Hembusan angin sore itu, menyibakkan helaian demi helaian rambutku. Membuatku semakin merindukan saat-saat kebersamaanku dengannya.
Air danau nampak tenang walau angin berhembus sangat kencang. Biasanya, aku selalu menyukai pemandangan yang kini ada di hadapanku. Namun, aku justru membencinya saat ini.
Langit hitam, udara yang dingin, serta bangku taman yang kosong di sebelahku. Mungkin itu yang membuatku tidak menyukai suasana saat ini.
Danau yang berada di lingkungan tempat tinggalku adalah tempat dimana biasanya aku menghabiskan waktu bersama dengannya.
Takdir sedang mengujiku, membiarkan aku menangis seorang diri di sini. Meratapi nasib buruk yang terus-menerus menghampiriku.
***
Namaku Ayasya Zakiya Kencana. Ralat, maksudku, namaku Ayasya Zakiya Stevano. Bukan... Bukan!!! Aku bukan hilang ingatan ataupun lupa dengan namaku sendiri. Hanya saja aku tidak menyukai nama belakang baruku.
Benar, aku baru mendapatkan nama itu sekitar dua bulan yang lalu. Nama itu tersemat secara otomatis di belakang namaku sejak pria tiran itu melemparkan buku nikah kepadaku.
Yang lebih mengenaskan adalah ia menjadikan aku sebagai istri keduanya. Memang, dia juga bukan suami pertama bagiku. Namun, aku sudah menjadi janda karena suamiku telah meninggal dunia. Sedangkan dia, istri pertamanya masih hidup dan dia juga enggan menceraikannya. Sungguh sangat serakah!
Sampai detik ini, aku masih tidak mengerti apa yang sedang takdir lakukan pada hidupku. Sebelumnya hidupku sangat sempurna, di temani suami tercintaku. Erlangga Wira Kencana.
Jangan tanya bagaimana hidupku sekarang! Pria tiran itu sangat berbeda dengan kak Erlan, mendiang suamiku. Dia sangat posesif dan sifat tirannya itu selalu membuatku merasa sedang di ikat di dalam sangkar.
Kak Erlan adalah pria yang sangat lembut dan penyabar. Dia tidak pernah marah sekalipun. Wajahnya selalu di penuhi dengan senyuman kemana pun ia melangkah.
Mungkin itu sebabnya Tuhan juga sangat menyukai kak Erlan, sehingga dengan tidak sabarnya Tuhan merebut kak Erlan dariku.
Seharusnya, hari ini aku merasa bahagia karena hari ini aku baru saja mengetahui jenis kelamin bayi yang ada di dalam kandunganku.
Betul. Aku sedang hamil, tapi aku bukan mengandung benih dari pria tiran itu. Ini adalah buah cintaku dengan kak Erlan.
Aku baru saja menikah dengan kak Erlan sekitar setengah tahun yang lalu, kami tak berniat menunda kehamilanku meski aku masih harus menyelesaikan kuliahku.
Dan Tuhan ternyata sangat baik, Dia memberikan kami kebahagiaan dengan hadirnya kehidupan di dalam rahimku.
Hidupku sangat bahagia dan sempurna sejak kak Erlan menikahiku. Tak ada lagi yang aku inginkan di dunia ini, selain kehadiran kak Erlan yang selalu berada di sisiku.
Sejak kecil, aku terbiasa dengan kak Erlan yang selalu menjagaku. Tak pernah ada pria lain dalam hidupku selain kak Erlan.
Aku dan kak Erlan sama-sama di besarkan di panti asuhan. Bedanya, panti asuhan itu milik neneknya kak Erlan. Sedangkan aku, menurut cerita nenek aku di titipkan oleh seorang wanita muda yang cantik pada tengah malam.
Jika aku memang hanya di titipkan, bukankah seharusnya aku di bawa kembali? Tapi, aku justru tumbuh dewasa di panti asuhan. Hal itu yang membuatku berpikir bahwa aku telah di buang oleh wanita itu yang mungkin saja ibu kandungku.
Kak Erlan sudah membantuku untuk mencari dimana keberadaan keluarga kandungku, tapi tak pernah membuahkan hasil. Hingga akhirnya aku menyerah dan menganggap bahwa hanya kak Erlan dan neneklah keluargaku.
Namun, ternyata Tuhan sangat suka memberiku ujian mendadak yang tak pernah aku pelajari materinya.
Tuhan telah membiarkan aku lahir ke dunia ini tanpa orang tua, tapi aku bersyukur aku masih memiliki nenek dan kak Erlan sebagai keluargaku.
Saat Tuhan memberikan aku ujian dengan kematian nenek, aku masih beruntung memiliki kak Erlan yang menyayangiku. Aku pun tak pernah mengeluh, karena aku yakin Tuhan tahu aku mampu menghadapinya.
Namun, Tuhan lagi-lagi memberiku ujian yang sangat sulit. Yang bahkan aku tidak pernah tahu bagaimana rumus untuk memecahkan masalahnya.
Kepergian kak Erlan yang sangat tiba-tiba membuatku hampir depresi, bagaimana tidak? Aku sedang hamil muda saat itu, aku tidak memiliki siapapun di dunia ini selain kak Erlan, suamiku.
Kenapa Tuhan tega mengambil satu-satunya sandaran hidupku? Dari sekian milyaran manusia yang ada di bumi, kenapa harus kak Erlan? Apakah Tuhan begitu menyukai kak Erlan? Hingga Dia terburu-buru memanggil orang sebaik kak Erlan untuk berada di sisiNya.
Penderitaanku tak selesai sampai di situ, ternyata takdir masih suka bermain-main dengan kesabaranku.
Tiba-tiba saja, aku sudah menjadi istri kedua dari seorang CEO muda yang sudah beristri. Daffin Miyaz Stevano. Pemilik DS corp. Perusahaan asing terbesar di negara ini.
Aku bukan tidak mengenalnya, tapi aku sangat mengenalnya. Dia dan istri pertamanya tinggal di lingkungan yang sama denganku. Bahkan, rumahnya berada tepat di depan rumahku. Itulah yang membuatku tidak mengerti, kenapa dia harus menjadikanku istri keduanya?
Apakah karena aku sangat cantik? Tapi istri pertamanya jauh lebih cantik dan lebih modis dariku.
Apakah karena aku masih muda? Tapi aku sudah menjadi seorang janda.
Apa mungkin dia tertarik dengan janda? Tapi masih banyak janda di luar sana yang lebih cantik dan menarik daripada aku.
Daffin bahkan tidak keberatan aku sedang mengandung buah hati dari mendiang suamiku. Dan yang lebih membingungkan bagiku adalah sikap istri pertama Daffin yang justru merentangkan tangannya untuk menyambutku.
Jujur saja, aku tidak suka berbagi suami. Dan aku yakin, istri pertama Daffin juga memiliki pemikiran yang sama denganku.
Itulah sebabnya, aku selalu merasa tersiksa setiap harinya. Daffin menikahiku secara paksa bahkan tanpa sepengetahuanku, tapi dia bahkan tidak pernah bersikap seperti seorang suami terhadapku.
Aku memilih untuk tetap tinggal di rumah lamaku, rumah kecil yang memiliki banyak kenangan manisku bersama mendiang kak Erlan.
Setidaknya, aku tidak akan merasa terhina karena merasa di acuhkan oleh suamiku sendiri.
Daffin hanya mencintai istri pertamanya, dia tidak pernah memperdulikan keberadaanku. Dia hanya menikahiku di atas kertas, aku rasa dia bahkan tidak ingat siapa namaku.
Berbeda dengan Daffin, istri pertamanya, Zafreena Evren Stevano. Dia sangat peduli kepadaku. Dia bahkan sangat memperhatikan kesehatan janinku.
Aku pikir kak Reena memiliki hati seperti malaikat, karena dia bisa memperlakukan istri kedua suaminya dengan sangat baik. Dan demi menjaga perasaannya, aku juga akan membuat tembok setinggi mungkin untuk mengurung hatiku agar tak bisa di masuki oleh pria tiran itu.
Hallo semuanya🤗
Ini karya baru author 😘 Semoga kalian suka ceritanya 🥰
Di novel ini ceritanya jauh berbeda dengan Deta dan bang Ricky, karena di sini author gak akan menghadirkan kisah roman picisan 🤭
Jangan lupa seperti biasa jempol👍 dulu sebelum atau sesudah membaca dan juga tinggalkan jejak 👣 kalian di kolom komentar 👇dan jangan lupa untuk vote author amburadul ini 😍😍
I ❤ U readers kesayangan kuuuhhh
Pagi itu, aku dan kak Erlan sedang berjalan santai di tepi danau seperti yang biasa kami lakukan setiap pagi.
Tanpa sengaja tubuh kak Erlan bertabrakan dengan seorang pria.
"Maaf... maaf ...." ucap kak Erlan.
Pria itu mengusap bahunya, yang aku pikir mungkin dia merasa tubuh kak Erlan yang suci sudah mengotori bajunya.
"Kenapa Kakak minta maaf? Dia yang salah!" sungutku, aku tak terima kak Erlan harus meminta maaf untuk kesalahan yang tidak dia lakukan.
"Tapi aku 'kan memang salah, Ca, karena terlalu terpesona dengan kecantikan kamu jadi tidak melihat kalau ada orang di depanku." jelas kak Erlan.
Aku yakin, kak Erlan hanya mencoba menjinakkanku. Kak Erlan tahu betul bagaimana kelakuanku saat sedang marah.
"No problem, aku juga salah -" jawab pria itu, tapi aku langsung menyelanya.
"Benar. Kamu memang salah. Jadi, jangan coba-coba menyalahkan kak Erlan!"
Pria itu memalingkan wajahnya, tapi aku sempat melihatnya tersenyum sinis. Walau aku tak yakin, tapi aku memang memperhatikan dirinya secara mendetail sejak tadi.
"Maaf, Tuan, saya akan mengganti rugi -"
'Apa? Ganti rugi apa?' Batinku. "Kakak! Ganti rugi apa? Kakak tidak salah. Lagi pula tidak ada yang rusak, jadi tidak ada yang perlu di perbaiki!" Aku menatap sinis pria itu dari ujung rambutnya hingga ke ujung sepatunya.
"Kamu pikir aku barang yang bisa rusak!" bentak pria itu, mengejutkan aku yang sedang mengamatinya.
Aku menangis seketika, tapi sungguh bukan karena aku takut padanya. Hanya saja, aku tidak pernah di bentak oleh siapapun selain oleh guru ketika aku tidak mengerjakan tugas sekolah.
"Sudah... sudah... jangan menangis!" Lengan kekar kak Erlan melingkari tubuhku.
"Apakah adikmu selalu seperti itu?" tanya pria itu, terdengar nada bersalah dari suaranya.
Aku merasakan tangannya menyentuh bahuku. "Maafkan aku, Adik kecil!" ucapnya padaku.
Aku mendengar kak Erlan terkekeh, bisa kutebak mungkin karena pria itu menyebutku adik kecil.
Tentu aku tidak terima di panggil seperti itu olehnya. Aku pun segera berbalik dan memelototi pria itu.
"Dengar, Tuan jangkung! Aku bukan Adik kecil!" tegasku menantang. "Dan aku bukan adiknya, Kak Erlan." sambungku.
Pria itu mengernyit mendengar ucapanku, terlihat jelas di matanya bahwa dia sangat tidak suka dengan sikapku.
"Maaf, Tuan, gadis kecil yang cantik ini adalah istriku." ungkap kak Erlan, yang membuat manik pria itu langsung menatap tajam kepada kak Erlan.
"Apakah kau seorang pedofilia?"
***
Aku benar-benar kesal pada pria bule tadi, selain karena dia mengira aku seorang anak kecil. Dia juga sudah menuduh kak Erlan tersayangku sebagai seorang pedofilia.
"Kenapa wajahmu masih cemberut seperti itu?" tanya kak Erlan, yang duduk di sebelahku masih dengan senyuman secerah mentari.
"Aku masih kesal. Harusnya tadi Kakak membiarkan aku -" ucapanku menggantung karena kak Erlan menempelkan jarinya di bibirku.
Kebiasaan yang selalu di lakukan kak Erlan saat dia sedang tidak ingin mendengar ocehanku. Dan jujur saja, itu sangat ampuh. Aku pun langsung terdiam layaknya kecoa yang tersemprot cairan pembunuh serangga.
"Aku tahu kamu sangat menyayangiku, tapi kamu juga tahu 'kan aku sangat menyayangimu. Jadi, jangan pernah membuat dirimu berada dalam masalah apalagi hanya karena masalah sepele." tutur kak Erlan menasihatiku.
Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Di dunia ini, hanya kak Erlan yang menyayangiku setelah nenek. Mereka berdua adalah alasan hadirnya seorang Ayasya.
Aku memeluk kak Erlan dengan sangat erat, seolah takut seseorang merebutnya dariku.
"Hei, kamu tidak malu di lihat oleh bapak penjual bubur?" tanya kak Erlan, walaupun sebenarnya aku tahu dia juga suka jika aku memeluknya.
"Biarkan saja! Anggap saja bapak sedang menonton cerita cinta anak muda." gurauku pada bapak penjual bubur yang hanya senyam-senyum melihat tingkahku.
Setelah berdebat dengan pria tadi, aku merasa sangat lapar dan kak Erlan mengajakku untuk sarapan bubur ayam seperti biasanya.
Saat sedang menunggu bubur ayam pesanan kami, tiba-tiba saja pria menyebalkan itu datang lagi.
"Aku ingin dua porsi dan tolong di bungkus!" pintanya pada bapak penjual bubur ayam.
Merasa ada yang memotong antrian, tentu saja aku tidak terima. "Aku rasa kau bukan temannya bebek, Tuan,"
Pria itu menoleh dan menatapku dengan heran. "Iya?"
"Kau tuli?"
"Tidak. Tapi kurasa kau mungkin salah satu kerabat bebek," lontar pria itu. "Karena sejak tadi kau selalu menyosor ucapanku." ejeknya kemudian.
Aku berpikir untuk memperingatkannya, bahwa bebek saja tahu etika untuk mengantri. Namun, yang terjadi sebaliknya. Dia justru menemukan alasan untuk mengejekku.
***
Kak Erlan benar-benar pria yang baik dan sangat pengertian. Dia membiarkan pria itu mendapatkan buburnya lebih dulu.
"Terima kasih," ucap pria itu. Aku melihatnya memberikan uang yang lebih banyak dari harga dua porsi bubur ayam.
"Kembaliannya, Tuan," ucap penjual bubur.
"Tidak perlu. Itu untuk membayar bubur Tuan dan Nyonya kecilnya ini." jawab pria itu datar, kemudian menatap sekilas pada kak Erlan yang sedang tersenyum dan menganggukan kepalanya sopan.
'Itulah suamiku. Dia tahu sopan santun, tidak sepertimu!'
Aku melihat kak Erlan dan pria itu secara bergantian selama beberapa detik, sungguh menyebalkan! Gigi kak Erlan sampai mengering karena tersenyum, tapi pria itu tetap memasang wajah kaku dan dinginnya.
Ingin rasanya aku memaki pria itu, kalau saja kak Erlan tidak memperingatkanku sebelumnya.
Aku melihat punggung pria itu yang semakin menjauh dari tempatku berada. 'Pergilah lalat pengganggu!'
"Kak, dia itu siapa? Sombong betul!" ketusku.
"Dia itu tuan Daffin Stevano. Suaminya nyonya Reena." jelas penjual bubur.
"Daffin siapa? Reena siapa?" tanyaku bingung, karena tak pernah mendengar kedua nama itu sebelumnya.
"Itu loh, yang rumahnya paling besar. Tidak jauh dari sini. Itu, atapnya terlihat dari sini." tunjuk penjual bubur itu pada sebuah rumah yang memang paling besar di lingkungan tempat tinggal kami.
"Itu 'kan rumah yang berada di depan rumah kita, Kak. Aku benar, kan?" tanyaku memastikan.
"Iya, Ca, tapi aku juga baru tahu kalau pemiliknya tuan itu." ucap kak Erlan dengan bahu terangkat.
"Masa tetangga sendiri tidak kenal, Tuan," goda penjual bubur, di barengi dengan mendaratnya dua mangkuk bubur ayam di hadapan kami.
"Terima kasih, Pak, kami baru di sini dan tidak pernah bertemu dengan tuan Stevano sebelumnya." ungkap kak Erlan, membuat bapak penjual bubur manggut-manggut paham.
Aku menatap dua mangkuk bubur di hadapanku dan teringat bahwa pria itu yang membayarnya tadi.
"Nanti dulu, Kak!" Aku menahan tangan kak Erlan yang akan menarik mangkuk tersebut.
"Kenapa?" tanya kak Erlan bingung.
Aku tidak menjawab, mataku nyalang menatap sekeliling. Hingga tatapanku berhenti pada dua orang anak kecil yang sedang memunguti sampah.
"Hei, kalian! Kemarilah!" panggilku pada kedua anak itu dengan melambaikan tangan.
Kedua anak itu menoleh dan langsung menghampiriku. " Iya, Nyonya, kami tidak mengambil apapun. Kami hanya memungut sampah." lirih salah satu anak yang terlihat lebih besar.
Aku tersenyum miris mendengar ucapan anak itu, dia mengira aku akan memarahinya. "Tidak, bukan itu. Kalian sudah makan?" tanyaku.
Kedua anak itu saling bertatapan. "Belum, Nyonya,"
Aku menoleh dan menatap kak Erlan. Seolah paham dengan pemikiranku, kak Erlan pun mengangguk seraya memejamkan matanya sesaat sebagai tanda persetujuannya.
"Kalau begitu, duduklah dan makan ini!" Aku mendorong kedua mangkuk yang ada di hadapanku.
Kedua anak itu tetap tak bergeming. Kentara betul mereka segan terhadapku dan juga kak Erlan.
"Tenang saja! Seseorang baru saja mengeluarkan sedekahnya."
Hallo semuanya 🤗
Sejauh ini gimana? Tolong komentarnya dong biar author bisa tambahin bumbu kalau kurang sedap 🤭
Jangan lupa jempol👍 dulu sebelum atau setelah membaca dan jangan lupa tinggalkan jejak 👣 kalian di kolom komentar 👇 sebagai tanda support kalian terhadap author 😘
I ❤ U readers kesayangan kuuuhhh
Aku dan kak Erlan baru saja pindah ke lingkungan ini sekitar beberapa hari yang lalu. Alasan kak Erlan memilih untuk tinggal disini tentunya karena aku.
Aku menyukai ketenangan, walaupun aku sangat cerewet tapi aku tidak suka jika ada banyak kebisingan di sekitarku.
Sebelum kak Erlan menikahiku, aku pernah melihat iklan property yang menawarkan sebuah hunian di tengah kota dengan nuansa yang sejuk. Dan yang paling membuat aku terpesona adalah danau buatan yang terletak di tengah-tengah lingkungan tersebut.
Aku menceritakan hal itu pada kak Erlan, maksudku hanya iseng saja. Sungguh aku tidak berniat untuk meminta kak Erlan membelikannya untukku. Namun, hati kak Erlan sangatlah sensitif. Ia lantas menguras seluruh tabungannya untuk membeli rumah yang aku inginkan.
Jujur saja, aku sangat bahagia saat kak Erlan mengatakan bahwa kami berdua adalah pemilik salah satu hunian yang ada di lingkungan ini.
Aku sempat mendengar om dan tante marah pada kak Erlan, tapi aku tidak mendapatkan jawaban apapun dari kak Erlan saat aku bertanya masalah apa yang membuat om dan tante sampai marah seperti itu.
Namun, rasa ingin tahuku terjawab begitu kami memutuskan untuk tinggal di sini, yaitu ketika aku menerima sebuah dokumen yang bertuliskan namaku di sana.
Dokumen sah kepemilikan rumah secara permanen, ternyata kak Erlan membeli rumah atas namaku. Aku pikir mungkin hal itu yang membuat om dan tante marah, tapi ternyata bukan itu masalahnya.
Begitu aku memeriksa semua dokumen itu satu persatu, aku yakin dengan sangat jika mataku pasti ingin melompat dari tempatnya ketika melihat banyaknya digit angka dari harga rumah ini.
Sungguh harga yang sangat mahal untuk ukuran sebuah rumah yang tidak terlalu besar, rumah ini bahkan hanya seukuran pekarangan depan panti asuhan milik nenek. Hanya saja, rumah ini memiliki desain yang modern dan unik. Di lengkapi dengan basement berukuran mini dan juga sebuah rooftop yang tidak begitu besar.
Aku akui rumah ini sangat indah, aku pun sangat menyukainya. Namun, dadaku terasa sesak melihat harga yang harus di bayar oleh kak Erlan hanya untuk sebuah rumah.
Aku sempat menyarankan pada kak Erlan untuk menjual kembali rumah yang baru saja dia beli, tapi kak Erlan menolak dengan tegas dan mengatakan bahwa harga rumah ini tidak sebanding dengan kebahagiaan yang aku berikan untuknya.
Bukannya aku besar kepala, tapi memang kak Erlan terlihat sangat bahagia setelah bertemu denganku. Nenek yang mengatakannya.
Orang tua kak Erlan meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat ketika mereka bertiga pergi berlibur, hanya kak Erlan yang selamat dari kejadian mengenaskan itu.
Setelah kejadian itu, kak Erlan di asuh oleh neneknya yang memiliki panti asuhan. Dan di sanalah aku dan kak Erlan pertama kali bertemu.
Aku melihat kak Erlan sebagai sosok pria yang sangat luar biasa sabar, dia sangat pengertian dan juga perhatian.
Nenek selalu mengatakan bahwa akulah yang telah menyembuhkan trauma di hati kak Erlan, tapi yang sesungguhnya adalah kak Erlan yang telah memberiku kehidupan yang sangat indah.
***
"Tuhan, kenapa Aca sayangku masih saja cemberut?" Aku menoleh pada kak Erlan yang sedang berjalan sambil menatap langit.
Aku memiringkan kepalaku dan ikut menatap langit. "Tuhan, kenapa kau ambil rasa marah Kak Erlan tersayangku? Harusnya kau sisakan sedikit rasa marah di hatinya agar dia menjadi manusia yang sedikit waras." sindirku dengan lirikan super tajam kepada kak Erlan.
Bukannya marah padaku, kak Erlan justru tertawa. Tak lama kemudian tangannya mendarat di kepalaku dan mengusap-usap rambut panjangku.
"Aku sudah kehabisan rasa marah, karena sudah kamu ambil semuanya." ucap kek Erlan dengan lembut.
Aku mendengus karena tahu itu bukanlah sebuah pujian. "Terserah kakak saja!" sungutku.
Aku berjalan mendahului kak Erlan, meninggalkannya yang masih tersenyum di belakangku.
"Aca? Sayang? Aca sayangku?" panggil kak Erlan mesra, tapi aku tetap tidak bergeming.
Aku berjalan dengan rasa marah yang terus membuncah di hatiku, alasannya hanya satu. Aku tidak suka kak Erlan selalu mengalah di hadapan orang lain, apalagi seseorang yang sombong seperti si tuan... tuan siapa, ya? Ah, karena dia tidak penting aku jadi lupa namanya.
Rasa marah terkadang membuat kita lupa arah, seperti yang terjadi padaku saat ini. Aku merasa aku sudah berjalan ke arah yang benar, tapi tiba-tiba kak Erlan berteriak di belakangku. "Sayang, itu bukan rumah kita!"
Aku mengerjap, menyadari bahwa rumahku tidak sebesar ini. Aku menaikkan pandanganku dan melihat sebuah rumah yang sangat besar di hadapanku. Rumah yang selalu menjadi pemandangan pertama yang kulihat setiap kali aku bangun tidur di pagi hari.
Bagaimana tidak? Rumah itu berada di seberang rumahku, dan karena ukurannya yang sangat besar membuat rumahku jadi terlihat seperti kandang kelinci.
Aku menatap sinis rumah itu. "Ya! Suatu hari aku akan memiliki rumah seperti ini." gumamku.
Aku membalikkan tubuhku dan melihat wajah tampan kak Erlan sedang menertawakanku.
'Untung saja kamu tampan, Kak, kalau tidak pasti sudah kulempari sandal !'
"Adik kecilku sepertinya tidak sabar ingin berkunjung ke rumah tuan Stevano dan mengucapkan terima kasih atas sarapannya pagi ini." Kak Erlan mengerlingkan matanya.
"Sarapan emosi!!!" sungutku, kemudian menyebrangi jalan menuju rumah kami.
"Aca sayang, tidak baik terlalu banyak makan emosi nanti kamu akan mudah lapar." oceh kak Erlan, walaupun dia tahu aku tidak memperdulikannya.
"Kalau lapar, tinggal makan." jawabku acuh.
Kak Erlan berjalan menyusulku untuk membukakan pagar rumah. "Silahkan masuk, Angry bird!" ucapnya dengan wajah yang tak lepas dari senyuman.
Aku hanya bisa menatapnya dengan perasaan tak karuan.
***
Pertemuan pertamaku dengan pria menyebalkan itu sungguh membekas di relung hatiku yang selembut es krim.
Postur tubuhnya yang sangat tinggi dan besar membuatku merasa seperti kurcaci saat berhadapan dengannya. Di tambah lagi dengan suaranya yang terdengar sangat berat, ciri khas suara pria dewasa. Membuatku merasa semakin terintimidasi ketika dia membentakku. Dan yang lebih yang menjengkelkan bagiku adalah sikap kak Erlan yang tetap tenang menghadapi pria angkuh sepertinya.
Kak Erlan juga bertubuh tinggi dan kekar, tapi aku tidak pernah merasa takut saat berada di dekatnya. Mungkin karena kak Erlan selalu tersenyum dan berbicara dengan lembut. Aku bahkan hampir tidak pernah melihat kemarahan darinya.
Beruntungnya aku, memiliki suami seperti kak Erlan bukan seperti pria tiran itu. Aku harap, siapapun yang menjadi pendamping hidup pria itu sudah di anugerahi hati sekuat baja oleh Tuhan.
Hallo semuanya 🤗
Semoga kalian juga suka ceritanya Ayasya yang suka marah-marah ini ya 🥰
Aku selalu menunggu dukungan dan kasih sayang dari kalian semua lhoo readers kesayangan kuhh 😍
Jangan lupa jempol 👍 dulu sebelum atau sesudah membaca dan juga tolong tinggalkan jejak kalian di kolom komentar 👇 agar author tahu keberadaan kalian 😘
I ❤ U readers kesayangan author
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!