NovelToon NovelToon

Widuri

Bab. 01

"Widuriiiiiii...!"

Suara menggelegar terdengar dari salah satu kamar dilantai dua di kediaman Handoko Bramajaya. Suara nyaring ditengah pesta yang seharusnya meriah itu begitu kuat, amarah yang memuncak dirasakan oleh Handoko saat mendapati kamar sang cucu kosong.

Betapa tidak, sang cucu yang digadang gadang akan menjadi penerusnya kelak kini justru menorehkan luka. Handoko tak pernah menduga rencana yang ia susun rapi kini mulai berantakan. Widuri hilang, mungkin lebih tepat jika dikatakan melarikan diri tepat dihari pernikahannya sendiri.

Perjodohan yang sudah direncanakan jauh jauh hari dengan segala persiapan yang matang, terorganisir dan tentu saja menguntungkan semua pihak.

Handoko memerintahkan semua pelayan mencarinya dalam senyap, jangan sampai bahkan tamu undangan yang mulai berdatangan memenuhi ruang mewah dilantai satu itu tahu apa yang terjadi terlebih keluarga Limidjaya. Calon besannya.

Tidak kaleng-kaleng memang, tamu yang datang adalah kolega dan rekan bisnis Handoko dan juga calon besannya. Dan tentu saja jika mereka belum tahu Widuri telah kabur.

Seorang wanita melangkah masuk dengan sedikit panik. Namun, seutas senyum tersembunyi dibalik bibir merahnya. Bersamaan dengan bunga-bunga yang mekar dalam dadanya. Laksmi.

Dia begitu gembira mengetahui Widuri kabur. Cucu yang menjadi kesayangan sang ayah dan juga keponakan satu-satunya yang selama ini menjadi duri baginya.

Wanita berambut ikal itu mengelus punggung sang ayah, dibelakangnya menyusul seorang pria muda yang tampak serius mengedarkan pandangannya keseluruh kamar.

"Benarkan Widuri kabur Kakek?"

"Daniel, kau tahu Widuri kabur?" Sorot mata tajam Handoko mengalih ke arah belakang dimana Daniel, putra Laksmi berdiri canggung.

Laksmi buru-buru mengode, mengibaskan tangan dibelakang tubuhnya dengan menatap Daniel. Meskipun putranya tahu sesuatu, dia berharap Daniel tutup mulut saja.

"Mana mungkin Daniel tahu, Ayah. Widuri saja tidak pernah mau menyapa ataupun bicara pada anakku ini. Apalagi sejak Ayah menyuruh Daniel bergabung diperusahaan sebagai anak magang. Daniel sangat sibuk," kata Laksmi buru-buru, membuat Handoko kembali meremas gulungan kertas ditangannya.

Melihat Ayahnya terpaku, Laksmi kembali tersenyum puas seraya terus menepuk punggung guna menenangkan. "Itulah akibatnya karena Ayah terlalu memanjakannya, sudah kubilang anak itu menuruni sifat ibunya yang miskin. Sekarang Ayah tahu rasanya kecewa untuk kedua kalinya bukan?" ucapnya datar tanpa berhenti mengusap. "Kalau dulu Ayah kecewa karena putra kebanggaan Ayah lebih memilih menikahi wanita miskin. dan sekarang kembali terulang. Anak bermental miskin itu mengikuti jejak ayahnya, dia pasti kabur bersama pria lain. Pria miskin!" Laksmi terus mengompori. "Sudah pasti itu!" Katanya lagi terangguk-angguk yakin.

Ucapan Laksmi mengingatkan Handoko pada kejadian puluhan tahun silam. Membuat pria dengan rambut dipenuhi uban itu meradang, seluruh giginya bergemeretak kuat. Entah apa yang ada di fikirannya kini. Hingga tubuh yang masih terlihat tegap kini melemah, pijakannya sedikit goyah, nyaris saja limbung kedepan jika Daniel tidak buru-buru menyanggahnya.

Laksmi terperanjat dengan cepat, merekatkan pegangannya pada kedua bahunya. Takut juga terjadi sesuatu yang buruk pada Ayahnya.

"Jangan kau bicara lagi Laksmi! Kepalaku pusing!" kata Handoko memegang kepalanya yang terasa berdenyut hebat.

"Kakek pasti kecewa. Tapi tenang saja. Aku akan cari Widuri dan kubawa pulang, Kek." Ujar Daniel membawa sang Kakek duduk di tepian ranjang.

Sementara dilantai bawah, kedua keluarga besar sudah berkumpul karena menunggu acara akad yang sebentar lagi harus sudah dimulai, bahkan penghulu pun telah tiba sejak lima belas menit yang lalu. Musik tetap mengalun indah, mengiringi seorang vokalis wanita yang tengah menyanyi. Mengalun indah pun guna mensiasati mempelai wanita yang tidak juga turun.

"Non Widuri tidak ada dikamarnya!"

"Widuri kabur!?"

"Apa benar Widuri kabur?"

Desis demi desis mulut diantara mereka semakin jelas terdengar, membuat suasana jadi aneh, ditambah kegaduhan pemilik rumah hingga pecahan kaca terdengar dari atas kini. Semua tampak mencekam.

Saling lirik, pandangan antara satu dan lainnya kini terasa berbeda membuat suasana pesta yang digadang-gadang menjadi pesta fenomenal yang melibatkan dua keluarga terpandang seantero kota semakin mencekam.

Hanya kamar pengantin yang menjadi saksi kaburnya mempelai wanita tepat dihari yang seharusnya hari bahagianya seumur hidup. Secarik kertas sebagai bukti hilangnya seorang insan manusia yang menolak takdir hidup yang ditentukan keluarga. Yang hanya berupa ucapan selamat tinggal dan tentu saja dianggap sebuah penolakan yang Handoko temukan diatas gaun pengantin berwarna putih bermanik dibagian leher pilihannya.

Semua orang dia perintahkan mencarinya di beberapa ruangan, juga disekitar rumahnya namun nihil. Widuri kadung pergi. Sang cucu yang notabene adalah cucu kesayangannya kini telah pergi dan menorehkan kekecewaan teramat dalam. Widuri telah pergi.

Kabar merebak dengan cepat hingga ke telinga keluarga mempelai pria yang sejak tadi menunggu, beberapa orang mulai berdiri disusul oleh orang berpakaian jas hitam yang segera naik ke atas dengan tidak sabar guna mempertanyakan selentingan itu. Begitu juga dengan Hendra Limidjaya.

Kamar yang telah dihias menjadi kamar pengantin itu kini terasa sesak ketika Hendra dan keluarganya masuk. Dan semakin sesak dengan hawa panas dengan beberapa orang menyusul dibelakangnya. Terlihat amarah dari wajah mereka yang tidak bisa dielakkan lagi.

"Apa yang terjadi Handoko? Mereka ribut soal cucumu!" Hendra tak kuasa menahan sabarnya. Kedua bola matanya lincah menyusuri area kamar.

"Kurang ajar kau Handoko! Kau sengaja mencoreng nama baik keluargaku kalau begini caranya!" katanya lagi membaca situasi.

Keluarga Hendra tersulut emosi, betapa tidak, harga dirinya tercabik cabik. Bahkan sang ibu mempelai pingsan. "Astaga...!?!"

Handoko hanya bisa terdiam, lidahnya kelu terhadap cercaan keluarga Limidjaya, Ia bisa menjelaskan apa-apa pada keluarga yang tengah dipuncak marah.

"Lalu bagaimana ini Handoko! Aku tidak bisa mentolerir kejadian ini! Semua perjanjian kita batal, kau dengar!?" ucap Hendra keras, sambil memegangi istrinya dengan susah payah.

"Tunggu Hendra, Widuri pasti kembali. Dia hanya pergi barang sebentar. Tidak akan lama. Orangku sedang mencarinya. Aku bisa memperbaikinya. Cucuku mungkin belum jauh dari sini!" Terang Handoko seraya mencekal tangan Hendra Limidjaya, mencoba menenangkan kemarahan calon besan sekaligus partner bisnisnya selama ini. Hanya itu yang dia bisa.

Hendra menepisnya kasar seraya berdecih. Dia tidak yakin Handoko mampu memperbaikinya. Lagi pula harga dirinya sudah terlukai, dia tidak mungkin hanya diam saja menerima. Jikalau Widuri kembali pun, Hendra jelas tidak akan menerima penghinaan ini begitu saja.

"Aku pastikan kau hancur Handoko! Kau tunggu saja!" ucapnya seraya pergi.

Melihat situasi semakin rumit, Daniel keluar dari kamar. Dia berniat mencari keberadaan kakak sepupunya itu agar kembali pulang dan memperbaiki situasi. Beberapa ruang telah ia geledah bersama beberapa pelayan namun kembali nihil. Disekitar rumahpun tidak ada.

"Apa mungkin Widuri pergi sejak semalam?" tanyanya pada salah satu.

Tidak ada yang menjawabnya, semua tertunduk lesu tanpa tahu apa-apa.

"Aku harus periksa CCTV!" Cicitnya setelah lelah menunggu jawaban tak pasti.

Daniel memasuki ruang kerja milik sang kakek, dimana ada sebuah pintu yang terhubung ke arah ruang CCTV.

Langkahnya begitu cepat, ia ingin segera membereskan masalah ini dan otomatis mendapat perhatian kakek atas kerja kerasnya.

Namun alangkah terkejutnya ia saat membuka pintu berwarna coklat itu. Wajahnya berubah merah dengan sorot mata tajam saat memasuki ruangan. Lalu berdecak disertai gelengan kepala.

"Sial! Rupanya kau disini saat semua kelimpungan mencarimu Widuri!?"

Widuri yang tak kalah kaget terperangah, sampai sampai buah apel yang tengah ia nikmati itu jatuh.

"Uppppsss... ketahuan!"

"Ayo Widuri, jangan membuat masalah dengan kakek! Kau tahu sendiri bagaimana dia kan! Kau hanya perlu minta maaf dan perbaiki kesalahanmu. Ini demi kebaikanmu! Reno pria baik, dia tampan dan kharismatik. Prestasinya juga banyak dan tentu saja dia calon pemimpin perusahaan, " bujuk Daniel, seperti biasa ia tidak bisa lama lama marah pada Widuri.

Widuri memungut kembali apel yang terjatuh, menggosoknya pelan pada celana jeans yang ia kenakan lalu menggigitnya tenang.

"Kenapa bukan kau saja yang menikah dengannya Daniel!!" Ucapnya tanpa melihat lawan bicaranya, "Kau fikir aku tidak tahu apa apa!?"

"Apa maksudmu Widuri!"

Bab. 02

Daniel mencekal lengan Widuri, membuat gadis berusia 21 tahun itu kembali terperanjat kaget lalu menekur kepalanya kebawah. Melihat apelnya kembali menggelinding jatuh.

Bukan hanya cekalannya saja yang kuat, sorot mata Daniel pun ikut menajam tatkala Widuri yang hanya berfokus pada apelnya dilantai.

Ia masih tetap diam tanpa menjelaskan apa yang terucap dibibirnya, membiarkan Daniel sibuk dengan fikirannya sendiri.

"Lepas deh. Sakit tahu...!" keluhnya dengan membalas tatapan tajam Daniel tanpa takut sedikitpun.

Ya, Widuri tak pernah takut apapun. Bahkan kemarahan kakeknya yang dia abaikan dengan melakukan tindakannya saat ini.

Daniel mengendurkan cengkramannya, bagaimanapun dia begitu menyayangi saudaranya itu, lagipula Daniel tidak ingin membuat Widuri kesal. Dipastikan dia tidak akan memiliki kesempatan melihatnya lagi seperti saat ini jika terlalu keras.

Tatapan Daniel kini meredup. Meskipun tidak berniat melepaskan tangan Widuri, takut jika gadis itu kabur lebih jauh.

"Aku tanya apa maksud ucapanmu, Widuri?!"

Suara Daniel melembut, seperti biasanya. Daniel tidak pernah bisa marah lama-lama jika berurusan dengan Widuri.

Pelan namun pasti, Widuri menepis jemari kuat Daniel dilengannya hingga terlepas. Lalu berjongkok mengambil apel miliknya. Sementara Daniel hanya bisa menatapnya, mengikuti pergerakan tubuhnya.

"Sudahlah, tidak usah pura-pura deh. Rahasia aman pokoknya asal aku juga terlindungi!" Ucap Widuri masih diposisi jongkok menepuk debu yang menempel pada apel lalu menggosoknya pelan pada celana bagian lututnya.

"Aku memang tidak mengerti! Dan ya, bukan itu masalahnya saat ini, Widuri! Ayolah, jangan seperti anak-anak. Kau sudah harus menikah agar punya karier yang bagus, punya anak dan tentu akan bahagia." terang Daniel.

Widuri bangkit berdiri, kembali menikmati apel yang sudah dua kali jatuh, mengunyahnya santai kemudian berjalan kearah monitor CCTV.

Daniel mengernyitkan dahi, apa sejak awal dia hanya memperhatikan kekacauan diluar sana?

"Sebatas itukah pemikiranmu, Daniel." Cicitnya, mendudukkan bokongnya pada kursi dengan terus menatap monitor lalu menghembuskan nafas kasarnya. "Sebentar lagi aku pergi, rahasiakan ini dari kakek. Ok!" lanjutnya.

Daniel menghela nafas berat lalu mendekatinya. "Ayolah, jangan membuat semuanya semakin rumit. Kau fikir kakek akan diam saja? Dia akan mencarimu kemanapun sampai ke liang terkecil sekalipun dan menyeretmu pulang. Seperti kita saat kecil,"

Widuri menggeleng, bangkit dari kursi dan berjalan ke arah belakang dimana tas ranselnya berada. Percuma berdebat dengan sepupunya itu, memberikan penjelasan atas apa yang dia utarakan tadi pun enggan "Bukankah kau mau aku bahagia?" cicitnya dengan memasukan barang berharga miliknya ke dalam tas.

Ponsel, kartu identitas dan tentu dompet berisi uang dan juga kartu sakti yang selama ini menjadi penunjang hidupnya tak lupa ia masukan. Hanya beberapa lembar pakaian saja yang ia bawa.

"Widi... Ayolah!? Bukan kebahagian ini yang aku maksud!"

"Kalau begitu kita tidak searah dalam pemikiran, Daniel. Bahagia ku yang dengan cara ini. Widuri menoleh ke arah dimana Daniel berdiri. lalu bergidik, "Menikah dengan orang macam Reno, bisa bisa aku kena penyakit." lanjutnya pelan.

Ransel sudah tersampir dikedua bahu tegaknya, tak lupa dia menguncir rambut panjangnya dan memakai topi. Dirinya siap keluar dari rumah setelah memastikan jika keluarga Hendra sudah tidak ada.

"Oh, demi keamananmu juga pastikan kau tutup mulut. Ok Daniel!" ucapnya menepuk bahu Daniel sebelum ia menghilang dibalik pintu.

Daniel hanya menghela nafas panjang menyaksikan kepergiannya.

Widuri mengendap-endap menuju arah belakang rumah. Dia sengaja pergi saat semua sibuk di depan dimana saat ini kakeknya sudah pasti tengah menginterogasi semua orang. Seperti selama ini ia tahu kebiasaan dan sepak terjang sang kakek.

Setelah tiba dipersimpangan jalan, Widuri segera masuk kedalam taksi. Tujuannya adalah keluar dari kota nun jauh disana agar kakeknya tidak bisa menemukannya. Senyum kemenangan terbit dari bibirnya saat ia menyandarkan tubuhnya dikursi penumpang, topi yang menutupi rambutnya ia buka, dan melepaskan ikatan rambutnya juga.

"Bandara pak!" titahnya.

"Sial... Benar-benar sial...!"

Widuri tak hentinya merutuk, berjalan mondar mandir didepan petugas bandara. Entah kenapa tiket atas namanya tidak bisa di proses. Bahkan data-data dirinya masuk kedalam datfar tercekal. Apa maksudnya.

"Baiklah kek, kalau itu mau kakek. Aku tidak akan keluar kota!" Gumamnya pelan, tidak pernah menduga sang kakek lebih cepat dari yang ia kira.

Widuri berbalik arah, ia keluar dari bandara dan berniat menuju stasion kereta. Ya, pesawat terbang tidak bisa ia andalkan tentu saja masih ada kereta api, fikirnya.

Widuri menikmati perjalanannya kali ini, melihat hiruk pikuk kota dengan segala kekacauannya. Debu polusi maupun asap dimana mana tidak membuat dirinya menyerah. Justru sangat menyenangkan bisa keluar dari sangkar emas yang selama ini menyesakkan dirinya.

Merasa bebas mengexpresikan diri Widuri menjadi kalap. Keluar masuk toko yang belum pernah ia jejali. Uang cash yang dia pegang berhambur dengan cepat, membeli segala makanan dan minuman yang belum pernah ia rasai. Benda benda tidak penting dan juga barang tidak berguna pun ia beli, kartu sakti pun bekerja lebih cepat dari biasanya.

Hingga awan cerah berubah gelap Widuri baru tiba di hotel disebuah kota. ia segera masuk ke dalam kamar dengan jendela besar menghadap laut yang sengaja ia pesan, melemparkan barang-barang yang hanya hanya akan menjadi sampah itu dilantai penatnya setelah seharian berpetualang.

Gadis itu melemparkan dirinya diatas ranjang. Senang rasanya sampai-sampai rasanya ia tengah berada disurga dengan segala kedamaiannya, rencana-rencana yang tersusun dan juga daftar keinginan yang akan ia lakukan dengan hati riang gembira, hingga terlelap saking lelahnya.

Widuri mengerjap kaget, beberapa kali pintu kamarnya digedor dari luar. Ia mengucek kedua matanya lalu menggapai ponsel yang berada tak jauh darinya. Namun tidak ada notifikasi apa-apa karena sengaja ia matikan data internetnya sejak pagi.

"Apa-apaan sih!" gerutunya seraya bangkit, menggeliat lalu menguap.

Tangannya dengan malas membuka pintu, berharap layanan kamar atau semacamnya karena hotel yang ia pilih ini memang terkenal layanannya yang sangat bagus.

"Maaf, anda harus segera meninggalkan tempat ini karena deposit anda telah dibatalkan." ucap seseorang saat pintu baru saja terbuka.

Widuri mengerjap sempurna, apa-apaan ini. Nyawanya masih belum terkumpul semua, tapi kesadarannya langsung berkumpul paksa.

"Apa. Coba ulangi?" Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Nona, deposit anda telah ditarik. Jadi, segeralah berkemas dan silahkan pergi." kali ini Staff hotel mengulangi dengan lebih jelas. "Demi kedamaian juga nama baik hotel kami," lanjutnya.

Widuri menghela nafas, lagi-lagi fikirannya langsung tertuju pada Handoko. Sang kakek yang terkenal otoriter itu tidak akan mudah membiarkan Widuri hidup tenang padahal baru sehari saja.

Dengan emosi Widuri membereskan barangnya, memasukkan benda yang bisa muat diranselnya dan meninggalkan barang lainnya. Para staff masih setia menunggunya didepan pintu dengan wajah ramahnya sementara Widuri tersungut menyeret kedua kakinya dari kamar.

"Setidaknya berikan aku sarapan!"

Bab. 03

Melihat beberapa orang berdiri didepan resepsionis membuat Widuri menghentikan langkahnya sejenak. Dia harus waspada jika mereka orang suruhan Handoko dan akan membawanya pulang ke rumah.

"Tidak... Tidak... Aku tidak mau!" cicit Widuri, memilih berbalik ke arah berlainan. "Aku harus pergi, persetan dengan sarapanku. Aku bahkan tidak sempat mencuci muka!" katanya lagi mempercepat langkahnya.

Widuri terus berlari kecil, menjauh dari hal-hal mencurigakan adalah pilihan tepat. Termasuk orang orang dengan seragam yang sama dan terlihat berjaga-jaga tadi yang mungkin saja akan menangkapnya. Namun Widuri justru semakin masuk ke area belakang hotel, dimana hanya orang yang berkepentingan khususnya petinggi petinggi hotel saja yang bisa masuk ke dalam sana.

"Sebentar lagi rapat akan mulai, Pak."

"Para staff juga sudah menyerahkan laporan mereka selama satu bulan ini."

Dua orang manusia tinggi berjalan sejajar, pakaian mereka serupa namun tak sama, salah satunya lebih elegan dan juga mewah. Kemungkinan mereka adalah atasan dan asistennya. Berjalan cepat dan sangat gesit menandakan mereka adalah orang yang sangat sibuk dan hampir saja bertabrakan dengan Widuri yang tengah berlari lari kecil sambil terus menengok kebelakang. Mencurigakan.

"Uppsss... Sorry!"

Widuri menarik topi hingga menutupi setengah wajahnya seraya terus menundukkan kepala, entah kenapa setelah memutuskan kabur dia jadi takut bertemu manusia lain. Dia segera menyingkir, menghimpitkan tubuhnya kearah tembok dan membiarkan dua manusia tinggi itu melewati dirinya.

Namun tidak ada pergerakan dari dua orang pria itu, mereka justru mematung dengan penuh heran melihat orang lain berada disana. Sedangkan Widuri diam-diam menatap keduanya dengan ekor matanya seraya menunggu.

"Fer... sejak kapan area ini dipakai untuk umum!?"

Ferdy, Widuri diam diam memperhatikan, menatap pria dengan tulisan Ferdian tercetak jelas di nametag yang menggantung dijas hitamnya. Terlihat pria itu segera menganggukkan kepala, lalu merogoh ponsel dibalik jasnya.

"Maaf Pak, sepertinya ada kesalahan! Aku akan meng---"

Belum juga selesai bicara, pria yang lebih tegap kembali berjalan tanpa acuh, langkahnya begitu tegas, setegas pancaran wajahnya yang datar tanpa expresi, melewati Widuri tanpa melirik sedikitpun. Gadis itu sampai bergidik, aura dingin terasa sampai ke kulit ari. Rasanya bulu kuduk ikut meremang.

"Bereskan!!" ucapnya begitu angkuh.

Widuri kembali bergidik, seolah mengingatkannya pada ke otoriteran sang kakek, lalu beralih menatap pria bernama Ferdi yang menatapnya tajam hingga Widuri kembali menundukan kepalanya.

Alih-alih mengikuti bosnya, Ferdy justru mendekati Widuri, secepat kilat pria berkaca mata itu menyambar topi yang dikenakan Widuri sampai gadis itu terkesiap kaget. Tak sampai situ, Ferdy langsung menarik tangannya hingga tubuh tak seberapa ramping itu terhuyung.

"Ayo ikut! Apa seniormu tidak memberitahukan tata tertib dan peraturan hotel?"

Widuri jelas meronta-ronta, namun tenaganya tidaklah seberapa dibandingkan pria bernama Ferdy itu. Tubuhnya terhuyung-huyung tak jelas, berteriak walau tidak didengar saat Ferdy membawanya terus melewati koridor. "Tapi... tapi... aku bisa menjelaskannya! Aaahhh... Sakit tahu!"

"Sudah jelaskan nanti dikantor saja!"

Widuri kini duduk di sebuah kursi, menggosok pergelangan tangannya yang memerah. Didepannya terdapat meja dengan papan bertuliskan kepala personalia bagian umum. Dan duduklah Ferdi disana.

"Panggil mentormu kemari dan selesaikan secara diam- diam. Jangan ada keributan apalagi membuat Pak Marcel marah!"

"Dengar ya, Fer.. emmpphh..." Widuri ragu, mengatupkan kembali mulutnya, sesaat kemudian ia menegakkan bahunya. "Pak Ferdy yang terhormat. Aku tidak bekerja disini, dan aku tidak tahu kalau area ini tidak boleh dimasuki olehku!?" jelasnya.

"Oleh siapapun!"

"Ya... Ya... Oleh siapapun. Aku ini tamu hotel..." terang Widuri, "Yang kesasar!" katanya lagi.

Tatapan Ferdy menelisik, dari bawah sampai atas kepala Widuri. Lalu berdecih.

"Kau tahu. Posisiku ini sangat penting, aku juga sedang sibuk sekali jadi tolong jangan berulah. Kalau kau tidak sanggup bekerja dengan baik di hotel ini lebih baik mengundurkan diri saja!" Ferdy melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, masih ada waktu sedikit untuk menangani masalah kecil ini. Fikirnya.

"Astaga, sudah kubilang aku tidak bekerja disini. Perlu aku buktikan?"

Setelah bicara itu Widuri justru langsung terdiam. Bagaimana bisa ia membuktikan dirinya sesudah dirinya terusir dari kamar yang dipesannya. Widuri mengembuskan nafasnya kasar. Depositnya bahkan dibatalkan secara sepihak.

"Dari divisi mana?"

Ferdy tidak peduli penjelasan Widuri, dia memanggil seseorang melalui intercom yang berada di meja.

"Bukan begitu, .... Aduuhhhh...!" ucap Widuri mengacak rambutnya pelan.

Sampai terdengar seseorang mengetuk pintu, seorang wanita berambut pendek dengan tubuh sedikit berisi melangkah masuk. Wanita itu langsung mengarahkan tatapan tajam pada Widuri yang saat ini terlihat bak tahanan.

"Kau tahu apa kesalahanmu? Sudah kubilang jangan membuat masalah apalagi sampai pak Marcel sendiri yang turun tangan. Bereskan kekacauan ini atau gajimu ku potong!" ucap Ferdy sambil berdiri padanya

"Ya ampun, jangan dong Ferdy. Bulan ini pamanmu harus kontrol ke dokter!"

"Kau fikir hanya gajimu yang dipotong! Aku juga..."

"Tapi...," terdengar wanita itu mendengus kasar.

Tatapannya beralih pada Widuri yang sejak tadi hanya diam menatap keduanya secara bergantian.

"Kau. Dari divisi mana? Ayo ke ruanganku!" titahnya.

"Astaga, apalagi ini..." Gumam Widuri memijit pelipisnya pelan tanpa mereka dengar. "Dengar ya Ibu... Bapak... Aku sudah katakan berkali-kali kalau aku itu tidak bekerja disini, aku bukan pegawai hotel. Aku ini tamu..." terang Widuri penuh penekanan.

Berkali-kali Widuri menjelaskan tapi mereka sama sekali tidak ada yang peduli. Mereka terus saja menekan Widuri hingga gadis itu emosi.

"Jangan-jangan kau orang suruhan dari kompetitor kita, bukan begitu Ferdy?" tuduh wanita itu menatap Ferdy.

Ferdy diam sejenak lalu mengangguk-anggukan kepalanya. Ucapan Bibinya masuk akal juga. Siapa yang nekat masuk mengendap-ngendap ke dalam ruangan khusus petinggi hotel jika tidak ada maksud terselubung bukan.

Mereka bahkan menginterogasi Widuri dengan berbagai macam pertanyaan yang bahkan Widuri tidak mengerti, selain bentakan dan juga tuduhan yang semakin tidak masuk akal tanpa mendengarkan sedikitpun penjelasannya.

Tidak tahan dengan tuduhan yang dilayangkan bertubi-tubi, emosi Widuri akhirnya memuncak, ia yang awalnya santai kini berdiri seraya menggebrak meja. "Sudahlah, biarkan aku pergi dan masalah ini kita anggap selesai. Lagipula aku hanya kesasar kok. Tidak ada maksud lainnya apalagi maksud terselubung seperti yang kalian tuduhkan. Aku ini cucu orang terpandang, aku orang kaya, aku bahkan bisa menyuruh kakekku membeli hotel ini!" terangnya dengan sekali nafas.

Mereka berdua justru tertawa, mencemooh ucapan Widuri. Siapa pun mungkin juga tidak akan percaya jika melihat penampilannya saat ini, rambut acak-acakan, riasan ah sudahlah. Membayangkannya saja akan sangat sulit.

"Astaga... Sudah kabur dari rumah tapi tetap menggunakan nama besar kakek. Mau ditaruh dimana mukaku ini jika kakek tahu! Widi kau ceroboh sekali"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!