"Ugh!"
Seorang pria mengerang pelan, tubuhnya terasa berat seolah menanggung beban yang tak terlihat. Mata kelamnya perlahan terbuka, memandang sekeliling dengan tatapan bingung.
Cahaya putih terang menyilaukan pandangannya, diikuti oleh aroma antiseptik yang menusuk hidung. Dia berusaha duduk, namun dadanya terasa sakit, membuatnya meringis.
"Sudah sadar?" Suara dingin seorang wanita terdengar dari sisi ruangan. Suara itu jernih namun tegas, penuh wibawa dan tanpa keraguan.
Pria itu menoleh, menatap seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang terikat rapi. Dia mengenakan jas putih, wajahnya cantik namun dingin seperti pahatan marmer. Mata tajamnya mengamati pria itu dengan penuh selidik, seolah mempelajari objek eksperimen.
"Siapa kau? Di mana aku?" pria itu bertanya dengan suara serak, mencoba memahami situasi. Dia meraba-raba tubuhnya, dan keterkejutan memenuhi wajahnya. "Kenapa tempat ini ... aneh sekali? Apa ini surga? Atau ... neraka?"
Wanita itu menyilangkan tangan di dada, satu alisnya terangkat. "Surga? Kau bercanda? Ini rumah sakit." Dia mendekat, memeriksa detak jantungnya dengan stetoskop. "Tapi melihat bagaimana kau hampir mati tadi, aku rasa kau pantas mengira dirimu sudah berada di neraka."
Pria itu membeku. Rumah sakit? Neraka? Kata-kata itu asing baginya. Pikirannya berputar-putar, mengingat medan perang, pedang, dan darah. Namun, tubuh yang ia tempati terasa asing. Jauh berbeda dari tubuhnya yang dulu penuh otot dan luka perang. Tangannya meraba wajahnya sendiri. Kulitnya halus, tanpa bekas luka.
"Apa yang terjadi pada tubuhku?!" serunya.
Wanita itu menatapnya, wajahnya datar. "Mungkin kau harus menjelaskan siapa dirimu sebelum aku menjawab pertanyaan bodoh itu."
Pria itu terdiam. Ingatannya kembali ke medan perang terakhir, saat tubuhnya tertembus tombak musuh. Dia seharusnya mati. Namun sekarang, dia berada di dunia yang tak dikenalnya, dengan tubuh yang bukan miliknya. Jenderal besar Li Yuanting kini berada di tubuh seorang pria asing. Dunia ini ... apa yang sebenarnya terjadi?
Pria tampan itu tiba-tiba memegang kepalanya erat-erat, mengerang kesakitan. Gelombang rasa sakit yang menyiksa menyerangnya seperti petir menyambar di tengah badai. Napasnya tersengal, dan tubuhnya gemetar hebat.
Wanita itu, yang masih berdiri di sampingnya, terkejut sejenak namun tetap menjaga ekspresi dinginnya. "Apa yang terjadi? Kau—"
"Aaaagh!" pria itu berteriak, suaranya menggema di ruangan.
Dalam kepalanya, kilatan-kilatan ingatan asing mulai muncul seperti pecahan kaca yang menusuk pikirannya. Ia melihat seorang pria muda, tubuhnya kurus, wajah tampannya dihiasi luka memar.
Pria itu diperlakukan seperti anjing pesuruh di rumah besar yang megah. Dia dihina oleh saudara tirinya, Felix, yang memerintahkannya membersihkan kotoran di lantai. Tangan-tangan keji menampar wajahnya tanpa ampun, menjatuhkannya ke tanah.
"Dasar sampah tak berguna! Kau hanyalah anak dari pelayan murahan! Bahkan anjingku lebih berguna darimu!" suara Felix menggema di kepalanya, penuh ejekan.
Adegan itu berlanjut. Pria muda itu dipukuli hingga berdarah oleh Felix dan teman-temannya, tubuhnya dilempar seperti boneka tak bernyawa. Kemudian muncul seorang wanita cantik—istrinya, Clara. Namun, bukannya membantu, dia malah berdiri di samping Felix, tertawa kecil.
"Untuk apa aku peduli padamu? Kau bahkan tak layak menjadi suamiku. Kau hanyalah alat yang bisa kubuang kapan saja," katanya dengan nada jijik.
Gambaran itu semakin menyiksa. Istrinya—Clara—berciuman mesra dengan Felix di ruangan yang sama, mempermalukan pria itu tanpa ampun. Ingatan itu membuat darahnya mendidih, dan kemarahan yang lama terkubur dalam dirinya kembali menyala.
Kemudian muncul sosok seorang wanita tua, lemah dan penuh luka. Itu adalah ibunya. Wanita yang telah melahirkannya, sekarang dijadikan pelayan di rumah keluarganya sendiri. Dia dibentak, diperintah membersihkan lantai di depan tamu-tamu mereka.
"Aku hanya ingin kau sedikit berguna untuk keluarga ini. Jangan menyusahkan. Kau tahu tempatmu, kan?" suara Zhao Rong, kepala keluarga Zhao, terdengar dingin dan tak berperasaan.
Rasa sakit di kepala pria itu memuncak hingga akhirnya ia terjatuh kembali ke tempat tidur. Tubuhnya berkeringat deras, tetapi matanya kini menyala dengan kilatan kemarahan yang dalam.
Ingatan terakhir itu menghantamnya seperti badai yang tak terbendung. Pria itu memegang kepalanya dengan kedua tangan, menggertakkan giginya menahan rasa sakit yang menusuk.
Bayangan-bayangan terakhir pemilik tubuh ini mulai terlihat jelas, seperti pecahan-pecahan cermin yang kini menyatu.
Dia melihat dirinya—atau lebih tepatnya pemilik tubuh ini—terpincang-pincang di tengah hutan lebat, tubuhnya penuh luka. Darah menetes dari pelipis dan sudut bibirnya. Tangannya gemetar saat ia mencoba berdiri, tetapi kakinya tak lagi mampu menahan beban.
"Kenapa kalian melakukan ini kepadaku?" terdengar suara pria muda itu, penuh rasa sakit dan keputusasaan. Di depannya berdiri dua orang yang dikenalnya sangat baik—saudara tirinya, Felix, dan istrinya, Clara.
Felix tersenyum dingin, tangannya memegang sebuah tongkat besi yang masih berlumuran darah. "Kenapa? Karena kau tak layak berada di keluarga ini. Kau hanyalah sampah, Ethan. Dan seperti sampah lainnya, tempatmu adalah di dasar jurang."
Clara, yang berdiri di samping Felix, hanya tersenyum manis. "Kau seharusnya tahu sejak awal, Ethan. Aku tak pernah mencintaimu. Kau hanyalah alat yang kubutuhkan untuk masuk ke keluarga Zhao. Sekarang, aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan. Selamat tinggal."
Ethan mencoba berteriak, mencoba melawan, tetapi tubuhnya tak lagi memiliki kekuatan. Dengan sekali dorongan keras dari Felix, tubuhnya terlempar ke jurang yang gelap dan dalam. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya saat dia jatuh, dan dunia menjadi gelap gulita.
Ingatan itu berakhir dengan rasa sakit yang menusuk, tetapi kemudian muncul cahaya. Saat tubuhnya terbaring di dasar jurang, seseorang datang.
Seorang gadis cantik dengan rambut hitam panjang yang terurai lembut, wajahnya bersih dan dingin seperti bulan purnama. Gadis itu menatapnya dengan ekspresi dingin, tetapi ada kilatan empati di matanya.
"Masih hidup," gumam gadis itu singkat, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Dia segera berjongkok, memeriksa denyut nadi Ethan. "Beruntung. Jika aku terlambat sedikit saja, kau mungkin sudah mati."
Dia mengingat bagaimana gadis itu menyeret tubuhnya keluar dari jurang dengan usaha keras. Walau tampak kurus, gadis itu memiliki kekuatan luar biasa untuk menarik tubuhnya yang penuh luka ke tempat aman. Dia mengobati luka-lukanya dengan penuh keahlian, membuat Ethan bertahan hidup hingga sekarang.
Kembali ke masa kini, pria itu perlahan menurunkan tangannya dari kepala. Napasnya berat, tetapi tatapan matanya kini penuh dengan kesadaran dan rasa hormat yang baru. Dia memandang gadis cantik di depannya, wanita yang telah menyelamatkan tubuh ini—Evelyn Tang.
"Jadi ... kau yang menyelamatkan tubuh ini," katanya, suaranya dalam dan dingin, tetapi ada sedikit nada terima kasih di sana.
Evelyn menyipitkan mata, menatapnya dengan curiga. "Kau sudah sadar, akhirnya. Tapi aku tak tahu siapa kau sebenarnya. Tatapanmu, auramu ... bukan seperti pria yang kutemukan di jurang malam itu."
Pria itu tersenyum tipis, senyuman yang tidak mencapai matanya. "Memang benar. Aku bukan pria lemah itu lagi. Mereka yang melempar tubuh ini ke jurang, yang mempermalukan tubuh ini, akan membayar setiap perbuatannya."
Evelyn menatapnya lebih lama, mencoba memahami perubahan besar yang dia lihat. "Siapapun kau sekarang, kau berhutang nyawa padaku. Jadi, apa yang akan kau lakukan dengan hidup yang telah kuberikan padamu?"
Pria itu berdiri perlahan, meski tubuhnya masih terasa lemah. Namun, aura yang terpancar darinya tidak bisa disembunyikan. Dengan tatapan dingin dan tajam, dia menjawab, "Aku akan membuat mereka semua berlutut di hadapanku."
Wanita di sampingnya, yang menyaksikan semuanya, mulai menyadari ada sesuatu yang tidak biasa. "Kau ... kau bukan orang biasa," katanya pelan, mencoba memahami apa yang terjadi.
Pria itu mengangkat kepalanya perlahan, menatap wanita itu dengan sorot mata tajam dan dingin yang memancarkan aura seorang penguasa. Napasnya masih berat, tetapi nada bicaranya berubah, lebih dalam dan penuh kekuatan.
"Aku adalah Li Yuanting. Jenderal perang terbesar yang pernah hidup. Mereka berani mempermalukan tubuh ini, mempermalukan keluargaku? Aku bersumpah ... aku akan membalas semuanya. Setiap tetes darah dan air mata yang tubuh ini derita, akan mereka bayar dengan nyawa mereka!"
Setelah beberapa hari terbaring tak sadarkan diri, Ethan Zhao—atau lebih tepatnya sang jenderal besar yang kini menghuni tubuh itu—akhirnya melangkah keluar dari rumah sakit.
Dunia modern yang penuh dengan keajaiban teknologi ini adalah sesuatu yang benar-benar asing baginya. Meskipun ingatan Ethan Zhao yang asli mengalir di kepalanya, semua itu tidak cukup untuk membuatnya merasa nyaman. Bagaimanapun, dia adalah seorang jenderal perang zaman kuno, bukan seorang pria modern yang memahami dunia yang bergerak dengan kecepatan cahaya ini.
Langit biru cerah membentang di atas, dan jalanan penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan yang melintas. Ethan berdiri di depan pintu rumah sakit, matanya menyapu sekeliling, menatap takjub pada semua hal yang terlihat.
Bangunan-bangunan tinggi mencakar langit, kendaraan bermesin baja menderu, dan orang-orang dengan pakaian aneh berjalan cepat sambil menatap benda persegi di tangan mereka.
"Ini ... seperti negeri asing," gumam Ethan, suaranya penuh rasa ingin tahu bercampur kebingungan. Meskipun ia memiliki akses ke ingatan Ethan Zhao, melihat semuanya langsung masih membuatnya tertegun.
Evelyn Tang, wanita yang menyelamatkannya dari jurang maut, berdiri di sampingnya dengan ekspresi datar. Ia melirik Ethan yang tampak linglung, kemudian berkata, "Jangan menatap seperti itu. Kau terlihat seperti orang yang baru saja keluar dari gua."
Ethan menoleh padanya, matanya menyipit. "Aku memang seperti orang yang baru keluar dari dunia yang berbeda," jawabnya tegas. "Dunia ini sangat aneh, penuh alat dan benda yang tak pernah kubayangkan."
Evelyn menghela napas panjang. "Kau benar-benar harus belajar menyesuaikan diri. Dunia modern tidak peduli siapa kau di masa lalu. Jika kau tidak memahami cara kerja dunia ini, kau akan terinjak-injak seperti sebelumnya."
Perkataan itu membuat Ethan terdiam. Ia tahu wanita ini benar. Dunia ini bukan medan perang yang bisa ia taklukkan dengan pedang dan strategi perang. Di sini, kekuatan datang dari sesuatu yang lebih rumit—kekuasaan, uang, teknologi, dan kecerdasan.
"Kau tunggu di sini! Aku akan mengambil mobilku dulu." Evelyn pergi tanpa menunggu jawaban pria itu.
Saat masih melihat-lihat bangunan pencakar langit, sebuah kendaraan hitam berhenti di hadapannya. Evelyn Tang keluar dari mobil itu, membuka pintu penumpang dengan santai. "Naik," katanya singkat, tanpa menunggu penjelasan.
Ethan menatap kendaraan itu dengan ekspresi serius. Di zaman perang kuno, kendaraan seperti ini adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. "Ini seperti kereta tanpa kuda," gumamnya pelan.
"Apa yang kau tunggu? Masuklah," desak Evelyn sambil menahan rasa frustrasi kecil.
Ethan mengangguk perlahan, mendekati pintu mobil.
Selama perjalanan menuju apartemen kecil yang disewa Evelyn untuknya, Ethan mengamati setiap detail. Ia mencoba memahami cara kerja kendaraan, membaca papan-papan yang berisi kata-kata asing, dan mencermati bagaimana orang-orang berbicara dan berinteraksi.
Saat mobil berhenti di depan apartemen kecil Evelyn, Ethan Zhao segera turun dengan sikap tenang. Tatapan matanya menyapu lingkungan sekitar, mencoba memahami dunia modern yang masih terasa asing baginya. Evelyn mengunci mobil dan melangkah masuk ke gedung apartemen, tetapi langkahnya terhenti ketika ia menyadari sesuatu.
"Ethan," panggil Evelyn sambil berbalik. Matanya langsung tertuju ke kaki pria itu, yang kini tidak mengenakan alas kaki sama sekali.
Ethan menoleh dengan alis terangkat, bingung melihat ekspresi Evelyn yang tampak tak percaya. "Apa?" tanyanya santai.
Evelyn menunjuk ke kakinya. "Di mana sepatumu?"
Ethan menjawab tanpa ragu, suaranya datar seolah itu hal yang paling wajar di dunia. "Aku melepaskannya saat masuk ke mobil tadi."
Mata Evelyn membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Kau ... melepas sepatumu saat masuk ke mobil?!"
Ethan mengangguk tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Tentu saja. Bukankah itu tindakan yang sopan? Di zamanku, kami tidak pernah membawa kotoran dari luar ke dalam ruang tertutup. Itu hanya akan mencemari tempat yang seharusnya bersih."
Evelyn memijat pelipisnya, mencoba menahan tawa sekaligus frustrasi. "Ethan, kau tahu mobil itu bukan ruang sakral atau tempat suci. Orang-orang memakai sepatu di mana-mana, termasuk di dalam mobil."
Ethan hanya menatapnya dengan ekspresi serius. "Di zamanku, kami sangat menghormati tempat tinggal atau ruang pribadi. Aku hanya mencoba menjaga kebersihan."
Evelyn mendesah panjang, lalu melirik ke arah mobilnya. "Jadi sepatumu masih ada di rumah sakit pinggir jalan?"
Ethan mengangguk lagi. "Benar. Aku meninggalkannya di sana."
Dengan wajah antara lelah dan geli, Evelyn melangkah kembali ke mobil untuk mengambil sepatu baru untuk Ethan. Ketika dia kembali dengan sepatu itu, dia melemparkannya ke tangan Ethan tanpa basa-basi.
"Kau harus belajar satu hal, Ethan," katanya sambil menatap pria itu tajam. "Dunia ini berbeda. Tidak ada yang peduli apakah kau membawa kotoran masuk atau tidak. Dan kau tidak bisa terus-menerus melepas sepatumu di mana saja hanya karena kebiasaan masa lalumu."
Ethan menerima sepatunya dengan tenang, lalu memakainya kembali. "Baiklah. Aku akan belajar, meskipun aku masih merasa aneh dengan semua ini."
Evelyn menggelengkan kepala sambil berjalan masuk ke apartemen, sementara Ethan mengikuti di belakangnya. Dalam hati, Evelyn tak bisa menahan senyum kecil. Meskipun pria ini aneh, ada sesuatu yang jujur dan tulus dalam tindakannya, seolah-olah dunia modern ini benar-benar baru baginya.
"Baiklah," gumam Evelyn saat mereka masuk ke apartemen kecilnya. "Mulai sekarang, kau harus mendengarkan aku. Kalau tidak, kau tidak akan bertahan lama di dunia ini."
Ethan menatap Evelyn dengan tatapan penuh tekad. "Aku telah bertahan di medan perang yang paling berbahaya. Dunia ini mungkin berbeda, tetapi aku tidak akan menyerah."
Evelyn mendengus kecil, lalu duduk di sofa. "Kita lihat saja, Jenderal. Tapi untuk sekarang, mari kita mulai dengan aturan dasar, jangan melepas sepatu saat masuk mobil lagi."
Ethan hanya mengangguk sambil menyapu pandangan ke apartemen itu, mencoba memahami kehidupan modern yang perlahan mulai ia masuki. Baginya, dunia ini adalah medan perang baru yang harus ia taklukkan, dimulai dari hal-hal kecil seperti ... tidak melepas sepatu di mobil.
Di dalam apartemen, Ethan duduk di sofa kecil sambil menatap sekeliling. Ruangan itu jauh berbeda dari kemewahan istana atau kemegahan tenda perang yang ia kenal. Meski sederhana, ruangan itu bersih dan teratur.
"Kau harus mulai dari nol," kata Evelyn tiba-tiba, meletakkan sebuah laptop di depannya. "Ini komputer. Alat ini bisa membantumu mempelajari apa saja. Kau bisa mulai dengan memahami dunia ini. Tapi ingat, kau juga harus berhati-hati. Dunia modern penuh dengan ancaman yang tidak terlihat."
Ethan memandangi benda itu, meski memiliki ingatan pemilik asli ia tetap merasa asing. Tapi satu hal yang ia tahu, pemilik tubuh ini seorang ahli dalam peretas.
Keesokan harinya, Evelyn menatap Ethan dengan tatapan serius sambil bersedekap. Ia sudah tidak tahan melihat pria itu dengan gaya berantakan dan pakaian lusuh miliknya yang sama sekali tidak cocok untuk dunia modern.
"Kau tidak bisa terus-terusan terlihat seperti ini, Ethan," ujar Evelyn sambil menunjuk dari kepala hingga kaki pria itu. "Kalau kau mau bertahan di dunia ini, penampilanmu adalah hal pertama yang harus diubah."
Ethan menatap Evelyn dengan alis terangkat. "Penampilan? Apa pentingnya itu? Di zamanku, yang terpenting adalah kemampuan bertarung dan strategi, bukan bagaimana seseorang terlihat."
Evelyn mendengus sambil meraih lengan Ethan. "Itu zamanku, ini zamanku. Di sini, penampilan bisa jadi setengah dari kesuksesanmu. Ikut aku."
Tanpa memberi Ethan kesempatan untuk menolak, Evelyn menyeretnya ke sebuah salon mewah di pusat kota. Saat mereka masuk, para staf salon segera menyambut dengan ramah, tetapi mata mereka langsung tertuju pada Ethan. Beberapa dari mereka berbisik, memperhatikan pria dengan pakaian sederhana yang tampak jauh dari kata menarik.
"Aku ingin dia diubah total," kata Evelyn dengan nada tegas sambil menunjuk Ethan.
"Diubah ... total?" ulang seorang stylist wanita, memperhatikan Ethan dari ujung kepala hingga kaki. Dia tampak ragu. "Hmm ... ini akan membutuhkan usaha, tapi kami bisa mencoba."
Ethan memandang para stylist dengan penuh curiga. "Apa yang akan mereka lakukan padaku?" tanyanya dingin.
"Tenang saja," jawab Evelyn sambil tersenyum sinis. "Mereka hanya akan membuatmu terlihat seperti manusia modern, bukan seseorang yang baru keluar dari masa lalu."
Meskipun enggan, Ethan akhirnya mengikuti instruksi mereka. Rambutnya dipangkas rapi dengan potongan modern, wajahnya dibersihkan dan dirawat hingga tampak bersinar, dan alisnya sedikit dirapikan untuk memberikan kesan tegas. Seluruh proses membuat Ethan merasa seperti seorang prajurit yang sedang dipermak untuk upacara kerajaan.
Beberapa jam kemudian, Evelyn menunggu di sofa sambil memainkan ponselnya. Ketika Ethan keluar dari ruangan, semua mata langsung tertuju padanya. Para stylist yang tadi tampak ragu kini tertegun, bahkan ada yang berdecak kagum.
Evelyn, yang awalnya sedang asyik dengan ponselnya, mendongak dan tertegun. Matanya membesar saat melihat sosok Ethan yang sekarang berdiri di hadapannya. Dengan rambut yang ditata rapi, kulit bersih bercahaya, dan pakaian baru yang dipilih dengan cermat oleh stylist, Ethan terlihat seperti model papan atas.
"Kau bercanda ...." gumam Evelyn dengan nada tak percaya.
Ethan, yang merasa canggung dengan semua perhatian itu, mengerutkan dahi. "Kenapa kau menatapku seperti itu?"
Evelyn bangkit dari sofa dan berjalan mendekat, menatap Ethan dari dekat. "Aku tidak percaya pria culun itu ternyata ...." Ia menghentikan kalimatnya sejenak, berusaha mencari kata yang tepat. "Benar-benar tampan."
Ethan hanya mendengus. "Aku tidak peduli dengan itu. Jika ini yang diperlukan untuk menjalani dunia ini, maka anggap saja aku sudah mematuhinya."
Salah satu stylist, yang masih kagum, menambahkan, "Dengan wajah seperti itu, kau bisa dengan mudah menjadi pusat perhatian di mana saja. Serius, kau seperti keluar dari majalah mode."
Evelyn tersenyum tipis, meskipun matanya tidak bisa berhenti memandangi Ethan. "Setidaknya sekarang kau terlihat layak untuk berjalan di sebelahku."
Ethan mengangkat alis, sedikit bingung. "Apa maksudmu?"
Evelyn menggelengkan kepala. "Sudahlah. Ayo pergi. Masih banyak yang harus kita lakukan."
Saat mereka keluar dari salon, Ethan merasa lebih percaya diri, meskipun dia masih tidak sepenuhnya memahami pentingnya penampilan dalam dunia modern ini. Satu hal yang ia tahu, dunia ini mungkin berbeda, tetapi dirinya tetap seorang jenderal—dan sekarang ia memiliki penampilan yang mampu membuat siapa pun terpukau.
*****
Setelah beberapa hari beradaptasi dengan dunia modern di apartemen Evelyn, Ethan Zhao—atau lebih tepatnya jenderal besar Li Yuanting—akhirnya memutuskan untuk kembali ke mansion keluarga Zhao.
Ingatan Ethan Zhao terus mengganggu pikirannya, terutama gambaran ibunya yang diperlakukan seperti pelayan rendahan oleh keluarga Zhao. Sebagai seorang jenderal, ia tidak bisa membiarkan penghinaan seperti itu berlanjut.
Saat mobil yang dikendarai Ethan berhenti di depan mansion Zhao yang megah, dia menatap bangunan itu dengan tatapan dingin. Di balik fasad mewah itu, ia tahu ada penghinaan, pengkhianatan, dan kekejaman yang tersembunyi.
Ketika Ethan masuk ke mansion dengan langkah tenang namun penuh wibawa, suasana di dalam langsung berubah hening. Para pelayan yang melihatnya tertegun, beberapa bahkan menjatuhkan barang yang mereka bawa.
"E—Ethan Tuan Muda?" gumam salah satu pelayan dengan suara gemetar.
Ethan tidak menanggapi mereka, hanya melangkah masuk dengan kepala tegak, auranya yang dingin dan kuat membuat semua orang merasa terintimidasi.
Di ruang tengah, Felix Zhao, adik tiri Ethan, sedang duduk santai di sofa sambil tertawa bersama Clara, istri Ethan. Ketika mereka mendengar suara langkah, mereka berdua menoleh, dan tawa mereka langsung lenyap.
"Ethan?!" seru Felix dengan nada terkejut, bangkit dari sofanya. Matanya membesar melihat pria yang seharusnya sudah mati itu berdiri di depannya.
Clara, yang awalnya duduk dengan angkuh, kini tampak pucat. Matanya melirik Ethan dengan ekspresi campuran antara terkejut dan takut. "K—kau ... kau masih hidup?"
Ethan menatap mereka dengan tatapan dingin yang menusuk, seolah-olah ia sedang menilai dua orang itu seperti musuh di medan perang. "Tentu saja aku masih hidup," jawabnya datar namun penuh tekanan. "Kenapa? Kalian kecewa?"
Felix mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan tertawa kecil. "Tentu saja tidak! Aku hanya terkejut. Kau ... kau menghilang begitu saja. Kami pikir kau ...."
"Mati?" potong Ethan dengan nada tajam, membuat Felix terdiam.
Clara, yang selama ini selalu memandang rendah Ethan, mencoba menguasai dirinya. "Bagaimana bisa kau kembali, Ethan? Bukankah—"
"Bukankah aku seharusnya mati di dasar jurang?" Ethan menyelesaikan kalimatnya dengan suara dingin, membuat Clara membeku di tempatnya.
Felix menelan ludah, mencoba menguasai situasi. "Ethan, ini semua salah paham. Aku senang kau kembali. Tapi bagaimana kau selamat?"
Ethan melangkah mendekati mereka, langkahnya perlahan namun penuh tekanan. "Itu tidak penting. Yang penting adalah aku kembali, lebih kuat dari sebelumnya. Dan mulai sekarang, tidak ada yang akan memperlakukan aku atau ibuku seperti sampah lagi."
Felix dan Clara terdiam, merasa terintimidasi oleh aura Ethan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Pria yang dulu lemah dan sering dipermalukan kini berdiri di depan mereka seperti seorang raja yang baru saja mengambil kembali tahtanya.
Sebelum Felix atau Clara bisa menjawab, suara seorang wanita tua yang lembut namun lelah terdengar dari arah dapur. "Ethan? Benarkah itu kau?"
Ethan menoleh dan melihat ibunya, seorang wanita dengan wajah pucat dan tubuh kurus, berdiri di sana dengan mata yang berkaca-kaca. Ia terlihat seperti tidak percaya bahwa putranya masih hidup.
Ethan mendekati ibunya, tatapannya yang dingin melunak untuk pertama kalinya. "Bu," katanya pelan, suaranya penuh emosi.
Air mata mengalir di pipi ibunya saat ia memeluk Ethan dengan erat. "Kupikir aku telah kehilanganmu ...." bisiknya.
Ethan membalas pelukan itu dengan lembut, namun matanya kembali dingin saat menatap Felix dan Clara dari atas bahu ibunya. Dalam hatinya, ia bersumpah bahwa mulai hari ini, tidak ada yang akan menyakiti ibunya lagi.
Dan mereka yang pernah menginjak-injak martabatnya, terutama Felix dan Clara, serta keluarga Zhao yang lain, akan membayar mahal atas apa yang telah mereka lakukan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!