MEMBUNUH ISTRI MAFIA
Inggris — Pelabuhan Inggris
Seorang wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang serta kulit eksotis sungguh memperlihatkan kecantikan dan wajah manis natural. Disha Lyra (27th) menata pakaiannya dan memasukannya ke dalam koper. Perjalanan sudah usai, dan kini dia akan berhenti di Inggris untuk melakukan siaran langsung sebagai seorang reporter asal Indonesia.
[“Mendapatkan tiket gratis kapal pesiar tidaklah mudah!”] gumam Disha yang masih menelepon temannya yang ada di Indonesia.
Tentu saja, dia seorang reporter asal Indonesia berdarah Indo-India dan mendapat kesempatan berlibur gratis dengan satu orang sebagai teman, yaitu kakaknya. Sandy! Pria berusia 30 tahun yang seorang autis. Itu sebabnya Disha selalu mengajaknya bekerja saat di luar kotaan atau negara, sekalian jalan-jalan.
Kini wanita cantik itu tengah berkemas karena kapal sudah berhenti dan menepi.
[“Hati-hati ada mafia! ”]
[“Jangan konyol! Tidak ada mafia seperti di novel! Aku akan menghubungimu lagi dah!”] Disha tersenyum tipis seraya menggeleng dan mematikan ponselnya.
Wanita itu berkerut alis saat dia tidak menemukan kakaknya di kamar, hingga dia ingat bahwa pria itu sedang menikmati keberadaannya di kapal mewah sebelum mereka turun dari kapal tersebut.
“Dia ada di mana?” gumam Disha saat ia memilih keluar dengan jaket Levis dan celana panjang.
Keadaan di sana begitu mencengkram, gelap dan sunyi meski keadaan masih ramai, namun di lorong-lorong kapal, tidak begitu ramai.
Langkah Disha dan senyuman Disha menjadi perlahan dan mulai pudar ketika wanita itu mendengar suara gaduh di sudut lorong yang sepi. Sambil berkerut alis, Disha merasa aneh namun dia masih positif thinking.
“Help me!”
Ya! Suara teriakan seorang wanita membuat Disha refleks menoleh ke belakang dengan kaget hingga akhirnya dia memberanikan diri menghampiri tempat tersebut dengan berlari kecil mengikuti suara gaduh yang mulai hilang.
Saat semakin dekat, tiba-tiba Bruakk! Seseorang membenturkan kepala Disha ke dinding hingga berdarah. “Sshh— ” desisnya sakit saat terduduk akibat benturan keras tadi.
Ia berkerut alis ketika sebuah pistol berada di tangannya. Tentu saja terkejut, namun Disha lebih terkejut lagi saat teriakan dari sang kakak. “DISHA!!” teriak Sandy yang langsung membuat wanita itu berdiri dengan panik dan segera menghampirinya.
Dengan jantung berdegup kencang, Disha melihat keberadaan kakaknya. Wajah cantiknya tercengang saat melihat kakaknya Sandy yang saat ini berada terduduk dengan takut ketika seorang wanita ikut terduduk menghadapnya.
“Kakak!" teriak Disha hendak berlari menghampirinya menembus kegelapan kabin.
Darr! Darr! Darr!
Seketika semuanya hening, begitu juga dengan Disha yang tertegun melihat tembakan itu. Tembakan yang tak bersuara sehingga tidak membuat gaduh.
Tangannya yang memegang pistol pun gemeter, bibirnya terbuka. “Di-Disha... Di-dia— ”
Wanita itu langsung menghampiri kakaknya dan terkejut melihat kondisi seorang wanita dengan dress hitam ketat panjang tanpa lengan dan memar di sekujur tubuh hingga wajahnya.
Refleks dia menutup bibirnya dengan kedua tangannya hingga ia sadar akan pistol yang dia bawa.
“Disha! Ka-kamu, kamu yang mem-membunuhnya?”
Kedua mata Disha berkaca-kaca, dia benar-benar gemetar tak karuan dan langsung menarik Sandy. “Pergilah dari sini. Ak-aku akan menjelaskannya kepada satpam di sini. Pergilah aku mohon!” pinta Disha begitu menghawatirkan kakaknya.
“Tapi dia terluka, dia terluka karena ku. Dia meminta tolong, dia— ”
“Kamu tidak bersalah, aku mohon pergilah dari sini. Aku mohon, please!!” paksa Disha yang mulai meneteskan air matanya saking paniknya dia.
“Please!” lirih Disha menatap kakaknya dengan sangat memohon dan tidak mau sampai seseorang salah menuduh.
Pria itu menurut dan langsung melangkah pergi dengan menahan tangis.
Melihat kepergian kakaknya, Disha berjongkok mencoba mengamati wanita malang tak bernyawa. “Astaga!” gumam Disha tak tahu harus berbuat apa.
Namun tiba-tiba, Blush! Peluru menggores lengan kiri Disha hingga wanita itu langsung tumbang ke samping. “Aakkhh!!” teriaknya kesakitan ketika darah mulai merembes keluar.
Sambil menangis menahan rasa bakar di lengannya yang tergores, Disha menatap ke arah datangnya beberapa pria berjas yang langsung membawanya paksa.
.
.
.
Brugh! Dengan kasar wanita itu didorong sampai tersungkur tepat di bawah kaki seorang pria dengan sepatu kulit hitam mengkilat.
Tentu saja Disha masih menangis sesenggukan memegangi lengannya yang terluka dan mendongak menatap sosok pria berkemeja hitam menatap tajam penuh amarah.
“Sakit?” suara yang mengalun begitu berat dan aura yang sangat tajam hingga Disha rasanya ingin tewas saat itu juga daripada berhadapan dengan orang tersebut.
“Si-siapa— ”
Pria itu langsung menjambak rambut indah Disha dan menyeretnya ke arah jasad seorang wanita dress hitam. Tentu saja Disha langsung memejamkan matanya dan sedikit berteriak kaget saat pria itu mendekatkan wajahnya ke arah luka tembak wanita malang itu.
“Kamu tahu berapa peluru yang kamu lepaskan kepadanya? Sekarang lihatlah, LIHAT!!”
“Aku tidak membunuhnya..” Lirih Disha disela tangisnya.
Pria itu mencengkram kuat rambutnya dan menariknya hingga berhadapan langsung dengan wajahnya. “She was my wife! And you killed her. (Dia adalah istriku! Dan kamu membunuhnya).” Ucap pria bermanik mata biru, rahang tegas dan hidung mancung.
Disha menggeleng mencoba menahan tangan pria tersebut yang masih mencengkram rambutnya kasar. “Aku tidak membunuhnya, percayalah.” Ucap Disha.
Pria itu langsung melepaskannya kasar sampai tersungkur ke lantai.
Disha yang masih menangis ketakutan luar biasa untuk pertama kalinya. Dituduh membunuh sesama wanita yang bahkan dia tidak mengenalnya.
“Tuan Noir! Pelurunya sama dan juga hangat.” Ucap salah satu anak buah dari pria asing tadi yang baru saja masuk.
Disha tak tahu bahasa mereka, namun dia tahu bawah itu bahasa Rusia.
Saat pria yang bernama Noir tadi kembali menatapnya tajam penuh amarah, seketika Disha yang sesenggukan hanya diam menatapnya balik.
“Kenapa kamu membunuhnya?” tanya pria bernama Noir tadi menoleh ke arah Disha yang masih terduduk memegangi lengannya yang berdarah.
Tersirat wajah sedih dan marah tercampur aduk.
“Aku tidak membunuhnya... Dia, dia— ”
“Disha!” panggil Sandy yang seketika membuat wanita itu menoleh kaget melihat dua pria membawanya datang.
Tanpa banyak bicara, Disha langsung mendekati kaki Noir. “Aku mohon dia tidak bersalah! Please! Lepaskan dia, dia tidak tahu apapun, aku mohon.” Pintanya benar-benar tak ingin kakaknya sampai terluka.
Sementara Noir yang masih berdiri membelakanginya. Pria itu masih acuh, lalu berbalik menatap Disha lalu sebuah pistol dilempar di dekat kedua tangan Disha yang bertumpu.
“Kalau begitu kamu saja yang membunuhnya.” Deg! Pinta pria Rusia itu sungguh membuat Disha menatap ke arah pistol tadi dengan wajah tegang.
Wanita itu menatap pria tampan di depannya yang masih menunggunya.
“Tidak mau?”
Wanita itu tak menjawabnya dan menahan tangisnya. Hingga tanpa pikir panjang, Noir langsung menembak ke arah kepala Sandy yang tadinya menangis kini tergelatak tak bernyawa.
“NO!!!” teriak Disha histeris melihat kakaknya dibunuh.
Wanita itu lemas saat menatap ke Sandy yang bersimbah darah. “Kakak..” Lirih Disha benar-benar sedih.
“Siapa dia bagimu?” tanya Noir dengan nada santai meski sudah membunuh seseorang.
Disha yang masih terduduk lemas menatap kakaknya sambil menangis tertahan.
“Kakak ku..” Jawabnya lirih disela isak tangisnya.
“Good.” Balas Noir.
Pria itu berbalik arah, menatap istrinya yang tergeletak di atas sofa panjang dengan tatapan tegas, sedih namun tidak terdapat air mata di sana.
“Tinggalkan kami.” Pinta Noir kepada anak buahnya sehingga mereka semua meninggalkan kamar Noir dan menyisakan Disha di sana beserta dua jasad.
...°°°...
Hai guyss!!!!! Hihihi saya datang dengan cerita baru lagi tentang dark Romance. Guys, mumpung malam² gini dapet inspirasi cerita, auto gasak daripada lupa... Lupa, lupa, lupa, lupa lagi alurnya 😅 Sesuai judul yaaa, A Mafia's Last Love (Cinta Terakhir Seorang Mafia)
Jadi... Saya berani membawakan cerita double di tahun ini. Yaaaa sebenarnya niat mau Hiatus tahun ini, tapi saya suka membuat cerita dan melihat komentar kalian yang terkadang absurd 😌
Semoga saja suka dengan ceritanya ya, 😁 dah itu aja. jangan lupa tinggalkan jejak semangatnya!!!!
Thanks and See Ya ^•^
BALASAN YANG SETIMPAL
Tidak pernah terpikirkan oleh Disha bahwa dia dan kakaknya akan berakhir seperti ini. Dengan penuh rasa bersalah, wanita cantik itu menatap sendu ke Sandy.
“Kenapa kamu melakukan itu?” lirih Disha yang masih meneteskan air matanya lalu menoleh menatap pria bernama Noir yang masih berdiri angkuh.
“Haruskah aku menjawabnya?” pria itu menatap tajam dan dingin.
“Aku tidak membunuhnya. Aku bahkan tidak tahu siapa yang membunuhnya.” Ucap Disha menatap dengan nanar.
Mendengar itu sungguh menaikkan amarah Noir. Pria itu yang sejak tadi membawa pistol di tangan kanannya, dengan kesal langsung menarik kasar lengan Disha yang terluka dan menodongkan senjata itu tepat ke leher jenjangnya.
“Tidak ada pembunuh yang selalu mengaku. Apa kamu bisa membuktikan dirimu setelah pistol yang digunakan ada di tanganmu HAH?” sentak Noir dengan wajah yang begitu dekat sampai Disha berpaling dan memejamkan matanya dengan gemetar.
Sementara ujung pistol Noir menyentuh kulit lehernya.
“Si-siapapun bisa mem-memakai pistol yang sama.” Balas Disha sedikit gugup dan gemetar, namun dia berani menatap mata biru Noir yang berkilat marah.
“Si-siapapun bisa melakukan kesalahan. Kamu membunuh kakak ku di-di saat aku tidak membunuh istrimu,” jelas Disha yang mulai menahan isak tangisnya yang mengingat kejadian penembakan itu dan juga kematian kakaknya yang seorang autis.
Mendengar itu Noir menyeringai tak percaya hingga dia menarik rambut Disha. “Hentikan omong kosong itu sialan! Stop it!” gertak Noir yang menekan ujung pistolnya ke leher Disha.
Wanita itu menutup mata dan pasrah. “Kalau begitu kamu bisa membunuhku.” Ucap Disha yang benar-benar pasrah.
Wanita itu kembali membuka matanya saat kontak mata mereka saling bertemu. Sekilas, Disha menatap ke arah jasad kakaknya sembari tersenyum miris. “Aku tidak punya tujuan hidup setelah kepergiannya! Dan aku turut berdukacita atas kematian istrimu Tuan!” ucap Disha menatap Noir.
Sungguh! Setelah semuanya yang terjadi, pria itu menekan pelatuk pistolnya, namun tak ada peluru yang keluar hanya sebuah gertakan saja.
“Kamu tahu. Kamu memudahkan ku untuk berpikir— ” Noir mendekati wajah Disha dengan sangat dekat tanpa melepaskan cengkraman rambutnya.
“Menyiksamu. Aku tidak akan membunuhmu.”
Wanita itu menatap bingung sekaligus heran dan berdebar kencang. Setelah terbunuhnya Sandy apalagi yang pria itu inginkan?
“Kamu sudah membunuh kakak ku, lalu APA LAGI YANG KAMU INGINKAN??? Apa?” Disha tak kuasa hingga menunduk lelah dari nada tinggi ke rendah.
Terlihat kedua mata biru Noir merah berair. Pria itu menyeretnya dan mendorongnya kasar sampai tersungkur tepat ke perut istri Noir yang terkena tembakan.
“Apa kamu pikir hanya satu orang yang meninggal?”
Deg!
Disha terkejut mendengarnya, dia memberanikan diri menatap ke arah perut wanita yang tertembak.
“Dua anakku ada di sana, dan kamu pikir aku akan membunuhmu dengan mudah?” Noir meletakkan pistolnya dan mendekati istrinya yang tak bernyawa.
Sementara Disha mulai menangis merasa sedih atas terbunuhnya wanita malang yang tengah hamil itu. Dia benar-benar merasa bersalah karena tidak bisa menolongnya lebih awal.
Pria itu mengusap kepala istrinya dan menatapnya sendu. Sedangkan Disha yang mulai berfirasat buruk, dia mulai bergerak mundur dalam keadaan duduk.
“Akan aku buat neraka di hidupmu, sampai kamu akan merasakan kematian berulang kali.” Ucapan Noir yang begitu dingin benar-benar membuat napas Disha tak karuan hingga dia menggeleng panik dan berdiri lari ke arah pintu yang terkunci dari luar.
“BUKA PINTUNYA!! AKU MOHON!!” pinta Disha menggedor-gedor pintu tersebut namun dari belakang Noir menarik tangan kiri Disha ke belakang dan menahan tubuhnya ke pintu.
Tentu saja wanita itu panik dan tak karuan.
“Akan aku buat kamu menderita dalam pernikahan ini. Tidak ada yang bisa menolong mu sampai ajal menjemputmu.” Bisik Noir membuat Disha merinding dan bibirnya kembali gemetar saat dia memejamkan matanya yang kembali basah.
Tangan kiri Noir mengusap kasar rahang Disha hingga lehernya dan meninggalkan darah milik sang istri di sana dengan sengaja.
Aroma amis membuat Disha ingin muntah, tapi dia lebih ingin mati setelah mendengar keputusan pria itu.
Saat Noir melepaskannya dan melangkah ke arah lain. Disha menempelkan keningnya ke pintu seraya menangis dan pasrah. “Aku tidak membunuhnya...” Lirihnya pelan, sangat pelan namun tidak akan ada yang percaya.
Disha menatap ke arah wanita yang terbaring tak bernyawa di atas sofa dengan mata basah.
“FALCO!!!” panggil Noir dengan suara lantang yang berdiri membelakangi pintu.
Tak lama pria bernama Falco itu masuk bersama dua pria lainnya yang merupakan anak buah Noir juga.
“Ikat dia dan jangan biarkan dia kabur ataupun melihat keberadaan nya.” Pinta Noir tanpa melihat ke arah Disha dan anak buahnya.
Pria itu berjalan ke arah istrinya, sementara Falco(32th) segera mengerahkan dua pria yang bersamanya tadi hingga bergerak mengikat kedua tangan Disha ke belakang dan menutup kepalanya dengan kain hitam.
Tentu saja wanita itu hanya diam menatap lekat ke arah Noir dengan pasrah.
Tidak ada perlawanan dari Disha. Dia benar-benar sudah hancur dan tidak tahu lagi harus berbuat apa? Menyelematkan dirinya? Tentu saja itu sia-sia bukan. Bahkan dia yakin tidak ada yang bisa menolongnya dari pria bernama Noir Mortelev (33th).
Di saat Disha dibawa pergi dari kamar kelas atas tadi. Kini Noir menatap lekat wajah istrinya yang sudah pucat pasih.
“Semoga kamu tenang di sana, maafkan aku.” Gumam Noir benar-benar sedih dan tak kuasa harus kehilangan istri dan dua anaknya secara bersamaan.
“Tuan Noir!” panggil Falco selaku asisten pribadi nya yang turut berdukacita atas kematian istri dari bosnya itu.
“Cari tahu siapa komplotan wanita itu. Dan siapkan jet pribadi, juga pemakaman Dora.” Pinta Noir dengan suara parau.
“Ya, Tuan.” Falco mengangguk dan segera keluar dari kamar tersebut.
Sedangkan Noir memejamkan matanya saat dia harus melepaskan istrinya untuk selamanya.
...***...
Moscow, Russia — Mansion Lev
“Sangat disayangkan, Dora yang malang.” Gumam seorang wanita paruh baya bernama Sofiya Karamazov yang kini duduk diruang tamu bersama yang lain.
“Dan parahnya lagi seorang wanita yang membunuhnya? Rasanya aku ingin membunuhnya juga.” Ucap wanita cantik bernama Yoanna (28th) yang menatap tajam dan kesal setelah mendengar kabar kematian kakak iparnya, Teodora.
Sedangkan wanita lainnya yang duduk di kursi roda. Hanya diam dengan ikut bersedih mendengar kematian istri dari sepupunya.
Dan dua pria lainnya juga ikut terdiam di sana, sampai pria tua dengan brewok serta kumis putih mulai bangkit dari sofa seraya mengancingkan jas hitamnya. “Beberapa jam lagi, Noir akan kembali. Lakukan saja pemakamannya.” Pinta pria tua bernama Alon Karamazov si paman Noir.
Sofiya menatap kepergian suaminya dengan pasrah dan mengangguk setuju. “Lakukan saja, sebelum Noir marah.” Ucapnya.
DUKACITA BERUJUNG KONFLIK
Napasnya mulai memburu. Disha sungguh merasa pengap karena penutup di wajahnya, bahkan dia tidak bisa berteriak karena bibirnya di tutup oleh plester. -‘Kemana dia akan membawaku. Aku tidak mau jika sampai bersamanya. Lebih baik aku mati! Bawa aku pergi Sandy, tolong aku... Oh ya Tuhan!’
Tak tahu lagi harus berbuat apa, Disha hanya pasrah. Hingga seseorang menyuntikkan sesuatu yang membuatnya langsung tak sadarkan diri.
.
.
.
Setelah beberapa jam menempuh perjalanan. Tepat di malam hari, kedatangan Noir hanya di sambut oleh sang paman saja, sementara yang lainnya entah pergi kemana.
“Aku turut berdukacita.”
“Jangan sekarang Paman.” Balas Noir begitu saja sembari melangkah masuk dengan wajah angkuh.
Pria itu tidak masuk lewat pintu depan, melainkan pintu samping yang memang itu arah ruangan yang dia tinggali atau bagiannya.
Meski rumah itu menyatu, tetap saja. Noir memisahkan antara miliknya dan milik pamannya. Dia berniat keluar dari Mansion keluarganya saat anaknya lahir, namun semuanya sudah usai.
“Bawa dia!” pinta Falco kepada anak buahnya yang lain hingga salah satunya segera menggendong Disha yang masih pingsan dengan penutup kepala.
Alon yang melihatnya dengan tatapan tegas, pria itu memilih diam tak berani bertanya karena suasana hati Noir yang buruk.
“Tuan Noir. Wanita itu ada di ruang bawah tanah, apa saya akan langsung membunuhnya saja?” tanya Falco dengan senang hati.
“Biarkan saja. Dia akan mendapatkan yang lebih layak.” Ucap Noir degan datar dan kilatan marah.
Pria bernama Falco itu mengangguk faham.
...***...
Cklek! Seorang pria dengan kemeja putih baru saja masuk ke kamar dan membuat seorang wanita yang duduk di kursi roda pun menoleh menatapnya heran.
“Kau dari mana saja? Aku sudah menunggumu sejak tadi.” Ucap Yelena Karamazov (26th) wanita lumpuh yang merupakan sepupu Noir.
Sementara pria yang kini tersenyum ke arahnya itu mulai mendekatinya dan berjongkok di hadapannya dengan penuh sayang. “Kau tahu kan, ada banyak pekerjaan untuk seorang manajer perusahaan sepertiku sayang! Tapi sekarang semuanya sudah selesai, aku akan menemanimu!” jelas Ganev (30th) pria penyayang istri.
Begitulah yang orang lain lihat. Dia sangat mencintai istrinya Yelena, meski kondisi Yelena lumpuh.
Dengan senyuman senang, Yelena sangat bersyukur mendapat suami yang mencintainya tanpa memandang fisik, meski mereka lewat perjodohan yang Noir berikan.
...***...
Di sebuah pemakaman. Hanya anggota keluarga yang datang dengan pakaian serba hitam termasuk pria tampan yang kini mengenakan kemeja hitam berdiri menatap ke arah batu nisan dengan tulisan nama istrinya, Teodora Mortelev.
“Siapa wanita itu?” tanya sofiya kepada suaminya dengan suara berbisik.
“Aku tidak tahu, lebih baik jangan bertanya soal itu.” Balas Alon dengan tata tegas.
Sementara Yoanna yang tadinya berdiri di dekat Sofiya, perlahan wanita itu mulai bergeser hingga tangannya tak sengaja bersentuhan dengan lengan Ganev si suami Yelena.
Dengan senyuman miring nan cantik, wanita itu menoleh saat Yelena menatapnya dengan senyuman tipis.
Sedangkan Ganev sendiri hanya menyeringai kecil seolah ada sesuatu yang dia sembunyikan.
“Kamu tidak akan bisa tenang di sana. Aku akan menghukum siapapun yang terlibat dalam pembunuhan ini. Aku tidak akan membiarkanmu dan anakku mati tanpa balasan.” Gumam pelan Noir.
Tak berselang lama, 2 mob hitam datang sehingga semua mata tertuju ke arah mobil tersebut, kecuali Noir yang masih menatap ke makan istrinya meski dia tahu ada seseorang yang datang.
“Masalah baru akan dimulai.” Gumam Sofiya ketika melihat kedatangan keluarga Teodora.
“Noir!” panggil lantang seorang pria paruh baya berbadan vit dengan topi bundar jas hitam dan tatapan tajam serta tongkat kayu.
Seketika Noir berbalik menatap kedatangan mertua nya. Sergei Romanov! Pria itu juga disegani dan ditakuti.
“Jadi seperti ini rencana mu? Aku memberikan putriku sebagai tawaran kerjasama, dan sekarang kau menusuk dari belakang.” Ujar Sergei dengan suara seraknya yang kesal.
Beberapa anak buah dari Noir dan Sergei juga ada di sana, termasuk pria bernama Todor Romanov (33th) yang merupakan kakak tiri Teodora.
“Kau membicarakan soal kerjasama di pemakaman putrimu. Kita bisa bicarakan ini dengan baik-baik— ”
“Aku tidak ada urusan dengan mu Alon! Ini hanya urusanku dan pria itu.” Tegas Sergei menunjuk ke arah Noir yang masih menatap datar.
Tentu saja, dia juga ikut sedih atas kematian istrinya.
Tak ada yang berani membuka suara saat kedua orang tadi saling menatap tajam.
“APA KAU TIDAK BISA MENJAWABNYA HAH, NOIR?” sentak Todor dengan marah.
Noir melirik sinis ke arah pria berambut cepak tadi, seakan dia juga sangat tidak menyukai kakak dari Teodora. Sejak awal Noir memang tidak menyukai pria itu.
“Seseorang membunuhnya disaat aku sibuk menemui pancingan itu. Jika kau masih bicara soal kerjasama di saat seperti ini, maka aku tidak segan dan tidak akan memperdulikan bahwa kau adalah ayah dari wanita yang kucintai.” Jelas Noir dengan santai namun tatapannya begitu tajam.
Hanya dengan jawaban seperti itu, Sergei dan Todor terdiam saat Noir melangkah pergi menuju mobilnya.
Kepergian Noir, tentu saja diikuti oleh Yoanna adiknya, lalu keluarganya yang lain.
Bukankah perkataan Noir sudah menjelaskan bahwa semua itu adalah pembunuhan berencana? Dan Noir sangat yakin, bahwa Disha juga terseret.
Terlihat kedua tangan Sergei terkeoal erat menatap ke makam putrinya, bersamaan dengan kepergian empat mobil hitam milik Noir sekeluarga.
...***...
Di sisi lain, Disha terduduk bersila kaki, napasnya memburu tak karuan saat dia kehabisan napas.
Hingga tiba-tiba, pria bernama Falco membuka penutup kepala dari Disha dan membuka ikatan di kedua tangannya juga dengan sebuah pisau.
“Tuan aku mohon lepaskan aku, aku benar-benar tidak tahu apapun. Aku tidak mengenal wanita itu dan aku tidak membunuhnya, aku— ”
“SHUT UP!” sentak Falco menatap tajam, lalu berdiri.
Sementara Disha masih duduk di lantai bawah tanah dan menatap pria itu dengan penuh belas kasihan.
“Geledah dia.” Pinta Falco kepada salah seorang pria penjaga di sana.
Pria berkaos hitam dengan rambut cepak itu mengangguk dan segera membuka paksa jaket Levis Disha.
“No! Please, no!” ronta wanita itu yang tak bisa melawan karena luka di lengan dan juga kening nya.
Tenaga mereka sangat kuat saat pria tadi berhasil melepaskan jaket itu dan membuat Disha panik sendiri.
“Aku mohon hentikan..." Pinta Disha menatap ke Falco yang masih berdiri angkuh seperti bosnya.
Sedangkan pria penjaga tadi mulai merobek kaos putih Disha dan melepaskan celana wanita itu dengan paksa sehingga Disha kini hanya mengenakan tank-top putih dan celana pendek ketat warna hitam.
Tentu saja wanita itu mencoba meringkuk saat dia benar-benar seperti dilucuti dan digeledah tanpa sopan.
“Kalian tidak akan menemukan apapun. Aku bersumpah aku tidak membunuhnya!” kesal Disha menatap ke kedua pria tadi yang sibuk mencari sesuatu di celana dan jaketnya.
Bahkan penjaga tadi menyentuh tubuh Disha dari atas sampai kaki dengan paksa meski wanita itu meronta.
“Tuan Falco!” seketika penjaga tadi menemukan sebuah memori kecil dari aku celana Disha.
Pria bernama Falco itu menatap tajam ke Disha yang terlihat panik. Bahkan tak lama kemudian, dua buah peluru ditemukan di saku dalam di jaket Disha.
Saat Falco melihat lekat peluru tersebut. Dia langsung menghampiri Disha yang gemetar dan menggeleng kecil.
“Di mana kau mendapatkan peluru ini?” tanya Falco.
Tentu saja wanita cantik dengan rambut panjang itu menggeleng cepat.“Aku sungguh tidak tahu.” Jawabnya dengan sedih.
Plakk!
...°°°...
Hai guyss!!!! Sekedar informasi, semoga kalian tidak bingung yaa sama pemain di atas, yaa kalau bingung bisa tanya langsung 😁
Itu aja!
Jangan lupa tinggalkan jejak semangatnya!!!!
Thanks and See Ya ^•^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!