NovelToon NovelToon

Pesona Suami Tetangga

Kembali ke Rumah

Rasanya benar-benar bahagia saat dokter mengijinkan Mirna pulang setelah 35 hari menjalani perawatan di rumah sakit.

Menurut cerita mama, Mirna bahkan sempat koma selama 5 hari gara-gara kecelakaan mobil yang dikemudikannya menabrak pembatas jalan sampai pindah lajur dan akhirnya bertabrakan dengan mobil lain.

Kaki kanannya cedera dan sempat sulit digerakkan, untung saja sekarang sudah bisa dipergunakan lagi setelah menjalani terapi panjang yang cukup melelahkan.

Mobil yang dikemudikan Rangga, kakak Mirna, akhirnya berhenti di depan rumah. Bergegas Mirna turun dan merentangkan kedua tangannya sambil menghirup udara dalam-dalam.

Papa dan mama yang ikut turun hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat tingkah putri bungsu mereka.

“Baunya masih sama kan ?” ledek mama saat melintas di samping Mirna.

”Masih Ma dan rasanya hidungku langsung plong karena nggak cuma menghirup bau obat-obatan dan disiinfektan.”

Mirna menepi saat gerbang sudah dibuka lebar-lebar oleh papa supaya Rangga bisa memasukkan mobil ke garasi.

Tiba-tiba netra Mirna menangkap sosok pria yang berdiri di depan rumah seberang sedang menggendong bocah perempuan.

Mirna bergeming, tidak menyangka akan bertemu lagi dengan mereka di lingkungan rumah orangtuanya.

“Mirna, kamu kenapa ?”

Tepukan Rangga di bahunya membuat Mirna terkejut, kembali sadar dari lamunannya.

“Kenapa mereka ada di sana ? Apa mereka ada hubungan keluarga dengan om Edi ?”

“Ooh Damar dan Chika maksudmu ?”

“Perlu aku ambilkan TOA supaya semua tetangga mendengar suara Kak Rangga ?” geram Mirna mendengar suara Rangga yang sengaja menaikkan volume suaranya.

Rangga hanya tertawa bahkan selanjutnya ia melambaikan tangan, menyuruh Damar menghampiri mereka, membuat mata Mirna semakin membola.

“Kenapa kakak suruh mereka kemari ?” desis Mirna.

“Karena mereka adalah tetangga baru kita,” sahut Rangga sambil merangkul bahu adiknya.

“Mereka masih keluarganya om Edi ?” Mirna mengulangi pertanyaannya.

“Nanti kamu bisa tanya sendiri.”

Mirna menahan kesal, kalau saja Rangga tidak menahannya, sudah pasti Mirna memilih masuk ke rumah karena enggan berbasa basi dengan Damar.

Terus terang tatapan Chika yang baru berusia 5 tahun membuat Mirna tidak nyaman sejak pertama mereka bertemu ditambah sikap Damar yang menurut Mirna sedikit agresif.

Mirna sangat menyukai anak-anak tapi ada sesuatu yang membuatnya tidak ingin berlama-lama dengan Damar dan Chika.

“Senang akhirnya kamu diperbolehkan pulang, Mirna,” ujar Damar sambil tersenyum.

Mirna sempat menautkan alis karena sejujurnya kalau Rangga tidak menyebut nama Damar, Mirna tidak ingat siapa nama pria itu padahal mereka sempat bertemu beberapa kali di rumah sakit.

“Terima kasih,” sahut Mirna dengan canggung.

Seperti biasa Chika menatapnya dengan wajah sendu membuat Mirna membuang muka ke lain arah.

”Chika kenapa ?” Rangga mengusap kepala bocah perempuan yang masih betah dalam gendongan Darma.

“Habis bangun tidur,” sahut Darma mewakili putrinya.

“Ooohhh,” Rangga mengangguk-angguk dan mengacak gemas pucuk kepala Chika.

Bocah itu sempat melirik Mirna sekilas sebelum mengalungkan tangan di leher Darma dan menyandarkan kepalanya di bahu kekar papinya.

“Mau main di sini ?” tanya Rangga.

Spontan Mirna menghela nafas dan Damar melihat jelas reaksinya.

“Jangan hari ini biar Mirna bisa istirahat dengan tenang,” sahut Damar menatap Mirna dengan senyuman.

”Terima kasih atas pengertiannya,” sahut Mirna dengan wajah lega.

“Senang bisa berkenalan denganmu, Mirna. Kami pulang dulu.”

Rangga mengangguk sambil tersenyum sedangkan Mirna kembali melihat ke lain arah karena enggan bertatapan dengan Damar.

***

Mirna berdiri di depan jendela kamarnya yang menghadap ke rumah seberang. Rasanya menyenangkan bisa melihat banyak lampu menyala lagi dari rumah yang sempat kosong sekitar 8 bulan lamanya.

Cahaya temaram dari lampu baca memantul dari balik vitrase yang menutupi jendela. Mirna bisa melihat jelas bayangan Damar sedang duduk di belakang meja kerja dengan laptop di hadapannya.

Dugaan Mirna pria itu sedang menyelesaikan pekerjaan kantornya tapi sedikit aneh karena selarut ini Damar belum menutup tirai hingga semua aktivitssnya terlihat jelas dari tempat Mirna berdiri.

Pikiran Mirna melayang pada percakapan saat makan malam bersama keluarganya. Entah bagaimana awalnya, mereka sempat membahas soal Damar dan Chka.

Mama bilang menurut pengakuan Damar statusnya belum duda tapi sejak mereka pindah, tidak terlihat seorang perempuan yang dipanggil mami oleh Chika, hanya ada seorang pelayan wanita paruh baya yang tinggal bersama mereka.

Wajahnya cukup tampan dan menurut mama Damar seorang pria yang cukup mapan, memiliki usaha sendiri, rumahnya tidak hanya yang sekarang tapi saat ini sedang disewakan.

Selain tentang istrinya yang tidak jelas, cerita menyedihkan yang pernah Damar ungkapkan adalah kondisinya yang sudah yatim piatu.

Sejak kecil Damar tinggal di panti asuhan, tidak tahu apakah orangtua kandungnya masih hidup atau sudah meninggal.

“Chika anak yang lucu dan pintar. Mama yakin kamu pasti akan menyukainya.”

“Aku tidak terlalu nyaman dengan Chika,” sahut Mirna dengan sedikit menggumam.

“Kenapa ? Dia hanya bocah berumur 5 tahun, Mir.,” Rangga menatap adiknya dengan alis menaut.

“Yang mama bilang memang betul, Mir. Chika anak yang lucu dan sangat sopan. Sudah sering dia main kemari setiap habis pulang sekolah,” timpal papa.

Mirna mengerutkan dahi, menatap bergantian ketiga orang yang duduk di meja makan bersamanya.

“Jadi Chika sering di sini ? Maminya kemana ? Kenapa mama membiarkan orang asing yang baru pindah beberapa minggu seenaknya menitipkan anaknya ?”

“Mama hanya kasihan pada Chika, Mir. Kita memang tidak tahu apa yang terjadi pada rumahtangga Damar tapi tidak seharusnya membuat Chika larut dalam kesedihannya.”

“Aku tidak suka setiap kali Chika menatapku, selain wajahnya terlihat sendu, tatapan matanya seakan membuatku merasa punya salah padanya.”

“Kenapa sekarang kamu jadi baperan, Mir ?” ledek Rangga sambil tertawa pelan.

Mama tersenyum, menatap putrinya yang cemberut sedang melirik Rangga.

“Mungkin wajahmu mirip dengan maminya, Mir jadi dia selalu sedih setiap kali menatapmu karena kangen, bukan benci.”

“Tapi aku tidak suka, Ma !”

Rangga dan kedua orangtuanya terkejut mendengar suara Mirna mulai meninggi, Ketiganya spontan menatap Mirna dengan dahi berkerut.

“Maaf, tapi aku benar-benar tidak nyaman. Aku yakin si Damar itu pasti bisa melihat kalau anaknya tidak baik-baik saja dengan perpisahan orangtuanya.”

Rangga tersenyum, berusaha memahami adiknya yang memang punya sifat sedikit manja.

“Aku akan bicara pada Damar supaya menasehati Chika agar tidak lagi menatapmu seperti itu,” ujar Rangga memberikan solusi.

“Terima kasih, Kak. Maaf aku duluan.”

Mirna menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ada perasaan bersalah karena sempat emosi hanya karena orang asing yang menjadi tetangga baru mereka.

Tatapannya kembali tertuju pada jendela kamar yang ada di lantai dua.

Betapa terkejutnya Mirna saat mendapati Damar sudah berdiri di balkon tengah menatap ke arahnya ! Rupanya Damar tahu kalau sejak tadi Mirna sedang memperhatikannya.

Pria Menyebalkan

“Selamat pagi tante Mirna,” sapa Chika dengan senyum manisnya.

Sepuluh hari berlalu dan sikap Chika pada Mirna berangsur-angsur membaik, hampir tidak ada lagi muka melow atau tatapan maut yang membuat Mirna tidak nyaman.

Mirna yakin semuanya berkat bantuan Rangga tapi sayang kelakuan Damar tetap saja menyebalkan !

“Pagi Chika,” sahut Mirna dengan senyum manis yang sama.

Matanya tidak bisa menghindari tatapan pria menyebalkan yang duduk di samping Chika.

“Selamat pagi Mirna,” sapa Damar.

Mirna malah membuang muka dan pura-pura tidak mendengar sapaan Damar bahkan ekspresi wajahnya tidak segan menunjukkan kalau ia tidak suka dengan kehadiran Damar.

Sungguh Mirna tidak menduga kalau Damar bukan hanya berani menitipkan Chika di rumah orangtua Mirna tapi pria itu tanpa merasa sungkan sering ikut makan bersama keluarga Mirna, entah di waktu sarapan atau makan malam.

Dan sudah 3 hari berturut-turut kebiasaan itu kembali dilakukan Damar tanpa malu-malu. Sikapnya seakan-akan sudah menjadi bagian keluarga ini.

“Mir, jangan begitu,” tegur mama dengan suara berbisik.

Mirna hanya menghela nafas dan tetap saja malas menuruti nasehat mama.

“Tante Mirna ada acara apa hari ini ?”

Mirna menelan nasi goreng yang sudah dikunyahnya, menatap Chika dengan mata menyipit.

“Belum ada rencana kemana-mana.”

“Chika mau ajak tante jalan-jalan ke pantai. Oma, opa dan om Rangga bilang kalau tante suka melihat laut.”

“Terima kasih ajakannya tapi om Rangga bilang tante belum boleh kemana-mana.”

Mirna melirik Rangga sambil mencibir.

“Jangan asal, kapan aku bilang begitu ?” protes Rangga sambil melotot.

Mirna menoleh, balas melotot pada kakaknya.

”Kak Rangga yang bilang aku belum boleh pergi ke kantor karena masih perlu banyak istirahat !”

“Ternyata selain baperan, kamu juga sedikit lemot.”

Mirna meringis saat Rangga menyentil keningnya.

“Kalau ke kantor, tenagamu habis terpakai untuk bekerja, pikiran juga harus dimaksimalkan bikin stres. Beda banget hasilnya kalau kamu pergi ke pantai, otakmu jadi rileks, aktivitasnya mungkin sama capeknya tapi segera hilang karena hatimu senang.”

Mirna kembali melotot dan wajahnya masih kelihatan sebal.

”Kakakku yang pintar, tahu nggak artinya bosan ? Otak juga bisa cepat tumpul kalau kelamaan nggak dipakai. Sudah cukup badan dan pikiranku diistirahatkan selama 35 hari.”

“Tapi dokter belum memberikan ijin padamu untuk balik kerja di kantor.”

“Kapan dokter bilang begitu ? Aku juga ada di situ. Dokter bilang aku tidak boleh terlalu stres apalagi gara-gara pekerjaan.”

“Iya tapi….”

”Buat apa aku kerja di perusahaan kakak sendiri kalau tidak bisa dapat dispensasi ? Lagipula karyawan lain pasti akan mengerti malah mungkin aku bisa jadi teladan karena tetap berusaha kerja meskipun belum maksimal.”

Rangga sudah siap menjawab lagi tapi netranya menangkap gelengan kepala mama di belakang Mirna dengan isyarat tatapan mata menyuruh Rangga mengalah.

“Mir, jangan marah-marah terus di depan anak kecil lagian malu juga sama Damar,” nasehat mama.

Mirna menghela nafas sambil melirik Damar lalu beralih ke Rangga.

“Aku janji nggak akan memaksakan diri karena demi apapun aku tidak mau lagi harus menjalani perawatan di rumah sakit sebegitu lama.”

Rangga mengangguk-anggukan kepala sambil menarik nafas panjang.

“Kalau begitu hari ini kamu jalan-jalan dulu sama Chika dan papinya. Mulai Senin kamu boleh coba balik kerja tapi hanya sampai jam makan siang dan tidak boleh protes kalau aku pindahkan ke bagian lain untuk sementara.”

“Beneran ?” Mirna mengangkat sebelah alisnya.

“Iya tapi ingat nggak boleh protes dengan posisi yang baru !”

Perlahan kedua sudut bibir Mirna tertarik ke kedua arah, membentuk senyuman paling manis. Matanya ikut mengerjap seperti anak kecil yang baru dibelikan permen.

“Deal !”

Rangga memutar bola matanya dan menggelengkan kepala saat Mirna mengajaknya untuk salaman.

***

Sambil bergandengan tangan dengan Chika, Mirna menyusuri garis pantai, membiarkan ombak menyapu kakinya hingga pasir putih pun ikutan menempel.

Kalau tidak ingat kesepakatannya dengan Rangga, sudah pasti Mirna batal menuruti ajakan Chika karena ternyata acara hari ini hanya ada mereka bertiga.

Semula Mirna pikir papa dan mama atau minimal Rangga akan ikut bersama mereka tapi semua bilang tidak bisa dengan alasan sudah punya rencana lain.

“Tante senang nggak ?”

Mirna menundukkan kepala, menatap Chika yang tiba-tiba berhenti hingga langkah Mirna ikut tertahan.

“Senang karena bisa lihat laut lagi setelah sekian lama,” sahut Mirna sambil tersenyum.

“Kalau pergi dengan Chika dan papi, apa tante juga senang ?”

Mulut Mirna ingin bilang ‘nggak senang karena ada papi kamu !’ tapi hatinya tidak tega saat melihat wajah polos Chika yang mengerjapkan mata beningnya.

Mirna pun hanya mengangguk, berharap pria yang sejak tadi mengikuti mereka tidak salah paham.

“Mami Chika juga suka pantai dan laut.”

Mata Mirna memicing mendengar pengakuan Chika barusan. Mirna pikir bocah itu akan sedih tapi wajahnya terlihat biasa saja malah tetap tersenyum.

“Oooohhh.”

Duh kenapa ini mulut cuma ooo doang ! Seharusnya kamu tanya ‘terus sekarang dimana mami Chka’ mumpung topiknya masih nyambung.

Kenapa lidah rasanya kaku, nggak mau nurut sama pikiran yang udah gatal pingin tahu.

“Chika lapar, papi.”

Chika menoleh ke arah Damar yang masih berdiri di belakang Mirna.

“Papi juga lapar, lagian mataharinya sudah mulai nakal. Chika nggak kepanasan ?”

“Panas.” Chika mengangguk-anggukkan kepala.

“Mau papi gendong ?”

“Tidak usah, Chika masih kuat jalan.”

Gantian Damar mengangguk sambil tertawa. Mirna kembali canggung saat mereka bergandengan tangan bertiga seperti keluarga kecil yang bahagia.

Usia Mirna yang sudah 26 tahun memang sudah pantas untuk berkeluarga tapi tidak pernah terlintas apalagi kepingin punya suami seorang duda, sudah punya anak pula.

Selain itu tipe Damar bukan seleranya. Istilah Mirna, Damar terlalu murahan karena sangat agresif dan tidak tahu malu sedangkan Mirna lebih suka cowok yang ‘cool’, sedikit jaim tapi tetap romantis.

Sampai di restoran yang menyatu dengan hotel, Damar memesan sejumlah makanan tanpa bertanya apakah Mirna suka atau tidak.

Untung saja Mirna bukan wanita pemilih, hanya beberapa jenis makanan yang Mirna tidak suka, tapi ia tidak suka protes apalagi saat dijamu orang lain.

Sekitar jam 4 sore Damar memutuskan untuk pulang. Chika sempat merengek supaya mereka menginap di situ tapi permintaannya ditolak Damar.

“Jangan sekarang, kita belum ijin sama opa dan oma mau mengajak tante Mirna menginap. Lain kali kita pergi lagi sama opa, oma dan om Rangga.”

Meski sempat kecewa Chika akhirnya setuju dan menuruti Damar untuk masuk ke mobil. Tidak sampai 10 menit, bocah itu sudah tertidur di kursi penumpang belakang.

”Terima kasih sudah membuat Chika bahagia karena merasa seperti punya mami lagi.”

Lagi-lagi kepala Mirna hanya mengangguk. Bukan hanya lidahnya kelu, bibirnya seperti lengket untuk bicara dan bertanya “Memangnya mami Chika kemana ?”

Kembali Bekerja

Hari yang dinantikan Mirna akhirnya datang juga. Baru juga 15 menit duduk di meja makan, Mirna yang buru-buru menghabiskan sarapannya merengek pada Rangga supaya segera berangkat ke kantor.

“Jangan lupa sama janjimu !” tegas Rangga saat mobilnya tiba di parkiran.

“Iya, aku nggak akan lupa. Memangnya kak Rangga berencana menempatkan aku di bagian apa ?”

“Lihat saja nanti.”

Wajah Mirna yang terlihat bahagia tidak berhenti menyunggingkan senyum saat berjalan di samping Rangga memasuki bangunan 5 lantai yang tidak terlalu luas seperti gedung perkantoran di jantung kota Jakarta.

“Mirna !”

Mata Mirna membola karena tidak menyangka akan bertemu sahabatnya di tempat ini.

Rangga geleng-geleng kepala saat Mirna berlari kecil menghampiri Dewi dan langsung memeluknya.

“Kok elo bisa ada di sini, Wi ?”

Dewi terkekeh di hadapan Mirna yang sudah melerai pelukannya.

“Gue kerja di sini, baru seminggu sih dan masih karyawan percobaan.”

Mirna berbalik badan, menatap Rangga dengan mata memicing.

“Kenapa nggak ada yang bilang ?”

“Kejutan Mirna !” Dewi mencubit kedua pipi sahabatnya dengan gemas.

“Di bagian apa ? Akunting juga ?”

“Iya.”

Mirna menggandeng lengan Dewi, menyusul Rangga yang sudah duluan masuk ke dalam lift.

“Sudah melepas rindunya ?” ledek Rangga.

“Bukan melepas rindu, baru juga ketemuan sebelum aku pulang dari rumah sakit. Nggak nyangka aja kalau Dewi kerja di sini juga. Kok kakak nggak bilang-bilang sama aku sih ?”

“Kan tadi gue bilang Mir, kejutan. Kita berdua sengaja nggak mau kasih tahu sampai elo masuk kerja lagi.”

Mirna melirik tajam ke arah Rangga yang sibuk dengan gawainya. Tidak lama lift berhenti di lantai 3.

“Ayo turun !” ajak Rangga sambil menekan tombol panah supaya pintu lift tetap terbuka.

“Bukannya tempatku di lantai 5 bareng sama Dewi ?”

“Kamu lupa kalau untuk sementara akan pindah bagian ?”

Mirna menghela nafas, seakan menyesal karena gampang mengiyakan syarat kakaknya. Kalau tahu Dewi bekerja di bagian yang sama dengannya, sudah pasti Mirna akan menolak permintaan Rangga.

“Gue duluan, Wi.”

“Iya, Mir, jangan sedih gitu dong. Biar beda bagian tapi kita kan masih satu perusahaan, satu gedung pula. Nanti kita makan siang bareng.”

Mirna hanya mengangguk lesu dan keluar dari dalam lift diikuti Rangga.

“Memangnya aku akan ditempatkan di mana ?”

“Sementara kamu jadi sekretaris.”

“Tapi aku nggak punya latar belakang sekretaris.”protes Mirna dengan bibir mengerucut.

“Tugasnya lebih enteng dari staf akunting. Kamu tinggal atur jadwal, terima telepon dan membantu boss mengumpulkan data yang dia butuhkan.”

“Memangnya sekretaris kakak kemana ?”

Mirna menautkan alis saat Rangga melewati ruangannya dan melihat Lila, sekretaris Rangga ternyata masih bekerja.

Mirna pikir ia akan menjadi sekretaris Rangga supaya mudah diawasi ternyata Rangga membawa Mirna ke ruangan lain yang ada di lantai itu.

“Kamu bukan jadi sekretarisku tapi partnerku yang mulai hari ini akan menempati ruangannya di sini.”

“Partner yang mana lagi ? Bukannya selama ini hanya kak Denni yang punya saham di sini ?”

“Masih ada 2 orang lagi.”

“Siapa ? Apa aku kenal ?”

Rangga tidak menjawab malah berhenti di depan meja yang kelihatan masih baru tapi sudah dilengkapi peralatan kerja termasuk komputer.

“Temanku agak terlambat tapi dia pasti datang hari ini. Kamu bisa membiasakan diri dulu dan kalau bingung tanya saja sama Lila, aku sudah bilang padanya soal kamu.”

”Hhhmmm.”

Meski hatinya tidak rela, Mirna hanya bisa pasrah dan mulai menempati meja kerjanya yang baru.

Bosan karena sampai jam 9 teman Rangga belum datang juga akhirnya Mirna berniat menemui Lila sekalian belajar soal tugas dan pekerjaan sekretaris.

”Sibuk, mbak ?”

“Nggak juga, kebetulan pak Rangga lagi ada tamu.”

“Apa mbak sudah pernah ketemu sama temannya kak Rangga yang akan jadi bossku ?”

”Sorry Mir, aku sendiri baru tahu kalau akan ada pimpinan baru yang membantu pak Rangga, soalnya tidak ada berita atau pemberitahuan dari HRD dan pak Rangga juga nggak pernah bilang apa-apa.”

Mirna menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.

”Huuuftt ! Kak Rangga juga nggak bilang-bilang kalau sahabatku di terima kerja di sini, mbak. Katanya sih mau kasih kejutan tapi aku kok nggak yakin.”

”Teman yang kamu maksud itu namanya Dewi ?”

“Iya, mbak kenal ?

Penuh semangat Mirna mencondongkan tubuhnya hingga menempel di meja kerja Lila.

“Pak Rangga yang interview terakhir sebelum HRD memutuskan diterima atau nggak.”

Mirna manggut-manggut dan kembali bersandar.

“Ngomong-ngomong tamunya kak Rangga cowok apa cewek ?”

“Cowok sama cewek.”

“Sudah sering kemari sebelumnya ?”

“Bu Anita sama cowok.”

“Mbak Nita ada di sini ?” mata Mirna kembali berbinar apalagi saat kepala Lila menganggguk.

Mirna mengeluarkan gawainya dan mengetik pesan untuk Anita yang tidak lain adalah kekasih Rangga.

Hubungan Anita dengan keluarga Rangga sangat baik malah Mirna sudah menganggapnya seperti kakak kandung. Entah kenapa Anita belum mau menikah padahal sudah 2 tahun bertunangan dengan Rangga.

Terakhir Mirna bertemu saat Anita membesuknya di rumah sakit. Profesinya sebagai auditor di perusahaan akuntan publik yang terkenal membuat Anita sibuk dan sering tugas keluar kota.

Pintu ruangan Rangga terbuka dan Mirna langsung beranjak begitu melihat sosok Anita keluar dari situ.

“Mbak Nita, apa kabarnya ?”

Seperti bertemu Dewi tadi pagi di lobi, dengan antusias Mirna menghampiri Anita dan langsung memeluknya.

”Kangen, kok mbak Nita sudah lama nggak ke rumah ?”

Keduanya melerai pelukan mereka dan tangan Anita terulur mengusap pipi Mirna yang tirus.

“Kamu kurus banyak ya. Maaf aku nggak bisa ikut jemput pas kamu keluar dari rumah sakit. Aku baru pindah kerja sebulan yang lalu jadi nggak bisa sembarangan ijin.”

”Nggak apa-apa, aku paham kok. Tapi kok sekarang ada di sini ? Lagi penjajakan kerjasama sama kak Rangga ?”

“Bukan,” Anita menggelengkan kepala sambil tertawa pelan. “Lagi anter boss baruku, kenalannya mas Rangga.”

Mirna senyum-senyum sambil menaikkan alisnya sebelah.

“Kayaknya sebentar lagi ada yang melepas masa lajangnya nih,” canda Mirna sambil menaik turunkan alisnya.

“Siapa ? Kamu ? Udah ada calon ?” Anita balas meledek.

“Mbak Nita sama Mas Rangga dong. Aku yakin temannya kak Rangga pasti akan mendukung malah mungkin mbak Nita nggak dikasih sering-sering lembur.”

“Harus tetap profesional biar kenal,” sahut Anita dengan senyuman manisnya.

Tidak lama pintu ruangan Rangga kembali terbuka tapi bukan hanya Rangga yang keluar, di belakangnya berdiri seorang pria tampan yang membuat mata Mirna melotot.

”Sepertinya aku nggak perlu memperkenalkan kalian lagi,” ledek Rangga sambil tersenyum.

“Jangan bilang kalau dia ini partner baru kakak yang akan jadi bossku,” geram Mirna sambil mengepalkan kedua tangannya.

“Betul kalau Damar akan jadi bossmu tapi dia bukan pemilik saham baru.”

“Aku tidak mau jadi sekretarisnya ! Lebih baik aku berhenti kerja kalau kakak memaksaku.”

”Mirna tunggu !”

Damar menahan lengan Mirna yang sudah berbalik badan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!