"Raniaaaa.....!" pekik Bryan setelah melewati masa kritisnya.
Sang asisten pribadi yaitu Berlin segera menghampiri bosnya untuk menenangkan Bryan.
"Tenanglah tuan...! Nona Rania masih hidup."
"Apa yang terjadi? kenapa dengan mataku? Apakah aku terancam tidak bisa melihat?" Bryan terlihat panik sambil mengusap wajahnya.
"Ada apa tuan? Apakah anda tidak bisa melihat sama sekali?" gugup Berlin sambil memencet tombol nurse call di samping tempat tidur Bryan.
"Aku merasa gelap semuanya. Apakah saat ini ruangan ini sedang mati lampu?" Bryan terlihat frustrasi namun dokter segera menghampirinya.
"Tenanglah dulu tuan..! Anda baru saja mengalami kecelakaan. Ijinkan saya memeriksa mata tuan." Dokter Gilang mengarahkan senternya ke arah wajah Bryan yang berusaha mengendalikan emosinya.
"Apakah kamu tidak bisa melihat cahaya yang di depanmu, tuan?" tanya dokter Gilang lagi.
"Tidak. Tidak sama sekali dokter. Apakah aku akan buta selamnya, dokter?" tanya Bryan kelihatan kalut.
"Tenanglah tuan. Saya harus memeriksa beberapa hal untuk memastikan penglihatan anda apakah masih bisa diatasi dengan medis atau dengan cara yang lain," ucap dokter Gilang lalu meminta perawatnya untuk mencatat beberapa keluhan yang disampaikan oleh Bryan.
Setelah memeriksa keadaan Bryan, dokter Gilang dan perawatnya meninggalkan ruangan itu. Obrolan kembali terjadi antara bos dan asistennya itu. Beruntunglah suster sudah memberikan Bryan suntikan obat penenang agar Bryan tidak merasa cemas dengan keadaannya.
"Tolong panggilkan Rania untuk menemui ku jika dia masih hidup..! Aku ingin memastikan sendiri kalau Rania masih hidup," pinta Bryan membuat Berlin menarik nafas berat.
"Baiklah. Aku akan ke kamar nona Rania. Mungkin dia sudah siuman saat ini." Berlin harus berbohong pada bosnya itu karena dia tidak tahu harus bicara apa pada Bryan dengan kondisi Rania yang saat ini dinyatakan koma oleh dokter.
"Cepatlah kembali, Berlin...! Aku seakan sedang berada di dalam gua yang gelap lagi dingin. Aku tidak siap menerima keadaan ini," timpal Bryan ketika mendengar Berlin membuka pintu kamar rawat tersebut.
"Baik tuan..!" Berlin menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar.
Baru saja ia ingin melangkah ke arah pintu lift, ia berpapasan dengan tuan Firza. Berlin harus menyapa tuan besarnya itu yang terlihat sangat berkharisma di usianya yang sudah sepuh kini.
"Bagaimana keadaan cucuku, Berlin? Apakah kamu memberitahunya tentang kondisi Rania?" cecar tuan Firza.
"Itu tidak mungkin tuan besar. Karena tuan Bryan saat ini tidak bisa melihat," ucap Berlin lirih.
"Apaa...? Innalillahi...!" tuan Firza terlihat syok mendengar keadaan cucu satunya sebagai pewaris tahta kerajaan bisnisnya itu karena ia telah kehilangan putra dan menantunya saat Bryan masih berusia lima tahun.
"Kamu mau ke mana sekarang?" tanya tuan Firza setelah mengatasi rasa syoknya barusan.
"Tuan Bryan meminta saya untuk memanggil Rania karena ia ingin memastikan sendiri kondisi Rania yang dikiranya baik-baik saja karena perkataanku," sahut Berlin makin membuat tuan Firza frustrasi.
"Kembalilah ke kamarnya dan katakan kepadanya kalau Rania tidak bisa menemuinya karena dokter sedang memeriksa nya karena takut ada pendarahan dalam," jelas tuan Firza agar pewaris tunggal nya itu tidak lagi mengalami trauma seperti sebelumnya ketika ditinggal pergi kedua orangtuanya untuk selamanya jika mengetahui kondisi Rania sebenarnya.
"Baik tuan besar." Berlin kembali masuk ke dalam lift. Setidaknya ia sudah mendapatkan perintah dari bos besarnya itu untuk alasan yang cukup masuk akal. Selanjutnya ia pasrah akan keadaan tuannya jika mengetahui tunangannya itu saat ini sedang berkutat dengan maut. Antara mati atau hidup.
...----------------...
Tuan Firza begitu terkejut mengetahui hasil pemeriksaan medis tentang kondisi cucunya itu. Pernyataan dokter yang sangat membuatnya syok memaksanya untuk menerima kenyataan.
"Apakah cucuku selamanya tidak bisa melihat lagi dokter? Apakah tidak ada pendonor mata yang akan mengembalikan penglihatan cucuku?" cicit tuan Firza terlihat sendu.
"Maafkan kami tuan. Kasus ini sangat membuat kami menyerah karena ada beberapa syaraf yang tersambung dengan kornea mata pasien tuan Bryan sudah rusak. Jadi, percuma saja kita melakukan operasi donor mata," tegas dokter spesialis mata yang menangani kondisi Bryan.
Tuan Firza kehilangan kata. Tubuhnya sangat terasa lemas. hanya keajaiban Tuhan yang mampu menyembuhkan Bryan. Itupun rasanya nihil. Dengan langkah gontai ia harus menyampaikan sendiri hasil pemeriksaan medis cucu kesayangannya itu.
"Ya Allah. Ujian apa lagi ini yang sedang Engkau timpakan kepada kami? Tidak cukupkah Engkau mengambil kedua orangtuanya? Bagaimana caraku melewati hari-hariku dengan melihat cucuku yang buta? Apakah dia siap menerima kenyataan ini setelah ia bisa bangkit dari keterpurukannya beberapa tahun yang lalu setelah bertemu dengan Rania?"
Pintu kamar itu didorong perlahan oleh kakek tuju puluh lima tahun itu. Ia tersenyum melihat cucunya yang sedang mendengarkan lagu kesukaannya di ponsel milik Bryan itu.
"Kakek." Bryan mengetahui kedatangan kakeknya walaupun ia tidak bisa melihat."
"Tuan." Berlin memberikan akses pada tuan besarnya untuk mendekati Bryan yang berusaha tegar di depan kakeknya.
"Bagaimana kamu tahu kalau aku yang masuk Bryan?" tanya sang kakek sambil tersenyum dengan embun bening memenuhi mata senjanya itu.
"Parfum yang dipakai kakek itu tidak semua orang memilikinya," ucap Bryan membuat kakeknya tersenyum kecut.
"Bagus. Mulai sekarang belajarlah untuk mengenal orang-orang terdekatmu dengan indra penciumanmu. Mungkin penciuman dan rasa yang lain yang bisa membuatmu melihat dunia ini dengan caramu sendiri," jelas kakek terdengar ambigu oleh Bryan.
"Apa maksud kakek bicara seperti itu padaku?" gugup Bryan yang merasa keadaannya tidak baik-baik saja.
"Maafkan kakek nak karena kekayaan kakek tidak bisa mengembalikan penglihatan mu kecuali dengan keajaiban Allah yang akan Ia berikan kepadamu suatu hari nanti."
Ucapan tuan Firza sudah cukup membuat Bryan memahami kondisi dirinya yang mungkin akan buta selamanya. Bryan tidak ingin membuat kakeknya sedih akan nasibnya. Walaupun hatinya saat ini sangat sakit namun ia ingin meyakinkan kakeknya kalau dirinya tidak keberatan mengalami kebutaan permanen.
"Kakek. Percayalah padaku kalau aku bisa melewati ujian ini semua asalkan kakek dan Rania ada disampingku. Adanya kalian berdua sudah menjadi kekuatan bagiku. Rania gadis yang sangat baik.
Dengan mengenali suaranya cukup bagiku untuk mengetahui dia ada untukku. Suaranya sangat khas di kupingku kakek," ucap Bryan dengan senyum terbaiknya untuk membuat kakeknya lega.
Deggg...
Tuan Firza melirik ke arah Berlin yang juga sedang menatapnya bingung. Sekarang mereka berada dalam dilema karena Rania sedang koma. Tuan Firza pamit pada Bryan untuk memikirkan apa yang mesti ia lakukan untuk kebahagiaan cucunya itu. Tuan Firza menepuk pundak asisten pribadi cucunya itu.
"Jaga dia...! Aku ada urusan sebentar."
"Baik tuan. Hati-hati." Berlin membungkukkan tubuhnya memberi hormat pada mantan bos ibunya itu karena ibunya Berlin pernah menjadi sekertaris tuan Firza saat masih muda dulu menggantikan neneknya Bryan yang menjadi permaisuri tuan Firza sebelumnya.
Beberapa hari kemudian tuan Firza melepaskan penatnya untuk berkunjung di sebuah bar yang pernah menjadi tempat pelarian nya dulu ketika putra dan menantunya tewas dalam sebuah kecelakaan.
Walaupun sebenarnya ia sudah keluar dari dunia hitam itu demi hijrah ke arah yang lebih baik namun entah mengapa langkah kakinya menuntunnya kembali ke tempat itu. Ia hanya mengikuti apa kata hatinya.
"Selamat malam tuan? Apakah tuan ingin minum sesuatu?" tanya seorang bartender membuat tuan Firza tersentak lalu menatap lekat wajah gadis itu lebih dalam.
"Tuan...! Hallo...!" Gadis itu melambaikan tangannya ke arah tuan Firza yang menatapnya penuh makna.
"Kenapa pria di depanku ini sangat mesum?" batin gadis itu bergidik ngeri sambil menunggu jawaban tuan Firza.
"Aku sedang tidak minum nona. Tapi, aku lebih membutuhkanmu." Ucapan tuan Firza membuat Renata murka.
"Dengar tuan...! Aku memang orang miskin dan sangat membutuhkan uang. Tapi, tidak berarti setiap wanita yang ada di sini itu pel*cur. Dan apakah tuan tidak melihat kalau aku ini seorang bartender bukan pelacur, hemm!" tegas Renata terlihat salah paham pada tuan Firza.
Tuan Firza berusaha bersabar karena ia juga salah dengan statement nya yang terdengar merendahkan Renata.
"Maafkan aku, nona. Konsepnya tidak seperti yang kamu pikirkan. Tolong jangan salah paham. Begini nona. Aku akan membayarmu berapa saja yang kamu inginkan asalkan kamu bisa....-" ucapan tuan Firza mengambang di udara karena Renata langsung menyela pembicaraannya.
"Tidak. Uangmu tidak berlaku untukku jika tubuhku jadi gantinya." Gadis itu menolak tegas sebelum mendengarkan ucapan tuan Firza lebih lanjut.
Ia melepaskan apronnya menuju ke luar dan rekannya langsung menggantikannya. Sebagai manajer di club malam itu, tuan Marcel yang sudah mengenal siapa tuan Firza segera menghampiri tuan Firza yang masih termangu.
"Maaf tuan Firza kalau anak buah saya sedikit ketus. Apakah ada yang bisa saya bantu tuan?" tanya tuan Marcel dengan sikap hormat.
"Bisa kita bicara berdua saja, Marcel?" tanya tuan Firza terlihat serius.
"Baik tuan. Silahkan ikut ke ruang kerja saya!" ucap Marcel lalu memberi akses masuk pada tuan Firza menuju kantornya yang ada di balik bartender tersebut.
Tuan Firza menceritakan problem yang menimpa keluarganya. Melihat wajah tuan Firza yang begitu tertekan membuat manager Marcel harus ikut membantu menjelaskan keinginan tuan Firza agar Renata menjadi gadis pengganti Rania yang tidak lain adalah tunangannya Bryan. Memang kecelakaan yang menimpa keluarganya tuan Firza tidak diangkat ke publik karena akan berpengaruh pada saham perusahaan mereka.
"Kalau begitu beri saya waktu untuk menjelaskan niat baik tuan pada nona Renata. Mungkin dia tadi hanya salah paham saja pada tuan Firza. Anaknya memang sedikit tomboy karena dengan cara itu ia bisa melindungi dirinya dari pria hidung belang yang datang mencari penghangat ranjang mereka."
"Aku senang dengan gadis yang memiliki prinsip seperti dirinya. Walaupun ia memiliki kecantikan yang hampir sempurna namun tidak membuatnya memanfaatkan kelebihannya itu demi rupiah. Dia mirip sekali dengan istriku. Andaikan cucuku belum punya tunangan, aku akan memilihnya menjadi cucu menantuku," puji tuan Firza tanpa basa-basi.
Senyum Marcel mengembang. Ia hafal betul dengan kepribadian tuan Firza yang juga tidak mudah tergiur dengan kemolekan wanita penggoda yang ada di bar itu dari jaman ia muda. Ia begitu menjaga reputasinya sebagai pengusaha ternama. Salah sedikit saja maka skandal murahan itu akan menghancurkan bisnisnya dari para saingan bisnisnya yang selama ini ingin menyingkirkan nya.
Sepeninggalnya tuan Firza, Marcel berbicara empat mata dengan anak buahnya Renata. Renata merasa sangat malu karena sikap konyol nya yang tidak mau dengar dulu tuan Firza dan langsung mencaci maki pria senja itu.
Renata hanya butuh uang untuk mulai bisnisnya sendiri tanpa harus bekerja keras pada orang lain. Dengan begitu, ia bisa melanjutkan kuliahnya karena sempat terhenti karena pengobatan ayahnya yang pada akhirnya meninggal juga.
"Baik tuan Marcel. Kalau hanya menjadi tunangan pengganti yang pura-pura untuk menghibur seseorang aku tidak keberatan. Yang penting aku mendapatkan uang yang aku butuhkan." Renata begitu antusias dan ingin cepat-cepat melakukan tugasnya seperti yang diminta oleh tuan Firza.
"Terimakasih Renata. Jaga dirimu dan jangan terjebak dengan permainan itu karena keberadaan mu di mansion tuan Firza itu hanya sementara."
"Terjebak? Maksudnya tuan apa?" tanya Renata tidak mengerti.
"Jangan sampai kamu jatuh cinta pada pesona tuan Bryan."
"Oh...! Itu tidak mungkin. Lagi pula dia buta. Aku tidak akan suka pada pria buta sekalipun dia tampan dan kaya," tolak Renata.
"Jangan sesumbar kalau belum menjalaninya sendiri..! Yang penting tetap jaga hatimu dengan begitu kamu bisa dinilai profesional dalam melakukan tugasmu..!" Nasehat baik Marcel diabaikan begitu saja oleh Renata. Ia pun akhirnya pamit pulang agar besok bisa menemui tuan Firza di kediaman bos besar itu.
"Terimakasih bos. Aku pamit...!" Renata keluar dari club malam itu menuju ke tempat parkir motornya.
Sekelebat mobil hitam mewah berhenti di sampingnya menghalangi jalannya. Renata melihat ke dalam mobil itu di mana ada tuan Firza di dalamnya.
"Masuklah...! Kau harus membaca beberapa perjanjian dalam misi ini." Pintu mobil bergeser secara otomatis. Baru saja ia masuk, pintu itu segera tertutup lagi. Beberapa saat kemudian Renata membaca beberapa poin yang harus ia lakukan untuk menyamar sebagai Rania.
"Namamu sekarang adalah Rania," ucap tuan Firza dan tidak diambil pusing oleh Renata.
"What...? Kenapa aku harus memakai pakaian syar'i lengkap dengan cadarnya. Tidak...! Ini bukan aku banget. Aku biasa pakai pakaian simpel," tolak Renata yang langsung dipelototi oleh tuan Firza membuat nyalinya ciut.
"Sialan....! Kenapa aku harus terjebak seperti ini." Lagi-lagi Renata terkejut karena ia dituntut harus bisa membaca Alqur'an.
"Tuan. Aku tidak bisa membaca Al-Qur'an. Sholat apalagi. Kenapa harus berat sekali persyaratannya. Sepertinya aku tidak bisa menjadi sosok seperti Rania itu. Dia terlihat sempurna untuk cucumu itu. Berbanding terbalik dengan aku yang hidup semau gue," keluh Renata.
"Bagaimana dengan uang satu triliun? Apakah kamu masih mau menolaknya?" cibir tuan Firza membuat bola mata Renata hampir mau keluar dengan bibir mangap.
"What...? Satu triliun? Berarti aku bisa buka bisnis dengan omset penjualan melebihi...-" Tuan Firza menarik map tebal berisikan perjanjian kontrak kerja itu dengan waktu yang tidak bisa ditentukan.
"Cepatlah tandatangan...!" titah tuan Firza menyerahkan penanya pada Renata yang mau tidak mau harus diterima semuanya persyaratan tersebut oleh Renata.
"Baiklah. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tampil sebagai Rania." Renata membubuhkan tandatangan nya dengan cepat.
"Satu triliun...! Fantastis...!" girang Renata dalam hatinya. Itu pakaiannya dan pakailah...! Setelah itu kita langsung ke rumah sakit untuk menemui cucuku!" Ketus tuan Firza dan Rania sudah terbiasa mendapatkan perlakuan kasar orang-orang kaya seperti tuan Firza.
"Satu triliun Renata. Abaikan semua ujian yang akan kamu hadang," ucap Renata yang tidak membaca semua poin perjanjian di map tebal hitam itu.
Mobil berlalu dengan cepat. Tidak terasa mereka sudah tiba di rumah sakit paling keren dan mahal di ibukota Jakarta itu. Renata turun mengikuti langkah tuan Firza yang lebih dulu masuk ke lobi rumah sakit di sambut oleh satpam yang begitu hormat padanya.
Renata sendiri tidak tahu siapa sebenarnya tuan Firza. Apalagi tuan Bryan yang digambarkan Marcel yang merupakan pria tampan dengan sejuta pesonanya itu.
Ketika pintu kamar inap milik Bryan dibuka oleh asisten pribadinya tuan Firza, jantung Renata seakan mau meledak kini. Dirinya seakan sedang menerima hukuman eksekusi di tiang gantungan. Langkahnya makin perlahan di mana ia tertunduk takut saat berhadapan dengan Bryan.
"Bryan. Tebak...! Siapa yang kakek bawa dihadapanmu saat ini nak...?"
"Apakah itu Rania kek...?" tanya Bryan dengan wajah berbinar.
Renata memberanikan dirinya untuk mengangkat wajahnya menatap sosok lelaki yang harus ia temani setiap saat.
"Astaga...! Apakah aku sedang bermimpi?" batin Renata saat melihat wajah tampannya Bryan.
"Renata. Mendekat lah padaku...! Semoga kamu tidak keberatan mendampingiku karena aku buta," ucap Bryan dengan tangan terulur agar Renata menghampiri dirinya.
Renata hanya bisa mematung. Rasanya ia ingin pingsan saat ini. Jika bisa ia ingin menukar satu triliun itu agar bisa memiliki pria tampan nan buta di hadapannya saat ini.
"Jaga pandanganmu karena Rania selalu menjaga marwahnya dihadapan lawan jenis yang bukan mahramnya..!" bisik tuan Firza lalu memberi isyarat pada Berlin agar meninggalkan dua orang dihadapan mereka ini.
Renata menelan salivanya dengan susah payah lalu mulai berperan sebagai Rania sesuai dengan petunjuk yang sudah diarahkan oleh tuan Firza selama perjalanan menuju ke rumah sakit.
Renata berusaha mencairkan suasana agar dirinya tidak dicurigai oleh Bryan. Dia ingin tampil menjadi dirinya sendiri tanpa berlebihan.
"Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa Bryan. Aku yakin kamu bisa melihat lagi. Jangan terlalu percaya dengan ucapan dokter walaupun di teliti secara medis. Toh dia juga manusia dengan batas kemampuannya," ucap Renata tanpa sungkan pada Bryan.
"Alhamdulillah. Inilah yang aku suka darimu. Kamu selalu berprasangka baik pada Allah tanpa memikirkan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Terimakasih Rania. Aku makin mencintaimu...!" ucap Bryan yang tetap menjaga sikap untuk tidak menyentuh tangan Renata.
"Ya Tuhan. Jadi, inilah gaya pacaran mereka yang terlihat sangat kaku. Tidak boleh berpegangan tangan karena belum menikah. Bagus sih...! Dengan begitu mereka tidak terhasut dengan bujuk rayunya setan," batin Renata memuji hubungan cinta antara Rania dan Bryan.
"Rania. Apakah kamu juga baik-baik saja? Bagaimana dengan hasil pemeriksaannya? Apakah ada hal yang serius yang kamu rasakan?" tanya Bryan.
"Entahlah. Kata dokter mungkin aku bisa lupa akan berapa hal tentang memoriku sebelumnya. Jadi, aku mohon kamu bisa mengerti jika aku lupa nanti akan hal-hal yang pernah kita lalui bersama," ucap Renata.
"Andai saja aku tidak memaksamu untuk melihat sendiri mas kawin itu, mungkin kita tidak akan mengalami kecelakaan Rania. Dan kita akan menikah secepatnya. Ah, aku sangat bodoh. Tapi, apakah kamu mau tetap menikah denganku dalam waktu dekat ini, Rania?" tanya Bryan membuat Renata syok.
"Ya Tuhan. Aku harus jawab apa? Uhhh...ini menyebalkan." Belum sempat Renata bicara, tuan Firza tiba-tiba masuk membuat ucapan Renata mengambang di udara.
"Kalian tidak boleh menikah selama Bryan belum bisa melihat," ucap tuan Firza membuat Renata menghembuskan nafas lega.
"Syukurlah. Setidaknya aku tidak dikatakan pelakor," batin Renata yang harus belajar menolak keinginannya agar tidak jatuh cinta pada Bryan.
"Kakek. Aku ingin Rania mengurusku. Aku tidak mau dibantu terus oleh Berlin," tolak Bryan.
"Tunggu sampai tiga bulan ini saja Bryan karena kamu harus menjalani perawatan agar matamu bisa lekas sembuh dan kamu bisa melihat," bujuk tuan Firza.
Tuan Firza hanya ingin menunggu Rania siuman dari komanya. Rania sudah dikirim ke Jerman untuk mendapatkan perawatan medis yang lebih canggih. Tuan Firza yang membiayai semuanya mengingat Rania berasal dari keluarga sederhana.
"Kakek, jika harus menunggu aku bisa melihat mau sampai kapan? Bukankah dokter menyatakan kalau aku sudah buta permanen? Lagi pula Rania menerima aku apa adanya kakek. Bukankah begitu Rania?" protes Bryan.
"Jangan putus asa pada Rahmat Allah, Bryan. Ini hanya masalah waktu. Tetap ikhtiar dan terus berdoa. Sisanya biar Allah yang menentukan takdirnya.
Beri kesempatan kakek untuk memutuskan hari pernikahan kalian dalam waktu tiga bulan ini. Jika kamu tidak bisa melihat juga, kalian boleh menikah," ucap tuan Firza penuh penekanan pada kalimatnya.
"Maafkan aku Rania. Mungkin kamu harus bersabar atas keadaanku ini," ucap Bryan sendu.
"Hei....! Apa yang kamu kuatirkan...! tetap semangat. Aku selalu ada untukmu. Aku yakin Allah tidak akan membebani hambaNya di luar dari batas kemampuannya," ucap Renata sok bijak.
"Rania. Sebaiknya kamu pulang dulu. Kamu harus banyak istirahat karena keadaanmu juga belum pulih benar, bukan? Biar Bryan akan diurus oleh asisten pribadinya," ucap tuan Firza dan Renata tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menjalani tugasnya.
"Ya kakek. Kami baru bertemu sebentar kenapa harus berpisah secepat itu," keluh Bryan yang masih kangen dengan Rania.
"Bukankah kamu tidak ingin Rania mendapatkan fitnah? Sebaiknya kalian harus tetap jaga jarak sampai waktu pernikahannya tiba. Rania, ayo pulang...! Ibumu sudah menunggumu di rumah," titah tuan Firza.
"Bryan, aku pulang dulu. Insya Allah besok aku ke sini lagi. Semoga kamu cepat sembuh ya...!" pamit Renata.
"Terimakasih Rania. Aku harap kamu tidak akan kecewa dengan keputusan kakek. Padahal aku ingin sekali menghalalkanmu dengan cepat sesuai rencana pernikahan kita yang sudah ditentukan bulan depan," ucap Bryan membuat Renata melongo.
"Tidak apa. Masih banyak waktu yang perlu kita persiapkan terutama mental kita. Jaga dirimu. Oh iya kalau kamu ingin menghubungi aku, aku sudah mengganti nomor ponselku karena ponsel aku sebelumnya hancur tidak bisa diselamatkan karena kecelakaan naas itu," bohong Renata.
"Terimakasih. Biar Berlin yang akan menghubungi kamu nanti. Hati-hati di jalan. Jaga kesehatan ya...!" ucap Bryan dengan berat hati.
"Hmm..!" Renata mengikuti langkah tuan Firza. Entah apa yang dirasakannya saat ini. Ia seakan sedang kejatuhan durian runtuh. Terlihat terlalu manis namun sakit durinya tak terbantahkan jika ingin mencicipi buahnya.
...----------------...
"Kamu tinggal di salah satu pondok di mana Rania dulu mengenyam ilmu agama di situ. Dengan begitu kamu terbiasa dengan para santri dan mulai belajar Al-Qur'an, sholat dan lain-lainnya agar lebih mendekatkan dirimu pada Allah," ucap tuan Firza setelah mereka sudah berada di jalan raya.
"Tapi, aku tidak membawa apapun untuk tinggal di tempat itu," sahut Renata.
"Koper yang berisi semua kebutuhanmu sudah disiapkan. Kamu akan aku kenalkan sebagai kerabatku yang jauh. Jangan bicara apapun tentang pekerjaanmu dengan ku. Lakukan saja tugasmu seperti yang aku minta," ucap tuan Firza yang tidak ingin mendapat protes dari Renata.
"Astaga...! Mimpi apa aku selama ini? Apakah ada amal baikku di masalalu yang membuat aku langsung tajir seperti ini?" batin Renata yang tidak tahu bagaimana dirinya saat ini berekspresi dalam kegembiraannya.
Tidak lama kemudian mobil mewah itu berhenti di halaman pondok pesantren Nurul Aini. Renata turun dari mobil sambil mengedarkan pandangannya ke setiap arah pesantren tersebut. Saat ini sudah pukul 8 malam. Ustazah Dilla dan ustadz Syafiq memang sudah menunggu kedatangan tuan Firza dan Renata.
"Assalamualaikum tuan Firza...!" ustadz Syafiq bersalaman dengan tuan Firza lalu bertukar kabar diantara mereka.
Beberapa menit kemudian tuan Firza memperkenalkan Renata pada pemilik pondok pesantren tersebut.
"Ustadz Syafiq, kenalkan ini putri dari kerabat ku. Orangtuanya menitipkan dia untuk belajar agama di sini. Mohon bimbingannya ustadzah karena Renata belum mengenal ilmu agama. Hanya saja aku langsung memintanya untuk berpakaian syar'i terlebih dahulu dan kebetulan anaknya sudah siap," ucap tuan Firza.
"Masya Allah, tabarakallah nak. Semoga hijrahmu benar-benar mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Jangan sungkan bertanya kepada para pendidik di sini jika kamu menemukan kesulitan," ucap ustadzah Dilla.
"Terimakasih ibu."
"Panggil saja saya umi Dilla, nak..! Sama seperti santri lainnya," pinta ustadzah Dilla.
"Baik ummi..!"
"Mari ikut ummi untuk melihat kamarmu," ucap ummi Dilla menuju ke tempat peristirahatan para santri.
Kamar Renata sengaja dipisahkan dengan para santri lainnya karena usia Renata yang sudah dewasa. Perbedaan usia Renata dan Rania terpaut lima tahun. Renata yang baru berusia 20 tahun sementara Renia sudah berusia 25 tahun.
"Nah, ini kamarmu. Dulu ini adalah kamarnya Rania. Oh iya, mengapa suara kalian bisa sama persis ya. Kalau tidak dibilang tuan Firza kalau kamu ini kerabatnya, mungkin ummi mengira kalau kamu adalah Rania. Apalagi postur dan kelopak mata kalian sama persis," ucap ummi Dilla membuat Renata menjadi penasaran seperti apa sosok Rania.
"Terimakasih atas pujiannya ummi. Apakah ummi juga tahu bagaimana kisah cinta Bryan dan Rania di mulai?" tanya Renata membuat ummi tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!