NovelToon NovelToon

TEROR PEMBURU KEPALA

TPK1

Bab 1: Boneka Salju Berdarah

Hujan salju turun perlahan, menyelimuti taman kota dengan dingin yang menusuk tulang. Di tengah taman yang sepi itu, sebuah boneka salju berdiri tegak. Syal merah melingkari lehernya, kontras dengan putihnya salju. Namun, ada yang salah dengan boneka itu. Syalnya tampak terlalu basah, warnanya bukan lagi merah cerah, melainkan merah gelap seperti bercampur dengan sesuatu.

Max berdiri di depan boneka salju itu, kedua tangannya bersedekap, matanya menyipit menatap keanehan di depannya. Udara dingin menusuk wajah tampan pria itu, tapi dia tetap diam, pikirannya sibuk mencerna laporan yang baru saja diterimanya. Di sampingnya, Leo, mentornya, berdiri dengan santai, mengisap rokok di tengah udara yang membekukan.

“Jadi, ini yang mereka temukan?” Suara berat Leo memecah kesunyian.

Max tidak langsung menjawab. Dia mengangguk pelan, masih menatap boneka salju itu. “Ya, Pak. Warga yang melintas pagi tadi melapor. Katanya ada bau busuk dari boneka salju ini.”

Leo menghela napas panjang, mengembuskan asap rokoknya ke udara. “Bau busuk dari boneka salju? Menarik.” Dia mendekat, menunduk sedikit untuk memperhatikan lebih dekat. “Kau sudah periksa isinya?”

Max menggeleng. “Belum. Saya tunggu tim forensik dulu, Pak.”

Leo mendengus kecil, lalu membuang rokoknya ke tanah. Dia menginjaknya dengan ujung sepatu, memastikan bara rokok benar-benar mati. “Kau ini terlalu prosedural, Nak. Kadang insting lebih penting daripada protokol. Ayo, kita buka sekarang.”

Max ragu sejenak. Dia tahu Leo selalu menekankan pentingnya bertindak cepat, tapi, dia juga tak ingin merusak bukti. Namun, melihat tatapan tajam mentornya, dia akhirnya mengangguk. “Baik, Pak.”

Dengan hati-hati, Max mendekati boneka salju itu. Tangannya sudah memakai sarung tangan lateks, memastikan dia tidak meninggalkan sidik jari. Dia menarik syal merah yang melilit leher boneka itu. Begitu syal dilepas, bau busuk langsung menyeruak, membuat Max mundur selangkah.

“Busuk sekali ....” Max menutup hidung dengan lengan jaketnya.

Leo tetap tenang, bahkan tampak tak terganggu dengan bau itu. “Lanjutkan.”

Max menguatkan diri. Dia memegang bagian kepala boneka salju itu—bola salju besar yang membentuk puncaknya. Dengan sedikit tenaga, dia mengangkatnya. Dan di sanalah, di dalam rongga bola salju itu, sebuah kepala manusia tergeletak. Mata korban terbuka lebar, membeku dalam ekspresi ketakutan yang mengerikan.

Max terdiam, tubuhnya kaku. Beberapa detik berlalu sebelum dia akhirnya mundur dengan wajah pucat. “Ya Tuhan ....”

Leo mendekat, menatap kepala itu dengan ekspresi datar. “Potongan yang bersih. Pelaku ini tahu apa yang dia lakukan.”

Max menoleh ke Leo dengan pandangan bingung. “Pak, ini ... ini bukan pembunuhan biasa. Ini ... ini benar-benar gila.”

Leo mengangkat bahu. “Dunia ini penuh dengan orang gila, Nak. Pertanyaannya adalah, apa pesan yang ingin disampaikan pelaku?”

Sebelum Max sempat merespons, suara langkah kaki terdengar mendekat. Jessie, anggota tim mereka, datang dengan tergesa-gesa. Wajah cantiknya tampak tegang, napasnya terengah-engah.

“Kapten!” panggil Jessie.

Max menoleh cepat ke arah Jessie. Seperti biasa, jantungnya selalu berdegup kencang. “Apa yang kau temukan?”

Jessie menunjuk ke arah lain taman. “Ada jejak darah ... menuju ke danau.”

Leo mengangguk pelan, lalu menoleh ke Max. “Kau urus kepala ini. Jessie, tunjukkan aku jejak darah itu.”

Max menghela napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. Dia memotret kepala itu dari berbagai sudut, memastikan setiap detail terekam. Sementara itu, Jessie dan Leo sudah berjalan menjauh, meninggalkan Max sendirian dengan boneka salju berdarah itu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Jessie memimpin Leo menyusuri jejak darah yang samar. Salju yang terus turun perlahan menutupi jejak itu, membuat mereka harus bergerak cepat. Jessie menunjuk ke tanah, di mana ada bercak darah kecil yang membeku di atas salju putih.

“Ini dia, Pak,” kata Jessie. “Jejak ini terus mengarah ke danau.”

Leo mengamati jejak itu dengan saksama. “Cukup rapi. Pelaku ini tidak ceroboh. Tapi, dia juga tidak mencoba menyembunyikan jejaknya. Menurutmu, kenapa?”

Jessie terdiam sejenak, berpikir. “Mungkin dia ingin kita menemukannya, Pak. Seperti ... permainan.”

Leo tersenyum tipis. “Permainan, ya? Menarik. Tapi, permainan seperti apa?”

Jessie tidak menjawab. Dia melanjutkan langkahnya, mengikuti jejak darah itu. Mereka akhirnya tiba di tepi danau yang sebagian permukaannya sudah membeku. Di sana, ada sesuatu yang mencolok di atas es—sebuah kotak kecil berwarna hitam, dengan pita merah melilitnya.

Leo mendekat, matanya menyipit. “Apa itu?”

Jessie ragu sejenak, tapi akhirnya berkata, “Terlihat seperti ... hadiah.”

Leo mendengus. “Hadiah dari seorang pembunuh? Hebat.”

Dia meraih kotak itu dengan hati-hati. Beratnya ringan, tapi, dia bisa merasakan ada sesuatu di dalamnya. Dia membuka kotak itu perlahan, dan di dalamnya terdapat sehelai kertas kecil yang dilipat rapi.

Leo mengambil kertas itu, membukanya. Tulisan tangan yang rapi terbaca jelas:

"Kepala hanyalah permulaan. Temukan tubuhnya dalam waktu 10 menit, atau akan ada kepala lainnya. Ayo kita bermain!"

Jessie membaca tulisan itu dari balik pundak Leo. “Ini ... ancaman?”

Leo mengangguk. “Bukan sekadar ancaman. Ini peringatan.”

Sementara itu, Max masih berada di tempat boneka salju. Tim forensik akhirnya tiba, membawa peralatan lengkap. Clara, profiler forensik mereka, mendekati Max dengan wajah serius.

“Apa yang kita punya di sini?” tanya Clara sambil memasang sarung tangan lateks nya.

Max menunjuk ke kepala manusia yang masih berada di dalam boneka salju. “Kepala manusia. Potongan bersih. Sepertinya menggunakan alat yang sangat tajam.”

Clara mengangguk, lalu berjongkok untuk memeriksa kepala itu lebih dekat. “Korban laki-laki, usia sekitar tiga puluh. Ada luka di pelipis kanan, kemungkinan akibat pukulan keras sebelum dipenggal.”

Max menghela napas. “Siapa pun yang melakukan ini, dia sangat terampil. Dan ... sangat kejam.”

Clara mengangkat kepala itu sedikit, memperhatikan bagian leher yang dipotong. “Ini bukan pekerjaan amatir. Potongan seperti ini biasanya dilakukan dengan gergaji listrik atau alat bedah.”

Max mengangguk pelan. “Apa menurut mu, ini pembunuhan yang sama dengan kasus tahun lalu?”

Clara terdiam sejenak, lalu berkata, “Bisa jadi. Tapi ... kita butuh lebih banyak bukti.”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Tim pencari yang dikerahkan oleh kepolisian akhirnya menemukan tubuh korban dalam waktu 30 menit. Tubuh itu ditemukan di sebuah gudang tua yang terletak tidak jauh dari taman. Gudang itu tampak sudah lama tidak digunakan, dengan pintu yang berkarat dan jendela-jendela yang pecah.

Clara, yang memimpin tim forensik di lokasi tersebut, memeriksa tubuh korban dengan saksama. Tubuh itu tergeletak di lantai beton yang dingin, dengan luka-luka yang serupa dengan kepala yang ditemukan di boneka salju.

"Potongan ini sangat rapi." Kata Clara sambil menunjuk bagian leher korban. "Pelaku ini jelas memiliki keahlian dalam menggunakan alat tajam."

Max, yang baru tiba di lokasi, mengamati tubuh korban dengan ekspresi serius. "Jadi, ini tubuhnya," gumamnya. "Tapi ... kenapa pelaku memisahkan kepala dan tubuhnya?"

Clara mengangkat bahu. "Mungkin untuk menciptakan efek dramatis. Atau mungkin ada alasan lain yang belum kita pahami."

Leo, yang juga tiba di lokasi, menatap tubuh korban dengan mata tajam. "Ini bukan sekadar pembunuhan. Ini pesan. Dan kita harus mencari tahu apa pesan itu sebelum ada korban berikutnya."

Sesaat suasana kembali hening. Clara yang masih memeriksa tubuh korban tiba-tiba berkata, “Max, lihat ini.”

Max mendekat. Clara menunjuk ke bagian bawah mata kaki korban. Ada tato kecil di sana, dengan angka dan huruf: 196506A.

“Apa ini?” tanya Max.

Clara menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi, ini bisa jadi petunjuk pertama kita.”

*

*

*

Readers, mohon dukungannya untuk karya baru ini ya 😇

Dukungan bisa berupa like & komentar, juga permintaan update untuk membakar semangat penulis 🔥

Terimakasih sudah berkenan hadir 💞

Jangan lupa di subscribe ya 💋

TPK2

Bab 2. Keluarga

"Sayang, aku hamil ...," beritahu Anna pada kekasihnya, Liam.

"Benarkah?!" Pria bertelanjang dada yang tengah berbaring di ranjang milik Max, bangkit dari tidurnya dan langsung duduk di sebelah Anna. Manik hitam pekat penuh binar itu menatap lembut sang kekasih.

Anna mengangguk, senyuman indah merekah di bibir mungil berpoles lipstik merah muda. "Sudah jalan dua bulan."

Liam berteriak girang, ia mengecup habis wajah cantik berparas mungil. "Kita harus mempercepat pernikahan kita, Sayang!" ucapnya.

Pernikahan Liam dan Anna akan dilangsungkan bulan depan. Namun, mendengar berita baik ini, Liam menjadi tak sabar untuk melaksanakan niat baik itu segera.

"Apa Max tau tentang ini?" tanya Liam penasaran.

"Tentu saja tidak. Jika Kak Max tau, kita bisa dicincang habis-habisan," Anna tertawa. "Apalagi jika Kak Max tau bahwa barusan ranjangnya kita gunakan untuk iya—iya."

"Bisa dibuat patah-patah tulang ku," Liam ikut tertawa.

Max dan Liam merupakan sahabat karib, mereka berteman sejak masih berusia dini. Sedangkan Anna, wanita berparas ayu itu satu-satunya anggota keluarga Max yang masih hidup, adik semata wayang Max.

Kedua orang tua mereka sudah lama tutup usia, dan Anna menjadi satu-satunya orang yang sangat berarti dalam hidup Max.

"Kenakan pakaian mu sebelum Kak Max pulang, Sayang!" peringat Anna. "Setengah jam lagi, ayo kita menikmati makan malam romantis di restaurant teman ku."

Liam mengangguk sebelum melabuhkan ciuman panas.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hujan salju bertaburan indah di atap kota, menciptakan dingin yang menusuk tulang malam itu. Max berdiri di depan jendela, memandang keluar dengan tatapan serius. Kasus-kasus yang tak terpecahkan sungguh menyita waktu dan isi pikiran nya.

Max sedikit terlonjak ketika pelukan hangat melingkar di perutnya. Namun, bibirnya tersenyum tipis begitu menyadari siapa gerangan tersebut.

"Kak Max, sedang apa?" tanya Anna dengan suara manja.

"Memikirkan Mu," jawab Max asal.

"Omong kosong." Anna mencebik, lalu melepas pelukannya. "Apalagi yang bisa membuat kakakku tersayang sampai termenung seorang diri jika bukan karena pekerjaan, huh?!"

Max tergelak, kemudian berbalik badan. Langkah kakinya mengekor ke mana sang adik melangkah. Di tangannya, secangkir kopi yang tak lagi panas ia letakkan di atas meja. Max duduk di atas sofa, tepatnya di sebelah Anna.

"Kak Max, nanti mau memberikan kado apa untuk pernikahan ku dan Liam bulan depan?" Tanya Anna, sengaja menggoda.

"Ayam goreng? Mau?" Max balik menggoda, dia hampir tertawa melihat wajah masam Anna.

"Kakak nggak seru!" kedua tangan Anna bersedekap di depan dada.

Max tertawa keras sambil mencubit kedua pipi sang adik. "Kamu mau dibelikan apa, hmm?"

Ujung telunjuk Anna mengetuk-ngetuk keningnya, seolah tampak sedang memikirkan sesuatu. Padahal, ia sudah memiliki jawaban jika diberi pertanyaan itu oleh sang kakak. Bibir yang mengerucut, kini melengkung manis, matanya membulat.

"Bagaimana kalau tiket bulan madu ke Perancis? Aku mau melihat Menara Eiffel!" Kedua jemari Anna saling menggenggam di depan dada, wajahnya penuh harap. Mana tega Max menolak.

"Baiklah—baiklah, 1 Minggu liburan di Prancis, cukup?" Max memicingkan satu alisnya.

"LEBIH DARI CUKUP! AKH, AKU SAYANG KAMU, KAK MAX!" Jerit Anna bahagia sambil memeluk Max erat.

Max mengelus lembut pucuk rambut sang adik, mengecupnya penuh kasih dan sayang. Anna mendongakkan kepala, menatap manik indah sang kakak.

"Tapi ...." Bola mata Anna mengedip-ngedip lucu. "Dari mana uangnya? Gaji Kak Max saja tak seberapa, hanya $ 4.500 perbulan, bagaimana nanti kelangsungan hidup Kakak selama sebulan?" goda Anna.

"Kamu jangan pusing memikirkan itu. Nanti di depan apartemen kita, aku bisa menjual celana dalam yang tak lagi terpakai. Tante-tante girang yang selama ini menyukai ku diam-diam, pasti sangat tertarik membelinya." Max meneguk kopi yang nyaris sejuk terbawa suhu.

"Max Stupid!" Anna tertawa keras. Begitupun Max.

Setelah puas tertawa, Anna berdiri menyambar baju hangatnya di atas meja. Melihat itu, kening Max berkerut.

"Mau ke mana?" tanya Max.

"Aku mau bertemu Liam sebentar, peralatan kerja nya tertinggal," jawab Anna.

"Malam-malam dan di tengah hujan salju seperti ini?" air muka Max berubah tak sedap.

Anna mengangguk. "Kakak tau kan? Liam susah bangun pagi. Sudah pasti dia akan terlambat esok hari dan tidak akan sempat mengambil peralatannya kemari," jelasnya.

"Kenapa tidak dia yang datang kemari?" sinis Max, ia teramat khawatir.

"Ponselnya nggak aktif," jawab Anna.

Seolah tak percaya, Max mencoba menelpon Liam. Benar kata Anna, ponsel sahabat karibnya itu tidak aktif. Benda pipih itu kembali di simpan ke dalam saku.

Max memandang Anna lekat, "aku akan mengantar mu."

Anna menggeleng, "Nggak perlu, Kak. Aku bisa sendiri, lagi pula, Kakak sedang banyak kerjaan." Anna melirik berkas-berkas yang berserakan di atas meja.

"Tapi, sekarang sudah malam, Anna!" nada bicara Max naik satu tingkat.

Anna memutar matanya jengah, "ini baru jam 10 malam, Kak Max. Jalanan masih ramai. Percaya saja padaku, hm?" Anna menaikturunkan kedua alisnya.

Max menghela napas panjang. "Ya sudah, hati-hati. Jangan terlalu malam," peringat Max serius.

Pria itu menatap punggung sang adik yang perlahan mulai menjauh dan kemudian hilang di balik pintu. Max meraup kasar wajahnya, kemudian ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku.

Max melihat banner liburan yang di posting pada akun-akun travel agent, ia mencari paket liburan ke Perancis untuk dua orang. Dia berusaha memberikan yang terbaik untuk Anna.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

DRAP!

DRAP!

DRAP!

HAH! HAH! HAH!

DRAP!

BRUGH!

Seseorang baru saja tergelincir di atas jalanan yang membeku. Penampilannya sangat berantakan, banyak memar di wajahnya. Bola matanya bergetar panik melihat sosok bertopeng berdiri di ujung jalan dengan senjata tajam. Ia berusaha untuk berdiri dan kembali berlari.

DRAP!

DRAP!

BRUGH!

Namun, berujung dia kembali jatuh lagi.

"T-tolong, jangan bunuh aku." Kedua tangannya mengusap-usap di depan dada. Ia memohon belas kasihan pada sosok yang menyeringai keji di balik topeng. Tentu saja sosok tak berperasaan itu enggan peduli.

TAP!

TAP!

Sosok itu mendekat, "siapa yang menyuruhmu berhenti? Aku sudah bilang, kau harus berlari sampai sejauh mungkin. Tapi, apa-apaan ini? Kau lancang memilih berhenti?"

Sederetan gigi putih nan rapih mulai menyeringai kejam meski sang mangsa tak dapat melihat. "Kau meremehkan aku, ya?"

JLEB!

JLEB!

Dengan gerakan cepat, benda tajam dalam genggaman sosok itu sudah menghujam pundak dan telapak kaki korban.

Arrrggghhh!

Jeritan korban bukan main nyaring, dan sudah pasti menyayat hati. Lalu, korban tak sadarkan diri setelah sosok itu menyemprotkan suatu cairan ke wajahnya.

Satu jam kemudian, di ruangan dengan cahaya temaram, sosok itu bersiul-siul senang. Tangannya begitu semangat dan amat terampil dalam menyayat-nyayat kulit leher korban. Daging-daging di leher korban sedikitpun tak tersangkut, saking tajamnya pisau. Sedetik kemudian ....

GLUNDUNG!

Sebuah kepala, jatuh bergelinding, darah berceceran di atas lantai papan. Aroma amis begitu menyeruak.

Sosok itu tertawa, tubuhnya berguncang karena senang.

"Next, giliran kau ...," gumamnya penuh seringai.

*

*

*

Terimakasih banyak Author ucapkan untuk yang sudah hadir & subscribe di karya sederhana ini 🥰

Segala bentuk dukungan para Readers, sangat berarti untuk Author 🥰

Sekali lagi, terimakasih banyak 🥰

TPK3

Bab 3: Anna, Cinta, dan ....

Hujan salju di malam itu belum kunjung reda. Max berdiri di depan jendela ruang tamu, menunggu Anna pulang seraya memandang ke luar dengan tatapan kosong. Benaknya teramat cemas, apalagi, pelaku pembunuhan yang menjadi momok masyarakat sekitar belum tertangkap.

Jantung Max berdetak kencang saat pintu apartemen terbuka, ia menghembuskan napas lega ketika menemukan sosok Anna berdiri di ambang pintu. Namun, ada yang berbeda dari Anna malam ini. Wajahnya tampak ... pucat.

"Kamu kenapa, Anna?" Max menghampiri sang adik, memutar tubuh Anna ke kiri dan ke kanan, memastikan Anna tidak terluka.

Anna menggeleng lemah, "aku nggak apa-apa, Kak Max. Aku ... hanya kelelahan."

Fyuh!

Sekali lagi, Max menghembuskan napas lega. Ia menjentik kening Anna dengan ujung telunjuknya. "Bikin orang cemas aja!"

Anna tersenyum tipis. Tetapi, senyuman itu tidak sampai ke mata, seolah terpaksa. Anna berjalan dengan langkah gontai, menuju ruang tamu dan lekas duduk di atas sofa. Max turut duduk di sebelahnya.

“Kak Max, kamu tahu nggak? Aku selalu ngerasa aman kalau ada kamu,” suara Anna terdengar lembut, penuh rasa manja, seperti biasanya.

Max menoleh, menatap adik perempuannya. Anna sudah berusia 28 tahun. Namun, Anna tak pernah ragu untuk bergelayut manja di lengan Max layaknya anak kecil.

“Kamu tuh terlalu manja, Anna,” jawab Max sambil tersenyum kecil. “Kalau aku nggak ada, gimana kamu?”

Anna tertawa kecil, lalu menyandarkan kepalanya ke bahu Max. “Makanya jangan pergi jauh-jauh. Aku nggak tahu gimana hidupku tanpa kamu, Kak Max.”

Max membiarkan adiknya menyandarkan diri padanya. Ia tahu Anna sedang tidak bercanda. Setelah kecelakaan yang merenggut kedua orang tua mereka beberapa tahun lalu, Anna menjadi lebih rapuh. Max berusaha sekuat tenaga untuk menjadi pelindungnya, satu-satunya orang yang Anna bisa andalkan.

“Na, kamu harus kuat. Dunia ini nggak selalu ramah.” Kata Max pelan, mencoba menyisipkan nasihat di sela-sela percakapan.

Anna menoleh, menatap Max dengan mata berbinar. “Aku kuat kok, Kak,” katanya dengan nada manja. “Selama ada kamu.”

Max menghela napas panjang, lalu mengusap kepala Anna dengan lembut. Ia tidak ingin Anna terus bergantung padanya, tapi di sisi lain, ia juga tidak pernah siap untuk melepas adiknya.

“Kak,” panggil Anna.

“Heumm?” Max kembali melirik.

“Maafin aku ya,” ada kesedihan di nada bicara Anna. Dan Max menyadari itu.

“Kamu kenapa sih, Anna?! Ada apa? Aku tau ada yang gak beres. Kalau lapar, makan. Kalau ngantuk, tidur. Kalau ada apa-apa, cerita!" balas Max gemas.

"Aku nggak apa-apa, sok tau deh kamu, Kak," sahut Anna cepat.

"Apanya yang nggak apa-apa? Bibir mu itu loh, memble sampai ke lantai. Kenapa sih? Liam selingkuh? Sini, biar aku tonjok dia!" Max menarik pergelangan kemejanya.

Beberapa detik, Anna hening layaknya hewan mamalia yang tak memiliki pita suara.

"Serius Liam selingkuh? Liam? Yang separuh usianya digunakan untuk mengejar cinta mu dan meminta restu ku?" Max berdiri, tangannya berkacak di pinggang. "Akan ku beri dia pelajaran."

“Enggaaaaak!” Anna berteriak. Max membeku sejenak, ini pertama kalinya Anna meninggikan suara. “Aku hanya kelelahan, jangan ganggu Liam. Dia nggak ada sangkut pautnya. Aku ... mau istirahat dulu.”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Hay, Liam," sapa Jessie di pagi hari. Sebelum berangkat ke kantor, sudah menjadi rutinitas nya untuk mampir ke rumah sakit demi bertemu Liam. Pria yang sangat ia sukai.

Liam menoleh ke arah pintu, menyambut kedatangan Jessie dengan senyuman tipis. "Hai, mau periksa tekanan darah lagi?" tanya Liam.

Jessie memang kerap menggunakan alasan kesehatan untuk bertemu dengan kekasih dari adik kaptennya itu. Ya, Jessie tau bahwa Liam merupakan kekasih Anna. Namun, pesona Liam sangat sulit untuk diabaikan. Sudah sejak lama ia menyukai pria berkulit pucat dan memiliki senyuman maut itu.

"Iya." Jessie mengangguk dengan senyuman termanis yang ia punya, lalu meletakkan cooler bag di atas meja kerja Liam. "Sekalian mau antar ini buat kamu, Liam."

"Apa itu?" Liam tersenyum. Profesi nya memang mengharuskan ia untuk selalu ramah tamah.

"Hanya sandwich. —Aku tau kamu susah bangun pagi, dan ... pastinya sering melewatkan sarapan. Menolong pasien juga butuh tenaga," jawab Jessie penuh pesona.

Liam mengucapkan terimakasih seraya mengulum senyum. Setelahnya, ia memeriksa tekanan darah Jessie. Seperti biasa, hasilnya bagus dan normal.

“Bagaimana hubunganmu dengan Anna, Liam?” Pertanyaan itu tercetus begitu saja kala Jessie menatap foto Liam dan Anna dalam satu bingkai di atas meja kerja dokter muda itu.

“Hubungan kami? Tentu baik-baik saja.” Senyuman Liam amat menawan. “Bulan depan kami akan menikah. Aku akan memberikan undangannya jika sudah selesai dicetak.”

Jawaban Liam sontak membuat senyuman indah Jessie luntur seketika. Namun, Jessie berusaha menjaga ekspresi nya. Menjaga agar amarahnya tak terbaca.

Setelah selesai dengan urusan nya alias menebar pesona, Jessie keluar dari pekarangan rumah sakit. Lalu menuju ke sebuah klinik kandungan. Sahabat karibnya bekerja di sana, dan kebetulan ... sudah lama sekali Jessie tidak berkunjung.

Namun, hal tak disangka-sangka terjadi. Jessie bertemu dengan Anna di pekarangan klinik kandungan. Ia memperhatikan wajah Anna dengan saksama. Anna tampak lelah, wajahnya pucat.

Dan ... rasa penasaran mengantarkan Jessie duduk di depan meja kerja sahabat karibnya. Ia merayu agar sang teman mau membocorkan informasi.

"Gak bisa, Jess, gue bisa dipecat. Pasien berhak mendapatkan privasi dan kerahasiaan."

"Alah, Mon. Sama gue doaaang. Sumpah, gue nggak akan nyebarin kemana-mana."

Sang sahabat memandang lekat Jessie, ia menjadi serba salah. Berbicara, ia melanggar kode etik. Bungkam, Jessie tidak akan beranjak pergi. Ia hafal betul perangai sahabatnya itu.

"Yaudah, sini kuping lo. Dengerin baik-baik!"

Jessie mendekatkan indera pendengaran nya ke bibir sang sahabat. Ia mendengarkan dengan saksama. Bibirnya sesekali menganga lebar, kepalanya sesekali menggeleng dan mengangguk.

Setelah mendapatkan informasi, Jessie segera berpamitan dengan alasan sebentar lagi waktunya masuk kerja. Padahal, dia duduk di dalam mobil seraya menepuk-nepuk dadanya.

Dengan bibir tersenyum simpul dan ujung jemari yang bergetar, Jessie mengeluarkan ponsel. Ia mencari kontak Max, meminta izin untuk tak masuk kerja dengan alasan sedang tidak sehat.

Kemudian, ia mencari satu kontak lagi. Lalu mengetik sebuah pesan dan lekas mengirimnya.

"Apa kamu tau kalau Anna hamil?"

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Max menghela napas panjang setelah menarik dirinya kembali ke kenyataan. Pekerjaannya sungguh menguras otak. Max melirik arloji yang berdetak di pergelangan tangan, sudah pukul 9 malam. Ia harus segera pulang, begitupun dengan para tim nya.

Jaket hitam yang bergelantungan di sandaran kursi pun ia sambar. Max ingin segera pulang, ia tak sabar untuk bertemu adik kesayangannya, Anna. Namun ....

“Max!” Suara Clara menghentikan langkahnya. Clara berdiri di ambang pintu ruang kerjanya, wajahnya serius. Napasnya tampak sengal.

“Ada apa?” tanya Max heran. Keningnya berkerut.

Clara meneguk kasar ludahnya, meraup oksigen sebanyak-banyaknya. “Anna, Max!”

Jantung Max berdetak kencang, "Anna?! Kenapa Anna?"

"Anna ... Anna tewas, Max!"

*

*

*

Bab 3: Anna, Cinta, dan ... Kehilangan

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!