Semakin kuat cambukan itu mengenai punggungnya, semakin erat pula Meta menggenggam tangannya. Memicingkan mata menahan rasa sakit yang membuat punggungnya kebas seketika. Meta tak berani menatap laki-laki yang saat ini tengah mencambuknya dengan ikat pinggang kulit miliknya, ia hanya pasrah seperti biasa diperlakukan seperti bukan manusia.
Perkara uang, Meta harus diperlakukan tidak adil seperti ini oleh iblis bertopeng manusia. Meta tidak mengerti mengapa ia bisa bertahan selama bertahun-tahun bersama kedua orang tua angkatnya. Hal baik apa yang sedang semesta siapkan untuk hidupnya?
"Sudah, Mas, kamu menyakiti Meta! Berhenti! Seharusnya kamu sadar, kita masih bisa bertahan hidup karena Meta. Kenapa kamu memperlakukan dia seperti ini?!"
"Diam kamu! Kamu nggak perlu ikut campur urusan saya sama anak perempuan murahan ini. Lebih baik urus diri kamu sendiri!"
"Kamu kemanain uang hasil manggung di kafe? Jawab saya, jangan cuma diam!" Laki-laki itu mengumpat, ayunan tangannya seakan tidak berhenti. Meta tidak banyak bergerak, apalagi bersuara. Seperti biasa, dia hanya diam dan diam. Membiarkan rasa sakit itu menggerogoti raganya. Membiarkan air mengalir di sudut matanya dengan perih yang sejujurnya tidak bisa ditahan sempurna.
Meta masih bisa mendengar jeritan wanita berusia 42 tahun yang berdiri di dekat sofa. Bertumpu pada kakinya yang menggigil, menatap suaminya yang untuk kesekian kalinya bertindak tidak wajar pada Meta. Perempuan sakit-sakitan yang saat ini hanya bisa menangis melihat segala penderitaan Meta itu adalah Risa, dan suaminya bernama Beni. Mereka adalah orang tua angkat Meta sejak kakak laki-laki Meta meninggal dunia. Meta menelan ludahnya, ia merasakan cambukan itu semakin cepat melibas punggungnya. Kalau bukan karena Meta sangat menyayangi wanita itu, mungkin sudah lama dunia ini ia tinggalkan, Meta sungguh tak ingin bertahan dalam harapan kosong.
Karena anak perempuan murahan ini lo bisa main judi sepuas lo! Karena anak perempuan murahan ini juga, lo bisa sepuasnya main sama cewek murahan.
Seharusnya lo memperlakukan gue seperti manusia, bukan binatang! Gue pengen banget ngeliat lo mendekam di penjara dan mati di sana, gue sama Ibu nggak butuh laki-laki bajingan kayak lo!
Seharusnya sumpah serapah itu Meta lontarkan langsung kepada Beni, akan tetapi Meta seakan kehilangan suaranya. Dia tiba-tiba bisu dan hanya bisa memasrahkan diri sampai Beni puas telah menyiksanya. Meta sungguh tak mengharap apapun lagi sejak kerumitan hidup membuatnya harus bekerja keras. Bahkan hanya untuk memperjuangkan hal kecil, Meta harus mengorbankan banyak hal.
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Bibir Meta mengatup menahan perih yang menjalar ke seluruh tubuhnya, saat Risa mengobati luka bekas cambukan di punggungnya. Sedikitpun Meta tak bersuara, ia tidak ingin perempuan itu mengkhawatirkan dirinya.
Lagi-lagi air mata lolos dari pelupuk mata Risa, ia tak bisa melindungi gadis itu sebagaimana yang diamanatkan oleh Vina-ibu kandung Meta-kepadanya. Risa merasa sangat bersalah, membuatnya setiap malam harus menangis karena penderitaan Meta sedari kecil.
"Seharusnya uang itu kamu kasih aja ke Bapak, malam ini kita nggak usah makan. Sekarang liat, karena kamu nggak ngasih uang itu ke Bapak, luka di tubuh kamu makin banyak dan nggak sembuh-sembuh. Ibu nggak mau kamu kenapa-napa, Ta." Risa memulai obrolan setelah terdiam setengah jam yang lalu, tepat setelah kepergian Beni dengan sisa luka di hati Risa dan Meta. "Sebenarnya kamu sayang, kan, sama Ibu?"
Meta menghela napas berat dan dalam tatkala Risa berucap dengan suara bergetar. Jika saja Tuhan berbaik hati untuk mengambil nyawa Beni, ia pasti akan sangat bersyukur. Namun yang terjadi justru sebaliknya, membuat dunia tertawa terbahak-bahak.
"Ibu ngomong apa, sih. Jelas aku sayang banget sama Ibu," jawab Meta seraya bangkit dari baringannya, kemudian memeluk Risa yang duduk di sampingnya. "Karena hari ini Ibu ulang tahun, makanya uang itu nggak aku kasih ke Bapak. Aku beliin Ibu sesuatu, terus sisanya buat kita makan malam."
Risa tersenyum melihat gadis berambut pendek itu tersenyum lebar ke arahnya, mencium pipinya dengan penuh kasih dan memeluknya dengan erat.
"Ibu juga sayang sama Meta, makanya Meta jangan sampai kenapa-napa. Jangan terlibat urusan apapun yang membahayakan diri sendiri di luar sana, ya!"
"Ibu tenang aja, aku bisa jaga diri baik-baik, kok," balas Meta kemudian melepaskan pelukannya, menatap Risa dengan wajah cerah walau bibirnya berdarah dan tulang pipinya membiru. "Malam ini Ibu mau makan apa? Biar aku beliin."
Meta melihat jam di pergelangan tangannya, menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Biasanya sesampainya di rumah, Meta dan Risa sudah makan dengan nasi bungkus yang ia beli di rumah makan Padang yang biasanya masih buka sampai tengah malam. Kalau memasak, Meta tidak bisa, biasanya Risa yang melakukan pekerjaan itu dan Meta yang membelikan bahan-bahannya.
Tangan Risa mengusap wajah Meta dengan lembut, senyum indah merekah di bibirnya. "Kita makan di rumah aja, ya? Tadi Ibu udah masak telur balado, sayang uangnya kalau dipakai untuk makan di luar," ujarnya.
"Ayolah, Bu. Hari ini Ibu ulang tahun, masa iya kita makan di rumah. Aku mau ngajak Ibu makan makanan yang enak, tadi juga aku ngajakin Putra. Dia setuju, dan katanya dia bakal jemput pake mobil biar Ibu nggak kedinginan."
"Uangnya kamu simpan aja, ya? Ibu nggak mau kamu susah karena Bapak, seharusnya sekarang kamu hidup enak, Meta. Lagi pula kamu udah kelas tiga, sebentar lagi lulus. Perlu uang yang banyak, Sayang."
"Uang masih bisa kita cari, Bu. Tapi kenangan sama orang yang kita sayang, terlalu berharga jika dibandingkan sama uang. Aku nggak apa-apa nggak lanjut sekolah, asalkan bisa sama Ibu," ungkap Meta. "Lagi pula, ini juga baru semester awal dan baru besok masuk sekolah, setelah libur kenaikan kelas, kan? Ibu nggak usah khawatir."
Mendengar jawaban itu, hati Risa mencelus sakit. Senyum lebar di bibir Meta menyembunyikan segala duka yang gadis belia itu jalani. Risa hanya membalasnya dengan senyum dan genangan air di pelupuk mata, lalu menatap kamar Meta yang hanya memiliki satu lemari dan gitar di sudut kamar, serta satu kasur berukuran kecil yang langsung menyatu dengan lantai. Kalian bisa gambarkan sesulit apa kehidupan Meta bersama keluarga angkatnya.
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Meta menatap ponselnya yang berdering sejak pagi selama beberapa kali. Sejak bangun pagi, lalu mandi dan sarapan bersama Risa, Meta tak lagi ke luar kamar dan hanya menatap ponselnya dengan perasaan campur aduk. Bahkan hari sudah beranjak sore, Meta tak kunjung mengangkat panggilan yang berasal dari sahabat-sahabatnya. Saking khawatirnya pada Meta, Renata, Wulan dan Kayla sampai bergantian menghubunginya hingga sore.
"Bukannya gue nggak mau ke sekolah hari ini, keadaan gue lagi nggak memungkinkan aja untuk pergi. Kalau gue paksain, akan ada banyak pertanyaan dan kekhawatiran dari lo semua. Sama aja gue bocorin rahasia gue sama kalian, padahal gue udah susah-susah nyembunyiinnya."
Meta mengajak benda pipih itu mengobrol, matanya hanya memandangi permukaan layar ponsel dengan tatapan tak berminat. Hingga langkah seseorang perlahan mendekat dan akhirnya berdiri di pintu kamar dengan sepiring nasi di tangannya.
"Meta, sedang apa? Di luar ada yang nyariin kamu, katanya penting."
"Putra, Bu?" tanya Meta cepat, karena sejauh ini hanya Putra yang tahu alamat rumahnya. Akan tetapi Risa menggelengkan kepala, yang menandakan kalau orang yang datang berkunjung bukanlah sosok yang baru Meta sebutkan.
Risa memasuki kamar Meta dan meletakkan sepiring nasi itu di dekat kasur. Ia ingat putrinya itu belum makan, lagi pula Meta juga sedang tidak sehat, sangat membutuhkan perhatiannya.
"Kelihatannya udah setengah jam dia di teras. Ibu tadi masak di dapur, nggak kedengeran kalau ada yang manggil. Coba kamu liat sendiri biar jelas, Ibu juga nggak sempat nanya namanya siapa. Wajahnya asing bagi Ibu."
Meta mengangguk mengiyakan lalu bangkit dan menggandeng lengan ibunya. Keduanya berjalan beriringan menuju teras rumah, menemui sosok pemuda yang ternyata masih memakai seragam sekolah pada jam yang hampir menunjukkan pukul setengah lima sore.
Saat Meta mendahului ibunya dengan wajah dan pakaian yang sangat kusut, pemuda itu menoleh dan terkejut melihat keadaan Meta yang tidak sewajarnya.
"Lo ngapain ke sini?!" Suara Meta melengking tinggi melihat sosok gagah dan tampan di depannya adalah Aksel Daru Achilles. Pemuda anggota geng paling tersohor di sekolah bernama Destroyer, yang selalu ia hindari di sekolah dan di tempat kerjanya. Meta membuat Risa terkejut dan bingung, sepertinya ia tahu keduanya memiliki hubungan yang kurang baik.
"Kenapa lo nggak masuk?"
"Bukan urusan lo!"
"Muka lo kenapa?"
"Perlu banget lo tau urusan gue?! Pulang sana lo, gue lagi nggak pengen berantem sama lo!"
Jujur saja sejak melihat Meta di sebuah restoran yang lokasinya berdekatan dengan Prismatrix Cafe semalam membuat rasa penasaran Aksel terhadap Meta bertambah. Apalagi sosok yang dipanggil ibu oleh perempuan itu dan sosok Putra yang sudah seperti seorang kekasih bagi Meta. Hingga Aksel mengikuti mereka pulang dan berhasil mendapatkan alamat rumah Meta. Sungguh kejutan ia berhasil mendapatkan alamat rumah yang selama ini gadis itu sembunyikan.
Sejak awal melihat keadaan rumah Meta yang sederhana, Aksel kira memang ada sesuatu yang Meta sembunyikan dari dunia luar. Apalagi hari ini ia tidak datang ke sekolah, untuk menjalani hari pertama sebagai siswi kelas XII di SMA Gemilang. Dan yang membuat Aksel tergamang adalah luka di wajah perempuan itu, ia seakan takut jika kedatangannya justru membuat Meta semakin menjauh darinya.
Enggan membahasnya lebih jauh, Aksel mengarahkan pandangan pada wanita berbaju daster dengan sanggul kecil di belakang Meta. Wanita itu tersenyum ke arahnya, Aksel balas tersenyum dan mengeluarkan tangannya.
"Saya Aksel, Tan, temannya Meta. Untuk pertama kalinya setelah dua tahun, kita dikasih kesempatan untuk jadi teman sebangku di kelas yang sama."
"Saya Risa, ibunya Meta, maaf kalau Meta berbicara terlalu kasar, karena kondisinya sedang tidak baik hari ini," balas Risa sambil menyambut uluran tangan Aksel, mengabaikan kemarahan Meta, berikut dengan tatapan sinis dan tatapan tidak sukanya terhadap Aksel. "Kalian duduk dulu, saya buatkan minum."
Setelah dibalas anggukan oleh Aksel, Risa berlalu ke dapur membuatkan teh dan menyiapkan camilan. Risa meninggalkan suasana canggung antara Aksel dan Meta.
Aksel kembali duduk di kursi teras, matanya tidak mau diam memperhatikan rumah Meta yang sangat sederhana. Hal tersebut membuat Meta kembali memanas, hingga dengan sengaja memukul meja pembatas kursi dan membuat Aksel terkejut. Meta menyunggingkan senyum saat Aksel menatapnya dengan bingung, lalu perempuan itu duduk di kursi sebelah Aksel.
"Pulang selama gue masih minta baik-baik, jangan nunggu gue darah tinggi baru lo mau angkat kaki dari sini," celetuk Meta memasang ekspresi datar dan dingin. "Dan satu lagi, jangan terlalu kepo sama segala hal tentang gue, karena gue dengan senang hati menolak kedatangan lo di hidup gue!"
"Dan lo perlu tau kalau gue nggak peduli terhadap penentangan lo!" tukas Aksel membatu, diikuti dengan telunjuknya yang diarahkan pada Meta. "Satu lagi, gue akan menang melawan pertahanan lo, apalagi gue mendapatkan dukungan dari Tante Risa."
Meta menghela napas untuk tidak berkata kasar, namun setelah mengatupkan bibir dan susah payah menahan diri, akhirnya Meta kelepasan juga.
"Sialan!" makinya. "Lo pikir gue akan membukakan jalan lebar-lebar untuk lo dan semua kekepoan lo itu? Jangan harap! Gue peringatin, ya, Sel, sama lo. Berhenti mencaritahu segala hal tentang gue, berhenti jadi manusia paling batu di bumi. Dan terpenting sekarang, berhenti datang ke rumah gue!"
"Meta, nggak boleh ngomong kasar begitu!" Risa tiba-tiba muncul membawa nampan dan meletakkannya di atas meja bundar di tengah-tengah kursi. "Aksel, sering-sering, ya, main ke sini, biar Meta punya teman dan nggak marah-marah lagi, hatinya kasian."
"Ibu!" tegur Meta. "Aku nggak mau punya teman kayak dia!"
"Jangan galak-galak, Sayang," peringat Risa dan kembali melirik Aksel. "Sel, Tante masuk dulu, cemilannya dimakan, ya. Kuat-kuat batin kalau mau ngobrol sama Meta!"
Aksel mengacungkan jempol dengan senyuman lebar. "Tante tenang aja, saya udah cukup terlatih dengan kegalakan Meta," balasnya yang membuat Risa terkekeh sebelum meninggalkan teras rumah.
Meta berdecih selepas kepergian Risa, dia benar-benar menunjukkan kekesalannya pada Aksel. "Mau apa lo sebenarnya?" tanya Meta akhirnya, dia muak berada di situasi seperti ini. "Dari awal kita ketemu kehadiran lo cuma bikin gue tambah susah! Udah, deh, mendingan sekarang lo pulang dan nggak usah ke sini lagi!"
"Gue ke sini mau ngajak lo jalan, mau?"
"Lo bolos hari ini?"
Aksel terkekeh mendengar pertanyaan Meta, ia merasa seperti mulai diperhatikan sekarang.
"Kenapa kalau gue bolos? Lagi pula hari ini nggak belajar, baru hari pertama, kan?"
"Gue nggak mau ada orang lain yang tau alamat rumah gue, Sel. Tutup mulut lo rapat-rapat kalau nggak mau kepala lo gue penggal!"
Entah bagaimana caranya menunjukkan keseriusan pada lelaki itu, Meta juga tidak tahu. Yang bisa ia lakukan adalah menghentikan Aksel untuk terus terlibat dalam kehidupan pribadinya. Karena Meta begitu takut ketika ayah angkatnya bersikap tidak waras, mungkin Aksel akan menjadi korban seperti seseorang di masa lalunya.
Sayang sekali Meta tak bisa bersuara lantang saat mengungkit masalah itu, ia selalu memendamnya hingga menyakiti dirinya sendiri.
"Gimana? Kita jalan, atau lo mau gue sebarin alamat rumah lo?" Aksel memasang wajah usil sambil menaik-turunkan sebelah alisnya.
"Aksel! Lo bener-bener nyari mati datang ke rumah ini, bangsat!" Meta berteriak histeris sampai Risa terperanjat di kamarnya. Wanita itu merinding merasakan kemarahan Meta, pasalnya pada siapa saja, tanpa memandang gender, Meta selalu menggunakan kekerasan dan bahasa yang sangat kasar.
...
...
Niatnya, sih, mau libur sampai luka di wajahnya dapat tersamarkan dengan baik. Tapi sepertinya, Meta tidak akan tenang jika laki-laki bernama Aksel masih berada di dunia yang sama dengannya. Selain itu, alasan yang membuatnya harus masuk sekolah hari ini adalah karena kabar yang kurang enak didengar.
Biang keroknya adalah Aksel, cowok gila itu memposting foto hasil pemaksaannya di akun sosial media miliknya. Parahnya lagi, Aksel menuliskan caption, "Candu" yang akan membuat penduduk SMA Gemilang salah paham.
Hal yang paling membuat Meta naik darah adalah foto yang memperlihatkan sebagian sisi rumahnya, yang entah kapan cowok itu jepret karena berhasil lolos dari pantauan, ikut menjadi sasaran Aksel. Siapa yang tidak akan marah jika informasi pribadinya disebar tanpa izin? Tidak salah, kan, jika saat ini, Meta telah memukul dan menghantam Aksel sampai terpelanting ke dinding kelas. Senyuman sambutan yang ia tunjukkan tadi lenyap, berganti dengan ringisan kesakitan.
Renata dan Kayla bergegas berdiri dari tempat duduknya menuju kedua sisi Meta, prihatin atas apa yang Aksel alami akibat perlakuan kasar sahabatnya. "Ta, lo gila, ya? Masih pagi udah bikin satu sekolah panik. Lo mau, orang tua lo ikut dipanggil ke sekolah karena ini?" bisik Renata, menarik lengan sahabatnya untuk segera mundur.
Kesadaran Meta mengisi kembali raganya, menepis sentuhan Renata di lengannya. "Gue nggak suka cara dia untuk ngedapetin gue, Ren. Gue memang bukan apa-apa, status gue lebih rendah dari kalian semua. Tapi gue berhak mempertahankan harga diri gue."
"Ya, gue tau. Tapi nggak gini caranya untuk ngasih tau dia, Ta, kasian Aksel. Tempat duduk lo itu, dia yang jagain saat yang lain rebutan karena nggak kebagian tempat paling strategis buat molor. Pagi-pagi dia udah ada di sini, dan karena lo nggak masuk hari itu, dia ikutan bolos. Apa yang salah?"
"Karena dia posting foto gue dan bikin orang-orang salah paham!" bentak Meta, menatap Aksel amat marah. Cowok itu dalam posisi meringkuk di lantai, merasakan nyeri pada tulang-tulangnya yang remuk.
Kayla menyenggol Meta, mengingatkan cewek berambut pendek itu lagi untuk memelankan suaranya. Atau akan ada banyak siswa yang penasaran, semua masalah ini akan bertambah kacau. Orang-orang akan membicarakan mereka selama beberapa hari, situasinya akan lebih rumit jika Meta tidak segera berhenti.
"Foto apa, Ta? Kenapa nggak ada yang ngasih tau gue kalau ada gosip tentang lo?" Kayla segera mengeluarkan ponselnya, matanya bertemu dengan Aksel sebelum itu. Cowok berperawakan seperti bule itu telah berdiri, berjalan mendekat ke arah Meta. Kayla mencoba acuh, jarinya bergerak menggeser tombol di ponselnya.
"Nggak akan ada di grup kelas, mereka nggak akan ngegosipin gue secara terang-terangan."
"Iya, sih. Serigala betina nyeremin kalo lagi nggak waras. Tapi setidaknya untuk saat ini, waras, Ta. Hari pertama lo."
Meta mendelik tajam pada Kayla yang secara tidak langsung telah menga-ngatai dirinya, hingga cewek itu pun urung untuk memeriksa ponselnya dan memilih bungkam. Lantas di detik kemudian, Aksel berdiri di hadapan Meta dengan jarak yang sangat dekat, kelas sudah sangat sesak dan ramai. Banyak yang penasaran apa yang terjadi di kelas ini, lalu muncul kebingungan di kepala mereka setelah melihat Aksel dan Meta bertengkar. Karena di foto yang Aksel posting semalam, mereka seperti pasangan yang baru jadian.
Aksel berdiri baik-baik di hadapan Meta, mengusap bibirnya yang pecah dan sedikit mengeluarkan darah, karena sebelumnya sempat mendapat pukulan dari Meta. Memperlihatkan kepada Meta, kemarahannya itu bukan apa-apa baginya.
"Hapus postingan foto gue di instagram lo, gue bukan cewek murahan yang bisa lo pamerin sana-sini!"
Bola mata Kayla hampir melompat keluar mendengar kalimat sarkastik Meta, kalau cewek itu berbicara baik-baik, malah terdengar lebih aneh lagi. Sejauh yang ia kenal, Meta adalah benteng bagi dirinya sendiri dan teman-teman dekatnya. Baginya, jika tak diusik, ia tak akan menjadi monster yang dapat menelan hidup orang-orang.
Aksel bersikap acuh, mencoba memprovokasi Meta. "Gue nggak pernah berpikir serendah itu untuk setangkai berlian, Ta. Lagipula gue nggak ngerasa ada yang salah, postingannya nggak akan gue hapus," paparnya enggan.
"Jangan nguji kesabaran gue! Lo harus dapat izin gue sebelum posting foto itu."
"Kalau lo maksa, gue akan kasih tau mereka tentang rumah di foto itu."
Ancaman Aksel memukul mundur perlawanan Meta yang sialnya ia kerahkan dengan sekuat tenaga, berharap Aksel akan tunduk padanya dan membiarkannya hidup dalam ketenangan. Tapi justru yang Meta dapatkan adalah masalah yang tiada henti, membuatnya mau tak mau menerima dipermalukan.
Meta memajukan langkahnya, mendekatkan bibirnya pada telinga Aksel. "Lo akan mati, Sel. Gue yakin lo mau lebih dekat sama Tuhan," ujarnya mengerikan, membuat bulu kuduk Aksel meremang merasakan kegilaan Meta jika sudah kepalang marah.
"Justru gue lagi berusaha lebih dekat sama lo. Supaya kita bisa ngadep Tuhan bareng-bareng," balas Aksel, membuat wajah Meta merah padam. Emosinya tersulut, tapi ia menahan dirinya agar masalah ini tidak semakin rumit.
Karena Aksel berhasil memegang kendali atas Meta, ia mencoba bersikap santai, mengabaikan ancaman Meta sebab ada yang lebih penting dari itu semua. Meta mengenyampingkan egonya walau terpaksa, ia terima jika harus menerima Aksel sebagai teman sebangkunya pada barisan paling belakang selama dua semester. Cewek itu menjatuhkan tubuhnya dengan kesal, mencoba menebalkan muka saat ratusan orang mengamati pergerakannya.
Melihat hal itu, Aksel menjadi sangat senang, padahal hanya hal kecil tapi ini pertama kalinya ia berhasil mengalahkan Meta. "Menggali lebih dalam, gue akan temukan lebih banyak. Kita lihat siapa yang menang, Ta. Karena gue percaya, bukan karena nggak bisa, tapi karena lo menutup rasa."
Renata dan Kayla ikut berlalu meninggalkan Aksel, tetapi Kayla dengan senyuman miringnya memberikan acungan jempol pada cowok itu. Jelas Aksel merasa diapresiasi, ia merasa usahanya dihargai dan mendapatkan dukungan dari teman-teman Meta. Sejauh ini sudah cukup, usahanya mulai menggambarkan hubungannya dengan Meta meski masih samar.
"Lo nggak mau duduk? Tendangan gue tadi masih belum nyadarin lo?" Meta bersuara saat kerumunan siswa mulai membubarkan diri, menarik Aksel dari lamunan.
"Cara lo memperhatikan orang lain beda, ya, Ta. Lewat kemarahan, omongan kasar, judes, kayak nggak punya hati," komentar Aksel setelah duduk di sebelah Meta, sementara cewek itu berdekatan dengan dinding kelas. Dekat dengan jendela agar bisa memandang ke luar saat jenuh dengan pelajaran. Bayangkan saja sepengertian apa Aksel terhadap Meta, tapi reaksi Meta justru tak sesuai harapannya.
Meta berbeda, sangat. Mungkin itu jua yang membuat Aksel merasa berbeda.
"Nggak usah bacot! Lo mau gue lempar ke jendela?!"
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Pada mata pelajaran kedua sebelum jam istirahat pertama, Aksel mulai bertingkah. Cowok itu bersiul-siul genit bak laki-laki jalanan yang suka menggombal perempuan yang lewat. Posisinya saat itu, Bu Yuli sedang pergi ke ruang guru dan hanya meninggalkan tugas berupa catatan, dikumpulkan setelah bel istirahat berbunyi untuk diperiksa. Kesempatan emas bukan untuk merilekskan pikiran?
Nah, salah satu cara Aksel untuk menyegarkan pikiran adalah dengan mengganggu gebetan di sampingnya, dengan terus menggeser kursi sampai membuat Meta terpojok ke dinding. Sengaja mencari kegaduhan, dipikirnya Meta akan meladeni dengan senang hati?
"Geser dikit, jangan mepet terus. Lo mau anu lo gue tendang?!" Mata Meta melotot garang pada Aksel, seakan tidak main-main dengan ucapannya.
Aksel balas menggeleng, kembali menyandarkan punggungnya ke kursi dan tidak melanjutkan catatannya yang hampir selesai. "Gue nggak nyangka, ternyata lo membosankan dalam bidang percintaan," cibirnya pelan agar tak didengar oleh Meta yang sedang fokus menulis.
Aksel senang suara pertama Meta menyayat gendang telinganya lagi setelah sejak tadi tidak bicara, lantaran takut dengan guru yang sedang mengajar. Tapi sekarang situasinya sudah tidak terlalu menegangkan, hal itu pula yang membuat Aksel memiliki ide usil untuk menjaili Meta.
Merasa tak tenang karena memikirkan luka di wajah Meta yang saat ini sudah tidak terlihat, Aksel menarik punggungnya lagi dari sandaran kursi. Merebahkan kepalanya ke atas meja, menatap maha karya Tuhan yang sempurna. Kulitnya memang tidak putih, warna kulit warga Indonesia pada umumnya, hitam manis. Matanya besar dan bibirnya kecil, hidungnya mancung dan ukurannya pas hingga membuatnya tampak seperti boneka hidup.
Tanpa sadar, Aksel tersenyum, bertepatan dengan lirikan yang Meta edarkan lewat ekor matanya. Membuat dahinya berkerut, merasa aneh dengan tatapan Aksel. "Apa lo liat-liat? Sambil senyum lagi, udah gila?" ketusnya.
"Gue? Senyum?" Aksel pura-pura tak percaya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Ya, wajar. Gue anaknya ramah, bisa senyum ke siapa aja. Nggak kayak lo, muka udah kayak tembok Cina, datar kayak body-nya!"
Meta menaikkan ujung bibirnya dengan kesal ketika Aksel melepas tawanya di akhir kalimat, jelas ia tidak terima dihina seperti itu. "Anjing lo! Nggak usah body shaming, dong, dasar kuda liar!" balasnya, tersulut api emosi.
"Lo ngatain gue apa? Kuda liar?"
"Iya, kenapa? Nggak suka?"
Meta memajukan tubuhnya, membuat Aksel refleks memundurkan tubuh. Wajah mereka cukup dekat, membuat Aksel sedikit salah tingkah.
"Suka, kok, apalagi sama orangnya."
"Najis! Jauh-jauh dari gue, gue alergi sama hama!"
"Sialan! Cakep-cakep gini dibilang hama, gue pacarin juga lo!" maki Aksel sambil tertawa renyah, mulut Meta sangat tajam dan berbisa. Tapi seperti yang ia bilang, Aksel tetap suka, kekurangan itu justru terlihat seperti keistimewaan baginya.
Perdebatan mereka membuat seisi kelas terpana dengan fokus yang memang hanya terpusat pada mereka, ketua kelas saja tidak berani menghentikan mereka lantaran akan menjadi sasaran perundungan. Hal itu bagus untuk Aksel, memang itu yang ia mau. Beberapa teman gengnya di kelas ini tertawa, seakan sangat terhibur oleh drama percintaan Aksel.
Meta kembali menulis, melanjutkan catatannya yang sudah sampai pada kalimat akhir. Mengabaikan teman-teman Aksel yang juga berisik sama seperti cowok itu, kelas sudah seperti pasar, banyak sekali kegiatan yang dilakukan. Sampai-sampai AC di dalam kelas tidak lagi terasa, anak-anak itu berlarian entah mengejar apa. Aksel tertawa melihat teman-temannya sambil memukul meja, membuat meja bergetar dan bergeser. Hal itu memicu pertengkaran lagi, Meta butuh tip-x segera.
"Lo bisa diem, nggak, sih?!" hardik Meta frustrasi melihat buku catatannya tak sengaja tercoret, memperlihatkan garis yang cukup panjang. "Cariin gue tip-x buruan, atau catatan lo gue lempar ke jendela?"
"Emang gue ngapain?" balas Aksel tercengang, tanpa tahu kesalahannya, ia diancam dan dititah semena-mena.
"Lo ketawa sambil mukul meja, sialan! Gue lagi nulis, lo pikir buat apa gue nyuruh lo nyariin tip-x?"
"Buset mulut lo keluar api. Nih, gue punya banyak di rumah, ambil aja!"
"Lo ngatain gue nggak modal?" serang Meta lagi, menatap marah tip-x dan pemiliknya bergantian.
"Lo sensitif banget, sih, hari ini? Ada kaitannya nggak sama luka di muka lo kemaren?"
Pertanyaan Aksel sukses membuat Meta terdiam dan menelan kembali kemarahannya. Sumpah serapahnya yang tadi mau keluar kembali tertarik ke dalam, Meta menelan ludahnya dan meraih tip-x gegas. Waktunya sudah terbuang sia-sia meladeni ketidakwarasan teman sebangkunya. Dan gawatnya, cowok itu sengaja membahas luka pada wajahnya di sekolah.
"Kenapa menghindar?" Aksel masih memperhatikan gelagat aneh Meta. Ada yang cewek itu tutupi darinya. "Nggak membahayakan buat lo, kan, Ta?"
Meta acuh, sibuk menghapus garis panjang di bukunya. Ia tahu sepasang mata masih mengamatinya, kemudian berdeham. "Kenapa lo harus peduli? Gue harap kepedulian lo itu nggak mendatangkan musibah buat gue," katanya.
"Kalau sebenarnya rapuh, nggak usah sok kuat. Gue yakin lo butuh seseorang. Pacar misalnya, gue mumpuni banget di bidang itu, Ta." Aksel mengatakannya sambil tersenyum, membuat Meta diam-diam ikut tersenyum lucu. Tetapi buru-buru melenyapkan senyuman tipis itu, takut Aksel makin besar kepala.
Saat Meta ingin menanggapi perkataan Aksel, bel istirahat berbunyi nyaring. Menandakan bahwa waktunya istirahat. Meta berhasil menyelesaikan catatannya, sementara Aksel tidak, pemuda itu terlalu malas melanjutkannya. Kemudian seorang laki-laki yang duduk di barisan paling depan menghampiri mereka. Menaruh setumpuk buku di atas meja.
Meta mengernyit, bingung mengapa buku-buku itu justru diletakkan di atas mejanya. "Apa-apaan, nih?" tanyanya.
"Sebagai hukuman karena lo berdua berisik di kelas, gue minta, anterin buku ini ke ruangan guru. Tepat di meja Bu Yuli. Tau, kan?" Sang ketua kelas bernama Ardan, si tegas yang menyebalkan, secara jelas dan sadar menghukum Meta serta Aksel. Yang mendadak jadi biang keributan.
"Gue aja!" Aksel menyerobot, mengangkat tumpukan buku setelah berdiri dari duduknya. Matanya mencari seseorang, lalu saat berpapasan, ia tersenyum. "Ndu, bantuin gue sini. Nanti pas pulang gue traktir tawuran sama anak sebelah, songong anaknya."
Laki-laki yang Meta ketahui bernama Pandu itu mengangguk, langsung bangun untuk menghampiri Aksel. Sementara Ardan langsung pergi, jelas tidak ingin mendengar kata-kata kasar dari Meta. Anak-anak kelas yang ketinggalan mulai mengumpulkan buku catatan mereka, saat semua sudah selesai, kedua pemuda itu pun beranjak. Bergegas mengantarkan buku-buku tersebut kepada Bu Yuli.
Meta memandangi punggung Aksel, hatinya berdebar aneh, apalagi saat cowok itu tertawa bersama Pandu, jantung Meta jumpalitan di dalam. Hingga teman-temannya datang, membuat Meta segera mengubah reaksi.
"Ta, kantin kuy!" ajak Kayla setelah tiba di dekat Meta.
"Ada banyak yang mau gue tanyain sama lo! Gila, ya, gue telepon nggak diangkat-angkat, gue pikir lo udah masuk rumah sakit kemaren!" seru Renata, sembari menarik sahabatnya itu untuk dekat.
Agak lama berpikir, Meta tersenyum samar. "Lo duluan, deh, nanti gue nyusul! Gue ada urusan bentar," ujarnya sambil menepuk pundak kedua sahabatnya itu. Kemudian kakinya melangkah, meninggalkan kelas entah mau ke mana.
Renata dan Kayla saling bertatapan melihat keanehan Meta, walau agak kepo akan apa yang membuat cewek berambut pendek itu berlalu, mereka terpaksa membiarkan Meta lolos. Rasa khawatir mereka muncul, kantin akan membeludak lagi seperti sebelumnya dan tidak menyisakan tempat bagi mereka untuk duduk dengan tenang jika datang terlambat. Alhasil, kedua gadis itu berlalu menuju kantin tanpa Meta.
"Meta aneh, ya, Kay. Kayak lagi nutupin sesuatu dari kita, tapi dari dulu dia emang tertutup banget, sih." Renata berjalan lebih dulu dari Kayla sambil mengira-ngira apa yang sedang terjadi pada Meta.
Kayla menyusul langkah Renata, ia baru saja bergabung dengan lingkup pertemanan Renata, Meta, Wulan dan Anin. Jelas ia tak tahu banyak hal, hingga hanya bisa diam sembari memikirkan. Tak menanggapi perkataan Renata.
"Betah, nggak, lo jatuh cinta sama orang yang nggak mau jatuh cinta?"
Dua pasang kaki melangkah perlahan menuruni anak tangga terakhir, dengan cowok berparas agak kebule-bulean idaman para cewek berada di depan. Aksel. Disusul oleh cowok berbadan tegap dan kokoh bagai bodyguard di drama Korea di belakang. Pandu namanya, yang baru saja mengajukan pertanyaan atas usaha sahabat segengnya untuk memperjuangkan cintanya.
Karena Aksel tak kunjung menjawab, Pandu berseru lagi. "Gue liat-liat, Meta sulit ditaklukkan, Sel. Nggak kayak cewek lo pada umumnya yang terbilang murahan, justru dia jadi jagoan di Gemilang. Lo nggak mikir dua kali buat pacaran sama cewek kayak Meta? Ya, lo tau lah gimana sikap dia ke lo."
Kali ini senyuman miring diperlihatkan oleh Aksel, agak tersinggung dengan ucapan Pandu untuk mewakili Meta. Sang gebetan sialan yang mengatainya sebagai hama. "Cewek kayak Meta? Kayak lo udah kenal lama aja sama tu cewek. Sejauh ini gue belum bisa menyimpulkan apapun, tapi gue akan buat Meta bertekuk lutut di hadapan gue," tekadnya.
"Lo yakin Meta nggak akan berbalik nyerang lo? Ntar malah lo yang ngejilat ludah sendiri."
"Dua tahun gue ngejar-ngejar dia, sampe sekarang belum ada perkembangan, sih, Ndu."
"Nggak usah aneh-aneh, deh. Berurusan sama Meta kayak lagi berurusan sama tentara, dan lo terorisnya! Ribet, sumpah!" Pandu gemas sendiri akan rencana Aksel yang menurutnya tidak berguna dan buang-buang waktu. "Lagian lo punya dendam apa, sih, sama Meta? Dua tahun ngejar-ngejar, gila aja masih suka."
Keduanya berbelok, masih bercengkerama bersama meski disepanjang jalan ditatap dengan sebuah kekaguman dan kalimat puja, oleh siswi yang tak sengaja berpapasan dengan mereka. Tak terasa, Aksel dan Pandu hampir sampai di ruang guru yang tinggal beberapa langkah lagi.
"Sekarang nggak terlalu suka. Cuma gue mau bales apa yang Meta perbuat ke gue. Biar dia tau, rasanya ditolak selama dua tahun itu kayak apa."
"Salah elo juga jatuh cinta nggak kira-kira. Kalau udah ditolak mentah-mentah, seharusnya dilepehin, nggak usah dikejar-kejar lagi."
Aksel tertawa ringan mendengar ucapan Pandu yang dengan entengnya berkata seperti itu, tanpa tahu rasanya seperti apa. Meski begitu, Aksel tetap menghormati pendapat Pandu, lagipula ia juga memang masih memiliki sedikit perasaan untuk Meta. Dua tahun tak cukup untuk mengikis habis perasaan itu, sungguh! Namun ia juga sakit hati karena ditolak, dipermalukan, juga dihina di depan orang banyak. Alangkah baiknya jika Aksel menggali lebih dalam tentang alasan Meta bersikap seperti itu padanya.
Karena dari pandangannya, Meta bukannya tidak menyukainya, tetapi sengaja menolak tiap cinta yang datang padanya. Apa yang dia sembunyikan?
Sesampainya mereka di ruang guru, keduanya langsung berjalan ke arah meja yang diduga dihuni oleh Bu Yuli. Berhubung sang guru tidak ada, Aksel dan Pandu menitipkan pada guru yang ada di sebelahnya. Lalu setelah tanggung jawab mereka selesai, keduanya berpisah di lapangan. Sebab Pandu sudah tidak sabar ingin ke kantin untuk memberi makan cacing-cacing peliharaannya. Sementara Aksel harus kembali ke kelas, menjemput ponselnya yang ketinggalan di dalam tas.
"Kuat juga pukulan tu cewek. Untung nggak nambah, bisa rontok gigi depan gue."
Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Aksel bergumam sendiri sambil mengusap bibirnya yang pecah dan mengeluarkan darah yang kini sudah mengering. Perutnya terasa nyeri, punggungnya begitu sakit setelah menghantam dinding kelas secara cuma-cuma.
"Tapi gue nggak akan lepasin lo gitu aja, Ta. Karena lo harus jatuh cinta sama Aksel Daru Achilles. Gue mau, kita pacaran! Abis kita pacaran, lo gue putusin. Selesai!" ujarnya sambil tersenyum dan tertawa ringan, sesekali bersiul santai hingga membelokkan tubuhnya menuju kelas.
"Ngasih lo pembelajaran tentang cinta kayaknya lebih seru daripada jatuh cinta beneran sama lo, Ta. Gue akan cari tau dulu semua hal tentang lo, baru gue putusin untuk balas semua perbuatan lo, atau kita pacaran beneran."
Setibanya Aksel di mejanya, ia melihat ada sebotol cairan yang Aksel tahu berisi alkohol pembersih luka bersama teman-temannya yang lain. Obat merah, kapas dan cotton bat, yang biasanya digunakan untuk membersihkan dan mengobati luka. Seketika pikiran Aksel melayang pada Meta. Lelaki itu terdiam agak lama karena merasa bersalah terhadap niatnya yang salah pada Meta. Aksel menyingkirkan rasa bersalahnya, mengambil ponsel kemudian buru-buru mengumpulkan obat yang ada di atas meja dan meninggalkan kelas.
"Gue nggak berniat nyakitin lo, tapi kalau usaha gue kali ini gagal. Mungkin jalan terbaiknya adalah memberi hinaan yang sama terhadap lo, Ta."
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Meta baru saja bersin untuk yang ketiga kalinya, ia menggosok hidungnya sampai memerah. Sekarang rasanya cukup lega, namun Meta menerka-nerka siapa yang tengah membicarakan dirinya. Karena katanya jika kita bersin tiba-tiba, ada yang membicarakan kita di belakang. Benar atau tidaknya, Meta tidak tahu dan tidak ingin peduli. Namun rasanya akan sangat menyebalkan jika hal itu benar terjadi.
Selepas dari kelas, tepatnya setelah menaruh obat untuk mengobati luka di bibir Aksel di atas meja, Meta langsung bergegas menuju atap. Berdiri di dekat tembok pembatas, menikmati pemandangan indah SMA Gemilang dari sana. Sembari menghirup udara segar, seraya mengilas balik kehidupannya yang suram tanpa keluarga utuh layaknya anak-anak lain seumurannya.
Meta menghela napas, rasanya berat sekali. Pundaknya tak sekokoh yang orang lain lihat, Meta mengorbankan banyak hal dalam hidupnya yang gelap itu. Dadanya terasa dihimpit oleh batu besar disetiap ia membuka mata. Masalah yang datang tak selalu bisa ia atasi, ia ingin lari tapi tak punya kesempatan untuk pergi. Baginya hidup adalah sebuah misi yang harus diselesaikan sampai akhirnya menemui kematian. Meta tak punya banyak impian, ia hanya ingin hidup dengan tenang bersama Risa. Untuk masalah pendamping, mungkin ia tidak akan menerima siapapun di hatinya.
Tidak akan pernah. Karena bagi Meta, hidupnya hanyalah untuk Risa.
"Thank's, obatnya. Cukup berguna buat luka yang udah lo kasih ke gue."
Seruan seseorang yang bersumber dari balik punggungnya membuat Meta terhening, menatap lemah lapangan dengan sekali lirikan ke belakang. Menoleh ke sumber suara yang ternyata berasal dari Aksel. Ya, siapa lagi jika bukan lelaki itu? Setelahnya, Meta tak berkutik, Aksel memojokkannya ke tembok pembatas.
Mata cewek itu membulat, cukup terkejut sekaligus takut akan reaksi Aksel. "Apa-apaan lo kayak orang mesum begini?!" teriknya sambil mendorong bahu Aksel untuk menciptakan jarak. "Jangan main-main sama gue, Sel. Lo akan menyesal!"
Sebelah alis Aksel terangkat. "Oh, ya? Gue nggak takut. Jawab dulu pertanyaan gue, muka lo kemaren kenapa? Kalau bener lo berantem, lo berantem sama siapa, Ta? Kasih tau, biar gue yang hajar dia!" ucap Aksel mendesak. Ia benar-benar ingin tahu banyak hal mengenai gadis yang sulit ia taklukkan itu.
"Buat apa lo ikut campur urusan gue? Denger, ya, gue nggak butuh belas kasihan dari lo. Urus aja diri lo sendiri!"
"Justru karena gue udah ngerasa mampu ngurus diri sendiri, makanya gue ngurusin lo juga sekarang," seloroh Aksel yang membuat Meta membuang muka ke samping. "Gue ngerasa punya tanggung jawab setelah jatuh cinta sama lo."
"Pake cara apalagi, ya, supaya lo bisa jauh-jauh dari gue dan biarin masa SMA gue berjalan dengan tenang?"
Aksel menyunggingkan senyum, kedua tangannya masih berada dikedua sisi tubuh Meta. Mengurung cewek itu agar tak bisa pergi kemana-mana.
"Sekarang gue jadi penghalang ketenangan lo gitu?"
"Kalau lo sadar diri, lebih baik mundur sendiri. Jangan nunggu gue usir!"
Akhirnya saat Aksel lengah, Meta bisa terbebas dari Aksel. Ia berhasil mendorong cowok itu agar menjauh darinya, untung saja pemuda itu tidak melakukan hal lebih yang akan membuat Meta melayangkan pukulan sebagai bentuk pertahanan diri. Kalau itu terjadi, mungkin ia akan terjerat masalah baru dan membuat Risa khawatir.
"Gue pikir lo lebih memerlukan obat ketimbang gue, Ta. Karena rasa sakit itu bisa merubah lo jadi lebih ganas dari piranha!"
"Nggak usah mancing emosi gue!" bentak Meta lalu berbalik memunggungi Aksel, ia sedang mencoba untuk tidak tersulut emosi. "Daripada di sini ngoceh nggak jelas, mendingan lo ke temen-temen lo sana!"
"Kenapa cara lo nolak gue terlalu menyakitkan, Ta? Suka sama lo bukan kejahatan, kenapa gue harus dihukum?"
Jantung Meta berdesir hebat, kedua tangannya mengepal kuat menyalurkan perasaan bersalah atas apa yang dahulu pernah ia lakukan pada Aksel. Tetapi itulah cara bagi Meta untuk bertahan, karena jika ia sudah jatuh cinta, hatinya akan lemah. Dan artinya, ia akan selalu kalah dalam hidupnya dan Meta tidak ingin hal itu terjadi.
"Gue nggak suka sama lo, jadi berhenti bilang suka sama gue!" ucap Meta masih dalam posisi yang sama. Di belakangnya, Aksel memandang lekat. "Seharusnya kalau udah ditolak sekali, lo berhenti!"
"Gue nggak akan berhenti, Ta!" putus Aksel cepat. Membungkam Meta dengan tatapan tidak suka yang sepenuhnya diberikan pada Aksel. "Selama gue punya kesempatan, gue nggak akan pernah berhenti."
"Kalau gitu jangan salahin gue atas rasa sakit lo! Gue udah ngomong baik-baik, tapi lo keras kepala."
Jika detak jantung manusia bisa didengar, mungkin saat ini jantung Meta terdengar sangat berisik karena berdetak terlalu cepat. Barangkali organ di tubuhnya ikut bereaksi saat Aksel mengutarakan kekecewaannya. Tapi Meta tetap teguh pada keputusannya, ia tidak akan takluk pada siapapun. Sehingga setelah memberitahu Aksel untuk berhenti, ia mengangkat kaki dan meninggalkan Aksel sendirian di atap.
Dalam perasaan campur aduk, antara ingin mencinta dan tidak. Bayangan ketika dirinya dihina selalu menghalangi Aksel untuk terus menyayangi Meta. Apa yang harus ia lakukan?
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Pelajaran terakhir sedang berlangsung, setengah jam lagi bel pulang akan berdering memenuhi SMA Gemilang. Sejak duduk berdampingan dengan Aksel selepas jam istirahat berakhir, cowok itu tampak tidak bisa memusatkan perhatian. Selalu saja gelisah dan tidak bisa diam. Membuat Meta berpikir bahwa hal itu disebabkan oleh perkataannya yang tidak berperasaan. Meski ada rasa bersalah yang mengganjal di hatinya, Meta tetap bersikap seperti biasa. Ia seperti pilar kokoh yang akan tetap menopang meski hampir roboh.
Segala rasa sakit itu akan ia simpan sendirian, tersakiti sejak kecil membuatnya terbiasa asalkan ada Risa di sampingnya.
Diam-diam, Meta menatap Aksel kembali, cowok itu masih memainkan pulpen dan terus diam meski teman-temannya sudah mengajaknya bicara. Hal itu tetap tak berpengaruh, Aksel tidak memedulikan apapun bahkan sampai jam pelajaran berakhir. Saat kelas sudah dibubarkan oleh guru yang mengajar, barulah dia terlihat bersemangat dan membuat Meta menaruh curiga padanya.
Ketika Aksel menghampiri Pandu, Meta teringat akan perkataan cowok itu yang mengajak sahabat segengnya untuk berkelahi sepulang sekolah. Meladeni anak kelas sebelah yang katanya songong. Karena Meta tak ingin Aksel terlibat kasus perkelahian lagi, ia pun ikut mempercepat gerakannya mengikuti Aksel di belakang. Sebisa mungkin menghentikan Aksel sebelum terlambat. Namun sebelum itu, Meta sudah pamit kepada Renata dan Kayla.
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Sesampainya di parkiran sekolah, disaat Aksel tengah bercengkerama bersama dengan teman-temannya dari Destroyer. Meta menyerobot masuk ke dalam kerumunan para lelaki itu tanpa rasa malu, segan, apalagi takut. Meta sudah tak mengenal kata takut, dia sudah berteman dengan ketakutan sejak ayah serta saudara laki-lakinya tiada.
Kehadiran Meta menjadi tanda tanya bagi semua orang, termasuk Aksel dan Pandu yang cengo di tempatnya. Tubuhnya kaku, tak bergerak bahkan sampai menahan napas beberapa detik. Meta menyambar kunci motor di tangan Aksel, ia tidak peduli dengan tatapan merendahkan anggota geng paling disegani di SMA Gemilang itu. Yang ia tahu, Aksel tidak boleh terlibat perkelahian dalam bentuk apapun. Hanya itu alasan yang terkunci di kepalanya.
"Ta, lo mau ngapain? Balikin kunci motor gue!" Aksel mendekat, namun Meta bergerak untuk menaiki motor besar kesayangan Aksel. "Lo apa-apaan, sih? Rok lo kependekan kalau mau bawa motor ini."
Aksel menarik lengan Meta hingga membuat cewek yang tak kenal takut itu terhuyung ke samping. Untung saja Meta bisa mengendalikan diri hingga tidak tumbang ke pelukan Pandu. Cewek itu menepis tangan Aksel segera, dia memutar tubuhnya menghadap Pandu.
"Lo bisa bawa motor matic gue, nggak?"
"Lo ngomong sama gue?" Pandu heran dan refleks menunjuk dirinya sendiri, membuat teman-temannya terbahak. Pandu dan perempuan adalah dua hal yang bertolak belakang. Membuat teman-temannya geleng-geleng kepala.
"Karena gue sama Aksel mau ke Prismatrix Kafe, jadi lo bawain motor gue ke sana, ya. Gue mau ganti celana dulu." Tanpa menunggu jawaban Pandu, Meta kembali menarik tubuhnya untuk menghadap Aksel, yang baru saja mengode teman-temannya untuk membawa dirinya kabur. Seolah telah membaca pergerakan itu, Meta melirik ganas teman-teman Aksel satu per satu.
"Kalau sampai lo hilang dari penglihatan gue, siap-siap aja kehilangan motor kebanggaan lo ini!"
Setelah itu Meta berlalu meninggalkan Aksel dengan rencananya yang telah digagalkan oleh Meta. Peringatan cewek itu tidak pernah main-main, Meta selalu menepati ucapannya. Apalagi dalam hal seperti ini, Meta mewanti-wanti dirinya dalam kasus perkelahian sejak kelas XI. Tapi kali ini mengapa harus melibatkan Aksel?
"Kalau udah berurusan sama Meta, angkat tangan, deh, gue. Bukannya apa, gue males ngeladenin perempuan. Kayak nggak guna aja geng kita berurusan sama cewek." Devon berujar lebih dahulu, diikuti oleh teman-temannya yang memutuskan untuk menunda rencana mereka kali ini. Bagaimanapun juga, pada akhirnya, Aksel terpaksa mengikuti perintah Meta.
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
"Lo bisa bawa motor yang bahkan lebih berat dari badan triplek lo, Ta?"
"Nggak guna mulut lo, ya!" maki Meta sambil berkendara di jalan raya, suaranya teredam oleh helm full face milik Aksel. Meta sengaja memakai itu agar Aksel tidak terlalu malu diboncengi olehnya. Seharusnya, kan, laki-laki yang membonceng perempuan, bukan justru sebaliknya. Seperti yang terjadi pada Meta dan Aksel.
"Boleh peluk, nggak, Ta? Gue takut lo nyasar ke kolong truk," teriak Aksel di belakang sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Meta. Karena bagaimanapun juga, Meta tetaplah perempuan yang tak pernah ia duga bisa mengendarai motor sebesar ini.
"Nggak usah kayak banci! Itu di depan kafenya Dewa, nggak usah peluk-peluk segala."
"Ya udah, gue percayakan semuanya sama lo," jawab Aksel pasrah hingga Meta tertawa receh.
Meta melirik ke arah spion motor, memastikan bahwa Pandu masih mengikutinya di belakang. Karena kalau sampai cowok itu menghilang, Meta akan terlambat pulang dan mendapat omelan dari Beni. Bisa bahaya baginya jika hal itu terjadi, karena Meta pasti akan dipukuli seperti anjing liar. Dari kaca spion itu, Meta melihat Pandu yang berkendara dengan santai. Membuatnya merasa lebih lega dan tenang.
Tak lama, kendaraan pun berbelok ke kanan dan langsung menuju parkiran khusus untuk motor milik Aksel. Beberapa karyawan yang sedang berada di luar langsung mengenali motor mahal dan pemiliknya. Mereka menyapa ramah, Aksel membalasnya dengan sekali anggukan beserta senyum tipis.
"Turun!" titah Meta, gerakannya yang super cepat itu membuat Aksel dilanda kebingungan.
Setelah mereka berhasil turun dengan masing-masing helm yang sudah dilepas, Meta menarik sebelah tangan Aksel dan menaruh kunci motornya di sana. Wajah Meta tampak tegang akan sesuatu, apalagi ketika Pandu tiba, matanya langsung tertuju pada motor matic keberuntungannya itu.
"Jangan berantem lagi, nanti muka lo makin jelek! Emak lo kasian, pulang-pulang anaknya udah kayak kaleng penyok yang ditendang di jalan."
"Lo khawatir sama gue?"
Meta tertawa ringan. "Nggak! Gue duluan, ya. Thank's, ya, Ndu. Lain kali gue traktir di kantin."
"Gue enggak?" seru Aksel, mengingatkan Meta bahwa dirinya juga perlu ditraktir makan.
Cewek itu hanya membalas seruan Aksel dengan tawa sambil menaiki motornya. Sedangkan Pandu hanya bisa mengamati dua remaja itu sambil melirik ponselnya sesekali, memastikan bahwa tak ada pengumuman baru dari grup Destroyer atas kegagalan rencana hari ini.
"Ndu, lo tunggu sini dulu, ya. Gue mau ngikutin Meta, khawatir ada yang gangguin."
"Hati-hati lo, Bro! Gue tunggu di dalam."
Pandu membiarkan Aksel pergi menyusul Meta, lalu memboyong dirinya masuk ke kafe. Sedangkan Aksel kembali mengendarai motornya untuk mengejar ketertinggalannya dari Meta.
"Gue pengen tau rahasia dibalik semua keganasan lo terhadap kaum laki-laki, Ta. Siapa yang udah bikin lo kayak gini?" Aksel bergumam, mengambil jarak aman bagi kendaraannya agar Meta tak menyadari kalau sedang diikuti olehnya.
Perempuan setangguh Meta pasti telah melalui banyak hal hingga membatasi dirinya dalam segala hal. Entah mengapa pada kesempatan kali ini, saat dirinya bisa sekelas dengan cewek itu, rasa ingin tahu Aksel kian membesar. Hingga mampu melakukan hal segila ini meski telah ditolak berkali-kali. Seharusnya ia mundur seperti yang Meta inginkan, tapi Aksel tidak akan memutus perjuangannya sampai di sana sebelum tahu apa alasannya.
Meta melewati gang-gang sempit untuk mempersingkat waktu, Aksel masih setia menemani di belakang seraya menghapal rute baru yang ditunjukkan oleh Meta secara tidak langsung. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumah yang selama ini punya banyak cerita terpendam tentang Meta. Aksel menepi, menunggu cewek itu turun dan membuka pagar tanpa perlu repot-repot memanggil ibunya.
Saat Meta sudah berhasil masuk ke dalam, Aksel kembali melaju bersama kendaraannya. Bersembunyi di dekat tembok untuk mengintip ke teras rumah, dimana saat ini Meta dihadang oleh laki-laki tinggi besar. Rambutnya agak panjang, memakai celana pendek selutut dan jaket kulit cokelat.
Belum sempat memahami situasi yang terjadi, Aksel mendapat kejutan dari laki-laki itu. Ia melayangkan pukulan pada Meta sebanyak dua kali, tetapi Meta tak melakukan perlawanan. Cewek itu hanya diam, menerima, tak bereaksi. Hingga Aksel bergegas mengeluarkan ponselnya, barangkali akan ia butuhkan jika nanti sudah menemukan jawaban yang jelas terhadap Meta.
"Sekarang gue tau kenapa hari itu ada luka di wajah lo, Ta. Semoga tindakan gue ini tepat untuk membantu lo suatu saat nanti." Aksel berujar sambil merekam aksi laki-laki yang tidak Aksel ketahui siapa itu. Yang jelas, ia harus punya bukti agar Meta tak terus-terusan menghindar darinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!