"Saya terima nikah dan kawinnya Ayana Zahira Binti almarhum Ahmad Husein dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"
"Bagaimana para saksi?" Tanya salah seorang pendamping penghulu.
"Sah." Sahut para saksi yang menghadiri pernikahan kedua mempelai yang baru saja resmi menjadi sepasang suami isteri.
"Sah, alhamdulillah barakallah." Disusullah sahutan Bapak Penghulu.
Tampak raut wajah pemuda tampan bernama Zulfahmi begitu sangat bahagia dengan hati yang lega atas resminya ia menjadi seorang suami bagi gadis yang bernama Ayana.
Ayana Zahira resmi menjadi Isteri Zulfahmi.
Ia adalah gadis lulusan pada salah satu Pondok Pesantren terbaik diwilayah barat pulau Jawa.
Berawal bertemu dengan suaminya ketika Zulfahmi mengantarkan kakaknya yang bernama Zaidan saat berkunjung untuk mengunjungi Guru Zaidan di Pondok Pesantren tersebut.
Ketika Zaidan sedang menemui tuan guru, Zulfahmi meminta izin kepada Zaidan untuk berkeliling melihat suasana disekitar Pondok Pesantren.
Namun ketika Zulfahmi berjalan menyusuri lorong Pondok justru menemukan sosok gadis yang sangat manis, polos, dengan wajah yang teramat teduh yang sedang bercengkerama dengan santriwati lainnya.
Pandangan pertamanya mampu membuat hati Zulfahmi terpikat dan begitu terpesona dengan paras manis tanpa riasan tersebut.
Tidak sengaja Ayana menangkap sepasang bola mata yang sedang memperhatikannya. Namun ia segera beranjak dan pergi menjauh. Karena pantang baginya bukan mahrom saling berpandangan.
Melihat ekspresi Ayana yang pergi menjauh, membuat Zulfahmi segera berjalan menghampiri Zaidan yang ternyata telah berdiri didepan rumah gurunya yang kerap disapa Kyai Akbar.
"Dari mana kamu Fahmi? Tidak membuat onar kan?" Ujar Zaidan yang menoleh kearah Fahmi.
"Maaf Kak, aku baru saja dari arah sana dan bertemu dengan gadis yang telah membuat aku jatuh hati." Ucap lirih Fahmi dengan berbisik-bisik dan menunjuk kearah dimana Ayana berada.
" Siapa?" Tanya Zaidan tampak penasaran.
"Aku tidak tahu kak." Jawab Fahmi dengan sedikit menunduk karena Kyai Akbar rupanya telah mendengar percakapan mereka walau dengan suara lirih.
"Siapa ini Zidan?" Kyai Akbar bertanya kepada Zaidan.
Zaidan kerap sekali dipanggil dengan sebutan Zidan. Keseluruhan memanggilnya Zidan. Bahkan keluarganya pun juga.
"Alafu Kyai, ini adik saya." Zidan menjawab dengan menyenggolkan lengannya pada tubuh Fahmi untuk memberikan kode supaya Fahmi memperkenalkan diri dan menyalami Kyai Akbar guru besarnya selama Zidan belajar di Pondok Pesantren.
Fahmi pun tersadar ketika kakaknya menyenggolnya dan memberikan kode.
"Zulfahmi, Kyai." Fahmi kemudian mengulurkan tangannya dan segera mencium punggung tangan milik Kyai Akbar.
"Na'am. Mari masuk nak, singgah dulu kegubuk kami." Ujar Kyai Akbar yang merendahkan diri untuk mempersilahkan Fahmi dan Zidan masuk kedalam rumahnya yang ia sebut sebagai gubuknya.
"Baik, Kyai." Zidan menyahut dan menarik tangan Fahmi untuk mengekori Kyai Akbar masuk kedalam rumahnya.
Kyai Akbar mempersilahkan keduanya untuk duduk di sofa empuk yang terdapat beberapa ukiran dibagian pinggirnya.
"Umiiii." Ucap Kyai Akbar dengan suara beratnya.
Tidak lama kemudian keluarlah seorang wanita setengah baya menggunakan gamis panjang berwarna hitam.
Namanya Umi Farida. Ia adalah isteri Kyai Akbar.
Wajahnya teduh dan damai, selalu murah senyum dan tampak sekali seperti tidak pernah merasakan adanya beban hidup dalam dirinya.
"Nak, Zidan? Sejak kapan kamu datang?" Sapa Umi Farida kepada Zidan.
Jelas Umi Farida mengenali Zidan, karena Zidan salah satu Santri yang sangat sopan, baik, rendah hati, penurut dan tidak pernah macam-macam bahkan membuat onar selama belajar di Pondok Pesantren nya.
"Belum lama, Umi. Umi, bagaimana kabarnya? Sehat kah, Umi?" Zidan tampak senang sekali bertemu kembali dengan Umi Farida yang sudah ia anggap sebagai Ibu kandung ketika berada di Pesantren kurang lebih enam tahun lamanya.
"Alhamdulillah, Zidan. Umi sehat wal afiat." Umi Farida menjawab lalu duduk mendekati Kyai Akbar.
Belum sempat percakapannya berlanjut, muncullah gadis manis berwajah teduh membawakan nampan dengan beberapa minuman didalam cangkir.
Gadis itu melemparkan senyuman manisnya masih dalam keadaan menunduk tidak berani untuk menatap terlalu lama wajah-wajah pria yang sedang berada di hadapannya, takut berdosa.
Fahmi terkejut karena yang mengantarkan minuman adalah gadis yang telah membuat ia jatuh hati pada pandangan pertamanya.
Segera Fahmi menyenggolkan kakinya pada kaki Zidan.
Dengan cepat Zidan paham dengan apa yang dimaksud Fahmi.
Gadis itu tidak ingin berlama-lama berada dalam ruangan yang terdapat beberapa pria.
Ia segera beranjak masuk kedalam dan meninggalkan Zidan, Fahmi, Kyai Akbar serta Umi Farida.
"Kamu masih mengenalnya, Zidan?" Umi Farida bertanya kepada Zidan.
"Siapa kah dia, Umi?" Zidan tampak tidak mengenali gadis yang Umi maksud.
"Ayana." Umi menyahut dengan singkat.
"Gadis kecil yang dulu sering kamu bela, ketika beberapa temannya membuli lantaran ia tidak memiliki keluarga." Sambung Kyai Akbar.
Zidan tampak mencoba mengingat-ingat kembali tempo dulu ketika ia masih menuntut ilmu di Pesantren.
"Betulkah dia Ayana yang itu?" Zidan tampak menebak dengan mengingat memori nya yang telah lama itu.
Kyai Akbar dan Umi Farida mengangguk dengan kompak.
"Betul, Zidan. Dia Ayana." Kyai Akbar membenarkan jawaban dari Zidan.
"Gadis Yatim Piatu itu?" Sambung Zidan untuk memastikannya kembali.
"Iya, nak Zidan. Sekarang dia sudah tumbuh besar menjadi sosok yang lebih dewasa. Bahkan ia turut mengajar beberapa santriwati disini." Umi Farida menjelaskan supaya Zidan lebih paham dalam mengingatnya.
"MasyaAllah, saya hampir tidak mengenalinya, Kyai, Umi." Zidan terkekeh dan pikirannya berkecamuk betapa manis dan anggunnya gadis yang dulu sering ia bela semasa masih di Pesantren.
Kyai dan Umi hanya saling berpandangan dan saling tersenyum.
"Maaf, Kyai, Umi. Boleh kah saya mengenalnya?" Tiba-tiba Fahmi membuka suara atas apa yang sedang ada dalam benaknya.
Kyai Akbar dan Umi saling berpandangan.
"Hussttt." Zidan menyenggol kaki Fahmi.
"Kalau boleh tahu, mengenal dalam arti seperti apa nak Fahmi?" Kyai Akbar bertanya dan memasang wajah yang lebih serius.
"Ayana ini sekarang menjadi tanggung jawab kami, dia sudah kami anggap sebagai anak kandung kami. Bahkan Ayana sendiri ingin mengenal laki-laki ketika ia sudah menjadi isteri dari laki-laki tersebut." Kyai Akbar kembali melanjutkan pembicaraannya.
"Betul nak, Ayana ingin langsung menikah. Karena ilmu agamanya sudah cukup bagus untuk faham dengan apa yang diterapkan dalam agama kami."
Sambung Umi Farida yang matanya melirik ke Zidan.
Fahmi kemudian memandang Zidan dengan penuh harap.
"Na'am, Kyai, Umi." Zidan menyahut tanda faham dengan apa yang dimaksud Kyai dan Umi.
Tidak lama kemudian Zidan berpamitan kepada Kyai Akbar dan Umi Farida.
Kyai Akbar dan Umi Farida mengantarkan Zidan dan Fahmi berjalan hingga tepat didepan teras rumahnya.
Tampak para santri dan santriwati berlalu lalang.
"Pikirkan baik-baik ya niat baik kalian, entah siapa diantara kalian yang akan menjadikan pendamping Ayana, semoga diberikan jalan yang terbaik." Kyai Akbar menepuk pundak Zidan dan Fahmi berharap diantara keduanya ada yang bersedia menjadikan Ayana sebagai pasangan hidupnya.
Ucapan Kyai sangatlah melekat dalam benak Zidan dan Fahmi.
Keduanya tampak memikirkannya.
Namun Zidan mengetahui hati adiknya yang terlihat begitu mencintai Ayana pada pandangan pertamanya.
Apakah Zidan juga menyukai Ayana lalu harus mengorbankannya demi adiknya?
"Kami tunggu kabar baiknya segera ya, sebelum di serobot oleh orang lain!"
"Ayana." Panggil Fatimah dengan lembut pada menantu barunya. Fatimah adalah Ibunda dari Zulfahmi dan Zidan.
"Iya, Ibu." Ayana menyahuti dengan nada lirih nan lembut.
"Kamu tidak apa kan nak jika tinggal bersama kami? Nanti kalau Fahmi sudah memiliki rumah kamu bisa tinggal berdua dengan suamimu." Ucap sang Ibu Fatimah yang sedang mengusap pundak Ayana dengan halus.
"Baik Ibu, tidak apa-apa. Kemanapun Mas Fahmi tinggal, aku telah bersedia untuk menemaninya." Jawab Ayana dengan pandangan teduh dan anggunnya.
Ayana tampak manis dan sangat elegan dengan riasan tipisnya.
"Alhamdulillah, terima kasih ya nak Ayana. Hatimu cantik seperti parasmu sayang." Tangan Fatimah mengusap lembut pipi Ayana.
Ayana menggenggam erat jemari Fatimah. Ia dapat merasakan kehangatan seorang Ibu. Mengingat Ibu Ayana yang telah pergi ke surga lebih dahulu.
Fatimah memeluk menantu barunya, dan sesekali Fatimah mengecup pucuk kepala milik Ayana.
"Assalamu'alaikum." Ucap salam Fahmi yang tengah memasuki kamar pengantin.
"Wa'alaikumsalam, Fahmi. Temani isterimu ya nak! Ibu akan pergi keluar menemani Kyai Akbar dan Umi Farida. Kasihan Zidan dan Nabila sudah lama menemani Kyai dan Umi." Ucap Fatimah seraya ingin meninggalkan kamar pengantin dan akan memberikan waktu untuk sepasang pengantin baru.
"Baik, Ibu." Jawab Fahmi dengan mengangguk tanda mengiyakan.
"Nak, Ibu tinggal dulu ya." Pamit Fatimah kepada Ayana.
Ayana langsung meraih tangan Fatimah dan mencium punggung tangan milik Fatimah, Ibu Mertuanya.
Fatimah sangat beruntung mendapatkan menantu secantik dan sebaik Ayana.
Gadis lembut, sholehah, baik hati, bertutur kata selalu baik dan tidak pernah neko-neko.
Fatimah segera berjalan menuju pintu kamar, dan menutup pintu kamar dengan rapat.
Agar memberikan ruang untuk sepasang pengantin baru.
Fahmi dan Ayana tampak canggung. Keduanya hanya saling tersenyum. Bagaimana tidak, perkenalan keduanya pun cukup singkat.
Setelah sepulang dari Pesantren ketika Fahmi mengantarkan Zidan, Fahmi langsung membicarakan kepada keluarga besarnya bahwa ia ingin segera meminang Ayana.
Setelah di musyawarah kan dengan keluarga besarnya, akhirnya Zidan, Fahmi, Fatimah dan kakak perempuan Fahmi yang bernama Nabila langsung meluncur ke Pesantren untuk melamar Ayana.
Dan alhamdulillah pinangan Fahmi di terima dengan baik oleh Kyai Akbar dan Umi Farida sebagai Wali dari Ayana, tidak luput Ayana pun mengiyakan atas pinangan Fahmi.
Fahmi yang notabenenya bekerja sebagai Pilot disalah satu maskapai Indonesia, ingin segera melepas masa lajang nya karena usianya pun telah cukup untuk menikah.
Namun dengan berat hati Fahmi harus melangkahi Zidan sebagai Kakaknya, yang sampai sekarang belum mendapatkan calon untuk ia nikahi.
Sebenarnya dalam hati Zidan, ingin ia meminang Ayana ketika ia mengetahui Ayana telah tumbuh dengan baik di Pesantren milik Kyai Akbar.
Terlebih dengan segudang prestasi membuat Zidan semakin terpikat oleh Ayana, ditambah dengan paras cantik dan indah membuat Zidan selalu terbayang akan Ayana yang lembut dan baik hati.
Namun, cintanya harus kandas karena adiknya telah memilih Ayana lebih dahulu untuk menjadikan sebagai Isterinya.
Ia harus merelakannya, walau sebenarnya ia tidak rela.
Namun lagi-lagi Zidan harus mengikhlaskannya.
"Ayana." Panggil Fahmi kepada Ayana yang telah resmi menjadi Isterinya.
"Iya, Mas Fahmi." Ayana menyahuti nya dengan nada lembut khas suara Ayana.
"Mengapa kamu tidak istirahat saja?" Fahmi bertanya namun hatinya sudah sangat berdebar-debar, ia memberanikan dirinya karena baru kali ini ia berbicara kepada Ayana secara langsung bahkan hanya berdua saja, didalam kamar pula.
"Aku menunggu kamu, Mas." Sahut Ayana yang tengah duduk ditepi ranjang.
"Mengapa harus menunggu aku? Kalau kamu lelah, aku izinkan untuk kamu istirahat lebih dulu, Ayana." Fahmi menjelaskan kepada Ayana dan langsung menghampiri Ayana yang tengah duduk di tepi ranjang.
Ayana tersenyum kepada Fahmi, suaminya.
"Mengapa kamu tersenyum? Ada yang salah kah dengan ucapanku?" Fahmi melihat senyuman Ayana seolah ada sesuatu pembicaraan yang salah padanya.
"Mas Fahmi, mohon maaf sebelumnya jika aku mengoreksi. Akan lebih baik seorang Isteri beranjak istirahat jika sang suami telah istirahat terlebih dahulu." Ayana menjelaskan kepada Fahmi dengan nada lembutnya.
Fahmi menggaruk-garuk kepala nya yang rupanya sama sekali tidak gatal.
"Begitu ya?" Fahmi melemparkan senyum manisnya dengan menunjukan deretan gigi putih nya.
Ayana kembali tersenyum.
Fahmi menjadi salah tingkah, ia merasa gugup dan bingung harus berbuat apa.
"Ayana, boleh kah aku menyentuh jemarimu?" Fahmi bertanya kepada Isterinya. Masih terlihat sangat canggung dan malu antara keduanya.
"Mulai detik ini, seluruh tubuhku milik kamu, Mas. Karena kamu telah menjadi suamiku. Itu hak kamu. Dan aku berhak memberikan hak-hak suami untukmu." Ayana menjawab dengan pengetahuan yang cukup dapat dipahami.
"Baiklah, Ayana Isteriku. Terima kasih banyak atas pemahaman darimu. Semoga kamu bisa menjadi Isteri yang sholehah dan Ibu yang baik untuk anak-anak kita kelak." Fahmi memandang wajah cantik Ayana, sembari meraih jemari Ayana dan segera ia genggam dengan erat.
Mendapat sentuhan dari Fahmi, Ayana sedikit tersentak. Karena selama ini ia sama sekali belum pernah merasakan sentuhan dari lelaki mana pun.
"Aamiiiin yaa robbal'alamin, Mas. Semoga Allah senantiasa mengabulkan do'a-do'a kita." Ayana menjawab beberapa do'a yang telah Fahmi panjatkan.
Kini Fahmi telah menggenggam tangan Ayana, Ayana mencoba untuk membiasakan dirinya oleh sentuhan-sentuhan yang Fahmi ciptakan.
Fahmi memberanikan dirinya untuk memeluk tubuh Isterinya, tidak ada penolakan dari Ayana.
Ayana begitu menikmati pelukan dari sang suami.
Dengan perlahan Fahmi mendekatkan wajahnya ke wajah Ayana.
Tercium aroma tubuh Ayana yang membuat Fahmi ingin terus memeluknya dengan erat.
Fahmi mengajak Ayana untuk segera istirahat malam ini.
Keduanya istirahat saling berhadapan dan saling pandang.
***
"Bu Fatimah, Bu Fatimah sebaiknya istirahat saja. Mari saya antar ke kamar untuk istirahat." Ujar Umi Farida ketika mengetahui Ibu Fatimah belum kunjung istirahat.
"Tidak apa-apa, Umi Farida. Kami bisa beristirahat di sini saja ramai-ramai." Jawab Ibu Fatimah yang tengah duduk di lantai beralaskan karpet busa.
"Eh jangan, Bu Fatimah. Nanti bisa masuk angin. Mari Bu saya antar ke kamar. Nanti Ibu istirahat saja dengan Puterinya. Atau ingin dengan Zidan juga tidak apa. Di kamar ada dua ranjang kalau Zidan mau istirahat bareng dengan Ibunya." Umi Farida menjelaskan kepada Ibu Fatimah.
"Nak Zidan, kamu ajak Ibu kamu istirahat ya. Kasihan Bu Fatimah terlihat lelah. Apalagi besok akan menuju Jakarta kan?" Kyai Akbar pun turut berbicara dan memerintahkan Zidan untuk membawa Ibunya dan kakaknya beristirahat di kamar.
Zidan yang sedang berbincang dengan para Ustadz akhirnya menuruti perintah sang Kyai.
"Na'am Kyai. Alafu, saya ajak Ibu istirahat dulu Kyai." Zidan menyahuti perintah Kyai dan langsung mengajak sang Ibu serta kakaknya menuju kamar untuk beristirahat.
"Mari Bu, Kak." Zidan mengajak sang Ibu dan sang Kakak.
"Kyai, Umi. Saya izin terlebih dahulu." Ujar Ibu Fatimah kepada Kyai Akbar dan Umi Farida.
"Marhaba." Sahut Kyai dan Umi secara berbarengan.
Ibu Fatimah, Nabila dan Zidan akhirnya masuk ke dalam kamar dan segera beristirahat.
***
"Nak Fahmi, saya minta tolong dengan sangat. Saya berpesan untuk nak Fahmi menjaga Ayana dengan baik. Karena sedari kecil Ayana telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Ia anak yatim piatu. Sejak kecil Ayana tinggal bersama kami, kami mengurus dan menjaga layaknya anak kandung kami. Kami sangat menyayanginya." Ujar Kyai Akbar ketika akan melepas Ayana untuk dibawa oleh suaminya.
"Baik Kyai, saya akan menjaga Ayana dengan baik." Fahmi menyahuti perkataan Kyai Akbar.
Ayana tampak memeluk Umi Farida dengan menangis serta sedih meninggalkan Umi Farida. Umi Farida lah yang selama ini menjadi Ibu satu-satunya bagi Ayana.
Sejak Ayana masih kecil hingga kini telah menjadi dewasa dengan kepribadian yang sangat baik dan hampir sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Allah Ta'ala.
"Jaga diri kamu baik-baik ya, Sayang. Jadi Isteri yang baik untuk suami kamu." Pesan Umi Farida kepada Ayana.
"Na'am, Umi. InsyaAllah Ayana akan menjadi Isteri yang baik serta sholehah untuk Mas Fahmi. Ayana sayang Umi. Umi jaga kesehatan ya."
Semuanya tampak terharu akan kepergian Ayana. Terutama Kyai Akbar dan Umi Farida yang telah menganggap Ayana sebagai anak nya sendiri.
Ayana adalah gadis yang baik hati, cerdas, banyak prestasi serta berbudi baik, tutur katanya lembut.
Seluruh penghuni Pesantren sangat mengenal Ayana dengan kebaikannya.
Semuanya sangat kehilangan akan kepergian Ayana.
Setelah berpamitan, semua nya memasuki mobil terkecuali Zidan yang masih berbincang dengan Kyai Akbar.
"Zidan, saya titip Ayana ya ketika Fahmi sedang tidak bersamanya." Kyai Akbar kembali memberikan amanat kepada Zidan untuk turut menjaga Ayana.
"Na'am, Kyai. Zidan pamit dulu Kyai, Umi. Assalamu'alaikum." Jawab Zidan yang langsung mencium punggung tangan milik Kyai Akbar.
"Wa'alaikumsalam." Sahut Kyai Akbar dan Umi Farida secara berbarengan.
Zidan langsung berjalan menaiki mobil pada bagian kemudi.
Dengan Fahmi duduk disebelahnya bagian depan.
Untuk bangku penumpang ada Ayana dibelakang Zidan, disebelahnya ada Ibu Fatimah dan Nabila.
Zidan melajukan mobilnya dan meninggalkan Pondok Pesantren dimana Zidan dan Ayana mengabdi untuk menuntut ilmu agama selama bertahun-tahun lamanya.
Ada raut kesedihan pada wajah Ayana ketika meninggalkan Pesantrennya, namun ia harus mengabdi kepada suaminya kemana pun suaminya berada.
Karena bagi Ayana, surga ada pada suaminya.
Ridho Allah, Ridho Suami.
"Ayana, kamu tidak apa-apa?"
"Ayana, kamu tidak apa-apa?" Tanya Bu Fatimah pada Ayana yang sedari tadi pandangannya menerawang jauh keluar sana.
"Tidak apa-apa, Ibu. Ayana hanya bersedih saja karena meninggalkan Kyai Akbar dan Umi Farida yang sudah Ayana anggap seperti orang tua kandung sendiri. Mereka begitu sangat menyayangi Ayana sedari kecil hingga sampai saat ini. Bahkan Pondok Pesantren sendiri sudah menjadi rumah bagi Ayana selama bertahun-tahun lamanya." Ayana menjelaskan sedikit perasaannya.
Ibu Fatimah menggenggam dan mengusap lembut tangan milik menantu baru nya. Ia dapat merasakan betapa sedihnya Ayana meninggalkan semuanya.
"Sudah, Bu. Biarkan saja Ayana menenangkan dirinya. Mungkin ia sedang menstabilkan emosinya karena harus pindah jauh dari Pesantren serta Kyai dan Umi." Nabila berucap untuk memberikan waktu bagi Ayana untuk beradaptasi dengan keluarga baru dan lingkungan yang baru.
Terlihat dari kaca spion, Zidan memperhatikan Ayana yang sedang mengusap air matanya menggunakan tissue.
Namun sialnya, pandangan mata Zidan dari kaca spion tertangkap oleh Ayana sendiri.
Seketika Zidan melemparkan pandangan nya kembali lurus kedepan.
***
"Nah ini rumah Ibu nak. Ini juga akan menjadi rumah kamu juga. Semoga kamu betah dan bisa cepat beradaptasi dengan keluarga ini dan lingkungan sekitar ya, nak." Ujar Bu Fatimah kepada Ayana yang sedari tadi tangannya menggandeng tangan Ayana.
"Baik, Bu." Ucap lirih dari mulut Ayana.
Nabila segera memasuki kamarnya untuk beristirahat sejenak, karena tidak lama lagi ia akan dijemput oleh suaminya. Kebetulan suaminya tidak dapat menghadiri pernikahan Fahmi dan Ayana.
Zidan turut membantu Fahmi untuk membawa beberapa koper milik Ayana untuk dibawa kedalam kamar pengantin.
"Terima Kasih, Kak. Selamat beristirahat ya." Ucap Fahmi kepada Zidan yang telah membantu membawakan koper-koper masuk ke dalam kamarnya.
"Sama-sama. Mulai sekarang kamu sudah menjadi suami bagi Ayana. Perlakukan dan bimbing Ayana dengan baik. Serta di jaga dengan baik juga. Itu pesan Kyai sebelum melepas Ayana pindah ke rumah ini." Pinta Zidan kepada adiknya.
"Siap, Kak. Terima kasih sebelumnya. Maaf telah merepotkan."
"Santai saja. Aku ke kamar ya. Ingin istirahat." Jawab Zidan yang langsung berlalu meninggalkan Fahmi didalam kamar.
Tampak Bu Fatimah mengantar Ayana menuju kamar pengantin.
"Nah ini kamar kamu nak. Ini menjadi kamar kalian. Kamar nya sudah dirapikan sama mbak Lusi pembantu rumah ini. Sudah rapi dan harum kan?" Ucap Bu Fatimah dengan lembut, nampak ia bahagia sekali memiliki menantu baru yang sangat cantik dan sholehah.
"Terima kasih banyak, Ibu. Mohon maaf jika Ayana telah merepotkan seisi rumah ini." Jawab Ayana sungkan.
"Tidak apa-apa, nak. Ya sudah Ibu ke kamar ya, ingin istirahat. Kalian juga istirahat ya nak. Selamat malam." Jawab Bu Fatimah seraya meninggalkan Ayana dan Fahmi di dalam kamar.
"Tolong pintunya ditutup dan dikunci ya isteriku." Perintah Fahmi yang sedari tadi sudah duduk menanti Ayana.
Fahmi rupanya telah membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya dengan pakaian santai.
"Baik, Mas." Ayana segera melaksanakan perintah suaminya.
Dengan langkah pelan Ayana meletakkan tas jinjing yang telah ia bawa di atas meja.
"Kamu bersihkan tubuhmu ya, supaya lebih segar." Perintah Fahmi kembali.
Ayana mengangguk dan mengiyakan perintah Fahmi.
*
Ayana telah keluar dari kamar mandi dengan menggunakan dress silky berwarna putih. Entah dari mana Ayana mempunyai pakaian seperti itu.
Dengan rambut tergerai panjang sebahu menambah kecantikan Ayana semakin sempurna.
Fahmi yang sedang asyik dengan ponselnya seketika dibuat terkejut melihat kecantikan wanita dihadapan nya itu.
Mata Fahmi membulat tak berkedip.
"Maaf ya, Mas. Aku pakai pakaian seperti ini. Aku tidak pantas ya? Kalau tidak pantas aku akan menggantinya kembali." Ucap Ayana dengan rasa kurang nyaman karena Fahmi melihatnya dengan sedikit mata membulat lebar, yang dikira Ayana bahwa Fahmi marah dan tidak menyukai pakaian yang telah ia kenakan.
"Eh tidak perlu diganti Isteriku, kamu sangat cantik sekali. Aku sampai tidak mengenali jika itu adalah kamu. Jujur kamu sangat cantik. Aku suka kamu berpakaian seperti ini. Tapi hanya khusus buatku saja ya." Goda Fahmi pada Ayana.
Ayana tersipu malu dengan tubuh masih mematung di depan ranjang.
"Sini sayang." Fahmi memerintahkan Ayana untuk mendekatinya seraya menepuk-nepuk kasur pada ranjangnya.
Ayana langsung menghampiri Fahmi yang telah duduk bersandar di ranjang sedari tadi.
Setelah Ayana duduk disebelah Fahmi, Fahmi segera menggeserkan tubuhnya lebih mendekat ke tubuh Ayana.
Fahmi meraba tangan Ayana dengan lembut. Fahmi dan Ayana sama-sama sudah bersandar di ranjang dengan sandaran bantal empuk.
"Ayana."
"Iya, Mas."
"Enaknya aku panggil kamu apa ya? Apakah Dek saja? Atau Ayank saja?" Ucap Fahmi dengan wajah bingung karena sampai saat ini ia belum menemukan panggilan yang cocok untuk isterinya.
"Terserah kamu saja, Mas. Senyamannya kamu saja." Jawab Ayana dengan sedikit tersenyum hingga mempertontonkan deretan gigi putihnya yang bersih.
"Aku panggil Dek saja ya. Usia kamu juga jauh kan dibawah aku?" Ujar Fahmi.
Ayana mengangguk tanda mengiyakan.
"Oh iya,Dek. Kalau aku boleh tahu. Usia kamu berapa?" Fahmi bertanya dengan penasaran.
"Dua puluh tahun, Mas." Sahut Ayana dengan santun.
"Berarti kita berbeda lima tahun ya, Dek." Jawab Fahmi kembali.
"Memangnya Mas Fahmi dua puluh lima tahun ya?" Ayana mulai memberikan sedikit pertanyaan kepada suaminya.
Fahmi mengangguk cepat.
"Iya, Dek." Fahmi terus memandangi wajah cantik Ayana.
Ayana melirik kearah Fahmi. Keduanya saling berpandangan.
Tangan Fahmi mengusap lembut pipi halus Isterinya.
Ayana menjadi tersipu malu mendapat perlakuan dari Fahmi.
Wajah Fahmi semakin mendekat ke wajah Ayana. Hembusan nafas keduanya saling bertabrakan. Terasa hangat dan mulai memburu.
Jantung Ayana berdetak sangat kencang, karena memang belum pernah ada laki-laki yang menyentuh dirinya.
Ayana adalah gadis yang benar - benar masih bersih dari sentuhan laki-laki.
Jarak keduanya hanya tinggal dua centi saja.
Fahmi mendaratkan c*uman pertamanya untuk Isterinya.
B*bir mereka saling bertautan.
Fahmi mel*mat lembut b*bir Isterinya.
Tidak ada penolakan dari Ayana. Karena memang sudah menjadi kewajiban Ayana untuk melayani suaminya.
Fahmi langsung meraba tengkuk Ayana dengan masih mel*mat. Nafas keduanya telah memburu.
Kaki Fahmi melingkarkan tangannya ke tubuh Ayana. Sampai pada akhirnya Fahmi dapat memeluk erat Isterinya dengan c*uman yang masih membara.
"Dek, apakah kamu sudah siap untuk melakukannya untukku?" Tanya Fahmi pada Ayana dengan tatapan yang penuh harapan.
Mata Ayana menatap manik mata Fahmi dengan lekat.
Ayana mengangguk.
" Iya, Mas. Aku siap."
Mendapat jawaban dari Ayana, Fahmi langsung meraup kembali b*bir ranum Ayana.
Tangan Fahmi mulai bergerilya menuju area-area yang lain pada tubuh Ayana.
Keduanya sangat menikmatinya.
"Dek, siap? Tahan ya! Ini akan sakit. Tapi lama-lama sakitnya akan hilang." Fahmi memberikan aba-aba.
Ayana telah siap dengan jantung yang teramat berdebar-debar karena baru pertama kalinya ia melakukan hal seperti ini.
Fahmi mencoba untuk menjebol benteng pertahanan Ayana yang sangat sulit. Butuh beberapa kali untuk meruntuhkannya.
"Awww sakit, Mas. Pelan-pelan." Rintih Ayana yang telah merasakan sakit pada area int*mnya.
"Tahan ya, sayang. Nanti lama-lama enak kok." Jawab Fahmi dengan terus mencobanya.
"Memang Mas pernah melakukannya? Kok bisa bilang ini enak?" Ayana mulai menyelidiki.
"Belum pernah, Sayang. Hanya dengar kata orang-orang saja." Jawab Fahmi kemudian.
Fahmi terus mencobanya.
Dan akhirnya benda kerasnya mampu menembus dinding pertahanan milik Ayana.
"Ahhhh sakit, Mas." Ayana merintih kesakitan karena tubuhnya serasa dibelah oleh benda keras.
Fahmi berhenti sejenak. Lalu ia langsung mel*mat kembali b*bir Ayana untuk meredakan rasa sakit pada area int*m Ayana.
Namun pelan-pelan Fahmi menggerakannya dengan tempo yang sangat lambat, karena masih mengimbangi rasa sakit yang didera oleh Ayana.
L*matan b*bir keduanya masih saling bertaut, karena rupanya sembari berc*uman dapat meredakan rasa sakit dan menambah rasa nikmat pada gerakan temponya.
Fahmi masih dengan tempo yang pelan.
"Gerak sedikit cepat, Mas." Pinta Ayana.
Mendapat perintah dari Ayana, Fahmi semakin tertantang dan menggerakan p*nggulnya lebih cepat.
"Ahhhh." Desahan Ayana terdengar pada telinga Fahmi. Membuat Fahmi semakin bergairah. Pertanda bahwa Ayana sudah sangat menikmatinya.
"Lebih cepat lagi, Mas. Ini enak." Perintah Ayana kembali.
"Enak kan, Sayang?" Tanya Fahmi pada Isterinya yang sudah memejamkan matanya.
Ayana mengangguk pasrah.
"Iya,Mas. Enak sekali. Lebih cepat lagi, Mas."
Fahmi langsung menggerakan p*nggulnya dengan tempo yang sangat cepat, membuat ranjang turut bergerak menyaksikan sepasang pengantin baru yang sedang dimabuk asmara.
Akhirnya Ayana melepaskan pelepasan pertamanya. Dan disusul lah oleh Fahmi.
"Ahhhhh." Desah keduanya berbarengan.
"Jangan dilepas, Mas. Biarkan tetap seperti ini." Perintah Ayana.
Terasa hangat c*iran keduanya saling bertemu didalam sana.
Fahmi telah melepaskan benih pertamanya pada rahim Isterinya.
"Dek, terima kasih ya."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!