NovelToon NovelToon

KKN Berujung Istri Juragan

Kehidupan Sarah dan Persiapan KKN

Suasana aula kampus biru pagi itu berbeda dari biasanya. Mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir berkumpul dengan wajah penuh semangat bercampur rasa cemas. Hari ini adalah rapat pengantaran terakhir sebelum mereka diberangkatkan ke lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Sarah duduk di barisan tengah bersama teman-teman satu kelompoknya. Di tangannya ada map berisi surat tugas dan catatan kecil tentang program kerja yang sudah mereka diskusikan. Matanya kadang melirik ke papan tulis di depan, kadang ke sekeliling ruangan, berusaha mengabadikan suasana yang mungkin hanya akan terjadi sekali seumur hidup.

“Teman-teman, ingat ya. KKN ini bukan hanya formalitas. Ini kesempatan kalian untuk belajar hidup bersama masyarakat, mendengarkan, lalu memberi kontribusi nyata,” suara dosen pembimbing, Pak Junaedi, terdengar tegas.

Beberapa mahasiswa mengangguk serius. Ada juga yang hanya setengah mendengarkan, pikirannya sudah melayang pada bayangan desa yang jauh dari kota. Sarah sendiri mendengarkan dengan seksama. Meski hatinya berdebar, ia ingin benar-benar memberi kesan baik di tempat KKN nanti.

Setelah rapat selesai, suasana berubah menjadi riuh. Ada yang sibuk berfoto bersama, ada yang pamit ke dosen, ada pula yang saling bercanda untuk mengurangi ketegangan. Sarah menatap sekeliling dengan senyum tipis. Dalam hati, ia merasa ada satu babak hidupnya yang sebentar lagi berganti.

...----------------...

Pagi itu, aroma nasi goreng buatan Ibu memenuhi ruang makan keluarga Sarah. Gadis berusia 21 tahun itu baru saja turun dari kamarnya dengan rambut yang masih agak kusut. Seperti biasa, ia selalu jadi orang terakhir yang duduk di meja makan.

“Sarah, cepat makan. Jangan sampai terlambat lagi,” tegur Ayahnya sambil melipat koran.

Sarah hanya tersenyum kecil, lalu mengambil piring. Kehidupan di keluarganya terasa hangat walau kadang diselipi teguran kecil. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dan sudah terbiasa mengalah pada kedua adiknya yang lebih cerewet.

Hari itu sebenarnya istimewa bagi Sarah. Bukan karena ulang tahun atau acara keluarga, melainkan karena ia harus bersiap untuk program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sudah beberapa hari ia sibuk mengemas barang-barang: mulai dari pakaian sederhana, peralatan masak kecil, sampai kitab catatan kuliahnya.

“Mah, Sarah bawa koper ini aja kan? Kayaknya bakal lama di sana,” katanya sambil menunjuk koper berwarna biru muda.

Ibu hanya mengangguk. “Iya, jangan lupa juga bawa mukena sama obat-obatan. Kamu kan suka tiba-tiba sakit kepala.”

Sarah menghela napas. Baginya, persiapan KKN ini bukan hanya tentang pindah tempat sementara. Ada perasaan campur aduk: senang, gugup, sekaligus penasaran. Apalagi ia mendengar desa tujuan mereka cukup jauh dari kota, dan masyarakatnya sangat menjaga adat.

Adiknya yang paling kecil, lia, mendekat sambil terkikik. “kk Sarah, siapa tahu di sana ketemu jodoh, hehe.”

Sarah hanya mencubit gemas pipi Lia. “Dasar usil!”

Namun dalam hatinya, Sarah sendiri tak bisa menolak rasa penasaran itu. KKN sering disebut sebagai masa yang penuh cerita—tentang persahabatan, pengabdian, bahkan kisah cinta yang tak terduga.

Dan tanpa ia sadari, perjalanan KKN kali ini akan mempertemukannya dengan sosok lelaki yang kelak mengubah jalan hidupnya—seorang juragan muda yang menjadi buah bibir di desa itu.

Keesokan harinya, pagi masih buta ketika rumah keluarga Sarah sudah ramai. Koper biru mudanya sudah ditata di dekat pintu. Ibu sibuk memastikan semua bawaan lengkap, sementara Ayah menyiapkan mobil untuk mengantar ke titik kumpul. Dina, adiknya, sudah sejak subuh cerewet mengingatkan ini-itu.

“Sarah, jangan lupa nanti telepon Mama tiap malam. Kalau susah sinyal, minimal kirim SMS,” kata Ibu dengan suara bergetar.

Sarah menahan air mata. Ia tahu ibunya sebenarnya khawatir, tapi berusaha tegar di depan anak-anaknya. “Iya, Mah. Tenang aja. Sarah kan nggak pergi sendirian, ada teman-teman juga.”

Ayah menepuk bahu putrinya. “Ingat pesan Ayah. Di manapun kamu berada, jaga nama baik keluarga. Jangan cepat menyerah.”

Ucapan itu terasa berat, tapi penuh makna. Sarah memeluk kedua orangtuanya erat. Momen perpisahan itu sederhana, tapi meninggalkan kesan mendalam di hatinya.

lia yang biasanya usil, dan anti adek keduanya sama ² kini malah ikut terisak sambil berkata, “kk Sarah jangan lama-lama ya…”

Haii guys yg baca kalau ada salah mohon maaf ya baru pemula buat cerita heheh

perjalanan KKN ke desa

Perjalanan menuju desa lokasi KKN memakan waktu hampir lima jam. Sarah dan kelompoknya naik bus kampus yang disewa khusus. Sepanjang jalan, mereka bercakap-cakap, bernyanyi, bahkan ada yang tertidur karena lelah. Namun bagi Sarah, pemandangan di luar jendela jauh lebih menarik.

Semakin lama, jalanan kota berganti dengan hamparan sawah hijau, sungai yang berkelok, dan rumah-rumah sederhana khas pedesaan. Angin sepoi masuk lewat celah jendela bus, membawa aroma tanah basah dan rerumputan. Ada rasa tenang sekaligus penasaran yang mengisi dadanya.

“Eh, Sar,” bisik temannya, Rani, yang duduk di sebelah. “Kamu tahu nggak, desa kita ini katanya punya juragan terkenal. Namanya… apa ya? Andi Kerrang, kalau nggak salah.”

Sarah mengerutkan kening. “Juragan? Maksudnya?”

“Iya, juragan padi, juragan tanah, punya kos-kosan juga di kota kabupaten. Orangnya masih muda, tapi katanya disegani banget sama warga. Wah, kayak sultan lah pokoknya.”

Sarah tertawa kecil. “Masa sih? Kok kayak cerita sinetron.”

“Tapi beneran, lho. Katanya dia itu tegas tapi dermawan. Banyak anak muda di desa kerja di sawahnya. Kalau nggak salah, tanahnya sampai hektaran. Eh, siapa tahu kamu nanti ketemu langsung.”

Sarah hanya mengangguk tanpa menanggapi lebih jauh. Baginya, cerita itu sekadar bumbu perjalanan. Ia lebih fokus membayangkan bagaimana bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat desa yang baru.

...----------------...

Sore hari, bus mereka akhirnya berhenti di balai desa. Warga sudah menunggu dengan ramah. Kepala desa menyambut dengan senyum lebar, diikuti beberapa perangkat desa. Suasana terasa hangat sekaligus formal.

“Selamat datang, anak-anak. Mulai hari ini, desa kami juga jadi rumah kalian. Semoga selama dua bulan ke depan, kita bisa saling belajar dan bekerja sama,” ucap Kepala Desa.

Mahasiswa membalas dengan tepuk tangan. Setelah itu, mereka dibagi ke rumah-rumah warga untuk tinggal selama KKN. Sarah dan dua temannya ditempatkan di rumah keluarga Pak Haji Malik, seorang petani sekaligus tokoh agama.

Rumah Pak Haji sederhana tapi luas, dengan halaman belakang yang langsung menghadap hamparan sawah. Saat menaruh barang-barangnya, Sarah tak bisa menahan kekaguman. “Masya Allah, indah sekali ya,” gumamnya.

Malam harinya, setelah makan bersama keluarga tuan rumah, Sarah duduk di beranda sambil menghirup udara segar. Dari jauh terdengar suara jangkrik bersahutan. Rani duduk di sampingnya sambil membuka obrolan.

“Kamu lihat nggak, tadi waktu kita sampai, ada beberapa warga bisik-bisik soal Andi Kerrang?” katanya lirih.

Sarah mengangkat alis. “Iya, aku denger sekilas. Mereka bilang dia juragan besar di sini, ya?”

“Iya. Katanya anak muda, tapi sukses banget. Ada yang bilang orangnya keras, ada juga yang bilang baik hati. Tapi yang jelas, semua orang segan kalau dengar namanya.”

Sarah terdiam. Ada rasa penasaran yang tiba-tiba muncul. Nama Andi Kerrang seolah menjadi bayangan samar yang menyelimuti desa ini. Ia belum tahu seperti apa sosoknya, tapi cerita-cerita kecil yang ia dengar sudah membuat hatinya ingin tahu lebih dalam.

Sambil menatap ke arah sawah yang gelap, Sarah bergumam dalam hati:

“Sepertinya, perjalanan KKN ini memang akan lebih menarik dari yang kubayangkan…”

Dan ia tak pernah menyangka, bisikan tentang juragan itu bukan sekadar cerita biasa. Dalam beberapa hari ke depan, langkah kakinya akan membawanya bertemu langsung dengan Andi Kerrang, pria yang kelak mengguncang tenang hidupnya.

Malam Pertama dan Pertemuan Tak Terduga

Setelah berbincang lama dengan Rani di beranda, Sarah akhirnya masuk ke kamar yang sudah disediakan keluarga Pak Haji Malik. Kamar itu sederhana: lantai semen, dinding papan kayu, ranjang besi tua dengan kasur tipis, serta jendela kayu yang menampakkan bintang di langit malam.

Rani sudah sibuk merapikan barang-barangnya, sementara teman sekamar mereka yang lain, Mira, langsung rebahan dengan ponsel di tangan. Sarah mengambil ponselnya, lalu membuka grup keluarga di WhatsApp. Jari-jarinya sempat ragu. Ia tahu ibunya pasti menunggu kabar.

Akhirnya ia mengetik:

Sarah: Alhamdulillah, sudah sampai di desa. Rumahnya nyaman, orang-orangnya baik. Nanti kalau ada foto Sarah kirim ya, Mah, Yah.

Tak butuh lama, notifikasi balasan berdatangan.

Ibu: Alhamdulillah nak. Jaga diri baik-baik ya. Jangan lupa makan.

Ayah: Ingat pesan Ayah. Fokus belajar sama pengabdian. Jangan main HP terus.

lia: kk Sarah, jangan lupa bawa pulang juragan kalau ada, hehe 😂😂

Anti : semoga betah ya kk..

Membaca pesan terakhir, Sarah langsung menutup wajahnya dengan bantal sambil tertawa tertahan. Rani yang penasaran segera mendekat.

“Ada apa, Sar? Kok ngakak sendiri?”

Sarah menunjukkan layar ponselnya. Begitu membaca pesan lia, Rani langsung meledak tertawa. “Astaga! Adikmu visioner banget. Kayak cenayang aja!”

Mira yang tadinya rebahan pun ikut nimbrung. “Eh, siapa tahu bener lho. Di sini katanya ada juragan muda. Namanya… siapa tadi?”

“Andi Kerrang,” jawab Rani dan Sarah hampir bersamaan.

Mira mengangkat alis. “Wih, namanya keren. Kayak tokoh film action. Jangan-jangan nanti kalian ketemu dan—”

“Udahlah, jangan ngaco!” potong Sarah sambil melempar bantal kecil ke arah Mira.

Suasana kamar mendadak pecah dengan tawa. Mereka saling lempar bantal, bercanda, bahkan sesekali berlari kecil menghindar. Hingga akhirnya, terdengar suara batuk-batuk dari luar kamar.

Tolong jangan ribut, anak-anak. Ini sudah malam,” suara Pak Haji Malik terdengar tegas.

Mereka bertiga langsung terdiam, saling pandang, lalu menutup mulut menahan tawa. Setelah suasana kembali hening, Sarah berbaring di kasurnya. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba memejamkan mata.

Namun, pikiran berputar tak karuan. Bayangan wajah Ibu dan Ayah, suara tawa lia,anti bahkan obrolan tentang juragan Andi Kerrang berputar di kepalanya. Ia gelisah, bolak-balik di kasur, hingga akhirnya membuka ponsel lagi.

Jam menunjukkan pukul 23.47. Ia mengetik pesan singkat di grup keluarga:

Sarah: Susah tidur. Kangen rumah.

Balasan datang cepat.

Ibu: Istighfar nak. Nanti juga terbiasa.

Ayah: Jangan lupa doa sebelum tidur.

Sarah : Iye Bu

Lalu akhirnya mencoba kembali memejamkan mata.

...----------------...

Pagi hari, ayam berkokok membangunkan mereka. Sarah keluar kamar dengan mata agak sembab. Rani menepuk bahunya sambil menggoda, “Kurang tidur ya? Jangan-jangan semalaman mikirin juragan.”

Sarah hanya mendengus. “Ih, apa sih. Biasa aja.”

Setelah sarapan bersama keluarga Pak Haji, rombongan mahasiswa berkumpul di balai desa. Mereka diberi pengarahan singkat sebelum memulai aktivitas pertama: turun ke sawah bersama warga untuk mengenal lahan pertanian yang jadi sumber utama desa itu.

Sarah mengenakan topi caping pinjaman, celana longgar, dan sandal jepit. Panas matahari belum terlalu terik, tapi bau lumpur sawah sudah menyapa sejak mereka melangkah ke pematang.

“Wah, ini pengalaman baru banget,” ujar Mira sambil mencoba menyeimbangkan langkah. Beberapa kali ia hampir terpeleset.

Rani menahan tawa. “Hati-hati, Mir. Jangan sampai nyemplung beneran.”

Sarah sendiri berjalan hati-hati sambil sesekali melirik sekeliling. Hamparan padi hijau terbentang sejauh mata memandang. Ada petani yang sedang menyiangi rumput, ada juga ibu-ibu yang membawa bekal untuk suaminya. Suasananya tenang sekaligus hidup.

Namun, langkah Sarah tiba-tiba terhenti ketika melihat seorang pria berdiri di tepi sawah, berbicara dengan beberapa warga. Ia mengenakan kemeja sederhana yang dilipat di lengan, celana kerja lusuh, dan topi lebar. Meski penampilannya biasa, wibawanya terasa jelas. Warga mendengarkan ucapannya dengan penuh hormat.

“Eh, itu dia,” bisik salah satu pemuda desa di dekat Sarah. “Itu Andi Kerrang, juragan kita.”

Deg. Sarah spontan menoleh. Jadi itu orangnya? Juragan yang semalam jadi bahan obrolan?

Pria itu menoleh sejenak, pandangannya menyapu ke arah kelompok mahasiswa. Sekilas mata mereka bertemu. Tatapannya tajam tapi tenang, membuat dada Sarah berdebar aneh.

“Mahasiswa KKN, ya?” suara Andi terdengar berat namun jelas. Ia berjalan mendekat, menyalami dosen pembimbing, lalu menyapa para mahasiswa dengan singkat. “Selamat datang. Semoga kalian betah di sini. Desa kami butuh banyak ide dari anak muda.”

Suara itu sederhana, tapi berwibawa. Sarah hanya bisa diam, mencoba menahan ekspresi agar tidak terlalu terlihat kagum.

Namun, nasib berkata lain. Saat mencoba melangkah mundur untuk memberi ruang, sandal Sarah malah terperosok ke lumpur. Ia kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh ke sawah.

“Sarah!” teriak Rani dan Mira bersamaan.

Dalam sepersekian detik, seseorang sigap menarik lengannya. Tubuh Sarah terhenti hanya beberapa inci dari lumpur. Ia menoleh, dan matanya langsung bertemu wajah pria itu. Andi Kerrang.

“Jalan di pematang jangan sambil melamun,” katanya datar.

Wajah Sarah langsung panas. “Ma… maaf, Pak. Saya nggak sengaja…”

Andi hanya melepas tangannya perlahan. “Hati-hati lain kali.” Setelah itu, ia berbalik dan kembali berbicara dengan warga.

Rani langsung menahan tawa. “Ya ampun, Sar! Baru pertama ketemu juragan aja udah bikin drama jatuh cinta ala FTV.”

Mira menambahkan sambil cekikikan, “Kalau tadi beneran nyemplung, mungkin juragannya langsung jadi pahlawan penyelamat. Wah, Dina pasti seneng banget kalau tahu cerita ini.”

Sarah menutup wajah dengan tangan. Malunya bukan main. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Pertemuan pertama yang konyol itu justru meninggalkan kesan mendalam.

Dan entah mengapa, dalam hati kecilnya, Sarah yakin ini baru awal dari kisah yang lebih panjang antara dirinya dan Andi Kerrang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!