NovelToon NovelToon

ELINA

Episode 1

Anatasia Bezrukova (Ilusi Elina Santika)

Elina Santika Almero, wanita berparas cantik dan sangat pintar. Dia kerap dipanggil Elina atau Elin. Ayah nya bernama Albern Almero dan ibunya bernama Santika. Elina tergolong dari keluarga kaya raya. Akan tetapi, Perusahan ayahnya bangkrut. Ibu tiri Elina yang bernama Martha, menjual Elina pada seorang pria yang belum pernah ia lihat. Berdasarkan informasi, pria yang membeli Elina adalah pria yang sudah tua. Elina memilih kabur dari rumah. Ia bermalam di apartemen sahabatnya yang bernama, Melisa.

Dilraba Dilmurat (Ilusi Melisa)

Melisa Larika, wanita cantik yang hidup sebatang kara. Kehidupan keras yang membuatnya harus tetap kuat, terlebih lagi keinginan kedua orang tuanya sebelum meninggal. Orang tua Melisa ingin Melisa menjadi seorang Dokter, hal itulah yang membuat Melisa belajar sepanjang hari tanpa mengenal lelah.

------

Penthouse At The Pierre

Elina dan Melisa sedang bersiap siap ke kampus. Keduanya ke luar dari apartemen mencari Taxi. Terlihat dua pria tiba-tiba datang menculik Elina lalu membawanya ke dalam mobil. Di dalam mobil, ada Martha, Ibu tiri Elina.

"Jangan pikir kamu bisa kabur, Elina!" bentak Martha. Wanita paruh baya itu nampak marah.

"Turunin aku, Bu. Aku tidak mau menikah dengan pria tua itu!!" pekik Elina. Memberontak untuk bisa ke luar dari mobil.

Plak... Martha mendaratkan satu tamparan di pipi Elina.

"Kamu anak yang tidak tahu berterima kasih. Apa kamu tidak Sayang pada ayahmu! Apa kamu ingin ayahmu meninggal karena tidak mendapatkan perawatan! Aku tidak butuh persetujuanmu! Minggu depan kamu akan menikah dengan Jonathan!" hardik Martha sembari mencengkram mulut Elina. Lalu ke luar dari mobil.

"Bawa dia dan jangan biarkan dia kabur" kata Martha lalu turun dari mobil.

"Izinkan aku ke Kampus, Bu" pintah Elina memohon.

Martha menatap Elina sejenak. "Antar dia ke Kampus dan jangan biarkan dia kabur" kata Martha pada kedua pria itu lalu masuk ke mobil yang satunya.

"Baik, Nyonya"

Kendraan roda empat perlahan bergerak meninggalkan tempat sunyi menuju jalan raya. Di dalam mobil, Elina terus diam dan tak bergeming. Dia terus memikirkan apa yang Ibu tirinya katakan.

"Nona, jika boleh aku sarankan. Alangkah baiknya Nona menuruti perintah Nyonya besar" kata seorang lelaki yang kini bersama Elina. Namanya Anjas, bodyguard kepercayaan almarhum Santika, Ibu kandung Elina.

"Aku tidak mau menikah dengan Pria tua itu" balas Elina lalu lalu menangis sesegukan.

"Terkadang, kebahagiaan itu hadir dengan orang yang salah, Nona. Aku mengenal pria yang membeli Nona, dia baik pada orang-orang" kata Anjas.

Elina tidak mengerti apa maksud dari perkataan Pria yang kini menatapnya dengan tatapan iba. "Apa kamu mengenalnya?" tanya Elina menatap Anjas dengan penuh tanya.

"Aku belum pernah melihatnya, tapi itulah kenyataan tentang Jonathan" balas Anjas.

"Tapi ada seseorang yang aku tunggu, aku tidak bisa menerima keputusan Ibu Martha begitu saja" ujar Elina menatap jauh keluar jendela.

"Apa Erlanda yang Nona tunggu?" tanya Anjas sembari menaikturunkan alisnya.

"Dari mana kamu tahu?" tanya Elin menyelidik. dia menatap lekat Pria itu.

"Nona, aku bekerja di keluarga Nona hampir 10 tahun. Aku tahu bagaimana Nona dan siapa pria yang Nona suka" jelas Anjas panjang lebar.

"Aku merindukannya, apa kalian bisa membantuku?" tanya Elina memohon pada Anjas dan Jivan.

"Katakan, Nona" kata Jivan, pria yang sedari tadi diam dan hanya fokus menyetir.

"Bantu aku untuk menemui Erlanda di Jerman, aku hanya butuh waktu satu hari" kata Elina kembali memohon pada Anjas dan Jivan.

"Baiklah, Nona. Kami akan membantu Nona" kata Jivan tersenyum.

"Tapi bagaimana dengan Nyonya Martha, Nyonya bisa marah besar jika tahu Nona menemui Erlanda" kata Anjas menatap majikannya.

"Aku percayakan semuanya pada kalian. Aku yakin, kalian bisa membantuku" ujar Elina dengan penuh keyakinan.

"Baiklah, Nona. Kami akan mengurus semua keperluan, Nona" sahut Anjas dan Jivan bersamaan.

---

Kendraan roda empat terparkir di depan Kampus ternama di New York. Terlihat Jivan membukakan pintu mobil untuk Elina.

"Terima kasih sudah mau membantuku" ujar Elina sebelum turun dari mobil.

"Sama-sama, Nona" balas Anjas dan Jiva bersamaan.

Elina berjalan memasuki area Kampus, dari kejauhan dia melihat Melisa mondar mandir.

"Melisa...!" teriak Elina.

Melisa berlari menghampiri Elina. Tanpa izin, gadis cantik itu memeluk Elina. Beberapa Mahasiswa dan Mahasiswi menyaksikan pemandangan indah itu.

"Aku takut kamu kenapa-napa, Elina" ujar Melisa terisak. Gadis itu tidak perduli dengan sekelilingnya.

"Aku baik-baik saja, Melisa" kata Elina sambil menyeka air mata sahabatnya.

"Ayo cepat nanti kita terlambat" kata Elina menarik tangan sahabatnya. Langkah kaki keduanya nampak terdengar terburu-buru. Mereka takut terlambat di mata Kuliah seorang Profesor muda yang dijuluki pria tanpa perasaan. Namanya Stevin, pria yang ditakuti oleh para Mahasiswa dan Mahasiswi.

Bruk... Elina menabrak seseorang, yang tak lain adalah profesor tanpa perasaan.

"Maafkan aku" ujar Elina tanpa menatap profesornya.

"Apa kamu pikir, kata maaf dapat mengembalikan buku yang jatuh itu ketempat semula!!" bentak Prof Stevin dengan dingin.

"M-maafkan kami, Prof." Melisa meminta maaf sambil membungkukan tubuhnya sejenak.

Tanpa menjawab, Stevin berlalu pergi meninggalkan Elina dan Melisa.

"Ayo, Elina" ajk Melisa menarik tangan sahabatnya. Keduanya bergegas masuk ke dalam kelas sebelum Prof Stevin mendahului mereka.

"Melisa, kamu saja yang ke kelas. Aku ingin sendiri. Temui aku di tempat biasa" ujar Elina yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Tapi, Elin" Melisa menatap Elin dengan iba.

"Aku, aku ingin sendiri" kata Elin.

"Tunggu aku di sana ya" ujar Melisa, berlalu pergi meninggalkan Elina.

Elina berjalan menuju tempat di mana dia dan Melisa sering datangi. Ruangan kosong di gedung belakang Kampus, tempat yang dulunya adalah perpustakaan. Namun tak digunakan lagi sejak seorang Mahasiswi meninggal tanpa sebab.

"Apa aku beritahu Melisa tentang kondisiku saat ini?" guman Elina sambil memeluk tubuh mungilnya.

"Ibu, apa Ibu dapat melihatku? Apa Ibu akan memintaku untuk menikahi pria tua bangka itu" batin Elina. Elina tak tahu harus bagaimana lagi. Menangis adalah salah satu cara untuk meringankan bebannya.

"Aku harus menemui Erlanda. Aku yakin, Erlanda akan membantuku" gumam Elina sembari menyeka airmatanya. Lalu mengambil ponselnya mencari nama Erlanda di kontak. Jarinya berhenti berkutak saat nama Erlanda terlihat. Dengan segera, Elin menindis gambar hijau.

"Kenapa nomornya tidak aktif" gumam Elin.

"Apa Erlanda sudah melupakanku? Kenapa dia tidak menghubungiku lagi" gumam Elina sembari menatap foto di layar ponselnya. Foto Erlanda dan Elina saat mereka masih sekolah.

"Aku harus ke Jerman, hanya ini satu-satunya cara agar aku tidak dinikahkan dengan Pria tua bangka itu" guman Elin.

"Apa yang kamu lakukan di situ?" tanya seseorang. Elina menoleh ke arah suara.

"A--a-ku" balas Elin gelagapan.

.

.

.

Bersambung

Novel ini akan membuat kalian bertanya tanya. Siapa sebenarnya Jonathan. Maka dari itu, jangan melompati episode saat membacanya

Episode 2

Nampak Elina terlihat panik, melihat Prof Stevin berdiri di depan pintu. "Kenapa Prof bisa ada di sini?" tanya Elina dengan gugup.

"Aku yang harusnya bertanya. Kenapa kamu bisa ada di sini dan bolos dimata kuliahku?" tanya Prof Stevin lalu duduk disamping Elina.

"Maafkan aku, Prof." Elina menundukan pandangannya ke lantai. Dia tidak berani menatap manik mata Prof Stevin.

Stevin menatap Elina sejenak. "Kamu bisa cerita padaku" kata Stevin pelan.

"Apa aku mimpi! Bukannya Prof Stevin sangat angkuh, kenapa dia bisa sebaik ini!" batin Elina yang kini berkelut dengan pikirannya.

"Kenapa kamu bengong?" tanya Stevin dengan geram, ia begitu tidak suka diabaikan.

"Aku--" ucapan Elina terhenti saat Stevin menatapnya. "Sangat tampan" dua kata itu berhasil lolos dari mulut Elina. Elina menutup mulutnya saat menyadari apa yang baru saja ia ucapkan.

"Maksud kamu?" tanya Stevin yang berpura pura tidak mendengar.

"Ti--tidak" balas Elina dengan gugup.

Ilusi Stevin

"Lupakan saja. Oh ya, apa yang membuatmu bolos dari mata kuliahku?" tanya Prof Stevin.

Elina terdiam, ia menunduk menatap lantai. "Aku punya masalah, tapi aku tidak bisa cerita pada Prof" balas Elina tanpa menatap Prof Stevin.

"Jika kamu tidak bisa cerita maka aku tidak memaksa, lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Jangan buat dirimu tersiksa karena masalah atau hal-hal yang dapat membuatmu depresi" ujar Stevin panjang lebar.

"Prof, berhubung Prof ada di sini. Aku mau minta Izin, sepertinya besok aku tidak ke kampus" kata Elina memberanikan diri, meminta izin langsung pada Dosen mata kuliah Genetika dan Cardiovaskular.

"Kamu mau kemana?" tanya Stevin menyelidik.

"Aku harus ke Jerman menemui seseorang. Aku mohon, tolong izinkan aku" pintah Elina. Wanita itu takut jika tidak masuk kuliah maka nilainya akan bermasalah.

"Apa kamu akan menemui pacarmu?" tanya Stevin tanpa basa basi.

Elin merasa seperti sedang diintrogasi, membuatnya kesal namun ia menahan. Ia tidak ingin usahanya gagal karena kebodohannya. "Iya, Prof" jawab Elina.

"Lakukan apa yang ingin kamu lakukan" kata Stevin, berdiri dan pergi meninggalkan Elina seorang diri. Prof Stevin berjalan keluar menuju ruangannya. Saat di lorong kampus, Stevin melihat Melisa berjalan terburu-buru.

"Melisa" panggil Prof Stevin.

Melisa menoleh ke asal suara, dia menelan salivanya saat tahu siapa yang memanggilnya. "Ada apa Prof?" tanya Melisa dengan ramah.

"Pergi dan temui Elina" titah Stevin.

"Sepertinya ada yang tidak beres, aku harus mencaritahunya" batin Melisa.

"Ba-- baik, Prof. Aku pergi sekarang" Melisa pamit dan pergi menemui Elina di Gedung belakang Kampus.

Melisa berjalan tergesa-gesa menemui Elina di gedung belakang kampus. Seulas senyum tersungging di bibir manisnya, melihat sahabatnya bersandar di dinding gedung sambil membaca buku Cardiovaskular. Perlahan ia menghampiri sahabatnya lalu duduk disampingnya.

"Apa hubunganmu dengan Prof Stevin. Kenapa dia memintaku menemanimu?" tanya Melisa. Semua mahasiswa tahu bagaimana kejam dan dinginnya Prof muda itu. Lantas kenapa dia terlihat berbeda hari ini. Entahlah, Melisa pun bingung.

"Maksud kamu?" tanya Elina tak mengerti.

"Ya sudah jika kamu tidak ingin cerita" kata Melisa tersenyum. "Elin, jika kamu punya masalah, kamu bisa berbagi denganku. Aku siap menjadi tempatmu bersandar bahu. Aku siap menjadi apapun untuk kamu, kamu sahabatku satu-satunya, kamulah keluargaku yang tersisah." Melisa tak kuasa menahan airmatanya, ia pun menangis menatap sahabatnya. Wanita itu tahu, sahabatnya sedang dalam masalah namun dia menunggu kejujuran dari sahabatnya.

Tangis Elina pecah. "Melisa, kini aku berada dititik terendah" kata Elina berhambur memeluk sahabatnya. "Aku... aku tidak ingin menikah dengan pria tua bangka itu" ujar Elina diselah selah tangisnya.

Melisa mengelus bahu sahabatnya. Keduanya saling melepas pelukan mereka. "Lalu apa rencanamu kali ini?" tanya Melisa.

"Aku ingin ke Jerman, aku ingin bertemu Erlanda. Aku yakin, Erlanda dapat membantuku" kata Elina sesegukan.

"Aku akan selalu mendukung keputusanmu" ujar Melisa tersenyum.

Terdengar satu notifikasi masuk di ponsel Elina. Elina melihatnya, senyum terukir diwajah cantiknya saat membaca pesan dari bodyguardnya yang bernama Jivan.

"Apa itu dari Erlanda?" tanya Melisa saat ia melihat Elina tersenyum.

"Bukan" balas Elina.

"Melisa, jam tiga aku harus ke Bandar Udara Internasional John F. Kennedy. Aku sudah meminta izin pada Prof Stevin, jadi kamu jangan hawatir dengan nilaiku" jelas Elina.

Melisa semakin dibuat bingung dengan sikap Prof Stevin hari ini. "Apa jawaban Prof Stevin saat kamu minta izin?" tanya Melisa penasaran.

"Aku melihatnya menahan kesal saat tahu aku akan bertemu Erlanda. Namun, ia membiarkan aku untuk melakukan apa yang aku ingin lakukan. Aku bingung dengan sikap Prof Stevin hari ini Mel" ucap Elina. "Aku rasa dia berbeda," lanjutnya.

"### Ya sudah, jangan kamu lewatkan kesempatan baik itu" kata Melisa tersenyum.

Waktu menunjukan pukul tiga sore. Elina sudah berada di Bandara. Terdengar notifikasi pesan. Elina menatap layar ponselnya. Satu pesan masuk dari Melisa. Elina pun membaca pesan yang dikirimkan oleh sahabatnya.

"Hati-hati ya. Cepat pulang, aku rindu dan tidak bisa lama-lama ditinggalkan (smile sedih)" Melisa.

"Iya cintaku" Elina.

Sementara di Apartemen, Melisa tersenyum saat mendapatkan balasan pesan dari sahabatnya. Mereka berdua sudah seperti saudara kandung, Elina akan ada saat Melisa sedih begitupun sebaliknya.

Di Bandara, Elin terlihat gugup. Ia menyatukan kedua tangannya, sesekali memainkan jari jemarinya. Rasa was-was membuatnya berkeringat. Terdengar pemberitahuan untuk penumpang tujuan Jerman dengan nomor penerbangan XX untuk segera masuk ke dalam pesawat melalui pintu 5. Elina berdiri dari tempat duduknya, memasuki pesawat yang akan terbang membawanya ke Kota unik.

Di dalam pesawat, Elin menonaktifkan ponselnya karena pesawat akan lepas landas. Elina bersandar di tempat duduk sambil tersenyum. Ia tidak sabar bertemu kekasihnya, dua tahun tidak bertemu membuatnya rindu.

"Erlanda pasti bahagia melihatku datang" batin Elina.

"### Pesawat terbang dengan jarak yang sangat tinggi, para pilot dan staf lainnya tidak merasa takut. Lantas kenapa aku harus takut? Aku harus menjalani semuanya dengan tegar dan tanpa takut. Aku kuat, aku bisa mengatasi semua ini" batin Elina menguatkan dirinya sendiri.

Kediaman Alber

Martha membanting semua benda yang ada di atas meja riasnya. "Awas kamu Elina!! Kamu berani ke Jerman untuk menemui Erlanda!!" pekik Martha terlihat begitu murkah.

"Mari kita lihat, siapa pria yang kamu datangi itu. Apakah dia masih seperti yang kamu harapkan atau sebaliknya" ujar Martha tersenyum sinis.

"### Kamu mempercayai pria yang salah, Elina. Kepercayaan itu akan membawamu dalam kehancuran. Kamu akan tahu siapa pria yang kamu tunggu selama ini. Hahahaha" ujar Martha lalu tawa.

Jerman/Apartemen

Elina berdiri di depan kamar 203, menurut informasi dari Anjas inilah kamar Erlanda. Elina memberanikan diri untuk menekan tombol yang ada di depan kamar. Tiga kali Elina menekan tombol yang ada namun Erlanda tak kunjung keluar, saat Elina hendak pergi ia mendengar suara pintu terbuka.

"Kamu siapa?" tanya seorang wanita yang mengenakan pakaian ketat, bodynya terlihat begitu perfec.

"Siapa yang datang sayang?" terdengar suara laki-laki dari dalam.

"Suara itu" batin Elina.

.

.

.

.

Bersambung.

Episode 3

Jerman

Apartemen di Kota J

"Kenapa harus aku! Kenapa kepercayaanku dihianati! Apa salahku padanya? Aku benci!!" Elina berkelut dengan pikirannya saat menyaksikan kekasihnya menyebut kata sayang pada wanita lain.

"M--maaf, aku salah kamar" ujar Elina membungkukan tubuhnya sejenak lalu pergi.

"Honey, kamu masuk duluan ya." Erlanda mencoba mengelabui pacarnya yang bernama, Amora

"Iya, Honey." Amora kembali masuk ke dalam Apartemen sedangkan Erlanda mengejar Elina.

Erlanda berlari menuju lift. "Elina" gumam Erlanda. "Elin... tunggu...!" teriak Erlanda.

Elina tak menggubris teriakan Erlanda. Hatinya sudah terlanjur sakit. Ingin rasanya Elina menangis namun dia mencoba untuk tetap baik-baik saja. Saat Elina hendak masuk ke dalam lift, Erlanda menarik tangan Elina.

"Dengarkan penjelasanku dulu. Maafkan aku, aku tahu aku salah. Elina, kita akhiri saja hubungan kita di sini. Carilah laki-laki yang dapat membahagiakanmu. Sebenarnya, aku dan Amora akan menikah bulan depan. Aku belum bisa memberitahu alasannya kenapa, yang harus kamu tahu adalah, aku sangat mencintaimu" jelas Erlanda.

Elina tak tahu harus berbuat apa, mulutnya seakan kaku. Pria yang dia cintai akan menikah dengan wanita lain. Elina diam membisu, tak terasa air matanya menetes. Dengan segera Elina menyeka air matanya, mencoba untuk tetap kuat.

"Aku terimah keputusanmu, hari ini adalah hari perpisahan kita. kamu ya kamu dan aku adalah aku. Jangan datang dalam kehidupanku di esok hari. Aku menyesal telah menunggu dan datang kesini" terang Elina menatap Erlanda yang diam mematung.

"Lima hari lagi aku akan menikah" kata Elina berlalu pergi meninggalkan Erlanda.

Di dalam lift, Elina meremas bagian bawah bajunya. Amarahnya kian memuncak, air mata mulai menumpuk di kelopak matanya. Lift terbuka, Elina berjalan keluar menuju parkiran. Saat hendak menyebrangi jalan, matanya menatap sosok pria yang dikenalnya.

"Bukannya itu Prof Stevin? Apa yang dia lakukan di Jerman" gumam Elina. "Biarkan saja, itu bukan urusanku" lanjutnya.

"Elina..." seseorang memanggil Elina.

"Prof Stevin" gumam Elina.

"Ayo masuk." Stevin membukakan pintu mobil untuk Elina.

"Kita mau ke mana, Prof?" tanya Elina dengan bingung. Ia ragu-ragu untuk masuk ke dalam mobil. Ada dua pertanyaan yang hadir dalam benaknya. Yang pertama, kenapa Prof Stevin bisa berada di Jerman. Yang ke dua, kenapa dia bisa bertemu dengan Prof Stevin di Apartemen yang sama.

"Temani aku bertemu klienku" jawab Stevin singkat.

"Aku tidak bisa Prof. A... aku," Elina tak kuasa menahan kesedihannya hingga ia menangis di depan Prof Stevin.

"Masuklah, kamu bisa menangis di dalam mobil" kata Stevin.

Elin pun masuk, terdengar tangis di dalam mobil. Stevin masuk dan duduk, ia menyalakan mesin mobil membawa Elina pergi ke suatu tempat. Tempat yang bisa membuat Elina bahagia.

Elina menangis di dalam mobil. "Kenapa Erlanda menghianatiku" gumam Elina pelan namun masih bisa didengar oleh Stevin.

"Mungkin dia bukan yang terbaik untukmu, belajarlah untuk menerima kenyataan Elina. Terkadang, bahagia itu datangnya dari orang yang salah" kata Stevin.

Elina merasa pernah mendengar kalimat itu, ya kalimat yang Anjas pernah katakan padanya. "Apa orang yang salah itu adalah pria tua bangka yang membeliku" balas Elina terisak.

Stevin tidak paham dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Elina. "Maksud kamu?" tanya Stevin menaikturunkan alisnya.

"Ibu Martha menjualku pada pria tua bangka dan berdasarkan informasi pria itu perutnya buncit." Elina kembali menangis hingga matanya bengkak.

Mobil Lamborghini warna silver terparkir di depan Rhine River. "Bukannya tadi mau ketemu klien, kenapa kita kesini?" tanya Elina menatap Stevin.

"Tidak mungkin kita bertemu klien dengan kondisimu seperti itu, terlebih lagi matamu sangat bengkak dan ini sudah larut malam" balas Stevin.

"Ayo" Stevin mengajak Elina masuk ke dalam Rhine River.

"Wah, pemandangannya indah sekali!" ujar Elin takjub.

"Apa kamu suka?" tanya Stevin.

"Aku sangat menyukainya" sorak Elina. Dalam sekejap, Elina melupakan kesedihannya dan kembali ceriah.

"Ayo makan, aku sangat lapar." Stevin mengajak Elina ke Restaurant. Elina tak menolak ia pun mengikuti Stevin.

"Jalanlah disampingku, hari ini kamu menjadi pasanganku" ujar Stevin tersenyum.

Penampilan Stevin saat berada di Rhine River.

Elina berjalan disamping Stevin. Sekali-kali Stevin melirik Elina yang tersenyum bahagia. Sesampainya di Restaurant, Stevin menuntun Elina untuk duduk. Elina merasa senang dengan sikap Stevin. Terdengar alunan musik klasik, Elina begitu menikmati setiap lagu yang ia dengar. Sedangkan Stevin memesan menu. Tak berlangsung lama, pesanan mereka pun disajikan diatas meja.

"Makanlah" kata Stevin.

"Enak sekali, rasanya aku ingin menghabiskan semuanya" terang Elina tak malu-malu.

"Habiskan jika kamu ingin" kata Stevin.

"Hehehehe. Aku hanya bercanda" balas Elina tersenyum menatap Stevin.

"Jangan tersenyum seperti itu, aku takut jatuh cinta" kata Stevin kemudian melahap makanannya.

Saat makan, kedunya diam. Stevin tidak suka berbicara saat sedang makan begitupun dengan Elina. "Kalau makan pelan-pelan," kata Stevin sambil membersihkan makanan di bibir Elina.

Wajah Elina memerah seperti kepiting rebus, saat tatapannya dengan Stevin beradu. "Kamu kenapa?" tanya Stevin saat melihat wajah Elina yang merah merona.

"Ti-- tidak" jawab Elina gelagapan. Lalu kembali melahap makanannya.

Stevin menatap Elina yang sedang makan. "Kamu terlalu cantik dan sayang untuk disakiti" batin Stevin.

Setelah makan, Elina pamit untuk ke toilet. Hampir 10 menit Stevin menunggu namun Elina tak kunjung datang. Stevin beranjak dari kursi menghampiri Elina di toilet wanita.

"Elina. Apa kamu di dalam?" panggil Stevin.

"Iya Prof" jawab Elina dari dalam.

"Apa yang terjadi padamu?" tanya Stevin cemas.

"Aku-- aku datang bulan" jawab Elina malu-malu.

"Keluarlah" titah Stevin.

"Tapi---" ucapan Elin terpotong.

"Apa kamu akan akan tinggal di situ selamanya" ujar Stevin.

Stevin membuka jasnya kemudian mengikatnya di pinggang Elina. Keduanya keluar menuju tempat parkir dan masuk ke dalam mobil. Mobil meleset pergi meninggalkan Rhine River.

Elina menatap keluar jendela, menghirup udara malam yang begitu sejuk. "Tutup, nanti kamu sakit" titah Stevin.

"Tapi" ucap Elina dengan sedih.

"Lakukan apa yang ingin kamu lakukan" ujar Stevin dengan dingin. Ia tidak suka dibantah namun Elina selalu membantahnya.

Mobil terparkir di depan minimarket, "Kamu tunggu di sini!" titah Stevin tanpa ekspresi.

Elina menatap Stevin dengan bingung. "Cepat sekali perubahannya, apa aku membuat kesalahan?" gumam Elina tak mengerti.

Stevin masuk ke dalam minimarket, mencari pembalut untuk Elina. Matanya tertuju pada barang yang ia cari, dengan segera Stevin mengambilnya lalu membawanya ke kasir. Pegawai kasir dibuat melongo saat melihat pria tampan membeli perlengkapan wanita.

"Gantengnya" gumam pegawai bagian kasir, menatap Stevin keluar dari minimarket.

.

.

.

.

.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!