NovelToon NovelToon

Chase Me, I Catch You!

Perkenalan - Sekilas Cerita Dari Shameless Prince

*** Cerita ini adalah cerita yang sebelumnya telah di publish di novel Shameless Prince\, namun untuk mengerti tentang karakter dan tokoh dalam Novel ini\, saya akan menceritakan sedikit ceritanya sehingga bagi yang membaca novel ini  tanpa membaca novel sebelumnya akan mengerti\, Jika Anda telah membaca dari Novel sebelumnya\, silakan langsung membacanya dari BAB 1 - Permainan dimulai. ***

_______________________________________________________________________

Sebuah Helikopter mendarat sempurna di sebuah restoran yang berlokasi di atas sebuah danau, jalan akses masuknya hanya menggunakan helikopter atau speedboat khusus, untuk makan di sana pun harus menunggu begitu lama atau minimal orang-orang sudah menjadi anggotanya.

Pintu Helikopter itu terbuka, menampilakan sosok pria dengan usia matang turun dari helikopter itu, Liam menjejakkan kaki pertamanya dan dengan sigap dia segera menjulurkan tangannya, menyambut dua wanita yang turun dengan anggunnya, seorang berusia seumuran dengan Liam dan lagi wanita muda yang begitu mempesona, Jenny menyunggingkan senyuman tipisnya dan berjalan dengan percaya dirinya. Ini adalah pengalaman yang memang dia nanti-nantikan setelah berlibur cukup lama di negara Paman Liam- seseorang pria yang berusaha dia jodohkan pada bibinya – Aurora, walau ternyata usahanya tetap saja gagal karena bibinya ternyata begitu mencitai pamannya. Liam merupakan orang asing yang tinggal di negara tetangga tempat asal Jenny dan setahu Jenny, dia memiliki seorang anak - Jonathan.

Liam lalu mengarahkan ke dua wanita cantik yang dia bawa ke sebuah ruangan khusus, ruangan itu indah sekali karena benar-benar pas menyuguhkan seluruh pemandangan yang ada di sana, selain itu mereka juga bisa melihat sinar matahari yang kekuningan jatuh di atas danau yang tenang itu.

 

 

Saat pintu terbuka, seorang pria muda berdiri, dari belakang saja sosoknya tampak begitu gagah, tak jauh beda dengan postur tubuh Liam, Jenny yang sedari tadi sudah penasaran dengan sosok Jonathan yang walaupun sudah cukup lama dia ada di negara ini tak pernah dia temui, karena menurut Liam, Jonathan sedang mengurus perusahaan mereka di luar Negeri.

 

Pria itu lalu melihat ke arah para tamu yang dibawa oleh ayahnya, Jenny terdiam, terkesima dengan sosok yang dia lihat, pria itu tinggi, lebih tinggi bahkan dari ayahnya, tubuhnya tegap, posturnya sempurna, wajahnya mungkin adalah perpaduan sempurna dari ayah dan ibunya karena Jenny belum pernah melihat mantan istri paman Liam, tapi mata dan bibirnya adalah milik Liam, alisnya tebal, hidungnya mancung, kulitnya tak terlalu putih namun terkesan eksotik, pria ini, pria paling sempurna yang pernah dilihat oleh Jenny.

 

Jonathan berdiri, dia hanya memberikan sedikit senyumannya yang bahkan sudah meluluhkan hati Jennya, matanya yang coklat terang tampak bening menerawang, menunjukkan iris matanya, Jenny benar-benar tertegun.

 

"Jonathan, ini Bibi Aurora dan juga Jenny, keponakannya," kata Liam memperkenalkan Jonathan pada Aurora dan Jenny.

"Senang bertemu denganmu Jonathan, kau mirip sekali dengan ibumu," puji Aurora yang memang tak bisa dipungkiri, Jonathan pria yang sempurna, Jonathan hanya mengembangkan lebih senyumannya, lalu matanya tertuju pada Jenny yang tampak sedikit terdiam melihat ke arahnya.

 

"Hai," kata Jonathan mencoba menyapa Jenny, Jenny yang mendengar suara Jonathan langsung bergetar, suara berat itu terdengar begitu menggoda, ah, apa kurangnya pria ini? pikir Jenny yang melihat Jonathan dari atas hingga bawah, membuat wajah Jonathan langsung berkerut, namun saat Jonathan ingin lebih bertanya, ponselnya berbunyi.

 

"Excuse me," kata Jonathan menunjukkan gestur menunggu pada Jenny, dia lalu mengangkat ponselnya lalu berjalan keluar.

 

"Maafkan aku, dia selalu sibuk dengan masalah perusahan kami, silakan duduk," kata Liam, Aurora duduk di depan Liam, sedangkan Jenny nantinya akan berhadapan dengan Jonathan.

 

Tak lama Jonathan akhirnya bergabung dengan mereka, membuat senyuman manis terkembang sempurna di bibir Jenny melihat sosok pria sempurnanya itu di depannya.

 

"Maaf ayah, Heiley menelepon," kata Jonathan yang melihat ayahnya yang menatap dirinya.

 

"Heiley?" suara Jenny terdengar, dia memang selalu ingin tahu dan tidak bisa menahan perasaan itu.

 

"Ya, kekasihku," kata Jonathan tampak bangga dengan hal itu, namun langsung memudarkan senyuman manis Jenny, pria  sempurnanya ini ternyata sudah ada yang punya, mood Jenny yang tadinya sangat bahagia berubah 180 derajat, dia langsung menegak champagne yang sudah tertuang di sana, membuat Jonathan tersenyum sedikit melihat tingkah laku Jenny ini, setelah minum itu dia langsung bersandar dan mengibas-ngibas tangannya seolah dia kepanasan.

 

"Apa panas?" tanya Jonathan pada Jenny.

 

"Sedikit," kata Jenny acuh, dia tak suka mengganggu pacar orang, dia tak pernah mau jadi wanita kedua, dia harus jadi yang pertama, walaupun Jonathan adalah pria yang sempurna menurutnya, tapi kalau dia sudah punya pacar, jangan harap Jenny akan mendekatinya, masih banyak pria yang lebih pantas untuk dia perjuangkan dari pada harus memperjuangkan pria dengan pasangan.

 

Makanan mereka tak lama datang, Liam memesan makanan paling disarankan di tempat itu, dan mereka mulai makan perlahan, suasanannya sebenarnya sangat canggung dan kaku, Liam hanya menatap ke arah Aurora, sedangkan Jenny sudah tak mood walaupun dia ada di restoran termewah di negara ini.

Makan malam diam dan canggung itu akhirnya selesai, begitu selesai makan Jenny langsung berdiri.

"Paman, Bibi, Jonathan, aku ingin menikmati restoran ini, aku permisi ya," kata Jenny yang terdengar cuek, Liam hanya mengangguk, Jenny sedang tak ingin memfokuskan dirinya pada Jonathan, jadi menurutnya lebih baik dia menikmati tempat ini sekarang.

"Hati-hati, jangan terlalu lama pergi," kata Aurora memberikan izin pada Jenny, Jenny mengangguk lalu pergi, tak ingin melihat Jonathan lagi.

Jonathan yang melihat hal itu hanya mengerutkan dahi namun sedikit tersenyum tipis, wanita ini, terlihat sekali salah tingkah akibatnya, Jonathan melihat Jenny pergi sambil meminum Champangenya hingga habis, setelah itu dia segera berdiri.

 

"Aku akan menemaninya, dia pasti lebih suka jika aku temani," kata Jonathan lagi, Liam mengangguk, Aurora hanya tersenyum mempersilakan.

 

Jenny tadinya keluar untuk melihat pemandangan, mengambil sedikit fotonya, juga mengambil sedikit udara, bukan Jenny namanya kalau dia harus patah hati hanya karena seorang pria, pria seperti Jonathan? Dia bahkan bisa mendapatkan yang lebih darinya.

 

Jenny menyandarkan dirinya ke pagar berbatas dengan danau yang sebening kristal, seperti hanya lapisan kaca, menampakkan keindahan apapun di dalamnya, sayangnya hari sudah telalu malam untuk bisa menikmati keindahannya secara keseluruhan.

 

Semilir angin cukup tenang, sejuk membuai tak mengganggu sama sekali, Jenny menghirup dalam-dalam udara yang terasa segar, mengisi paru-parunya penuh lalu menghembuskannya perlahan.

 

"Apa aku boleh bergabung?" suara berat yang walaupun baru saja di dengar oleh Jenny namun langsung terasa familiar baginya, Jenny tak membalas, namun tidak juga melarang sosok gagah itu berdiri di sampingnya, semilir angin membawa aroma masing-masing, maskulin dan lembutnya wangi bunga bercampur indah.

"Bukankah tempat ini indah?" tanya Jonathan.

"Ya, tapi di negaraku masih ada yang lebih indah," kata Jenny seadanya, sikap angkuhnya sedikit terasa, membuat Jonathan mengerutkan dahinya namun segera menaikkan sudut bibirnya.

"Benarkah? maka lain kali kau harus membawaku ke sana," kata Jonathan lagi.

"Ya, jika ada lain kali," kata Jenny cuek saja, bahkan tak melirik sosok Jonathan yang dari tadi terpaku dengan wajah cantik dan imut Jenny.

"Aku rasa aku sudah melihat yang lebih cantik dari negaramu," goda Jonathan.

Jenny diam sejenak, matanya masih melihat berkas cahaya bulan yang mulai gagah merajai malam, terpantul sempurna di air danau seperti kaca, dia lalu melirik Jonathan yang tersenyum menggoda, perlahan senyuman Jenny terkembang, pria ini ternyata penggoda juga.

"Kau tahu, aku sudah menemui pria sepertimu beratus orang," kata Jenny memutar tubuhnya, menjadikan punggungnya yang bersandar di pagar itu, kedua sikunya juga dia tumpukan pada pagar, membuat lengkungan tubuh yang sempurna untuk bisa dilihat Jonathan.

"Benarkah? itu banyak sekali," kata Jonathan mengarahkan tubuhnya ke arah Jenny yang hanya meliriknya dengan sudut matanya.

 

"Ya, dan aku yakin, kau sudah menggoda wanita dengan cara itu lebih dari ratusan kali juga," kata Jenny mengejek.

"Tidak, kau salah," kata Jonathan menyeruput minuman yang dia ambil di bar tadi, "Hanya beberapa, lebih banyak mereka yang menempel langsung padaku, aku hanya akan menggoda wanita yang menurutku menarik perhatianku," kata Jonathan lagi dengan senyuman manis walaupun hanya sedikit menaikkan sudut bibirnya.

"Aku tak suka terlalu dekat dengan pria yang sudah punya wanita lain, aku punya alergi tentang itu," kata Jenny yang kembali bersikap acuh.

"Oh,” kata Jonathan, dengan acuh mengambil ponselnya, dia lalu terlihat menelepon seseorang, tanpa menunggu lama, "Halo, aku kira aku ingin putus denganmu, Heily, mulai detik ini kita putus, " kata Jonathan tanpa pikir panjang, seolah kata putus itu hal yang biasa keluar dari mulutnya, dia bahkan melirik Jenny yang hanya memasang wajah biasa saja. Jonathan langsung mematikan panggilan telepon itu sepihak juga mematikan ponselnya, tahu pacarnya atau lebih tepat mantan pacarnya yang  baru dia putuskan beberapa detik yang lalu akan meneleponnya kembali, selalu seperti itu jika dia mencampakkan wanita sebelumnya, jadi dia sudah tahu harus apa.

"Sekarang aku pria yang Free, lagi pula dia terlalu cerewet untukku," kata Jonathan.

 

"Oh, selamat jika begitu, tapi aku tidak pernah mengatakan ingin punya berhubungan dengamu," kata Jenny dengan gayanya yang jual mahal, meninggalkan Jonathan namun dengan tatapan ‘Kejar aku, kau ku tangkap’

 

Tentu hal itu mengusik Jonathan, dia meminum minumannya lagi, menyerumputnya sambil melirik Jenny yang menjauh darinya, berlengak-lenggok memikat siapa pun pria yang melihatnya, dengan pasti Jonathan mengikutinya.

Namun saat Jenny kembali ke ruangannya, sebuah pemandangan yang membuatnya kaget terlihat, pamannya yang sudah lama pergi itu kembali dan sedang berterngkar dengan Ayah Jonathan, mereka terlibat pertengkaran karena merebutkan bibi Auroranya dan tanpa sengaja Liam melukai Auroranya hingga pingsan, hal itu pula yang membuat Jenny menjadi sangat marah, tak ada yang boleh melukai Bibi yang sudah dri kecil menjaganya semenjak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, Jenny benar-benar marah pada LIam.

Jenny melirik ke arah Jonathan yang hanya bisa terdiam sebelum meninggalkan tempat itu, setelah mengetahui keadaan bibinya yang sudah membaik, Pamannya membawa mereka kembali pulang ke negera mereka.

Perkenalan 2 - Sekilas Cerita Dari Shameless Prince

*** Cerita ini adalah cerita yang sebelumnya telah di publish di novel Shameless Prince\, namun untuk mengerti tentang karakter dan tokoh dalam Novel ini\, saya akan menceritakan sedikit ceritanya sehingga bagi yang membaca novel ini  tanpa membaca novel sebelumnya akan mengerti\, Jika Anda telah membaca dari Novel sebelumnya\, silakan langsung membacanya dari BAB 1 - Permainan dimulai. ***

 

__________________________________________________________

Jenny menjejakkan kakinya keluar dari mobil sedan Maserati Grand Carbio berwarna marun yang baru saja dia dapatkan dari pamannya, dengan segala pesona yang di punya, rambutnya yang hitam sedikit bersemu kecoklatan dibiarkannya berombak besar jatuh di bahu kecilnya yang terlihat sangat mulus, dandanan yang natural namun juga menawan, sebuah kaca mata berwarna coklat menghiasi matanya, gaun dengan tali satu yang tipis berkerah V sedikit rendah mengekspose bagian atasnya yang terlihat menggoda namun tak berlebihan, tampak seksi namun sekaligus elegan, gaya khas Jenny yang membuat setiap pria akan terpesona namun juga langsung tahu bahwa dia wanita yang berkelas.

 

Dia menutup pintu mobil yang dia kendarai sendiri, dia sudah belajar untuk mengendarai mobil sendiri, wanita modern yang tidak bisa mengendarai mobil, rasanya akan sangat ketinggalan zaman, karena itu semenjak bibinya mengalami kecelakaan  karena kebakaran itu, dia bertekat untuk bisa mengendarai mobilnya sendiri, dan untungnya dia cepat belajar dan dia hari ini harus pergi keluar untuk sekedar mengisi waktu kosongnya, tinggal di istana sendirian, sungguh tak enak, kakaknya harus mengurus istrinya yang sakit, keluarganya juga sepertinya punya urusan masing-masing yang menurut Jenny bukanlah urusannya, karena itu dia putuskan untuk sekedar berjalan-jalan di kota, apa lagi yang bisa dia lakukan, lagi pula  dia mendapat undangan dari Anxel, anak perdana menteri yang dia kenal sebelum, Anxel mengajaknya pergi untuk makan siang di sebuah restoran mewah bergaya eropa kuno.

 

Jenny masuk berjalan dengan sangat anggun, gaun berwarna silver dengan aksen rumbai yang mewah itu bergoyang bersamaan dengan langkahnya, dia lalu masuk ke dalam restoran yang tampak sangat mewah itu, sebuah lagu klasik terdengar mengalun lembut menyambutnya. Seorang pria berbaju rapi mendatanginya.

 

"Tuan Anxel Bernando," kata Jenny melepaskan kaca mata coklat besar dari matanya, membuat pria yang dia tanya tadi sedikit terkesima.

"Ehm, Tuan Anxel Bernando, beliau menunggu Anda di bagian taman tengah, silakan saya akan mengantar Anda, " kata pria itu yang mencoba berbicara sesopan mungkin, tahu bahwa Jenny pasti bukan wanita sembarangan.

"Oh, baiklah," kata Jenny lagi, dia segera berjalan, pria yang dia ajak bicara tadi menuntunnya mengarah ke sebuah pintu yang tak sembarang orang bisa membukanya, pintu itu dbukakan, udara hangat segera menerpa kulitnya yang halus seputih salju, matanya kembali sedikit silau dengan cahaya matahari, dia mengedarkannya ke sekeliling hingga menemukan sosok seorang pria yang duduk tenang sambil minum teh di ujung taman itu, di bawah sebuah pohon rindang dengan bangku taman yang tampak indah.

 

Jenny melangkahkan sepatu hak tingginya ke arah pria itu, wajahnya sedikit dinaikannya, sebuah hal yang selalu Jenny lakukan, menunjukkan begitu percaya dirinya dia.

Anxel yang tadinya sedang fokus dengan ponselnya pun segera teralihkan, melihat wanita yang berjalan menujunya, bahkan sebelum dia sampai di dekatnya, semerbak bau bunga yang tercium manis namun juga lembut di terbangkan angin yang terasa sepoi menerpa wajahanya, Anxel menaikkan sedikit sudut bibirnya.

 

Wanita itu cantik, cantik sekali,  namun baginya wanita cantik bukan lah hal yang harus dihebohkan, hampir seluruh wanita yang dia kenal adalah wanita cantik yang punya keunikan masing-masing, tidak, Anxel bukan tipe cowok yang suka dengan hal itu, dia hanya akan berhubungan dengan wanita yang menurutnya menarik perhatiannya, sayangnya, dia tidak mudah untuk bisa tertarik dengan wanita.

"Hai, apa kabar?" kata Jenny segera duduk di depan Anxel yang menatapnya, Jenny sedikit merapikan rambutnya yang jatuh di bahunya.

 

"Baik," kata Anxel seadanya saja, jika saja ayahnya tidak mengatakan bahwa Jenny adalah calon terbaik untuknya, dia tidak akan mengajaknya makan seperti ini, Jenny adalah anak dari Mantan Presiden, Kakeknya adalah mantan Pedana Meteri, Paman dari ibunya adalah Presiden saat ini, jadi menikah dengannya merupakan hal yang paling mudah untuk mengantarkannya masuk ke kursi pemerintahan, cita-cita keluarganya Anxel dapat menjadi seorang presiden tentunya.

"Di sini panas sekali, kenapa kau tidak memesan tempat di dalam saja?" kata Jenny terasa terganggu karena udaranya, kenapa Anxel memilih tempat seperti ini?

 

"Aku tak suka dingin, lagi pula seluruh tempat ini sudah aku booking, aku tidak suka keramaian, tak akan menyenangkan berbicara di tempat yang hiruk pikuk," kata Anxel tersenyum manis, Jenny hanya mengangguk kecil dengan wajah malas, pria seperti Anxel, dia tahu pria ini mendekatinya karena status keluarganya, sudah sangat terlihat sekali.

"Ada apa kau mengajakku makan?" tanya Jenny dengan sikap acuhnya, Pelayan datang membawakan buku menu.

 

"Pesanlah dulu," kata Anxel tetap tak berubah posisi, bersandar santai di tempat duduknya.

Jenny memilih Soda Strawberry Mint Majito dan Charbroiled Kobe Filet Steak, setelah dia memesan, pelayan segera pergi meninggalkan mereka, Jenny menatap Anxel, pria dengan wajah yang tak terlalu menawan, karena menurut Jenny, dia sudah sering melihat pria-pria yang tentunya punya wajah lebih menawan dari pada Anxel, postur tubuhnya pun tidak ada yang terlalu menarik, namun juga bukan berarti Anxel buruk rupa, dia hanya terlalu standar bagi seorang Jenny, Jenny ingin berdekatan dengan dia apalagi kalau bukan karena statusnya sekarang, seorang anak pedana menteri, jika pamannya tahu, dia juga pasti sangat mendukung hubungan ini.

 

"Aku tidak punya maksud apa-apa, aku hanya ingin mengajakmu makan," kata Anxel, kali ini menegakkan tubuhnya, sedikit terlihat lebih serius menatap Jenny.

 

"Oh, begitu kah? Kau atau ayahmu?" tanya Jenny dengan senyuman yang terlihat di buat-buat, sangat mudah tertebak.

"Kau ternyata cukup pintar, tak seperti wanita cantik yang biasa aku kenal," kata Anxel lagi sedikit menaikan sudut bibirnya, mengaduk tehnya perlahan.

"Kau terlalu gugup bertemu denganku, atau itu caramu menunjukkan bahwa kau terpaksa ada di sini?" tanya Jenny menatap gerak gerik Anxel, Anxel menaikkan satu alisnya melirik Jenny yang tampak mengamatinya.

"Apa maksudmu?" tanya Anxel kembali memundurkan tubuhnya, perkataan Jenny cukup menarik minatnya untuk tahu.

"Kau mengaduk tehmu, padahal itu bukanlah teh yang berasa, kenapa? tak ada satu pun kantung gula yang tersobek, bahkan gula cairnya juga penuh, lagi pula aku sudah melihatmu meminum teh itu, jika gula itu belum tercampur dengan baik, pasti kau sudah mengaduknya dari tadi, setelah kau mencicipi teh itu," kata Jenny memberikan analisanya, Anxel sedikit terdiam, dia lalu memandang wajah Jenny yang selalu penuh percaya diri, gadis ini … menarik.

 

Jenny menaikkan sedikit sudut bibirnya, lalu dia menegakkan tubuhnya, sedikit memutar wajahnya mengamati seluruh bangunan bergaya eropa kuno bercat putih gading yang tampak begitu memanjakan mata, mengelilingi teman tengah ini, namun matanya tiba-tiba berhenti memperhatikan sosok yang berdiri melihatnya di sudut gedung tua itu, dia membesarkan matanya, mencoba untuk sekali lagi melihat lebih jelas, namun pria di sana bergeming, memandangnya sambil memengang minumannya. Pria dengan wajah yang tak mungkin dilupakan oleh Jenny,  Jonathan?

"Ada apa?" tanya Anxel yang melihat Jenny sesaat terpaku.

Jenny yang mendengar suara Anxel segera sadar, dia lalu dengan gugup menatap Anxel, Anxel segera melihat ke arah yang Jenny lihat, tidak melihat siapa pun karena Jonathan sudah masuk ke dalam gedung.

 

"Tidak, tidak apa-apa," kata Jenny, bersamaan dengan itu, pelayan membawakan pesanan Jenny, Jenny tersenyum memberikan terima kasihnya pada pelayan itu, namun setelah itu dia kembali melihat tempat Jonathan tadi berdiri, apakah itu benar-benar dia?

Anxel sekali lagi melihat ke arah mata Jenny menatap, sekali lagi kosong tanpa bisa menemukan apa-apa, Jenny yang melihat Anxel menatapnya curiga langsung segera memulai makannya, mungkin itu hanya perasaannya saja.

 

"Akan ada pesta topeng di salah satu kediaman temanku, aku rasa kau juga mengenalnya, Chintia," kata Anxel yang segera berbicara saat melihat Jenny meletakkan garpunya secara menyerong, menandakan dia sudah selesai makan.

 

"Chintia? Tentu aku kenal, dia sepupuku," kata Jennya meminum minumannya.

"Ya, kau ingin datang? aku belum punya pasangan untuk datang ke sana," kata Anxel mengajukan permintaannya, Jenny mengerutkan dahinya menatap sosok pria di depannya ini.

 

"Kau memintaku datang bersamamu?" tanya Jenny lagi.

 

"Ya, seperti itulah, ayahku dan pamanmu akan senang melihat hal itu," kata Anxel jujur saja apa tujuannya mengajak Jenny, hatinya belum sepenuhnya tertarik dengan wanita di depannya ini.

 

"Yah, Paman-pamanku akan sangat tertarik," kata Jenny dengan wajah malasnya, dia memainkan pengaduk minumannya.

"Lalu bagaimana? kau setuju atau tidak?" tanya Anxel.

"Baiklah, lagi pula sudah lama aku tidak berpesta, bukan pesta yang masuk dalam katagori yang aku suka, tapi baiklah," kata Jenny menerima tawaran itu, toh, itu tidak akan merugikan siapa pun, Jenny wanita single yang bebas, begitu juga Anxel, dan mereka berdua di untungkan dengan hal ini, kenapa tidak?

 

"Baiklah, itu saja yang ingin aku tanyakan padamu, aku harus kembali ke rumah sakit, bagaimana denganmu?" tanya Anxel lagi melirik ke arah jam tangannya, dia harus segera melakukan tugasnya di rumah sakit.

 

 

"Ehm, aku ingin duduk dulu di sini beberapa menit, jika ingin pergi, pergilah, tak perlu terbebani oleh ku di sini, aku wanita yang mandiri," kata Jenny melirik ke arah Anxel.

"Baiklah, kau bebas ada di sini, jangan takut semua ini sudah aku booking seharian, pesanlah makanan dan minuman lain jika kau mau, semua sudah aku bayar," kata Anxel segera membereskan barang-barangnya yang bertabur di meja, dia segera berdiri sesudahnya, Jenny mendongakkan wajahnya, lalu Anxel sedikit tersenyum dan meninggalkan Jenny begitu saja.

 

Jenny tak merasa tersinggung atau pun bagaimana, baginya hubungannya dengan Anxel sudah pasti menjadi hubungan bisnis jika diteruskan, namun umurnya juga sudah bukan umur untuk lagi bermain-main, yah walaupun belum ada yang mendesaknya mencari pasangan yang serius, ujung-ujungnya dia sudah bisa menebaknya, mereka akan mencarikannya pria yang menurut mereka terbaik untuk dinikahinya, lalu untuk apa dia repot-repot mencarinya.

 

Jenny sudah tahu itu semua, semua sudah sangat jelas, Ibunya menikah dengan ayahnya karena perjodohan, Ayahnya adalah pengusaha sukses yang mempunyai latar belakang di pemerintahan juga, anak salah satu menteri di saat Kakeknya menjabat sebagai perdana menteri, Bibinya menikah Pamannya juga karena perjodohan, untuk bisnis dan kekuasaan, Kakaknya dijodohkan dengan Suri juga awalnya untuk masalah kekuasaan, kebetulan saja kakaknya dan Suri memang saling jatuh cinta, Sepupunya yang baru dia kenal itu, juga menikah dengan Pangeran, jika Jenny ingin menikah, Anxel adalah pria paling tepat dari segalanya, Kekayaan, Kedudukan, dan Nama.

 

Jenny menikmati suasana di sana sedikit lebih lama, suasana yang hangat tidak lagi menganggunya, dia suka kesunyiannya yang sedikit membuatnya tenang, bukan kesunyian sepi yang selalu dia dapatkan di istana.

 

Ponselnya berbunyi, dia melirik ke arahnya, sebuah pesan dari Anxel yang mengirimkan foto undangan pesta topeng itu, itu terjadi 2 hari lagi, Jenny memutar matanya, baiklah, sepertinya dia harus bersiap-siap, 2 hari lagi dia harus tampil menjadi yang terbaik di sana, tentu saja, Jenny tak pernah ingin menjadi biasa-biasa saja, dia harus menjadi yang luar biasa dan menarik penampilan tentunya.

 

Jenny bangkit, pelayan segera memberikan salam ketika dia melewati mereka, pelayan lalu membukakan pintu untuknya, udara sejuk segera menyambutnya, membuat suasana hangat hilang seketika, Jenny kembali mengedarkan matanya, mencari jalan untuk ke kamar kecil, dia harus melihat bagaimana keadaannya sebelum menuju tempat selanjutnya.

"Dimana kamar kecilnya?" tanya Jenny melirik pada pelayan.

"Silakan Nona, Ada di ujung lorong itu," kata pelayan menunjukkan sebuah lorong sedikit panjang dengan jalan di tengah terbuat dari marmer namun sisi-sisinya berhiaskan batu batu kecil, lampu tanam berwarna kuning membuat suasananya terasa lebih hidup, Jenny segera melangkah ke sana, serasa masuk  ke dalam gua yang remang.

 

Jenny segera ingin berbelok, namun dia kaget melihat sosok pria gagah di depannya, mata mereka bertemu seketika, saling memandang seolah sudah begitu lama tak bertemu.

 

"Aku sudah berkeliling mencari keindahan di negaramu, tak ku sangka menemukannya di sini," ujar Jonathan terdengar lembut dan pelan, suara berat itu menghipnotis, selalu saja bisa membuat Jenny terdiam, bergetar perasaannya mendengarkan itu.

Namun Jenny segera tersadar, apa yang dilakukan pria ini di sini? bukankah pamannya sudah mencelakakan bibinya, Jenny segera membuang wajahnya.

 

"Untuk apa di sini? apa ayahmu menyuruhmu untuk merayuku agar bisa memaafkannya?" tanya Jenny tanpa sungkan.

"Urusan ayahku adalah urusannya, aku punya urusan lain hingga membawaku ke sini," kata Jonathan masih dengan intonsasi dan suara beratnya.

 

"Well, welcome, dan permisi aku harus ke kamar kecil," kata Jenny yang merasa jalannya terhalangi oleh pria ini.

 

Jonathan menatap Jenny lagi, wanita ini terlalu angkuh atau memang dia tidak tertarik dengan Jonathan, Jonathan memiringkan tubuhnya membiarkan wanita itu berjalan, Jenny menaikkan sedikit bibirnya, pria semua sama saja, sedikit godaan, mereka akan mengejar hingga dapat.

 

Jenny baru saja masuk ke dalam ruangan kamar kecil, namun dia tidak masuk ke dalam biliknya, dia hanya ingin menggunakan kaca untuk melihat bagaimana penampilannya, perfect, tak ada cacat sama sekali, dia mengoleskan sedikit lagi lipstik yang pudar karena dia makan tadi, namun kegiatannya itu berhenti ketika mendengar suatu.

 

 

"Jojo, kenapa kau lama sekali, aku sudah menunggu lama sekali di sana," suara wanita yang terdengar menggoda dan lembut membuat Jenny terdiam mendengarkan hal itu, dia lalu sedikit mengintip dari celah kamar kecil itu, melihat apa yang terjadi.

 

Wanita dengan baju hitam dengan potongan yang cukup bisa memanjakan mata seluruh pria itu tampak menggantungkan tangannya pada leher Jonathan, Jonathan memegang pinggang kecil wanita itu, Jenny memperhatikan wanita itu, bodinya terlihat bak gitar spayol, sangat menggoda, wajahnya, jangan ditanya, tentu jika tak menawan, mana mau Jonathan berdekatan dengannya, melihat hal itu mata Jenny membesar sempurna.

 

"Aku hanya pergi sebentar, Cheryl," suara Jonathan terdengar lembut, senyum menggodanya terlihat sekali.

 

"Aku kira kau akan lari dariku," kata Cheryl sedikit genit, entah kenapa Jenny merasa geram mendengarnya, merendahkan derajat wanita saja pikirnya.

 

"Tidak akan, aku datang ke negara ini untuk melihatmu, keindahan seluruh negara ini ada di depanku, bagaimana aku bisa lari dan kau adalah urusanku, hingga aku datang jauh-jauh kemari," kata Jonathan dengan suara beratnya, sedikit memalingkan wajahnya ke arah Jenny, seolah tahu Jenny sedang mendengarkannya.

 

 

Jenny mendengar itu membuka mulutnya dengan lebar, dia tak percaya apa yang dia dengarkan, beraninya pria itu, tadi dia merayunya, sekarang dia merayu wanita itu dengan cara yang sama? Benar-benar pria buaya, dia kira Jenny ini sama dengan wanita berotak udang seperti wanita itu, bisa-bisanya dia merayunya dengan cara yang sama.

 

 

"Cheryl, pergilah dulu ke mejamu, aku akan segera pergi menemuimu," kata Jonathan lagi.

 

"Baiklah, aku akan menunggu, " kata Cheryl centil, Jonathan hanya menaikkan sedikit sudut bibirnya.

Jenny menyudahi memperbaiki dandanannya, dia memasukkan lipstik-nya cepat, dia lalu melirik lagi, pria itu masih ada di sana, untuk apa dia di sana? Kenapa tidak pergi saja sih? Namun kemudian Jenny berpikir, untuk apa dia harus merasa terganggu oleh pria itu, dia kan bukan siapa-siapa, di negara ini dia bukan siapa-siapa, Jenny lah yang punya kedudukan dan kekuasaan di sini, siapa yang berani dengan Anak mantan presiden, benar bukan?

 

Jenny menarik napasnya, dengan gayanya yang biasa, percaya diri dan juga anggun, dia berjalan keluar, suara high heelnya terdengar sedikit membuat Jonathan menatap dirinya.

"Sudah selesai?"  tanya Jonathan lagi, membuat Jenny mengerutkan dahinya.

 

 

"Ya, bagaimana denganmu?  bagaimana dengan urusan lainmu yang membuatmu datang kemari?" tanya Jenny lagi, entah kenapa dia terus membalas perkataan pria ini, padahal awalnya rencananya hanya ingin melewatinya, tidak memperdulikannya dan pergi dari sana begitu saja.

 

"Hampir, dia sedang duduk di sana," kata Jonathan terdengar lebih santai.

 

"Untuk itu kau datang ke sini? " tanya Jenny yang entah kenapa suaranya meninggi, dia hanya tak percaya, dia kira awalnya Jonathan mengatakan hal itu untuk menggodanya, tak tahunya pria itu mengatakan bahwa wanita itulah yang menjadi urusannya.

"Ya, dialah urusan yang membuat aku kemari, keindahan yang ku temui di sini," kata Jonathan tersenyum manis melihat wanita itu yang tampak dari sana.

Jenny mendengarnnya membesarkan matanya, dia juga sampai ternganga, pria ini, apa maksudnya? Melihat Jenny yang berwajah terkejut itu, Jonathan hanya mengerutkan dahi, dia lalu segera meninggalkan Jenny yang masih terkejut.

 

"Oh, aku mengerti, apa kau berpikir tadi aku mengatakan hal itu untukmu, maaf Nona, aku hanya menggoda wanita yang menarik untukku," kata Jonathan sedikit berhenti, lalu memutar wajahnya dengan wajah sedikit terhiasi senyuman tipis, dia menatap Jenny sekilas, senyumnya semakin melebar, lalu dia pergi saja melenggang ke arah wanita itu, membuat Jenny menggertakkan giginya, tangannya mengepal, dasar pria buaya, Jenny rasanya ingin pergi ke sana dan segera menampar wajahnya.

 

Untungnya otaknya masih bisa berpikir jernih, jika dia melakukan hal itu, bisa-bisa akan merusak nama baiknya, dia menarik napasnya panjang, mengepalkan tangannya semakin erat, kembali berjalan seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa, dia melewati meja Jonathan dan Cheryl, perhatian Jonathan yang dari tadi sebenarnya jatuh pada Jenny hanya menaikkan sedikit saja sudut bibirnya, wanita itu pernah mempermainkannya, kali ini biarkan dia mempermainkannya, kita lihat siapa yang akan terjatuh di permainan ini nantinya.

Perkenalan 3 - Sekilas Cerita Dari Shameless Prince

*** Cerita ini adalah cerita yang sebelumnya telah di publish di novel Shameless Prince\, namun untuk mengerti tentang karakter dan tokoh dalam Novel ini\, saya akan menceritakan sedikit ceritanya sehingga bagi yang membaca novel ini  tanpa membaca novel sebelumnya akan mengerti\, Jika Anda telah membaca dari Novel sebelumnya\, silakan langsung membacanya dari BAB 1 - Permainan dimulai. ***

_____________________________________________________________

 

Jenny menjalankan mobilnya, hujan cukup deras hingga menghalangi pandangannya, dia baru bisa menyetir baru-baru ini dan hujan seperti ini tentu membuatnya gugup, apa lagi saat ini sudah sangat larut malam, bahkan sudah lewat tengah malam.

 

 

Jenny memajukan wajahnya, mencoba melihat lebih jelas karena jalanan mulai gelap berkabut, mobilnya berjalan pelan menyusuri jalan yang bahkan sedikit susah dia ingat, benarkah ini jalan menuju istana.

 

 

Tiba-tiba Jenny menginjak remnya dengan sangat mendadak, melihat barier di jalan, dia memposisikan mobilnya ke posisi parkir, dia lalu melihat ke sekelilingnya, semuanya terlihat samar dan berkabut, tiba-tiba saja Jenny merasa takut di tempat berkabut yang gelap itu, dia baru saja ingin memundurkan mobilnya ketika tiba-tiba 5 orang mengelilingi mobilnya, semua orang itu mengetuk kaca yang ada di mobilnya, dua di depan, dua lagi di jendela kanan dan kirinya ada juga yang mengetuk kaca di belakangnya, Jenny tampak panik, hujan deras membuatnya takut, apa lagi dia baru sadar, di belakangnya sudah ada mobil yang terparkir.

 

 

Pria-pria yang berbadan besar itu seperti marah, beberapa mereka seperti memaksa untuk membuka pintunya, Jenny benar-benar panik, bingung harus apa, apa dia melajukan saja mobilnya? namun dia seketika ingat dengan pembatas itu, bagaimana jika dia jalan dan ternyata ada jurang di ujungnya.

 

 

Napas Jenny cepat karena panik, dia sangat takut sekarang,berulang kali melihat ke segala arah, dia hanya seorang wanita kecil, jika pria-pria itu ingin mengambil mobilnya silakan, tapi yang dia takutkan pria-pria ini akan melukai dia juga, atau paling buruk membunuhnya.

 

 

Ketukan pintu dan suara pintu yang di buka paksa dari luar itu terdengar semakin keras dan semakin cepat, mengalahkan suara hujan, sebuah ketukan sangat keras terdengar di sebelah jendela Jenny, membuat Jenny terpekik ngeri, dia sudah sangat ketakutan sekarang.

 

 

Tiba-tiba saja saat dia merasa sangat tak berdaya, pria yang terus mengetuk pintu dan jendelanya tiba-tiba berhenti, Jenny melihat semua orang itu berhenti mengetuk mobilnya namun gantinya mereka tampak sedang berkelahi, seorang pria tampak menghajar mereka, di bawah hujan deras itu, Jenny tidak bisa melihat dengan jelas siapa pria itu, karena samar-samar sekali tertimpa kabut dan air hujan yang membasahi jendelanya.

 

 

Namun Jenny cukup bisa melihat keadaan di sana, pria itu sendirian melawan 5 orang pria itu, dan 2 orang tumbang dengan mudah di buatnya, namun 3 orang melawannya secara bersamaan, memukul perutnya hingga dia harus mundur beberapa langkah dan juga membuatnya menahan sakit di bagian perutnya, Jenny yang melihat itu sedikit cemas, kasihan melihat pria itu, mereka kembali memberikannya pukulan namun kali ini dia menghindar dengan mundur beberapa langkah, sekarang mereka pindah tepat di depan mobil Jenny yang lampunya masih menyala.

 

 

Wiper di mobil Jenny bergerak kencang menghalau air hujan yang deras, saat wiper itu menyapunya, samar Jenny bisa melihat wajah pria itu, matanya membesar, serasa tak percaya dengan apa yang dia lihat, tak mungkin, tidak mungkin itu Jonathan, mana mungkin itu dia?

 

 

Jonathan berdiri di sana, hujan deras membuat semua pemandangan kabur, lampu dari mobil Jenny sedikit membuat dia bisa melihat lebih jelas, 3 orang berwajah begis itu tampak, salah satu dari mereka membawa pisau, Jonathan waspada melihat semunya, salah satu dari mereka segera memberikan serangan, sebuah pukulan yang hampir saja mengenai wajahnya namun Jonathan langsung menangkisnya, dan dengan cepat Jonathan memerikan pukulan balik yang telak terkena wajah pria itu, pria itu jatuh di atas kap mobil Jenny yang membuat Jenny berteriak kaget, ada orang pingsan di kap mobilnya.

 

 

Dua orang itu menyerang Jonathan secara bersamaan, satu melayangkan pukulan ke arahnya, dia langsung menangkisnya, namun dia tidak bisa menapis hunusan pisau dari orang yang satunya, dia sempat mengelak namun pisau itu menyerempet bagian pinggangnya, itu menaikkan  marahnya, dia segera memukul kedua pria itu, hingga membuat semuanya tersungkur jatuh, bahkan pria yang memegang pisau itu hingga pingsan di buatnya.

 

 

Para pria penyerang yang masih sadar segera membawa temannya yang tak sadarkan diri, mereka segera membawa teman-temannya ke dalam mobil dan segera pergi dari sana.

 

 

Jenny membesarkan matanya besar, dia benar-benar tak menyangka Jonathan bisa melakukan hal itu, Jonathan segera berjalan ke sisi mobil Jenny sambil memegangi lukanya yang terasa mulai sakit.

 

 

Jenny segera membukakan jendela mobilnya, kali ini dia baru yakin pria itu benar-benar Jonathan, seluruh tubuhnya basah kuyup, bibirnya terlihat sedikit bergetar, dia memandang Jenny yang masih menyisakan wajah panik dan sekarang bertambah cemas.

 

 

"Kau tidak apa-apa?" tanya Jonathan.

 

 

Jenny tak menjawab, dia berpikir, kenapa Jonathan yang bertanya seperti itu, bukannya seharusnya Jenny yang bertanya itu padanya, namun Jenny tidak mungkin mengatakan hal itu, dia hanya mengangguk-angguk sejenak memandang wajah serius Jonathan itu.

 

 

"Baiklah, pulanglah segera, ini sudah dini hari," kata Jontahan, dia menepuk jendela Jenny agar Jenny menutup jendelanya kembali, Jenny mengerti maksudnya, dia segera menutup jendelanya, setelah tertutup sempurna baru Jonathan meninggalkan Jenny.

 

 

Jenny melihat pria itu dari spion mobilnya, berjalan sedikit terbungkuk seperti menahan sesuatu, entah kenapa perasaannya menjadi cemas, apalagi melihat Jonathan hampir tersungkur untung saja dia memegang tiang penyangga lampu, dengan tertatih dia kembali berjalan.

 

 

Melihat hal itu, Jenny merasa ada yang tidak beres, entah kenapa dia merasa harus melihat keadaan Jonathan bahkan hujan yang masih cukup deras walaupun tak sederas awal, tidak menghalanginya, Jenny segera keluar dari mobilnya, air hujan yang dingin segera bergulir menyentuh kulit putih Jenny, dia bergidik menahan dingin, namun dia segera berjalan mengejar Jonathan yang berjalan pelan.

 

 

Jenny mencapai tubuh Jonathan, menarik pundaknya yang tegap, membuat Jonathan terhenti dan melihat ke arah Jenny yang sekarang ada di depannya, akibat dari tarikannya, jas Jonathan sedikit tersingkap.

 

 

Jenny kaget hingga mulutnya terbuka, kemeja putih Jonathan sudah bercampur dengan darah, dia tak tahu ternyata Jonathan terluka.

 

 

"Apa yang kau lakukan?" tanya Jonathan kaget melihat Jenny yang keluar dari mobilnya, dia kira Jenny sudah pergi. Tak menyangka melihat gadis itu berdiri di depannya dengan seluruh badan yang sudah basah kuyup.

 

 

"Kau terluka?" kata Jenny samar di tengah hujan.

 

 

Jonathan tak menjawab, dengan cepat dia membuka jasnya, menaruhnya ke atas kepala Jenny, walaupun tetap tak bisa lagi membuat Jenny kering, namun setidaknya Jenny tidak terkena hujaman hujan lagi.

 

 

Jenny yang melihat perlakuan yang diberikan oleh Jonathan hanya diam saja, memandang wajah pria yang tampak serius menutupi dirinya dengan jas itu, entah kenapa di dinginnya hujan itu hatinya dan perasaannya menghangat seketika.

 

 

"Masuklah, aku tidak apa-apa? pulang sudah larut malam," kata Jontahan lagi.

 

 

"Tidak, kau harus di obati, aku akan mengantarmu," kata Jenny yang melihat sebuah motor besar di sisi jalan, sepertinya Jonathan mengendarai itu, dia tak akan membiarkan Jonathan pulang dengan motor itu, karena lukanya cukup banyak mengeluarkan darah.

 

 

"Aku tidak apa-apa," kata Jonathan lagi, padahal nyerinya sudah sangat terasa.

 

 

Jenny menatap Jonathan yang wajahnya memucat, tak tahu karena dinginnya hujan atau karena lukanya.

 

 

"Tak boleh, kau ikut aku atau aku akan terus di sini," kata Jenny kembali membuka jas Jonathan yang tadi menaunginya.

 

 

"Baiklah, pakai itu," kata Jonathan, dari awal tahu seberapa keras kepalanya Jenny ini.

 

 

Jenny memandang Jonathan dengan cemas, dia jalan perlahan sambil memandang Jonathan sejenak, dia lalu berjalan menuju ke mobilnya, Jonathan mengikutinya, dengan menahan pinggangnya yang perih dia sebisa mungkin berjalan di belakang Jenny, namun dia mulai sempoyongan.

 

 

Jenny yang sedikit melirik Jonathan tahu bahwa Jonathan sebenarnya tak begitu baik keadaannya, dengan inisiatifnya langsung memapah Jonathan, Jonathan kaget, namun dia hanya menatap wajah Jenny yang bibirnya tampak gemetar, terlihat sekali kedinginan, namun dia tetap memapah Jonathan.

 

 

Jenny membuka pintu mobilnya, dengan perlahan memposisikan Jonathan, setelah Jonathan duduk dengan baik dia baru menutup pintunya, lalu segera masuk ke dalam mobilnya.

 

 

Jonathan tampak tergeletak di kursi penumpang, menahan nyeri yang sangat, sepertinya lukanya cukup dalam, dia mengerang saat mencoba menekan lukanya agar darahnya tak lagi keluar.

 

 

Jenny hanya melihatnya sekilas, dan cepat-cepat bersiap-siap untuk pergi dari sana.

 

 

"Bertahan lah," kata Jenny panik menjalankan mobilnya.

 

 

Jenny memeluk dirinya sendiri, sudah hampir 1 jam dia menunggu, sebenarnya dia dipersilakan oleh dokter untuk melihat tindakan yang harus dilakukan pada Jonathan tapi dia merasa tak sanggup melihatnya, dokter mengatakan bahwa luka Jonathan tidaklah berbahaya, pisau itu tidak menusuk ke dalam, hanya melukai bagian pinggangnya, sayangnya luka itu cukup dalam memotong daging Jonathan sehingga dia harus mendapatkan jahitan.

 

 

Jenny meringkuk, melihat jam sudah hampir jam 3 pagi, untung saja perawat memberikannya selimut tebal dengan teh panas selama menunggu, jika tidak, mungkin dia sudah menggigil menahan dingin karena basah di seluruh tubuhnya, ingin mencari baju, namun tak mungkin ada toko baju yang buka pukul 2 pagi seperti ini.

 

 

Tak lama pintu ruang tindakan itu terbuka, Jonathan tampak sudah berdiri tegap seperti tidak ada apa-apa, hanya jasnya yang merah terkena darah dan sobeklah yang menandakan seberapa panjangya luka itu terbuat.

 

 

Jonathan memasang wajah kagetnya, dia kira Jenny sudah meninggalkannya, ternyata dia mendapati wanita itu meringkuk terbungkus selimut tebar berwarna dusty pink sambil memegang sebuah mug, dia melihat Jenny yang rambutnya mulai mengering, wajahnya tampak sedikit pucat, tentu, dia tidak tidur, dan harus basah-basahan seperti itu namun matanya langsung berbinar ketika melihat Jonathan di ambang pintu.

 

 

"Sudah selesai? apakah harus dirawat?" tanya Jenny yang langsung berdiri meninggalkan selimut hangatnya.

 

 

"Tidak perlu, hanya perlu kontrol luka 3 hari dari sekarang, sekarang Tuan Jonathan sudah boleh pulang," kata dokter itu pada Jenny, Jenny hanya melirik sekilas ke arah Jonathan, bahkan dengan penampilan acak-acakan dan lembab karena hujan, pria itu sungguh mempesona, pantas saja jika dia memanfaatkan hal itu untuk memikat para gadis, dia punya modal yang mumpungi, pikir Jenny yang kembali beralih ke arah dokter itu, tak ingin lama-lama menatap Jonathan.

 

 

"Baiklah, aku sudah mengurus semua administrasinya, kemana aku harus mengantarmu? " tanya Jenny pada Jontahan.

 

 

"Aku ingin kembali ke hotel saja," kata Jonathan, dia ingat dengan motornya, namun dia tidak ingin Jenny kembali ke tempat gelap itu, bisa-bisa kejadian kemarin terulang lagi, apalagi saat ini masih pukul 3 pagi.

 

 

"Baiklah, ayo aku akan mengantarmu," kata Jenny biasa saja, tanpa senyum sama sekali.

 

 

"Aku saja yang menyetir, hotelku cukup jauh dari sini," kata Jonathan mengadahkan tangannya untuk meminta kunci mobil pada Jenny. Jenny mengerutkan dahinya, jika hotelnya cukup jauh dari sini, kenapa kebetulan sekali Jonathan ada saat dia di serang seperti itu? jangan-jangan Jontahan sengaja mengikutinya? Atau malah, jangan-jangan penyerangan itu adalah idenya, bisa jadi bukan?

 

 

"Tak perlu, kau masih terluka," kata Jenny yang masih menyimpan pemikirannya dalam-dalam.

 

 

"Tidak apa-apa, aku tidak merasakan sakit, dokter memberikan obat penghilang rasa sakit," kata Jonathan seadanya, tak bisa terlalu ramah dini hari seperti ini, apalagi dalam keadaan seperti ini.

 

 

Jenny memandang Jonathan yang memberikannya tatapan tajam nan serius yang bisa membuat siapapun menuruti apa maunya, Jenny pun terkena sihir itu, dia langsung menyerahkan kunci mobil itu, dan segera mengikuti jonathan yang jalan uduluan ke arah mobil Jenny.

 

 

Jenny masuk ke dalam mobilnya, suasana basah dan lembab terasa sekali karena tadi mereka masuk ke dalam mobil itu dalam keadaan basah kuyup, tak perlu banyak basa basi, setelah melihat Jenny menggunakan sabuk pengamannya, Jonathan langsung melajukan mobilnya.

 

 

Jenny melirik Jonathan yang fokus pada jalanan yang basah dan sepi, hujan sudah tak turun lagi, bahkan tak setitik pun, seperti tak penah menumpahkan begitu banyak air. Jonathan hanya diam saja begeming fokus dengan jalanan.

 

 

"Katakan padaku, bukannya kau baru di sini? bagaimana kau hapal jalan begitu cepat? Bahkan tahu jalan dari rumah sakit kecil ke hotelmu," tanya Jenny membuka seluruh tanda tanya pada pria di sampingnya ini, pria yang terlihat mudah di tebak, namun ternyata cukup misterius baginya.

 

 

"Aku sudah sering ke sini, ibuku adalah orang negara ini, namun sejak dia SMA dia pindah ke negara Ayahku, saat dia masih hidup aku sering di bawa ke sini saat kecil, namun saat aku remaja aku harus sekolah dan pergi ke Amerika, itu membuatku jarang kembali ke sini, Abu ibuku juga dibawa ke sini," kata Jonathan tenang, bahkan tidak terterik melirik Jenny yang dari tadi menatapnya.

 

 

"Oh, lalu? Kenapa kau bisa ada disaat aku di serang, sudah tengah malah, dan jalanan itu sangat sepi, " kata Jenny menyipitkan matanya ingin menangkap apapun ekspresi yang akan dikeluarkan oleh Jonathan, sehingga dia bisa menganalisanya dengan baik.

 

 

"Menurutmu?" tanya Jonathan, lagi-lagi tak punya minat bahkan untuk melirik ke arah Jenny, hanya menatap lurus ke depan.

 

 

"Menurutku? Entahlah, terlalu aneh untuk di katakan bahwa kebetulan kau ada di sana," kata Jenny mengungkapkan isi pikirannya, dia bukan tipe wanita yang bisa menutupi isi pikiran dan isi hatinya, jika ya maka dia mengatakan iya, jika tidak ya tetap akan tidak.

 

 

"Memang tidak kebetulan, aku mengikutimu.”

 

 

"Benarkah? atau jangan-jangan orang-orang tadi adalah orang suruhanmu?"

 

 

Kali ini Jonathan mengerutkan dahinya, dia melirik Jenny sekilas, lirikan mata tajam itu membuat Jenny terdiam, apa dia salah bicara? Sepertinya tidak.

 

 

"Kau wanita yang cerdas, tapi kau tidak menganalisa dengan tepat, jika mereka adalah orang suruhanku, aku hanya akan menyuruh mereka untuk menakutimu, berpura-pura melawanku lalu pergi begitu saja, untuk apa aku harus menahan sakit dan harus di jahit 14 jahitan seperti ini, satu lagi, luka ini akan berbekas, kau kira aku rela melakukannya hanya untuk mu? Terlalu pendek menganalisa seperit itu," kata Jonathan sedikit geram, untuk apa dia harus melakukan hal terhina seperti itu, untuk mendapatkan perhatian Jenny? Tak perlu seperti itu, wanita ini juga sudah masuk dalam perangkapnya, hanya saja dia masih belum menyadarinya.

 

 

Jenny memutar otaknya, benar juga apa yang di katakan oleh Jonathan, jika mereka orang suruhannya, tak mungkin dia rela mendapat begitu banyak jahitan, mungkin jika goresan sedikit tidak akan apa-apa, namun 14 jahitan, dan ya, pria macam Jonathan ini pasti sangat memperhatikan fisiknya, bekas luka itu akan sangat menganggu nantinya jika dia harus bertelanjang dada.

 

 

"Baiklah, maafkan aku sudah menuduhmu, tapi untuk apa kau mengikutiku?" kata Jenny sekenanya saja, tidak merasa terlalu bersalah, setidaknya dengan begini dia tidak menaruh curiga atau bertanya-tanya.

 

 

“Aku sedang ingin pulang saat aku melihatmu masuk ke dalam mobilmu, awalnya aku tidak ingin mengikutimu, apalagi saat itu hujan sangat deras dan aku tak membawa mobil, tapi saat kau masuk ke dalam mobil, aku melihat 2 orang yang terus mengawasimu, dan feelingku benar, mereka sudah mengincarmu, aku cukup gemas melihat caramu membawa mobil, kaku dan sangat memancing, mobil mewah berjalan di tengah hujan, dini hari pula, dan pernahkah kau berpikir, kau menyalakan lampu dalam mobil beberapa kali, membuat semua orang bisa tahu bahwa kau hanya wanita dan sendirian di dalam mobil? Tentu semua orang ingin memangsamu," kata Jonathan, cukup cepat dia melajukan mobil itu, tentu, dia tak ingin berlama-lama, selain pakaiannya yang lembab, dia juga memperhatikan Jenny yang masih memakai pakaian yang lembab.

 

 

 

 

Mendengar penjelasan Jonathan, Jenny hanya bisa terdiam, dia memang tidak mengawasi sekelilingnya karena hujan deras, lagi pula sudah pukul 12 malam ketika dia keluar dari club malam itu, dan dia memang beberapa kali menghidupkan lampu di dalam mobilnya untuk mencari ponselnya yang terjatuh, sejauh ini alasan Jonathan masuk akal.

 

 

"Kebetulan sekali ya kau dan aku dalam satu tempat yang sama," kata Jenny lagi, masih ada yang mengganjal di pikirannya, dia orang yang tak percaya kebetulan.

 

 

"Itu club malam paling eksklusif di negara ini, semua orang akan memiliki tujuan ke sana, dan orang-orang yang mengundang temannya yang berasal dari luar negara pasti akan memberikan tempat paling baik di negaranya, club itu salah satunya, jadi apa menurutmu itu kebetulan, aku rasa tidak, sudah aku katakan, aku cukup sering ke sini, dan punya beberapa teman, mereka mengundangku, sudah seperti itu saja," kata Jonathan lagi, kali ini melirik ke arah Jenny, wanita ini ternyata cukup sulit untuk dipuaskan rasa ingin tahunya, tak seperti wanita biasanya.

 

 

Jenny mengangguk-angguk kecil, dia rasa hal itu cukup masuk akal baginya, tidak ada lagi pertanyaan dalam kepalanya, jadi dia memutuskan untuk diam.

 

 

Tak lama mereka tiba di hotel mewah yang di tempati oleh Jonathan, Jonathan segera keluar, dia menyerahkan kunci itu pada petugas yang 24 jam setia melayani, Jenny mengerutkan dahinya, kenapa Jonathan malah menyerahkna kuncinya pada petugas parkir, setelah memberikan kunci, dengan cepat Jonathan segera membukakan pintu untuk Jenny.

 

 

"Tidak, aku akan pulang saja," kata  Jenny yang tak punya minat bermalam dengan pria ini.

 

 

"Ini sudah jam 3 pagi, bajumu basah kuyup, dan juga mobilnya basah di dalamnya, tunggu hingga matahari terbit, aku akan menyuruh pihak hotel untuk membersihkan mobilmu, lagipula jika kau pulang jam segini ke istana, apakah tidak akan menjadi perbincangan?"

kata Jonathan dengan wajah serius.

 

 

Jenny kembali memutar otaknya, apa yang di katakan oleh Jonathan benar juga, sekarang mereka tinggal di lingkungan istana, jika tadi mereka tinggal di rumah mereka, itu tak ada masalahnya, tapi jika tinggal di istana, bisa-bisa dia akan dianggap mencoreng nama keluarga.

 

 

"Tenanglah, aku tidak akan melakukan apa-apa, lagi pula jika ingin, aku akan memesankan kamar hotel yang lain," kata Jonathan yang menangkap keraguan Jenny.

 

 

"Baiklah, tak perlu menyewa lagi, aku hanya tinggal menunggu pagi, jika sudah maka aku akan segera pulang," kata Jenny lagi.

 

 

"Ok, kalau begitu," kata Jonathan lagi.

 

 

Jonathan segera berjalan memasuki hotel itu, mereka segera menuju lift dan Jonathan segera menekan tombol lantai paling atas, tak lama mereka sampai di lantai paling atas hotel itu, tempat presidential suite berada, Jonathan segera memindai kartunya, dan pintu hotel itu terbuka.

 

 

Seperti biasa kamar hotel itu mewah bak kamar istana, di dalamnya juga sebenarnya terdapat 2 kamar, Jonathan langsung menunjukkan kamar untuk Jenny.

 

 

"Satu orang tapi menyewa kamar begitu besar," kata Jenny sambil melirik kamar yang di tunjukkan oleh Jonathan.

 

 

Jonathan hanya mengulum senyum, wanita ini banyak protes, tapi entah kenapa dia menyukainya.

 

 

"Hanya jaga-jaga jika ada seorang gadis yang hampir kena rampok, lalu basah kuyup dan terlalu dini untuk pulang ke istananya, ternyata tak sia-sia menyewa kamar sebegini besar bukan?" kata Jonathan seolah membalikan sindiran Jenny, dia melangkah ke arah kamar utama yang ada di seberang kamar Jenny, dibatasi oleh ruang tamu yang tak kalah mewahnya, "mandilah, atau kau akan sakit, tenang saja aku tidak akan aneh-aneh denganmu,” sambung Jonathan, dia segera masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Jenny yang masih kaku menatap kamar Jonathan.

 

 

Jenny segera meletakkan tasnya ke atas ranjang, dia segera mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada bibinya jika dia malam ini menginap di salah satu kediaman temannya, setelah dia mengirim pesan, dia melangkah ke arah kamar mandi, tubuhnya masih merasa sangat dingin, mungkin mandi air hangat akan sedikit mengurangi dinginnya.

 

 

Jenny mandi dan sedikit berendam di air hangat, saat dia mulai terbuai dengan kenyamanannya, tiba-tiba pintu kamar mandinya terketuk, membuat Jenny langsung sadar seketika.

 

 

"Siapa?" jawabnya.

 

 

"Maaf Nona, saya diperintahkan Tuan Jonathan untuk membawakan Anda makanan dan minuman hangat dan juga baju untuk Anda kenakan," suara wanita terdengar di luar kamar mandi. Jenny mengerutkan dahinya, namun tak ingin melanjutkannya.

 

 

"Baiklah, letakkan saja di sana," kata Jenny.

 

 

"Baik Nona.”

 

 

Setelah merasa cukup, Jenny segera mengeringkan tubuhnya, membalut tubuhnya dengan jas mandi yang cukup tebal dan panjang, dia mengeringkan rambutnya untuk menambah kehangatan, saat dia keluar dari kamar mandi, dia sedikit kaget melihat makanan dan minuman sudah berjejer di meja dekat tempat tidurnya, di atas kasurnya juga sudah terdapat baju, terlihat baju itu bukan baju wanita, mungkin miliknya karena ukuran dan potongannya mengisyaratkan itu adalah milik pria.

 

 

Jenny mengambil baju itu, wangi maskulin yang lembut tercium segera, entah kenapa Jenny menyukainya, tentu saja Jonathan hanya punya baju pria, jika dia punya baju wanita, maka Jenny pasti akan kembali bertanya-tanya dalam otaknya.

 

 

Jenny memakai baju tidur yang hampir menenggelamkannya, sangat kebesaran untuknya, namun setidaknya lebih nyaman, seorang pelayan meminta baju kotornya untuk segera dicuci agar nantinya bisa dia gunakan secepatnya.

 

 

Jenny sedang duduk di ranjangnya sambil menyeruput teh camomile hangat saat tiba-tiba pintunya terketuk, dengan santai Jenny mempersilakan siapa pun yang ada di balik pintu itu untuk masuk, dia kira mungkin hanya pelayan, dan Jonathan mungkin sudah tidur.

 

 

Jenny langsung duduk dengan tegak ketika melihat siapa yang masuk dari pintu kamarnya, ternyata Jonathan, Jenny langsung menaikkan selimut setinggi dadanya, bagaimanapun dia tidak memakai dalaman sekarang.

 

 

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Jonathan duduk di salah satu sofa yang ada di sana.

 

 

"Eh, aku? baik-baik saja, seharusnya aku yang bertanya seperti itu," kata Jenny melirik ke arah Jonathan yang sudah menggunakan pakaian santainya.

 

 

"Aku baik-baik saja, sudah minum tehnya? Itu akan membuatmu lebih rileks,  matahari baru bersinar 3 jam lagi, kau masih bisa tidur sejenak," kata Jonathan lagi.

 

 

"Bagaimana aku ingin tidur jika kau ada di sini? " kata Jenny lagi melirik ke arah Jonathan.

 

 

"Baiklah, aku akan keluar, oh, mobilmu sedang di bersihkan, bajumu juga, akan siap setelah kau bangun nanti, selamat tidur," kata Jonathan lagi dengan senyuman indah, hampir saja ingin berdiri sebelum Jenny membuatnya mengurungkan niat untuk berdiri.

 

 

"Ya, tenang saja, aku akan pergi pagi-pagi sekali, bahkan sebelum wanitamu itu tahu aku menginap di sini, jadi tenang saja, dia tidak akan sampai tahu," kata Jenny yang ingat Jonathan bersama seorang wanita bernama Cheryl kemarin.

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!