NovelToon NovelToon

KAMPUNG TERKUTUK

BAB 1

Pagi ini, cuaca begitu cerah, langit tampak bersih tanpa awan, dan matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang hangat. Meskipun begitu, Kirana masih saja enggan untuk bangkit dari ranjangnya. Ia terbaring, masih dibalut rasa malas yang tak kunjung hilang. Di dalam benaknya, terbesit rencana untuk pulang ke kampung halaman setelah lima tahun ia mengadu nasib di kota A. Sebuah perjalanan yang sudah lama ia rencanakan, namun entah mengapa pagi ini, rasa enggan itu begitu kuat, membuatnya sulit untuk bergerak.

Jarak antara kampung halaman Kirana dan kota A memang cukup jauh, biasanya memakan waktu sekitar enam jam perjalanan. Perjalanan panjang itu selalu menjadi tantangan tersendiri baginya. Namun, setiap kali ia memikirkan kampung halamannya, rasa rindu yang mendalam membuatnya ingin segera melangkah, meskipun perjalanan yang akan dilalui tak bisa dibilang mudah.

Tiga hari yang lalu, Kirana mendapat telepon dari ibunya. Suara lembut ibu di ujung sana menyapanya dengan hangat.

"Haloo, assalamu'alaikum nak," kata Bu Sari dari seberang sana.

"Walaikumsalam, Bu," sahut Kirana.

"Tadi ada kabar buruk, Kirana. Si Desi, anak gadis Bu Erna, hilang, nak!"

"Astagfirullah, Desi, Bu?!" Kirana terkejut mendengar bahwa Desi, teman masa kecilnya, hilang.

"Dua minggu lalu, si Lili , anaknya Bu Sarah, juga hilang. Gak lama, jasadnya di temukan di dekat sawah Pak Surya."

Begitulah kabar yang diterima Kirana dari ibunya. Ibunya kini tinggal bersama adiknya, Nisa, yang masih duduk di bangku SMA.

Sedangkan Kirana, setelah tamat SMA, langsung bekerja di kota karena saat itu ada tawaran kerja sebagai kasir di sebuah restoran.

Lima tahun sudah Kirana tak pulang. Hanya panggilan video dan telepon yang menjadi pengobat rindunya pada ibu dan adiknya.

Gaji Kirana yang bisa dibilang lumayan, cukup untuk membantu ibu dan adiknya di kampung.

Sedangkan bapak Kirana sudah berpulang saat Kirana masih SMA. Di kampung, ada sawah peninggalan almarhum bapak, yang kini dikelola oleh Bu Sari sebagai sumber penghasilan.

Setelah mendengar kejadian yang terjadi di kampungnya, Kirana pun menjadi khawatir akan keselamatan ibu dan adiknya.

Dia memutuskan untuk pulang ke kampung dan menetap di sana.

Sebenarnya, sudah lama dia merencanakan untuk kembali ke kampung, mengingat tabungannya pun sudah cukup untuk membuka usaha kecil-kecilan di rumah.

Pagi itu, jam sudah menunjukkan pukul 08.15. Setelah sarapan, Kirana tak lupa mengemas bajunya ke dalam tas. Rencananya untuk pulang ke kampung sudah bulat.

Setelah mengemas barang-barangnya, Kirana tak lupa meminta izin pada Pak Hendra, pemilik restoran tempat dia bekerja. Sudah sebulan lalu, Kirana memang berniat untuk berhenti bekerja. Ditambah lagi, kabar dari ibunya semakin membuat tekadnya bulat untuk pulang ke kampung halaman.

Pak Hendra pun mengiyakan dan memberinya pesangon yang lumayan cukup untuk Kirana.

"Pak, saya izin ya. Terima kasih selama ini atas bantuan Bapak," ucap Kirana dengan mata yang berkaca-kaca.

"Iya, Kirana, sama-sama. Saya juga banyak terima kasih sama kamu, telah banyak membantu saya. Ingat, pergunakan ilmu kamu sebaik mungkin ya, Kirana. Jaga dirimu baik-baik," balas Pak Hendra.

Pak Hendra adalah teman lama dari bapak Kirana, yang dulunya juga tinggal di kampung.

Setelah bapak Kirana meninggal, Pak Hendra merasa iba melihat kondisi anak dari temannya itu. Itulah sebabnya, setelah Kirana tamat sekolah, Pak Hendra langsung menawari pekerjaan padanya.

Sekalian niat Pak Hendra ingin menjaga anak teman lamanya itu, merasa bertanggung jawab atas kondisi Kirana yang kini tinggal jauh dari keluarga.

Selama di kota, Kirana tinggal di tempat yang memang sudah disediakan untuk pekerja di restoran Pak Hendra. Pak Hendra, yang seusia dengan bapak Kirana, adalah orang yang baik hati. Selama Kirana bekerja dengannya, Pak Hendra kerap mengajarinya berbagai ilmu, mulai dari masakan, bisnis, hingga ilmu agama dan bela diri.

Pak Hendra memiliki harapan besar bahwa Kirana dapat menjaga dirinya dengan baik selama tinggal di kota ini.

Kirana dibesarkan dengan penuh kasih oleh Pak Hendra, seolah-olah ia adalah anak kandungnya sendiri. Anak dan istri Pak Hendra pun dengan hangat menerima kehadiran Kirana dalam keluarga mereka. Hal itu tak terlepas dari kenyataan bahwa mereka memang tidak memiliki anak perempuan. Dalam keluarga tersebut, hanya ada seorang anak laki-laki yang seusia dengan Kirana, yaitu Azka.

Setelah berpamitan dengan Pak Hendra dan Bu Nana, Kirana pun berangkat menuju terminal. Perjalanan itu ditemani oleh Azka, yang dengan baik hati mengantarnya menggunakan mobilnya.

"Kirana, kamu nggak bakal balik lagi, ya?" tanya Azka, memecah keheningan di antara mereka.

"Kayaknya sih nggak, Az. Soalnya aku pengen buka usaha di kampung," jawab Kirana dengan nada lembut.

"Oh, gitu. Mudah-mudahan usahamu nanti sukses ya, Kir," ucap Azka dengan tulus, sembari menatap Kirana sejenak.

"Aminnn, makasih ya, Azka," balas Kirana dengan senyuman tipis, merasa bersyukur atas doa Azka.

Setelah sekitar 15 menit berkendara, mereka pun tiba di terminal. Azka dengan sigap turun dari mobil dan membantu Kirana membawakan tasnya menuju loket tiket.

Setelah selesai membeli tiket, Kirana berjalan menuju bus yang akan membawanya pulang ke kampung. Azka mengikuti di belakangnya sambil membawa tas Kirana, memastikan semuanya berjalan lancar.

"Makasih banyak ya, Azka, udah bantu. Oh iya, nanti kapan-kapan main ke kampung, ya. Udah lama loh kamu nggak kesana," ujar Kirana dengan senyum hangat, berharap Azka bisa mengunjungi kampungnya suatu saat nanti.

"Iya, insya Allah aku kesana, Kirana, kalau ada libur. Sekalian mau lihat-lihat suasana kampung kayak gimana sekarang, hehe," balas Azka sambil tertawa kecil, tampak bersemangat membayangkan suasana kampung yang mungkin sudah berbeda.

Azka dulu memang tinggal sekampung dengan Kirana, namun setelah tamat SMP, ia ikut kedua orang tuanya pindah ke kota. Keputusan itu diambil setelah nenek dari ibu Azka meninggal, dan tak lama kemudian, Pak Hendra harus ikut ke kota untuk meneruskan usaha restoran mertuanya. Perubahan itu membawa Azka jauh dari kampung, meski kenangan bersama Kirana tetap terasa dekat di hati.

BAB 2

Sepuluh menit berlalu, bus yang akan membawa Kirana pun siap berangkat. Dengan cepat, Kirana naik dan memilih duduk di bangku ketiga sebelah kanan dekat jendela. Sebelum bus bergerak, ia tak lupa melambaikan tangan pada sahabatnya, Azka, yang masih berdiri di luar, mengiringi perpisahan itu dengan senyum.

Azka pun membalas lambaian tangan Kirana dengan tangan kanannya. Sebuah perasaan sedih menyelimuti hatinya, mengingat tidak tahu kapan lagi dia bisa bertemu dengan Kirana. Meskipun mereka pernah dekat, perpisahan ini seperti memberi jarak yang tak terbayangkan sebelumnya.

Bus pun mulai melaju, meninggalkan Azka yang masih berdiri di tempat, melambaikan tangan dengan perlahan. Sesaat, ia hanya bisa menatap bus yang semakin menjauh, menyadari bahwa pertemuan mereka mungkin akan lama terlupakan. Jam di tangannya menunjukkan pukul 09.21, dan suasana sekitar terasa hening, seiring berlalunya waktu.

Kirana duduk sendirian di dekat bangku jendela, memilih posisi itu agar bisa menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Sesekali, matanya menyapu pemandangan yang semakin jauh dari kota, dan ada perasaan campur aduk di hatinya—antara rasa rindu dan harapan untuk memulai sesuatu yang baru di kampung.

Kirana juga sengaja tidak mengabari ibu dan adiknya, karena ia ingin memberi kejutan. Niatnya adalah untuk pulang tanpa pemberitahuan, berharap bisa mengejutkan mereka dengan kedatangannya yang tak terduga, dan merasakan kembali kehangatan keluarga yang sudah lama dirindukannya.

Tiga jam berlalu, bus yang tadinya hampir kosong kini telah penuh sesak dengan penumpang. Di sebelah Kirana, duduk seorang wanita paruh baya yang tampaknya juga sedang dalam perjalanan jauh. Kirana pun mencoba memejamkan mata, berusaha tidur agar perjalanan terasa lebih singkat dan beban pikirannya sedikit terangkat.

Jam menunjukkan pukul 15.40 saat bus akhirnya berhenti di terminal. Kirana segera terbangun, merapikan barang-barangnya, dan bersiap untuk turun. Dengan bantuan kenek bus, tasnya pun diturunkan dari bagasi, sementara Kirana melangkah keluar, siap melanjutkan perjalanannya menuju kampung.

Setelah sampai di terminal, Kirana celingak-celinguk mencari ojek untuk melanjutkan perjalanannya. Alhamdulillah, tak lama kemudian, seorang bapak-bapak mengendarai sepeda motor tua mendekat dan menawarkan jasa ojek pada Kirana. Senyum ramahnya membuat Kirana merasa sedikit lega, karena akhirnya ada yang bisa membantunya menuju kampung.

"Ojek neng?"

"Oh, iya mang. Saya mau ke Desa Sukatani, berapa harganya, mang?" tanya Kirana, sambil menatap bapak itu dengan sopan, berharap perjalanan ini tidak terlalu menguras kantongnya.

"50 aja neng"

Setelah menyepakati harga, Kirana segera naik ojek dan menuju kampung nya.

"Neng pulang kampung ya?" tanya bapak ojek itu sambil melajukan sepeda motornya, memecah keheningan perjalanan dengan suara ramah.

"Iya, mang, udah 5 tahun nggak pulang, hehe," jawab Kirana, sedikit tersenyum mengenang waktu yang sudah lama berlalu sejak terakhir kali dia pulang kampung.

"Seharusnya jangan pulang dulu, neng," kata bapak ojek itu dengan nada serius, seolah ingin memberikan nasihat.

"Lah, ngapain gitu, mang?" tanya Kirana, penasaran dengan perkataan bapak ojek yang tiba-tiba terdengar serius.

"Kampung itu sekarang lagi mencekam, neng," ujar bapak ojek itu dengan suara pelan, "Banyak anak gadis dan wanita muda yang hilang di kampung itu, dan banyak juga yang ditemukan sudah nggak bernyawa. Denger-denger, korban yang hilang udah delapan orang, neng." Suaranya terdengar penuh kekhawatiran, membuat Kirana terdiam, perasaan cemas mulai menggelayuti hatinya.

"Iya, mang, ibu juga ada cerita soal itu," jawab Kirana dengan suara pelan, "Itu sebabnya saya pulang, mang. Khawatir sama ibu dan adik saya, apalagi bapak udah nggak ada." Mata Kirana menatap ke jalan, berpikir tentang betapa beratnya situasi yang dihadapi keluarganya tanpa kehadiran ayah.

"Owh, gitu ya neng," kata bapak ojek itu dengan wajah serius, "Saran saya hati-hati ya neng di sana. Kalau bisa sih pindah aja neng. Mudah-mudahan keluarganya neng selalu dilindungi yang Maha Kuasa." Ia menatap Kirana sejenak, seolah berharap agar keluarga Kirana selalu dalam perlindungan.

"Amiiin, iya makasih, mang, atas do'anya," balas Kirana dengan penuh rasa terima kasih, merasa sedikit lebih tenang meskipun kecemasan masih menyelimuti pikirannya.

.

.

.

Setelah satu jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di gapura kampung Sukatani. Kirana melihat tulisan "Selamat Datang di Kampung Sukatani" yang terpampang di atas gerbang, dan meskipun kampung itu tampak familiar, ada perasaan cemas yang menggelayuti hatinya, mengingat cerita yang baru saja didengarnya.

Aneh rasanya, kampung ini tampak begitu sepi. Tidak seramai dulu, saat anak-anak kecil berlarian di sore hari. Kini, sama sekali tidak ada, bahkan di lapangan bola—tempat yang dulu selalu ramai dengan suara tawa dan permainan bola—terlihat sangat sunyi. Banyak rumah yang pintunya tertutup rapat, padahal masih sore. Suasana yang tadinya penuh dengan keceriaan kini berubah menjadi sepi dan mencekam, membuat Kirana merasa ada yang tidak beres di kampungnya.

"Aneh," gumam Kirana dalam hati, merasa ada sesuatu yang tak biasa di kampungnya. Perasaan was-was semakin menguasai dirinya. Tak lama kemudian, mereka tiba di rumah Kirana. Rumah yang dulu penuh dengan kenangan kini tampak sunyi, seolah menyimpan cerita yang belum terungkap.

Jam sudah menunjukkan pukul 17.05. Setelah membayar, mang ojek pun melaju pergi. Sebelum pergi, dengan suara pelan namun penuh perhatian, ia berkata, "Neng, hati-hati ya di kampung ini." Kata-katanya terdengar seperti peringatan yang membuat Kirana semakin merasa cemas tentang apa yang sedang terjadi di kampungnya.

Kirana hanya tersenyum dan mengangguk pelan mendengar perkataan mang ojek itu. Meskipun perasaan cemas mulai menguasai, ia berusaha terlihat tenang. "Terima kasih, mang," ujarnya dalam hati, berharap semuanya baik-baik saja di kampung.

BAB 3

Dari dalam rumah, Bu Sari yang sedang duduk di ruang tamu tiba-tiba mendengar suara sepeda motor mendekat. Suara itu terdengar familiar di telinganya, membuat hatinya berdebar tak menentu. Dengan cepat, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan tergesa-gesa menuju pintu utama. Rasa penasaran dan harapan bercampur menjadi satu dalam pikirannya.

Tangannya dengan sedikit gemetar meraih gagang pintu, lalu membukanya perlahan. Saat pintu terbuka sepenuhnya, matanya langsung tertuju pada sosok yang berdiri di depan rumahnya. Sejenak, waktu seakan berhenti. Udara sore yang sejuk terasa hangat oleh kehadiran orang yang selama ini dirindukannya. Matanya berkaca-kaca, bibirnya sedikit bergetar, ingin mengucapkan sesuatu tetapi tertahan oleh rasa haru yang membuncah di dadanya.

Sosok itu berdiri tegak, tersenyum dengan tatapan yang hangat. Setelah sekian lama, akhirnya pertemuan ini terjadi.

"Ya Allah, nak, kenapa kamu tidak memberi kabar kalau mau datang?" ucap Bu Sari dengan suara bergetar, matanya mulai berkaca-kaca menahan luapan emosi yang sejak tadi membuncah di dadanya.

Kirana menatap wajah ibunya dengan penuh haru. Keriput di sudut mata dan rambut yang mulai memutih menjadi tanda waktu yang tak bisa diputar kembali. Perasaan bersalah menyelimutinya karena begitu lama ia tak pulang, terlalu sibuk dengan kehidupannya sendiri hingga tak sempat mengabari ibunya lebih sering.

"Ayo masuk, nak. Cepat sini, jangan lama-lama di luar," titah Bu Sari, suaranya lembut namun penuh ketegasan seperti dulu saat Kirana masih kecil.

Kirana melangkah masuk ke dalam rumah yang begitu ia rindukan, sembari mengucapkan salam dengan lembut.

Tidak ada yang berubah, hanya saja tripleknya telah diganti dan dicat dengan warna biru muda.

Terpajang di dinding foto-foto keluarga yang menyimpan kenangan masa kecil Kirana dan Nisa.

"Cek lek!"

Bu Sari segera mengunci pintu.

"Kok dikunci, Buk? Kan masih sore?" tanya Kirana heran.

"Udah, gak papa. Ayo, nak, kamu pasti lapar. Ibu sudah masak, ada ikan sambal," ujar Bu Sari. "Sekalian bangunkan Nisa, dari pulang sekolah tadi dia masuk kamar, palingan tidur."

Tanpa menunggu lama, Kirana segera menuju kamar adiknya. Hatinya dipenuhi kerinduan yang tak terbendung, ingin segera memeluk Nisa.

Derrttt...Pintu kamar perlahan terbuka. Di dalam, Nisa terlihat tertidur lelap, meringkuk sambil memeluk guling. Tubuhnya kini tampak lebih bongsor dibanding terakhir kali Kirana melihatnya. Dengan penuh kelembutan, Kirana membangunkan adiknya.

"Nisa, bangun... Kakak sudah pulang," ucap Kirana lembut sambil menggoyangkan bahu adiknya.

Nisa membuka mata perlahan. Dengan wajah masih mengantuk, ia menatap kosong ke arah orang yang membangunkannya. Otaknya seolah masih loading, mencoba mencerna pemandangan di depannya. Bagaimana tidak? Setelah lima tahun tak bertemu, tiba-tiba sosok yang selama ini dirindukannya berdiri di depan mata.

Beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah. Matanya yang tadi sayu kini membulat, dan senyum lebar mulai merekah di wajahnya. "Kak Kirana?!" serunya dengan penuh semangat.

"Kak Kirana!! Kok ada di sini? Kakak kok gak bilang-bilang mau pulang?!" seru Nisa dengan wajah penuh keterkejutan. Tanpa ragu, ia langsung memeluk kakak satu-satunya itu dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi.

"Kakak baru aja nyampe, Nis. Hehe, namanya juga mau kasih kejutan, makanya gak bilang-bilang," kekeh Kirana sambil terus memeluk adik semata wayangnya dengan penuh kasih sayang.

"Yuk makan, Kakak lapar," ucap Kirana sambil melepas pelukannya.

Perutnya terasa perih, mengingat ia hanya sempat sarapan pagi tadi. Saat bus berhenti untuk istirahat siang, ia malah ketiduran, sehingga tak sempat makan. Kini, aroma masakan ibu yang menguar dari dapur semakin membuatnya tak sabar untuk segera mengisi perut.

Nisa hanya tersenyum dan mengangguk, lalu bangkit dari tempat tidurnya. Tanpa banyak bicara, ia berjalan di belakang Kirana, mengekori kakaknya yang melangkah menuju ruang makan.

Setibanya di dapur, Kirana langsung meraih piring dan menciduk nasi. Perutnya yang sejak tadi keroncongan akhirnya akan terisi. Sementara itu, Bu Sari dan Nisa ikut duduk di meja makan. Suasana hangat menyelimuti mereka bertiga saat berbincang, saling melepas rindu setelah sekian lama tak berkumpul bersama.

Yang tidak mereka sadari, sepasang mata tajam tengah mengawasi mereka dari balik pagar halaman. Sosok itu berdiri diam dalam bayang-bayang, memperhatikan setiap gerakan di dalam rumah dengan penuh ketelitian.

Sejak Kirana melangkah melewati gapura tadi, orang itu sudah memperhatikannya. Tatapannya penuh arti, seolah menyimpan sesuatu yang belum terungkap.

“Bu, kok gak ada suara adzan ya?” tanya Kirana dengan dahi berkerut, merasa janggal karena hari sudah mulai gelap, memasuki waktu magrib.

"Iya, nak, sejak Pak Kyai Kasim meninggal, surau itu jadi tidak terurus," jawab Bu Sari dengan nada sendu.

"Apa, Bu? Kyai Kasim meninggal? Kapan, to? Kok Ibu gak pernah cerita?" tanya Kirana terkejut, matanya membulat tak percaya.

"Sudah, sudah, nanti Ibu ceritakan," ujar Bu Sari, berusaha menenangkan. "Sekarang ayo kita sholat magrib dulu," ajaknya kepada kedua putrinya.

Selesai ibadah, Bu Sari duduk dengan tenang, lalu mulai bicara kepada putri sulungnya. Tatapannya lembut namun ada kesedihan yang tersirat di dalamnya.

"Kirana, sekarang di kampung ini kamu jangan pergi ke mana-mana sendiri ya, nak," ujar Bu Sari dengan nada serius.

"Desi sampai sekarang belum ditemukan, dan Lili… dia juga sudah menjadi korban," lanjutnya, suaranya melemah, menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.

"Ada apa sebenarnya yang terjadi di kampung ini, Bu? Sejak kapan semua ini terjadi?" tanya Kirana dengan wajah tegang. Rasa penasaran bercampur cemas mulai menyelimuti pikirannya.

"Sudah setahun ini keadaannya seperti ini, nak," tutur Bu Sari dengan suara pelan. "Awalnya, Mbak Nur, menantu Buk Wani, menghilang. Dia izin pergi ke pasar malam di kampung sebelah sendirian naik motor. Tapi keesokan harinya, yang ditemukan hanya motornya di ujung desa ini. Sampai sekarang, jasadnya pun belum diketemukan."

Kirana terdiam, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut ibunya. Perasaan ngeri mulai merayap di hatinya. Apa sebenarnya yang sedang terjadi di kampung ini?

"Sudah lima orang yang hilang, nak," lanjut Bu Sari dengan nada khawatir. "Dan tiga orang meninggal dengan cara yang tak wajar, termasuk Lili dan Kyai Kasim."

Kirana merasakan bulu kuduknya meremang. Semakin banyak yang ia dengar, semakin besar rasa takut dan penasaran yang menggelayuti pikirannya.

"Lili ditemukan di dekat sawah Pak Surya, nak," lanjut Bu Sari dengan suara bergetar. "Lehernya menganga… seperti digorok dengan senjata tajam."

Kirana menelan ludah, tubuhnya merinding mendengar penuturan ibunya.

"Sementara itu, Kyai Kasim…" Bu Sari menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "beliau ditemukan meninggal di sumur rumahnya saat subuh. Perutnya menganga… penuh luka tusukan."

Kirana menggigit bibirnya, dadanya terasa sesak. Ada sesuatu yang sangat mengerikan sedang terjadi di kampung ini.

"Apa tidak lapor polisi, Bu?" tanya Kirana, suaranya dipenuhi rasa penasaran dan kecemasan.

Bu Sari menghela napas panjang. "Sudah, nak. Tapi sampai sekarang, tidak ada hasilnya. Polisi sudah menyelidiki, tapi mereka bilang tidak menemukan petunjuk yang jelas. Kasusnya seperti jalan buntu..."

Kirana menggenggam tangannya sendiri, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apa sebenarnya yang sedang terjadi di kampung ini?

"Kalau malam jangan keluar-keluar ya, nak. Nisa juga Ibu larang keluar setelah pulang sekolah. Sekarang Ibu yang antar jemput dia ke sekolah," tutur Bu Sari lagi, suaranya penuh kekhawatiran.

"Iya, Bu, Kirana ngerti," jawab Kirana sambil mengangguk. Ia melirik jam di dinding, sudah pukul 20.23. "Yaudah, Kirana mau lanjut sholat Isya terus istirahat ya, Bu."

Bu Sari tersenyum lembut. "Iya, nak. Istirahat yang cukup, ya."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!