucur di punggung dan keningnya. Ammar menekan kepalanya, menyandar di bahu jok yang Naya duduki.

"Mas mau ke mana?" tanya Naya yang melihat Ammar beranjak dari tempat berdirinya menuju kernet.

"Mau ngasih tau kernet biar bisa memberi peringatan sama sopir!" ujarnya sambil menekan kepalanya yang terasa berat.

Tiba-tiba, bus melakukan pengereman mendadak, membuat penumpang terjatuh ke depan.

Lalu melaju kembali dengan sangat kencang, sehingga....

BAB 3 Seolah Dunia Runtuh

Ammar merasa lemas dan tidak kuat lagi berdiri tegak. Kepalanya terasa berputar, tubuhnya berkeringat, dan dadanya sesak. Ia memejamkan matanya, berusaha untuk mengumpulkan kekuatan.

Sementara itu, kernet membuka pintu bus bagian belakang, mengira Ammar ingin turun. Tapi Ammar tidak bisa berbicara atau memberi tahu kernet agar sopir mengendarai mobilnya dengan santai saja demi keselamatan para penumpang.

Kernet menggedor-gedor badan mobil untuk meminta sopir berhenti, tapi sayangnya sopir tidak mendengarnya. Ammar merasa semakin lemas dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Mobil menyalip ke sebelah kiri, membuat tubuh Ammar reflek terbentur daun pintu. Tubuhnya terjatuh dari bus yang berjalan sangat cepat, dan ia terpental ke udara sebelum terguling di pinggiran aspal jalan tol.

Ammar merasa sakit dan disorientasi, tubuhnya terbentur keras ke aspal. Ia berusaha untuk bangun, tapi tubuhnya terlalu lemah dan sakit. Ammar hanya bisa terbaring di pinggiran jalan tol, tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Saat itu, dia hanya bisa berharap bahwa ada seseorang yang akan menolongnya.

Sementara itu, penumpang yang melihat kejadian tersebut berteriak histeris. Banyak mobil yang melintas di belakang sana.

Naya berteriak histeris ketika melihat suaminya, Ammar terlempar keluar dari bus dan jatuh mencium aspal. Ia tidak bisa percaya apa yang terjadi di depan matanya.

Naya merasa seperti dunianya runtuh, dan ia tidak bisa bergerak atau berbicara. Ia hanya bisa menatap ke arah suaminya yang tergeletak di aspal sementara bus masih berjalan dengan cepat. Ia merasa sedih dan panik.

Naya ingin keluar dari bus untuk menghampiri suaminya yang tertinggal jauh di belakang tapi ia merasa kakinya terlalu berat untuk bergerak. Ia hanya bisa menangis dan berteriak, memohon agar suaminya bisa selamat.

"Mas Ammar! Mas Ammar!" teriaknya, tapi suaranya terdengar lemah dan tidak terdengar oleh siapa pun.

Bus tetap berjalan, meninggalkan Ammar yang terluka parah di belakang. Naya merasa seperti kehilangan segalanya.

Beberapa menit kemudian, seolah memiliki kekuatan ekstra untuk berteriak.

"Maaaas, Ya Allah... Sopir berhenti! Kumohon berhenti! Itu suamiku yang jatuh, Sopirrrrrr!" Naya berteriak histeris, bangkit dari tempat duduknya. Namun dicegah oleh Ibu-ibu yang di sampingnya.

Hal ini mengundang ricuh para penumpang bagian depan yang baru tahu kecelakaan yang menimpa suaminya.

Mereka berusaha untuk menenangkan Naya, tapi Naya tidak bisa tenang. Ia tidak bisa membayangkan jika harus kehilangan Ammar, suaminya yang sangat dicintainya.

Naya berpikir tentang bayinya yang masih dalam kandungan, dan bagaimana nasibnya kelak jika lahir tanpa ayah di sisinya. Naya tidak bisa membayangkan bagaimana harus melanjutkan hidup tanpa Ammar.

"Tenang ya Neng. Ya Allah. Kernet bilangin sopirnya suruh berhenti! Kamu kok diam saja, satu nyawa jatuh kamu bisa-bisanya diam. Pak tolong ke depan pukul aja sopirnya! Sopir kok dagleg, kupingnya tuli apa!"

Ibu tersebut sangat marah pada sopir dan kernet, karena mereka tidak segera berhenti setelah Ammar jatuh dari bus. Ia meminta kernet untuk memberitahu sopir untuk berhenti, tapi kernet tampaknya tidak bereaksi.

Ibu tersebut kemudian meminta seorang pria untuk pergi ke depan dan memukul sopir untuk memaksa dia berhenti.

Sementara itu, ia terus mengusap punggung Naya untuk menenangkan dan memberikan dukungan. Ibu tersebut sangat empatik terhadap Naya dan ingin membantu dia dalam situasi yang sangat sulit ini.

"Bu, itu suamiku. Suamiku jatuh. Ya Allah selamatkan suamiku. Bagaimana kalau suamiku ditabrak kendaraan lain Bu?" Naya histeris tangan kanannya menunjuk ke sembarang arah.

"Sabar ya Neng. Semoga suamimu selamat!" Ibu tersebut terus saja memberi ketegaran pada Naya.

"Pak...Bapak yang dekat sopir, tolong bilangin sopirnya suruh berhenti!" Teriak penumpang lelaki pada seorang Bapak yang berdiri di dekat sopir karena mobil masih melaju dengan kencang. Ia tidak tega melihat Naya yang berbadan dua menangis pilu.

Bapak tersebut menepuk sopir dengan keras. Si Sopir membuka headset yang menempel di telinganya. Ia mendongak.

"BERHENTI!" Teriak Bapak yang berdiri dekat sopir dengan tatapan tajam.

"Ya ellah emang kenapa sih? Jalan cepat biar cepat nyampe!" ujar Sopir nyantai, ia masih menjalankan mobilnya.

"Pala lu botak, penumpang di belakang ada yang jatuh, lu engga denger? Budek lu ya!" sarkas Bapak tersebut sangat marah.

Ciiiiit!

Mendadak bus dihentikan dengan keras, membuat para penumpang hampir hilang keseimbangan. Mereka semua terjatuh ke depan, dan beberapa orang terjatuh ke lantai bus. Suara teriakan dan komplain terdengar dari para penumpang yang merasa terganggu dan ketakutan. Suasana di dalam bus menjadi tegang dan tidak nyaman.

"Dasar sopir gila...!" gerutu salah satu penumpang yang kepalanya terbentur lantai.

Semua penumpang berhamburan keluar dari bus, marah dan kecewa dengan kejadian yang baru saja terjadi. Sopir diseret ke luar bus dan langsung dikeroyok oleh beberapa penumpang yang merasa bahwa sopir bertanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi. Kernet pun tidak bisa lari karena penumpang lainnya juga berhasil mengeroyoknya.

Aksi main hakim sendiri pun tak terelakkan lagi, dan situasi menjadi semakin kacau dan tidak terkendali. Polisi harus segera datang untuk mengatasi situasi ini dan mencegah kekerasan lebih lanjut.

Naya keluar dari bus berusaha menembus penumpang yang menghalangi jalannya. Ia berlari untuk mengejar suaminya yang tertinggal jauh, namun dicegah ibu-ibu yang memegangi tubuh Naya.

"Sabar Neng. Ya Allah. Astagfirullah," Ibu tersebut mengusap punggung Naya dengan lembut.

"Maas Ammaaaaarr!" teriak Naya histeris.

Naya meratapi nasibnya, air matanya mengalir deras sampai ia terduduk di tempat yang sama. Ia tidak siap kalau harus ditinggalkan Ammar dalam keadaan hamil besar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!