NovelToon NovelToon

MR. TIAN AND THE CRAZY GIRL

Prolog

"Grey!" seru pria itu sambil menatap gadis yang berlari menaiki tangga sambil membawa laptop kerjanya. "Balik ke sini!" ucapnya tegas.

Dengan senyum penuh tantangan, Grey berhenti di tengah anak tangga. Ia menoleh dan menjulurkan lidah.

"Om aja yang ke sini. Tangkap kalau bisa!" sahutnya ringan namun menggoda, lalu kembali berlari naik.

Pria itu langsung berdiri dan menyusul ke lantai tiga dengan langkah cepat.

"Nantangin, nih," gumamnya kesal, mulai mencari Grey yang membawa kabur laptopnya.

"Bermain petak umpet, ya? Baiklah, saya turuti."

Dengan senyum setipis silet, dia membuka pintu kamar dan langsung memerhatikan pintu lemari yang sedikit terbuka.

"Hmmm..." gumamnya curiga. Ia mendekat perlahan dan membuka lemari—

"AAAA! Tolong! ADA HANTU!" jerit Grey spontan.

Grey memejamkan matanya erat sambil memeluk laptop seperti harta karun. Pria itu tertawa pelan.

"Kena juga. Sini, balikin laptop saya."

Grey menggeleng cepat. "Udah jam satu pagi, Om. Mama Zela (Mama Tian) bilang, kalau begadang terus nanti sakit. Saya jadi janda, mau gimana?"

Pria itu menarik pelan laptopnya. "Udah, enggak usah dengerin. Sini, saya mau kerja."

Tapi Grey makin mengeratkan pelukan pada laptop. "Tidur, Om!"

"Kamu bisa enggak berhenti manggil ‘Om’? Saya ini suami kamu. Masak dipanggilnya ‘Om’?"

Grey memutar bola matanya malas. "Terus? Mau dipanggil apa? Suamiku, sayangku, cintaku, my love, mas, kakak, atau... kakek? 'Om' aja udah pas banget, enggak usah ribet."

Pria itu memijat pelipisnya. "Salahkan mama yang jodohin aku sama anak kecil yang masih puber."

"Ah, terserah," ucap Tian, merebahkan diri di kasur. Lalu memejamkan mata.

Tian—si suami yang malang—hanya bisa menghela napas. Tapi tak lama kemudian, Grey tiba-tiba ikut naik ke kasur dan merapat ke tubuh Tian. Ia memeluk Tian erat—terlalu erat.

"Grey... tolong... lepas. Kamu peluknya kayak gurita!" ucap Tian setengah megap-megap.

"Kalau enggak dipeluk gini, nanti Om kabur lagi kerja," sahut Grey, membenamkan wajahnya di bahu Tian.

"Enggak bakal kabur... asal kamu enggak bikin saya sesak napas," Tian mulai putus asa.

Pernikahan mereka sudah berjalan tujuh bulan. Tian sibuk dengan kerjaannya, sementara Grey? Sibuk keluyuran. Mulai dari balapan, jalan-jalan, sampai bikin drama kecil setiap hari.

Awalnya, Grey jelas menolak perjodohan ini mentah-mentah. Tapi setelah mendapat ancaman manis dari Bundanya, Aresa, ia pun menyerah dan menikah.

Keesokan harinya, Tian membuka mata perlahan. Sinar matahari menembus jendela, menyapa dengan hangat. Tapi yang terasa bukan kehangatan... melainkan tangan yang kebas.

Ia menoleh. Dan di sanalah Grey, tertidur pulas dengan air liur menetes di lengannya.

"Beruntung atau buntung, saya juga bingung," gumam Tian sambil nyengir. "Ya sudah, jalani aja sesuai pesan mama."

Ia memandangi wajah Grey yang terlihat polos saat tidur. "Kalau tidur, kamu imut banget. Tapi kalau udah bangun, nyebelin setengah mati."

Tian menepuk pipi Grey pelan. "Hei, bangun."

"Ngghhh... lima menit lagi," gumam Grey manja.

Tian mendesah panjang. "Grey, bangun! Udah jam tujuh dua lima! Lima menit lagi kamu masuk kelas!"

Mata Grey langsung terbuka lebar. Ia menoleh ke arah jam dinding. "Om! Itu baru jam enam dua lima! Lagian hari ini Minggu!" protesnya sambil menggembungkan pipi.

"Oh ya? Baru jam enam, ya? Saya kira udah jam tujuh. Hehe," Tian menarik lengannya pelan. "Ugh!"

"Mau ke mana hari ini?" tanya Tian santai.

"Entahlah," jawab Grey sambil menarik selimut menutupi kepalanya.

"Jawaban andalan banget," ucap Tian sambil bangkit dari kasur. Tak lama kemudian, ia keluar kamar dengan pakaian olahraga.

"Saya mau jogging. Mau ikut?"

Grey hanya melambaikan tangan dari balik selimut.

"Yaudah, selamat tidur," Tian menutup pintu kamar.

Tapi belum sempat tidur nyenyak, ponsel Grey berdering. Ia menggeram kesal.

"Apa sih, Minggu juga diganggu!"

Ia mengangkat ponselnya. "Halo, Greyna—"

"JANGAN ganggu gue kalau Minggu!" bentak Grey ketus.

"Eh, kampret! Lo yang janji kemarin. Katanya mau ke pantai jam lima subuh. Sekarang udah jam enam!"

Grey melonjak bangun. "Astaga! Gue lupa!"

"Lupa? Jadi pergi enggak?"

"Siapa aja yang udah di sana?"

"Alka dan aku," jawab suara di seberang.

"Fajar, Erland, Gio?"

"Enggak tahu. Lo ikut enggak? Kalau enggak, gue shopping nih!"

"Kalian udah siap?"

"Bagaimana penampilanku?" tanya Alka.

"Perfect!" sahut Kiera.

"Kita udah siap! Lo masih tidur, ya?"

"Enggak! Udah bangun!" elak Grey cepat.

"Boong banget! Dua puluh menit, siap-siap, terus jemput kita!"

"Kampret, dua puluh menit cukup buat apa? Mandi aja sejam!"

"Enggak peduli! Kalau dua puluh menit lo belum nongol, batal ke pantai!" Klik. Panggilan terputus.

Mereka belum tahu kalau Grey udah menikah. Kenapa? Karena Grey belum bilang. Bahkan ke sahabatnya.

Ia mencari kontak 'Tiang Listrik🐺' di ponsel.

"Halo?"

"Om, aku baru ingat, hari ini mau ke pantai bareng dua sahabatku. Boleh ya?"

"Cuma bertiga?"

"Iya."

"Yaudah, hati-hati bawa mobil."

"Oke!" tutup Grey cepat. Ia langsung mandi dan menyiapkan beberapa baju.

"Outfit gini cukup, kali, ya?" gumamnya melihat pantulan dirinya di cermin. Kaos hitam dan celana pendek.

"Oke, siap!" Ia mengambil ransel dan turun. Pas mau pergi, Tian baru pulang.

"Om, aku pergi dulu ya!" seru Grey.

"Iya, iya. Hati-hati," jawab Tian, menonton mobil Grey melaju keluar gerbang.

Dua puluh menit kemudian...

Grey sampai di depan rumah sahabatnya. Alka dan Kiera berdiri dengan tangan di pinggang, menatap Grey tajam.

"What's up, ges? Maaf telat. Macet!" ucap Grey sambil nyengir.

"Lo bawa apa aja?" tanya Grey heran, melihat mereka kosong tangan.

Alka menunjuk empat koper besar di belakang.

"Mau liburan apa pindahan rumah sih, monyet?" gerutu Grey sambil mengangkat koper.

"Kita mau nginep dua hari, bro. Gue udah booking vila," jawab Kiera santai.

Grey menggaruk kepala. "Kampret, kok lo enggak bilang mau nginep? Gue bawa baju seadanya, nih."

Kiera menepuk bahu Grey. "Tenang, bajuku bajumu juga."

"Lo yang nyetir, kan?" tanya Alka, duduk di kursi depan.

"Ya bukan lah! Tuh setan yang nyetir! Ya jelas gue lah, masa duduk di belakang," omel Grey.

"Cowok-cowoknya ikut juga, kan?" tanya Alka sambil pakai lipstik.

Tiba-tiba mobil mengerem mendadak. Lipstik Alka nyelonong ke pipinya.

"GREYNA!!"

"Eh, jangan nyalahin gue! Mobil depan rem mendadak. Mau gue tabrak?"

Klakson panjang berbunyi. Sebuah Fortuner hitam menyalip, bikin Grey makin emosi.

"Kurang ajar! Dari tadi nyari masalah!" Ia mengejar mobil itu.

"Grey, stop! Lo bawa dua nyawa, tahu! Kalau gue sama Kiera mati, lo siap tanggung jawab?" Alka panik.

Saat mereka sejajar, Grey menyalakan klakson panjang. Kaca mobil terbuka.

Tiga cowok muncul, tertawa sambil melambai.

"Hai, Greyna, sayang!" sapa Erland dengan senyum lebar.

Bab 2: Pantai, Pelampung, dan Perasaan yang Tak Terduga

"Berasa lagi triple date, nggak sih?" bisik Alka kepada Grey yang sibuk memasukkan makanan ke mulutnya.

Mereka sudah tiba 30 menit yang lalu dan sedang mengisi tenaga sebelum mencoba semua wahana yang tersedia di pantai. Erland dan Fajar sesekali menatap diam-diam orang yang mereka taksir—Erland pada Alka, Fajar pada Kiera—namun keduanya masih belum berani bergerak lebih dari sekadar perhatian kecil.

"Udangnya enak banget," ucap Grey sambil menambah nasi ke piringnya dengan semangat.

Kiera memijat pelipisnya, berpikir, "Orang ini enggak malu sama siapa pun. Bahkan ketika dilirik dua cowok populer sekolah, dia tetap fokus sama... makanan. Luar biasa."

"Kenyang, gue! Euggg..." Grey menyandarkan punggung ke kursi, memegang perutnya, lalu sendawa pelan.

"Ngeri banget, nih anak kalau makan. Porsi buat lima orang bisa habis sendiri," kata Alka, mengangkat alis.

"Kayak baru pertama lihat dia makan banyak, lo. Kan emang udah kayak gitu dari jaman SD," timpal Kiera.

"Berisik, lo! Gue mau tidur, bye," ucap Grey sambil bangkit dan meninggalkan meja.

"Wah, nggak sopan abis ditraktir, enggak bilang makasih lagi," kata Alka kesal.

Grey hanya membalas dengan jari tengah. Lagi pula, yang bayar Erland, bukan dirinya.

Erland kembali dan tidak menemukan keberadaan Grey. "Lho, Grey mana?" tanyanya.

"Ke kamar, katanya mau tidur," jawab Gio.

"Fajar, mana Fajar?" tanya Erland lagi.

"Noh, di sana, lagi nikmatin lagu DJ favoritnya," sahut Kiera, menunjuk ke salah satu rumah pantai.

Akhirnya hanya Alka, Kiera, Erland, dan Gio yang menikmati semua wahana: banana boat, seluncuran air, berselancar, hingga berenang pakai pelampung donat warna-warni. Bagi Alka dan Kiera, bagian paling menyenangkan justru adalah... melihat pemandangan "roti sobek" alias cowok-cowok bertelanjang dada.

"Mmm, sixpack-nya ada delapan!" kata Alka sambil menggigit boneka beruang mini yang dibawanya dari rumah.

"Ah, itu yang sebelah sana, tipe gue banget!" seru Kiera sambil memukul bahu Alka dengan semangat.

"Aa, lo bisa nggak sih kalau senang jangan mukul-mukul mulu. Sakit tau!" Alka mengelus bahunya.

"Ya, maaf," ucap Kiera menerima kelapa muda dari Fajar, yang tersenyum kaku.

"Terima kasih."

"Punya gue mana, woi?" tanya Alka dengan nada setengah bercanda.

"Beli sendiri sana!" jawab Kiera. Alka mendengus dan melenggang ke penjual kelapa.

"Mas, kelapanya satu," ucap Kiera sambil menyodorkan uang. Namun Erland menepisnya.

"Mas, sama punya dia sekalian," katanya sambil menyodorkan uang seratus ribuan.

"Kesambet apa lo?" tanya Kiera.

Erland hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. "Nggak ada," jawabnya singkat.

Sore hari, Grey terbangun. "Kampret, keterusan tidur," katanya pada dirinya sendiri. Ia malas keluar karena pemandangan pantai dari jendela kamar sudah cukup indah untuk dinikmati.

"Padahal awalnya mau main, malah tidur gara-gara kekenyangan," gumamnya sambil membuka ponsel. Beberapa pesan masuk dari Tian:

Udah sampai mana?

Udah sampai belum?

Lagi apa?

Pemandangannya bagus enggak?

"Wow, aktif banget nih orang. Jangan-jangan udah mulai suka sama gue lagi..." ucap Grey sambil menggigil palsu.

Di tempat lain, tiga sahabat Tian—Jeri si cuek sarkastis, Raymon yang jago main gitar, dan Paul si penasihat cinta yang sering gagal praktik—sedang duduk di kursi pantai sambil minum soda kaleng.

"Bro, tumben lo ngajak kita bertiga ke pantai gini," tanya Jeri.

"Biasa, habis liat Cely jalan sama cowok lain. Yang baru itu, kayaknya jurusan teknik," timpal Raymon.

"Move on, bro. Masih banyak wanita di dunia ini, enggak cuma satu," tambah Paul sambil mengunyah keripik.

Tian menutup mata di balik kacamata hitam, menggeleng pelan. "Tch, kalian bikin pusing!"

Malam hari, seluruh penghuni pantai bersorak di depan panggung kecil, menyaksikan pertunjukan musik akustik. Tian menghela napas untuk kesekian kalinya.

"Berhenti menghela napas seolah dunia akan kiamat besok, bisa?" omel Paul di sebelahnya. Jeri dan Raymon sudah hilang entah ke mana, mungkin berdansa bareng gadis-gadis pengunjung.

"Aku mau cari udara segar dulu," Tian berdiri dan berjalan ke arah pantai.

Saat berjalan menyusuri garis pantai, Tian melihat sosok perempuan berjalan ke arah laut.

"Apakah itu... percobaan bunuh diri?" gumamnya, kaget. Ia buru-buru berlari.

"Hei, kamu! Apa yang kamu lakukan?" teriak Tian sambil menyibak ombak dan memeluk gadis itu dari belakang.

"Lepas! Siapa lo?! Gue udah punya suami, jangan aneh-aneh!" teriak gadis itu.

"Saya cuma mau nyelametin kamu!" jawab Tian panik, lalu melepaskan pelukan.

Saat gadis itu hendak memukulnya, Tian menghindar, dan akhirnya... mereka saling menatap.

"Greyna?" tanya Tian kaget.

"Benar ini kamu? Saya kira hantu," balas Grey, datar.

Lalu dia menggigit tangan Tian. "Au! Sakit!" ringis Tian.

"Om, ngapain di sini?"

"Liburan," jawab Tian dengan canggung.

"Kok bisa banget pas di tempat sama?"

"Mana saya tahu."

"Kamu ngapain malam-malam ke laut? Mau bunuh diri?"

"Mulut dijaga, ya. Saya cuma berenang."

"Mana ada orang berenang jam segini?" Tian langsung menggendong Grey.

"Ehh, lepas ih!"

"Enggak. Kamar kamu nomor berapa?"

"Om mau ngapain?" tanya Grey dengan tatapan curiga.

"Mau bikin Tian Junior."

"OM!" Grey memukul punggung Tian.

"Tenang, kita kan halal."

Setelah sampai di depan kamar Grey, Tian memasukkan password: 258492.

"Kok tidur sendiri? Enggak bertiga aja?" goda Tian.

"Turunin saya, Om."

Tian menurunkan Grey dengan pelan. "Mandi sana. Bersihin badan kamu."

"Ya, ya. Om gimana?"

"Saya balik ke penginapan sendiri. Udah basah semua."

Tian pergi tanpa sepatah kata. Grey mengedip beberapa kali.

"Udah gitu aja?" gumamnya.

Setelah dua hari liburan, mereka kembali ke rumah. Di dalam mobil, Grey mulai ngambek manja.

"Ommm, gendong!" Tian memutar bola matanya.

"Kamu punya kaki, tapi minta digendong? Copot aja sekalian!"

"Emang boneka bisa bongkar-pasang, Om?" balas Grey sengak.

Tian tetap menggendongnya. Grey senyum puas.

"Om, besok kerja?"

Tian mengangguk. "Kamu juga sekolah, kan?"

Grey cemberut. "Masih pengen liburan."

"Makalah kamu gimana?"

"Baru dikit."

Tian menambahkan, "Besok saya ke China buat kerja. Mau nitip sesuatu?"

"APAA?! China? Om nyewa lonte ya? Di sana ceweknya cakep-cakep banget sih!"

Tian memutar bola matanya. "Ngomong apa kamu? Ini kerjaan."

"Alasan!" tuduh Grey.

Tian menurunkan Grey di sofa. "Saya kasih tahu biar kamu enggak cari-cari besok."

Grey manyun. "Aku mau cowok China dua!"

"Serakah amat kamu," Tian menggeleng.

"Biarin, wleee!" Grey menjulurkan lidah.

BAB 3 — Rahasia, Kopi, dan Kewaspadaan

Jam 04.30 sore, bel sekolah berbunyi nyaring, memecah kebisingan kelas yang mulai lengang. Siswa-siswi berhamburan keluar dari gerbang sekolah, termasuk Greyna, Alka, dan Kiera.

“Lo nggak langsung pulang, Grey?” tanya Alka sambil menyesuaikan tali tasnya.

“Enggak, ke cafe dulu. Ngerjain makalah,” jawab Grey santai, memutar kunci motor dan menyalakan mesin.

Kiera langsung naik ke boncengan. “Gue bareng lo, ya.”

Alka ikut naik motor satunya. Mereka melaju beriringan menuju cafe langganan di pinggir kota, tempat yang cukup tenang dengan pemandangan indah. Butuh waktu hampir satu setengah jam karena jalanan sore cukup padat.

Setibanya di cafe, mata mereka langsung dimanjakan oleh panorama senja. Dari jendela kaca besar, terlihat pegunungan hijau yang diselimuti kabut tipis. Langit berwarna oranye keemasan, memantulkan cahaya yang menyilaukan namun menenangkan.

Lampu kota mulai menyala, berkelap-kelip bagai bintang di kejauhan. Aroma kopi dan suara musik instrumental menambah kehangatan sore itu.

Grey berdiri. “Pesennya apa?”

“Cappuccino,” jawab Alka.

“Creamy latte,” timpal Kiera sambil tersenyum.

Grey mengangguk, memesan ke kasir, lalu kembali membawa nampan berisi tiga gelas minuman.

Mereka tenggelam dalam obrolan ringan, membahas isi makalah, tugas sekolah, dan rencana presentasi minggu depan.

Namun, jam dinding menunjukkan pukul 8 malam, dan Greyna masih belum terlihat gelisah. Kiera mengerutkan dahi. “Lo enggak pulang, Grey? Biasanya jam segini udah jalan.”

Grey hanya mengangkat bahu. “Masih banyak yang harus dirapihin.”

Alka menatapnya curiga. “Mama Aresa enggak nyariin?”

Grey menggeleng. Dalam hati, dia bersyukur Mama Aresa—Mamanya tersayang—sedang berada di luar negeri. Sama seperti suaminya, Tian, yang kini sedang dinas ke China.

Kiera ikut menatap penasaran. “Lo tuh kayak… terlalu santai akhir-akhir ini. Gue aja sampai heran.”

Grey hanya tersenyum samar, tidak menjawab.

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama "Tian" muncul di layar.

Grey buru-buru berdiri. “Gue ke toilet bentar, ya.”

Begitu sampai di luar area cafe, ia menjawab panggilan itu dan langsung berpindah ke video call.

Wajah Tian muncul di layar, sedang bersandar di tempat tidur hotel dengan rambut setengah basah.

“Lagi apa?” tanya Tian dengan suara lelah.

“Ngerjain makalah,” jawab Grey.

“Dimana? Saya lihat CCTV rumah gelap,” kata Tian curiga.

“Di cafe. Sama Alka sama Kiera. Belum selesai,” jelas Grey.

Tian mengangguk pelan. “Mereka tahu kamu tinggal dimana sekarang?”

“Enggak,” jawab Grey cepat. “Saya bilang masih ngekos biasa, biar enggak curiga. Mereka juga enggak tahu kita udah nikah.”

Tian tersenyum kecil. “Ya, bagus. Jaga terus rahasia itu. Jangan sampai bocor.”

Grey mengangguk.

“Kamu udah makan?” tanya Tian.

“Belum.”

“Jangan kebiasaan telat makan. Di sana jam berapa sekarang?”

“Jam sembilan kurang,” jawab Grey sambil menoleh ke jam tangan.

Tian menatapnya serius. “Saya kasih waktu sampai jam 10. Kalau lewat—”

Grey buru-buru memotong, “Udah, udah. Saya pulang sebelum jam 10. Nyampe rumah jam 11-an, soalnya tempat ini jauh.”

Tian menghela napas. “Jangan ngebut, Grey.”

Grey tersenyum. “Saya bukan Gio.”

Tian ikut tersenyum kecil. “Oke. Nanti kabarin saya kalau udah sampai.”

Setelah mematikan panggilan, Grey menarik napas panjang. Dunia luar tidak tahu betapa ruwetnya hidup rahasianya sekarang: menikah diam-diam dengan atasan kantoran yang jauh lebih tua, tinggal di rumah mewah yang bahkan sahabat-sahabatnya tidak tahu lokasinya.

Dia kembali ke meja. Alka dan Kiera masih mengobrol dengan Gio, Erland, dan Fajar—yang entah datang dari mana.

“Ini manusia pada muncul tiba-tiba. Dunia sempit banget,” keluh Grey pelan sambil memijat pelipis.

Fajar menyapa ceria, “Hai, Grey!”

Grey hanya menjawab dengan anggukan kecil.

Tak lama kemudian, suasana mendadak ricuh. Seorang wanita dengan wajah memerah dan suara tinggi menerobos masuk ke cafe dan langsung menghampiri Fajar.

“Fajar!!! Lo serius enggak bales chat gue? Ngilang dua hari?!” bentaknya.

Semua mata menoleh. Gio menyembunyikan tawa, sementara Erland buru-buru menengok ke arah lain.

Andrea—nama wanita itu—melotot ke arah Grey, Alka, dan Kiera. “Jangan-jangan kalian ya selingkuhannya dia?!”

“Apaan sih…” gumam Kiera.

Fajar berdiri dan mencoba menarik Andrea keluar. “Udah, jangan ribut di sini.”

Namun Andrea melawan, menuding mereka satu per satu sambil berkata kasar, sebelum akhirnya dibawa keluar oleh Fajar.

Setelah kehebohan itu berlalu, Gio menoleh ke Erland. “Land, jadi balapan nggak?”

“Jadi dong. Yang penting uangnya aman,” jawab Erland.

“Boleh ikut nonton?” tanya Alka penasaran.

“Boleh aja. Tapi kalau ada polisi, tanggung sendiri, ya,” sahut Gio cepat.

Kiera menatap Alka dengan mata menyipit. “Lo serius mau nonton balapan liar?”

Alka nyengir. “Seru kayaknya.”

Namun Grey sudah mulai membereskan barang-barangnya. “Eh, gue duluan ya.”

“Mau pulang?” tanya Gio.

Grey mengangguk. “Iya, udah kelar juga makalahnya.”

“Hati-hati, Grey!” seru Kiera.

Grey mengenakan jaket kulit, lalu berjalan ke parkiran. Ia menelpon Tian lagi. “Om, saya otw pulang. Sampai rumah mungkin jam 11.”

Tian terdengar khawatir. “Astagfirullah, kamu ngapain sampai ke cafe sejauh itu?”

“Cari inspirasi. Yang penting saya pulang,” jawab Grey datar.

Tian menghela napas lagi. “Oke, hati-hati di jalan.”

“Siap,” jawab Grey singkat lalu memutus panggilan.

Malam itu, jalanan sepi dan gelap. Lampu motor menerangi jalan kecil yang lengang. Angin dingin menerpa wajah Grey yang mulai merinding.

“Sial, tau gini tadi gue bawa mobil,” gumamnya. Tapi semuanya harus dijalani. Demi rahasia. Demi ketenangan. Demi Tian.

Motor melaju perlahan melewati jalan berkelok yang sunyi. Pepohonan rimbun menjulang di kanan-kiri, menciptakan bayangan gelap yang bergoyang tertiup angin malam. Daun-daun kering berjatuhan, beberapa menempel di kaca helm Grey.

Lampu jalan semakin jarang terlihat. Di satu titik, hanya lampu motor yang menjadi satu-satunya penerang. Angin malam menusuk kulit, menciptakan desis samar seperti bisikan hutan.

Greyna mengeratkan jaketnya. “Gila, ini kayak jalan ke dunia lain,” gumamnya. “Kalau ada hantu lewat, saya nangis beneran.”

Ia memelankan laju motor saat mendekati tikungan curam. Suara jangkrik bersahut-sahutan, dan entah dari mana, terdengar lolongan anjing di kejauhan. Jantungnya berdetak lebih cepat.

“Kenapa sih rumahnya Om Tian harus di tempat kayak gini? Sekalian aja pindah ke markas vampir!” omelnya sendiri.

Setelah hampir satu jam setengah perjalanan, akhirnya cahaya rumah terlihat di ujung jalan panjang yang menanjak. Rumah itu berdiri megah di tengah kebun luas, dikelilingi pagar tinggi dan taman bergaya tropis yang tampak lebih menyeramkan daripada indah di malam hari.

Begitu sampai di depan pagar otomatis, ia menempelkan jarinya ke panel sidik jari. “Verifikasi berhasil,” bunyi suara mekanis. Pagar terbuka perlahan.

Begitu motor masuk, lampu halaman menyala otomatis. Ia mematikan mesin motor dan menatap rumah besar itu sejenak. Sunyi. Gelap. Dan dingin.

Dia menekan kode pintu, lalu masuk ke dalam rumah. Lampu ruang tamu menyala otomatis dengan sensor gerak. Lantai marmer memantulkan bayangan tubuhnya, dan aroma vanila dari pengharum ruangan menyambut lembut.

Greyna meletakkan jaket dan helmnya di gantungan, lalu menghempaskan diri ke sofa empuk berwarna abu-abu. Ia mengusap wajahnya pelan, lalu mengambil ponsel dari saku jaket.

Panggilan ke Tian.

Ponselnya hanya berdering dua kali sebelum suara Tian muncul.

“Halo?” suara Tian terdengar lelah tapi tenang.

“Udah sampai rumah,” ujar Grey.

“Alhamdulillah,” jawab Tian. “Jam berapa sekarang?”

“Setengah dua belas. Jalan gelap semua, serem banget, Om.”

“Makanya saya bilang bawa mobil…” Tian menghela napas. “Tapi kamu keras kepala.”

Grey nyengir, meski Tian tidak bisa melihat. “Kalau bawa mobil, susah parkir di cafe. Lagian, saya juga bukan tipe cewek minta dianterin terus.”

“Apa boleh buat,” balas Tian. “Tapi serius, kamu nggak ketemu hal aneh kan?”

“Selain jalan gelap, daun-daun beterbangan, dan suara anjing hutan… enggak,” jawab Grey sambil mengangkat kaki ke sandaran sofa.

Tian tertawa kecil. “Itu cukup untuk bikin saya pesan tiket pulang cepat.”

“Yakin mau ninggalin kerjaan demi istri rahasia yang belum bisa masak dan baru bisa bikin mie rebus rasa gosong?” ledek Grey.

“Yakin. Karena istri rahasia itu satu-satunya manusia di bumi yang bisa bikin saya ngeluarin suara ketawa di tengah laporan neraca bulanan.”

Grey terdiam sejenak. Suara tawa Tian di ujung sana, tawa yang jarang ia dengar saat masih hanya jadi staf biasa di kantor—kini terasa dekat. Akrab. Dan anehnya, menenangkan.

Ia menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa.

“Grey,” panggil Tian pelan.

“Hm?”

“Terima kasih karena tetap mau jaga semuanya tetap rahasia. Saya tahu ini nggak gampang buat kamu.”

Grey tersenyum samar. “Saya juga nggak nyangka bisa sampai titik ini. Tapi… entah kenapa, saya nggak nyesel.”

Ada jeda sejenak sebelum Tian bicara lagi.

“Kamu ngantuk?”

“Lumayan. Tapi sekarang udah tenang.”

“Besok sekolah lagi?”

“Yup. Besok jam 6 harus udah bangun. Mampus.”

Tian tertawa kecil. “Oke, tidur sana. Saya juga mau lanjut kerja dikit. Kalau kangen, tinggal video call lagi.”

Grey mendesah. “Boleh minta satu kalimat buat nutup malam ini?”

“Kalimat romantis?” tanya Tian menggoda.

Grey mencibir. “Kalimat logistik aja deh. Saya ngantuk.”

Tian tertawa. “Oke. Besok saya transfer uang jajan. Jangan jajanin cowok.”

Grey tertawa geli. “Siap, Komandan.”

“Good night, Grey.”

“Good night, Om Tian.”

Panggilan berakhir.

Grey menatap layar ponsel sejenak sebelum meletakkannya di meja. Ia bangkit pelan, menuju kamarnya di lantai dua. Malam itu, rumah besar itu tetap sunyi, dan menakutkan karwna hanya sendirian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!