NovelToon NovelToon

MR. TIAN AND THE CRAZY GIRL

Prolog

"Greyna Yoivandex!"

Pria itu menatap gadis yang berlari menaiki tangga sambil membawa laptop kerjanya, suaranya tegas. "Balik ke sini!"

Dengan senyum penuh tantangan, Grey berhenti di tengah anak tangga. Ia menoleh dan menjulurkan lidah.

"Om aja yang ke sini. Tangkap kalau bisa!" sahutnya ringan, matanya berbinar nakal sebelum kembali berlari.

Pria itu langsung berdiri dan menyusul ke lantai tiga dengan langkah cepat. "Nantangin, ya?" gumamnya sambil mengusap dagu, matanya menyapu ruangan mencari Grey yang membawa kabur laptopnya. "Bermain petak umpet? Baiklah, saya temani."

Dengan senyum tipis, ia membuka pintu kamar dan langsung mencurigai lemari yang sedikit terbuka.

"Hmm..." Ia mendekat perlahan, lalu—krek!—membuka pintu lemari.

"AAAA! TOLONG! ADA HANTU!" Grey menjerit spontan, matanya terpejam erat sambil memeluk laptop seperti harta karun.

Pria itu tertawa pendek. "Kena kau. Sini, laptopku."

Grey menggeleng cepat. "Udah jam satu pagi, Om. Kata Mama Zela, kalau begadang terus nanti sakit. Aku jadi janda, gimana?"

Tangan pria itu menarik laptop pelan-pelan. "Sudah, jangan dengarkan dia. Saya harus kerja."

Tapi Grey makin mengeratkan pelukan. "Tidur, Om!"

"Kamu bisa enggak berhenti manggil ‘Om’? Saya ini suamimu. Masak dipanggilnya kayak paman?"

Grey memutar bola matanya. "Terus? Mau dipanggil apa? ‘Suamiku’, ‘sayang’, ‘cintaku’, ‘my love’, ‘mas’, ‘kakak’, atau… ‘kakek’? ‘Om’ aja udah pas, enggak usah ribet."

Pria itu memijat pelipisnya. "Salahkan mama yang jodohin saya sama anak kecil belum lepas puber."

"Ah, terserah," Grey merebahkan diri di kasur dan memejamkan mata—tapi tiba-tiba merangkak mendekat, lalu "Hug!"—merangkul Tian seperti gurita.

"Grey… tolong… lepas. Saya sesak!" suara Tian terdengar tercekik.

"Kalau enggak dipeluk gini, nanti Om kabur lagi kerja," Grey bergumam, wajahnya menempel di bahu Tian.

"Saya enggak kabur… asal kamu enggak bikin saya pingsan dulu," Tian menghela napas putus asa.

Pernikahan mereka sudah berjalan tujuh bulan. Tian sibuk dengan pekerjaannya, sementara Grey? Sibuk hidup. Dari balapan liar, keluyuran tak jelas, sampai bikin drama dadakan tiap hari.

Awalnya, Grey menolak perjodohan ini mentah-mentah. Tapi setelah ancaman "Gak mau? Uang jajan dipotong!" dari Bundanya, Aresa, ia pun "Ya sudahlah…" dengan setengah hati.

Keesokan harinya…

Sinar matahari pagi menyelinap lewat jendela, menyinari kamar. Tian menggerakkan lengannya yang kebas, lalu menoleh. Di sebelahnya, Grey tertidur pulas dengan mulut sedikit terbuka—air liur menetes di lengan baju tidurnya.

"Beruntung atau sial, ya?" gumam Tian sambil mengusap wajah. "Ah, sudahlah. Jalani saja seperti kata mama."

Matanya menelusuri wajah Grey yang polos saat tidur. "Kalau tidur, lucu sekali. Bangun? Monster kecil."

Ia menepuk pipi Grey pelan. "Hey, bangun."

"Ngggh… lima menit lagi…" Grey bergumam sambil mengubur wajah di bantal.

Tian menghela napas. "Grey, ayo! Udah jam tujuh lebih! Kamu telat kelas!"

Mata Grey melebar. Ia menoleh ke jam dinding—"OM! ITU BARU JAM ENAM!"—pipinya mengembung.

"Oh, baru jam enam? Kurang tidur saya rupanya," Tian berpura-pura menguap, lalu mencoba menyelinap keluar. "Aduh—!"

"Mau ke mana?" suara Grey tiba-tiba jelas, masih setengah tertidur.

"Jogging. Mau ikut?"

Grey hanya melambai dari balik selimut. "Mimpi kali ye…"

"Yaudah, selamat tidur," pintu kamar tertutup.

Belum lima menit…

BRRNG! BRRNG!

Grey menggeram. "Siapa ini ganggu hari Minggu…"

"Halo, Greyna—"

"JANGAN TELPON GUE KALO MINGGU!" bentaknya.

"EH, KAMPRET! LO YANG JANJI MAU KE PANTAI JAM LIMA! SEKARANG UDAH JAM SETENGAH TUJUH!" teriak Kiera.

Grey melonjak. "ASTAGA! GUE LUPA!"

"JADI? GAK IKUT?"

"Siapa aja yang udah di sana?"

"Cuma gue sama Alka," jawab Kiera.

"Fajar, Erland, Gio?"

"Gio bilang mau nyusul. Yang lain gak tahu. LO BENERAN IKUT ATAU ENGGAK?"

"Tunggu! Kalian udah siap?"

Di latar, suara Alka terdengar. "Gimana penampilan gue?"

"Perfect!" Kiera menyahut.

"Kita udah siap dari tadi! Lo masih tidur, ya?"

"ENGGAK! GUE UDAH SIAP-SIAP!" Grey berbohong sambil melompat dari kasur.

"BOONG! DUA PULUH MENIT, JEMPUT KITA! KALO ENGGAK, BATAL!" Klik.

Mereka belum tahu Grey sudah menikah—bahkan sahabatnya sendiri.

Grey segera menekan kontak "Tiang Listrik🐺". "Halo, Om? Aku baru ingat, hari ini janji ke pantai sama Kiera dan Alka. Boleh kan?"

"Cuma kalian bertiga?"

"Iya."

"Hati-hati di jalan."

"Makasih, Om!"

Grey mandi kilat, lalu mengenakan kaos hitam dan celana pendek. "Ini cukup lah, ya?"

Ia menyambar ransel dan meluncur ke bawah. Pas di depan pintu, Tian baru pulang jogging.

"Om, aku pergi dulu ya!"

"Iya, jangan ngebut," Tian mengangguk, menyaksikan mobil Grey melesat.

Dua puluh menit kemudian…

Mobil Grey berhenti di depan rumah Kiera. Alka dan Kiera sudah berdiri dengan tangan di pinggang.

"What's up, geng? Maaf telat. Tadi ada kecelakaan kecil!" Grey nyengir lebar.

"Lo bawa apa aja sih?" Kiera mengernyit melihat koper besar di bagasi.

"Mau liburan atau pindah rumah?" Grey mengangkat koper.

"Kita nginep dua hari, bro. Udah booking vila dekat pantai," Kiera berkacak pinggang.

Grey tercekat. "KAMPRET! KOK ENGGAK BILANG DARI KEMARIN?"

Alka menyeringai. "Biar ada kejutan."

"Gue cuma bawa baju seadanya!"

Kiera menepuk bahunya. "Santai, baju gue bisa lo pakai."

"Lo nyetir, kan?" Alka membuka pintu depan.

Grey memutar mata. "Ya iyalah, masa hantu?"

"Cowok-cowoknya ikut juga?" tanya Alka sambil mengoleskan lipstik.

Tiba-tiba—BREK!

Lipstiknya meleset ke pipi. "GREYNA!!"

"Jangan salahin gue! Mobil depan rem mendadak!" Sebuah Fortuner hitam menyalip dengan klakson panjang. Grey menggeram.

"Dasar kurang ajar!" Ia mengejar mobil itu.

"GREY, JANGAN NGEJAR! KITA BUKAN DI FAST & FURIOUS!" Kiera berteriak.

Saat sejajar, Grey membuka kaca dan menyalakan klakson. Tiga wajah familiar muncul—Erland, Fajar, dan Gio.

"Hai, Greyna Sayang!" Erland melambai, senyum lebar.

Di dalam mobil, Greyna dan kedua sahabatnya sudah larut dalam euforia musik breakbeat yang menggelegar. Untungnya, selera musik mereka sama—bayangkan jika Kiera menyukai dangdut koplo, Alka hanya mendengarkan lagu galau penyanyi broken heart, sementara Grey fanatik breakbeat. Hancur sudah dunia!

"MY SEXY PAPI—WOO!" teriak Alka sambil menggoyang-goyangkan kepala, rambutnya berantakan tertiup angin dari jendela yang terbuka.

"SEXY PAP-PAP! YEAH!" Kiera menambahkan, tangannya mengacung seperti di konser.

"PUT YOUR HANDS UP, BABY!" Grey berseru, dan untuk efek dramatis—melepas kedua tangan dari kemudi!

"GREYNA! TANGANNYA DI STIR! DI STIR!!" Kiera dan Alka berteriak histeris, mencengkeram jok kursi seakan hidup mereka bergantung padanya.

Grey tertawa lebar sebelum akhirnya memegang kemudi lagi tepat sebelum mobil nyaris nyelonong ke bahu jalan. "Santai, gue profesional!"

"PROFESIONAL APA? PROFESIONAL BIKIN JANTUNG BERHENTI?!" Alka menjerit, wajahnya pucat.

Kiera menutup mata. "Gue mau nelepon mama...buat pamitan."

Tapi Grey hanya memutar volume musik lebih kencang. "YOLO, GIRLS! LAGU INI MASIH 3 MENIT LAGI!"

Dan mobil itu melesat, membawa tiga gadis yang setengah mati ketakutan—tapi tetap bernyanyi keras-keras seperti tidak ada hari esok.

(Kecelakaan? Tidak hari ini. Tapi besok? Who knows.)

BERSAMBUNG...

Wahai para pembacaku yang setia setia, komen kalian bikin aku makin semangat nulis, lho! Jangan lupa kasih saran ya~ 💕

Bab 2: Grey Dengan Segala Gebrakannya

"Berasa lagi triple date, nggak sih?" bisik Alka sambil menyikut lembut tulang rusuk Grey yang sedang asyik melahap udang bakar dengan tangan penuh minyak. Bibirnya yang kemerahan sudah belepotan saus tiram.

Mereka sudah tiba 30 menit lalu di warung seafood pinggir pantai yang atapnya terbuat dari anyaman daun kelapa. Grey langsung memesan tiga porsi udang bakar extra pedas plus nasi hangat yang masih mengepul. Erland dan Fajar yang duduk berseberangan terus meliriknya dengan tatapan takjub, tapi Grey hanya fokus pada piringnya, sesekali menjilat jari-jemarinya yang lengket dengan nikmat.

"Udangnya enak banget," gumam Grey sambil menambah nasi untuk ketiga kalinya, butiran nasi jatuh berceceran di kaos oblongnya yang sudah bernoda kecap. Tangannya yang mungil dengan kuku dicat warna ungu itu terus aktif memecah cangkang udang dengan mahir.

Kiera memijat pelipisnya sambil mengamati tingkah Grey. Gadis ini benar-benar nggak punya malu. Dilirik ketua OSIS sekaligus kapten basket sekolah tetangga sekalipun, tetap aja makan kayak excavator yang kelaparan. Rambut pirang pendeknya yang biasanya rapi sekarang acak-acakan karena angin pantai.

"Eugghh... Kenyang!" Grey mengusap perutnya yang membuncit dengan punggung tangan, lalu mengeluarkan sendawa keras yang membuat beberapa pengunjung lain menoleh. "Waduh, maaf ya!" ucapnya sambil terkekeh tanpa rasa bersalah.

"Ngeri banget lo kalau makan. Porsi lima orang bisa lo habisin sendiri," komentar Alka sambil menggeleng, matanya masih tak percaya melihat tumpukan cangkang udang dan tulang ikan di depan Grey.

"Apaan sih? Dari dulu emang gitu!" Kiera menyambar sambil meminum es kelapa muda. Bibirnya yang dipoles lipstik pink kini sudah pudar. "Inget nggak waktu makan prasmanan nikahan om Fariz? Dia bisa habisin tiga porsi sendiri!"

"Berisik. Gue mau tidur, bye!" Grey berdiri tiba-tiba, kursi kayunya berdecit keras di lantai pasir. Tanpa peduli sisa-sisa makanan di sudut mulutnya, dia langsung melengos ke arah penginapan.

"Waduh, abis ditraktir malah kabur tanpa bilang makasih," Alka mencibir sambil memainkan sedotan plastiknya.

Grey yang sudah beberapa meter jauhnya hanya membalas dengan acungan jari tengah melambai di udara tanpa menoleh. "Bayarnya kan Erland, bukan elu!" teriaknya sambil berlari kecil menghindari omelan. Lagipula, dia tahu Erland naksir mati-matian sama Alka, jadi pasti senang bisa mentraktir.

Sore Hari

Grey terbangun dengan mulut terasa pahit dan bau amis udang masih melekat. "Kampret, ketiduran!" ujarnya sambil menjulurkan tubuh seperti kucing yang baru bangun.

Dari balik jendela kamar penginapan bernuansa kayu itu, panorama pantai terlihat semakin memukau di sore hari. Langit berubah menjadi kanvas raksasa dengan gradasi warna yang memesona. Oranye keemasan bercampur dengan semburat merah muda dan ungu seperti lukisan impresionis, sementara matahari yang mulai merendah memantulkan kilau emas cair di permukaan air. Ombak kecil berkejaran ke tepi pantai dengan ritme teratur, meninggalkan buih putih yang langsung lenyap seperti ilusi.

Di kejauhan, siluet perahu nelayan tradisional bergoyang-goyang lembut, layarnya yang berwarna cokelat mengembang diterpa angin. Sekelompok burung camar terbang rendah, sesekali menyambar ikan kecil sebelum kembali menari di udara dengan kelihaian penari balet. Suara mereka yang riang bersahutan dengan deburan ombak.

Pasir pantai yang putih kekuningan masih menyimpan kehangatan sisa terik siang. Beberapa pasangan berjalan tanpa alas kaki, jejak mereka langsung terhapus oleh ombak berikutnya. Di pinggir pantai, deretan pohon kelapa melambai-lambai dengan elegan, daun-daunnya yang panjang berdesir ditiup angin sore yang mulai dingin.

Suara gemericik air bercampur dengan tawa riang sekelompok remaja yang sedang bermain voli pantai. Bau khas laut yang asin bercampur sedikit amis menyusup lewat celah jendela, dibawa angin yang sesekali menyentuh kulit Grey yang masih hangat karena tidur siang.

"Padahal cantik banget sih pemandangannya..." gumam Grey sambil mengusap perutnya yang sudah kempes. Matanya menangkap sepiring sisa kerang bakar di meja samping tempat tidur. Dengan gerakan malas, ia menjulurkan tangan dan mengambil satu kerang terakhir, mengunyahnya perlahan. Rasanya masih hangat dan gurih.

Di luar, langit mulai berubah menjadi biru kelam dengan semburat jingga terakhir di ufuk barat. Bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu seperti lampu kecil yang dinyalakan bergantian.

Ponselnya berdering. Ada 5 pesan dari Tian:

[16.45] Udah sampai?

[16.50] Lagi apa?

[17.02] Pemandangannya bagus?

[17.15] Makan apa tadi?

[17.30] Jangan lupa pakai sunblock.

Grey merinding melihat rentetan pesan itu. "Aktif banget nih orang ngirim pesan. Jangan-jangan... dia mulai suka lagi sama gue?" ujarnya sambil menggigit bibir bawahnya. Pipinya yang biasanya pucat kini memerah tanpa disadari.

Malam Hari – Pantai

Tian menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, asap rokoknya menyatu dengan udara malam. "Berhenti hela napas kayak dunia mau kiamat besok!" Paul mengomel sambil meminum birnya. "Cely udah move on, lo kapan?"

"Aku cari udara segar dulu," ucap Tian pendek, lalu berjalan menyusuri tepi pantai yang sekarang sudah sepi. Pasir dingin menyelusup di antara jari-jari kakinya yang telanjang.

Tiba-tiba, matanya menangkap sosok gadis berjalan ke tengah laut dengan gaun putih yang berkibar-kibar. "Apa itu... percobaan bunuh diri?!" jantungnya berdebar kencang.

"HEI! KAMU NGAPAIN?!" teriaknya sambil berlari dan tanpa pikir panjang MEMELUK ERAT gadis itu dari belakang. Tubuhnya yang tinggi besar dengan mudah mengunci gadis itu dalam pelukan.

"LEPAS! GUE UDAH PUNYA SUAMI, JANGAN MACAM-MACAM!" Gadis itu memberontak dengan energi tak terduga. Tian merasakan siku tajam menancap di ulu hatinya.

"Saya cuma mau nyelamatin kamu—"

Gadis itu berbalik dengan gerakan cepat—DOR!—tinjunya nyaris mendarat di hidung Tian sebelum akhirnya mereka saling menatap.

"GREYNA?!"

"OM?! NGAPAIN DISINI?!"

Mata Grey membelalak seperti ikan mas yang baru dikeluarkan dari akuarium. Rambut basahnya menempel di pipi, gaun putihnya yang tipis kini transparan karena basah, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang mungil.

"Saya... liburan," jawab Tian gugup sambil berusaha tidak menatap bagian tubuh Grey yang terbuka. Tangannya dengan refleks melepas jaketnya dan menyelimuti bahu Grey.

"Kok bisa pas banget di pantai yang sama?!"

"Mana saya tahu," jawab Tian sambil menoleh, tapi gagal menyembunyikan telinganya yang memerah.

Dengan tatapan khawatir, pria itu menatap Grey. "Kamu ngapain nyebur ke laut jam segini? Nyari mati?" suaranya serak karena angin malam.

Grey mengangkat alis setinggi-tingginya. "Mulut Om dijaga! Aku cuma mau liat plankton bercahaya. Katanya di sini ada bioluminescence." Tangannya menunjuk ke air yang berpendar biru lembut.

"Plankton?!" Tian mengerutkan kening, lalu tiba-tiba mengangkat Grey seperti karung beras. "Ehh, jangan gendong-gendong! Gue bisa jalan sendiri!" Grey menggeliat seperti ikan yang baru ditangkap.

"Diam. Kamar nomor berapa?"

"67. Tapi Om mau apa—"

"Bikin Tian Junior," jawab Tian polos sambil melangkah mantap. "Kita kan sudah halal."

Grey tersedak. "Om jorok! Ini pelecehan seksual!" teriaknya sambil memukul-mukul punggung Tian.

"Percuma protes. Saya udah kenyang lihat baju renangmu yang transparan tadi," goda Tian sambil memukul lembut pantat Grey.

Sesampainya di kamar, Grey disuruh mandi. "Bau laut banget kamu," omel Tian sambil mengusap rambut basah Grey. "Saya balik dulu. Baju saya jadi basah semua."

Grey berdiri bengong melihat suaminya pergi. "Hah? Cuma gitu doang? Gak ada 'insiden kamar hotel'?" gumamnya kecewa.

Dua Hari Kemudian

"Ommm... gendong!" Grey merengek di dalam mobil, tangan terbuka lebar seperti anak kecil.

Tian menghela napas. "Kaki buat apa? Hiasan?"

"Biarin! Aku kan boneka Barbie kesayangan Om~" Grey mengedipkan mata.

Meski menggerutu, Tian akhirnya menggendongnya. Grey tersenyum puas mencium aroma parfum kesukaan suaminya.

"Om, besok kerja?"

"Iya. Kamu juga sekolah," jawab Tian sambil menaiki tangga.

"Aku mau liburan lagi..." Grey menggerutu.

"Makalahmu?" tanya Tian sambil membuka pintu.

"Sebentar lagi selesai," jawab Grey sambil menjatuhkan diri ke sofa.

Tian duduk di sebelahnya. "Besok saya ke China urusan bisnis. Mau nitip apa?"

"CHINA?!" Grey melompat. "Om mau cari selingkuhan ya? Di sana ceweknya cantik-cantik!"

"Dasar otak udang," Tian memutar mata. "Ini dokumen kontraknya."

Grey malah nyeletuk: "Aku mau cowok China dua!" sambil mengacungkan peace sign.

"Dua? Kurang ajar!" Tian mencubit pipi Grey.

"Wleee~" Grey menjulurkan lidah panjang sebelum kabur menghindari kejaran Tian.

BERSAMBUNG...

Wahai para pembacaku yang setia, komen kalian bikin aku makin semangat nulis, lho! Jangan lupa kasih saran ya~ 💕

BAB 3 — Kerja Kelompok

Jam 04.30, bel sekolah berbunyi nyaring memecah keheningan sore. Suara riuh rendah sepatu menggeser lantai keramik dan gemerincing kunci motor memenuhi udara saat siswa-siswi berbondong-bondong meninggalkan sekolah, termasuk Grey yang sedang memeriksa tasnya untuk kesekian kalinya, Alka yang asyik memainkan helmnya, dan Kiera yang sibuk mengikat jaket di pinggang.

Saat Grey hendak menyalakan motornya yang hitam metalik, tiba-tiba—

"Greyy!"

Suara Fajar menggema dari belakang, membuat Grey hampir menjatuhkan kunci motornya. Ia menoleh dan melihat Fajar berlari kecil mendekat, napasnya sedikit tersengal dengan ransel yang terayun-ayun di punggungnya.

"Kenapa, Jar?" tanya Grey sambil menyipitkan matanya yang hitam pekat karena silau matahari sore yang menyorot tepat di antara bangunan sekolah.

Fajar berhenti tepat di depan Grey, tangannya menumpu di lutut sambil menarik napas dalam. "Boleh nebeng nggak?" pinta Fajar dengan suara memelas, matanya yang cokelat muda berkedip-kedip penuh harap.

Alka yang sedang memakai helm hitamnya mengangkat satu alis tebalnya, ekspresinya skeptis. "Motor lo?"

Fajar mengusap keringat di dahinya. "Tadi pas berangkat, bannya bocor. Sekarang lagi di bengkel," jelasnya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya yang sudah pudar warnanya. "Nih, liat aja fotonya."

Grey menghela napas panjang, lalu mengangguk sambil mengibaskan rambut hitam pendeknya yang terkena angin sore. "Yaudah, gue ayo-ayo aja, tapi lo yang bawa motor," katanya sambil melemparkan kunci motor ke arah Fajar.

Fajar langsung tersenyum lebar, giginya yang putih bersinar di bawah sinar matahari. Diam-diam, matanya melirik ke arah Erland yang sedang bersembunyi di balik pohon beringin dekat gerbang sekolah, lalu dalam hati bergumam, "Hahaha, gue bilang apa? Udah pasti dibolehin!"

Erland yang melihat dari balik batang pohon langsung memukul dahan di dekatnya, wajahnya merah padam. "Fajar kampret!" umpatnya dengan suara berbisik kasar.

Fajar dengan gesit menaiki motor Grey dan menyalakan mesinnya yang meraung halus. "Kalian mau ke mana?" tanyanya sambil menyesuaikan posisi kaca spion.

"Mau nyelesaiin makalah," jawab Grey singkat sambil memastikan tas ranselnya yang abu-abu itu aman di jok belakang.

Tak lama, mereka tiba di depan rumah Fajar yang dikelilingi pagar putih dengan tanaman merambat yang rapi.

"Mau mampir nggak?" tanya Fajar sambil menunjuk ke arah rumahnya dengan senyum manis.

Grey menggeleng, matanya melihat jam tangannya yang berwarna perak. "Ngga, kita dikejar waktu," tolaknya sambil melambaikan tangan.

"Oke, thanks ya!" Fajar melambai antusias sebelum Grey, Alka, dan Kiera melanjutkan perjalanan.

Begitu motor Grey menghilang di ujung jalan, Fajar langsung melompat-lompat kecil seperti anak SD yang dapat permen, tangannya meninju udara. "Yes, yes, yes!" teriaknya gembira sebelum berjalan santai ke dalam rumah sambil bersiul riang lagu pop yang sedang hits.

1 jam 30 menit kemudian...

Kafe "Sunset Brew" terlihat cozy dengan lampu-lampu gantung yang memancarkan cahaya hangat. Grey, Alka, dan Kiera duduk di dekat jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota.

Pemandangan dari kafe ini memang selalu memukau. Pegunungan hijau membentang sejauh mata memandang, puncaknya diselimuti kabut tipis seperti kapas. Langit senja berwarna jingga keemasan bercampur ungu muda, disapu cahaya matahari terbenam yang memantulkan kilau keemasan di kaca-kaca gedung perkantoran. Lampu-lampu kota di kejauhan sudah mulai berkerlap-kerlip seperti kunang-kunang raksasa, menciptakan siluet menakjubkan di antara bangunan-bangunan tinggi.

Grey menghela napas lega, menikmati udara sejuk yang berhembus dari AC. "Pesennya apa?" tanyanya sambil membuka menu yang terbuat dari kayu lapis.

Alka dan Kiera saling pandang sebentar sebelum Alka menjawab, "Cappuccino aja," sambil menyenderkan badan ke kursi kayu yang nyaman.

Grey kemudian menoleh ke Kiera yang sedang memainkan rambut panjangnya. "Kamu?"

"Creamy latte," jawab Kiera dengan senyum manis, matanya berbinar melihat foto latte art di menu.

Grey mengangguk dan berjalan ke kasir, melewati beberapa pengunjung lain yang asyik mengobrol atau bekerja di laptop mereka.

Malam itu terasa berbeda. Alka mengamati Grey yang tidak seperti biasanya - biasanya sebelum jam 9 malam Grey sudah gelisah ingin pulang. "Enggak pulang, Rey?" tanyanya penasaran, jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu secara ritmis.

Grey hanya menggeleng, matanya tetap tertuju ke speaker kecil di sudut kafe yang memutar alunan jazz lembut. Kiera memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi wajah Grey yang biasanya mudah ditebak.

"Mama Teresa enggak marah?" tanyanya lagi dengan nada menggoda. Sebenarnya yang lebih sering marah bukan Teresa, melainkan Sebastian - suami Grey yang terkenal tegas.

Grey kembali menggeleng, kali ini dengan sedikit erangan. Alka dan Kiera saling pandang, lalu berbisik pelan.

"Pasti dia lagi keluar kota, makanya santai gini," tebak Alka sambil menyipitkan matanya.

Kiera mengangguk setuju, "Iya, kayaknya."

Tiba-tiba, ponsel Grey bergetar di atas meja, membuat gelas air sedikit bergetar. Grey langsung menyambar ponselnya. "Halo."

"Hmm, lagi apa?" suara Tian yang dalam dan berat terdengar di seberang.

"Lagi ngerjain makalah," jawab Grey sambil mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya yang ramping.

"Di mana? Saya liat CCTV rumah sepi," tanya Tian, nada suaranya mulai terdengar curiga.

Grey menghela napas kecil. "Di kafe, bareng Alka sama Kiera."

"Kamu udah makan?" tanya Tian lagi, suaranya lebih lembut sekarang.

"Belum," jawab Grey singkat sambil melihat jam tangannya.

"Ka, Ra, gue ke toilet bentar," Grey pamit sebelum berdiri dan menjauh dari meja.

Begitu sampai di dekat toilet, Grey menekan tombol speakerphone. "Om, lagi apa?" tanyanya sambil bersandar di dinding.

"Lagi rebahan," jawab Tian santai, suaranya terdengar berat seperti baru bangun tidur.

Grey menyipitkan matanya yang tajam. "Sama cewe, ya?"

Tian tiba-tiba tertawa kecil, suaranya yang dalam bergema di speaker. "Iya, cewenya itu Xander Puas. Kamu?" Xander adalah sekretaris Tian.

Grey langsung mencibir. "Ihh, Om mencurigakan! Mana, ganti video call!"

Tian menghela napas dramatis sebelum panggilan beralih ke video. Layar ponsel Grey langsung menampilkan wajah Tian yang baru selesai mandi, rambut hitamnya yang biasanya rapi sekarang masih setengah basah menempel di dahinya. Ia sedang bersandar di kepala tempat tidur besar dengan bantal-bantal empuk di belakangnya.

"Habis mandi, Om?" tanya Grey, matanya memperhatikan latar belakang kamar Tian yang mewah.

"Iya, baru pulang. Kamu di mana itu?" balas Tian sambil mengusap rambutnya yang masih basah dengan tangan kosongnya.

"Di kafe," jawab Grey singkat.

"Jam 08.57 sudah, kenapa belum pulang?" tanya Tian, alis tebalnya yang rapi naik ke atas menandakan keheranan.

Grey melihat ke arah teman-temannya yang sedang asyik mengobrol. "Belum selesai, Om. Dikit lagi," jawabnya sambil menggigit bibir bawahnya.

"Awas, bohong! Pulang-pulang, saya kasih hadiah," ancam Tian dengan nada main-main tapi matanya yang tajam menatap lewat kamera.

Grey tersenyum tipis, giginya yang putih bersinar sebentar. "2 cowok China?"

Tian menggeleng, lalu tersenyum licik. "Saya mau bikin Tian Junior!"

Mata Grey langsung melotot, bulu kuduknya merinding dari leher sampai punggung. "Hah?!" suaranya naik beberapa oktaf.

"Iya, udah dulu, saya mau lanjut ngerjain tugas," ucap Grey buru-buru sebelum memutuskan panggilan dengan jari yang sedikit gemetar.

Tian masih sempat berteriak, "Eee, tunggu bentar! Jam 10, saya nggak liat kamu di rumah, awas aja!" sebelum layar menjadi hitam.

Grey menghela napas panjang, lalu kembali ke meja mereka. Tapi yang dia lihat membuatnya menghela napas lagi - Erland, Fajar, dan Gio sudah duduk santai di kursi tambahan yang didorong ke meja mereka.

"Ini tiga manusia ada di mana-mana, sempit banget dunia," keluh Grey sambil memijat pelipisnya yang mulai berdenyut-denyut.

Fajar langsung menyapa dengan semangat. "Hai Grey!" sambil melambai-lambaikan tangannya yang besar.

Grey hanya mengangkat alis, lalu menyesap kopi americano-nya yang mulai dingin, mencoba menenangkan diri setelah percakapan dengan Tian.

Matanya mencuri pandang ke jam tangan peraknya yang mewah. *"9 malam… Harus buru-buru nih,"* pikirnya sambil mengetuk-ngetuk gelas kopinya dengan kuku yang terawat rapi.

Tiba-tiba, Erland yang sedang asyik memainkan gelang kulitnya bertanya, "Em Grey, lo pulang jam berapa?"

"Selesai ini, gue pulang," jawab Grey singkat sambil merapikan beberapa kertas di atas meja.

Alka dan Kiera saling pandang lagi, sementara Erland hanya mengangguk dengan ekspresi datar.

Tiba-tiba—

"Fajar!!!"

Suara teriakan perempuan memecah keheningan kafe yang sebelumnya tenang. Semua pengunjung menoleh ke arah sumber suara. Andrea, seorang perempuan dengan rambut cokelat sebahu dan mata yang menyala-nyala, sedang berdiri di pintu masuk dengan napas terengah-engah seperti baru berlari.

"Serius, lo enggak pernah balas chat gue? Kenapa sih?!" Andrea berjalan cepat mendekati meja mereka, wajahnya merah padam, tangannya mengepal di samping tubuh.

Fajar langsung berdiri seperti tentara yang dapat perintah, wajahnya pucat. "Tenang, Andrea. Ini enggak kayak yang lo pikir."

Andrea melirik tajam ke arah Alka, Grey, dan Kiera. "Oh, jangan-jangan kalian selingkuhannya?!" suaranya semakin tinggi, membuat beberapa pengunjung lain mulai berbisik-bisik.

Erland dan Gio langsung menggaruk-garuk tengkuk mereka dengan wajah tidak bersalah, berusaha tidak ikut campur. Fajar menarik napas dalam. "Ayo, pergi!" katanya sambil mencoba menarik lengan Andrea.

Andrea malah semakin emosi, menarik tangannya dengan kasar. "Enggak! Lo ya cewe gatel, enggak tau malu!" teriaknya sambil menunjuk-nunjuk ke arah meja mereka.

Suasana kafe yang tadinya tenang langsung berubah tegang. Beberapa staf kafe mulai mendekat dengan wajah waspada.

Setelah kejadian itu, suasana perlahan kembali normal. Gio yang duduk di sebelah Erland melirik temannya. "Land, jadi balapan nggak malam ini?"

Erland menyeringai, menunjukkan giginya yang sedikit runcing. "Ayo-ayo aja, yang penting duitnya setimpal."

Gio mengangguk mantap. "Soal uang aman, tenang aja."

Alka dan Kiera yang mendengar langsung bersemangat. "Kita boleh ikut nonton nggak?" tanya Alka penuh harap, matanya berbinar-binar.

Gio menoleh ke mereka dengan ekspresi serius. "Kalo ada polisi, urusan masing-masing ya. Kita enggak tanggung jawab."

Alka menghela napas kecewa. "Yeahh, padahal pengen nonton."

Kiera memutar matanya yang besar. "Lo mau mulut bonyok lo berbusa gara-gara ngomel, hm?"

Alka cengengesan. "Enggak sih."

Jam dinding kafe sudah menunjukkan pukul 09.45. Grey buru-buru berdiri, tasnya sudah siap di pundak. "Eh, gue pulang dulu ya."

"Udah selesai juga kan makalahnya," tambahnya sambil merapikan kertas-kertas di meja.

Dalam hati, Grey bergidik. "Bisa mati gue kalo enggak pulang sekarang."

Gio menyeringai melihat Grey yang terburu-buru. "Buru-buru banget sih, Grey."

Grey mengangguk sambil memakai jaket kulit hitamnya yang mewah dengan cepat. "Iya, duluan ya."

"Iya, hati-hati, Rey!" seru teman-temannya sambil melambai.

Sebelum berangkat, Grey menelepon Tian lagi. "Halo, Om."

"Ya?" jawab Tian datar di seberang.

"Ini saya udah mau pulang, tapi paling nyampe jam 11 soalnya jaraknya jauh," jelas Grey sambil menyalakan motornya.

Tian menghela napas panjang di telepon. "Astagfirullah, kamu ngapain jauh-jauh amat?"

Grey tersenyum kecil meski tahu Tian tidak bisa melihat. "Ah, bodo amat. Pokoknya saya udah mau pulang. Udah dulu, ya, Om. Nanti kabarin lagi kalo udah sampai."

Tian mengingatkan dengan suara yang tiba-tiba lembut, "Hati-hati bawa motornya, jangan ngebut."

"Iya," jawab Grey sebelum menutup telepon dan memasang earphone nirkabelnya.

Dia menghidupkan mesin motornya yang langsung meraung kencang, lalu meluncur meninggalkan parkiran kafe. Jalanan di depan sudah gelap dan sepi, hanya diterangi lampu jalan yang jarang dan lampu motornya yang terang. Bulu kuduknya berdiri ketika angin malam yang dingin menerpa melalui jaketnya.

"Sial, tau gini tadi bawa mobil," gerutunya dalam hati sambil mempercepat laju motornya.

Udara malam semakin dingin menusuk tulang, dan Grey menggigil kecil. Matanya terus memantau jalanan yang sepi sambil sesekali melirik jam tangan. Dia harus cepat sampai rumah sebelum Tian benar-benar marah. Di kejauhan, suara sirene polisi terdengar samar, membuatnya semakin waspada.

BERSAMBUNG...

Wahai para pembacaku yang setia setia, komen kalian bikin aku makin semangat nulis, lho! Jangan lupa kasih saran ya~ 💕

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!