SMA Sinar Pintar adalah sekolah impian bagi banyak remaja di Indonesia. Gedungnya megah, fasilitasnya lengkap, dan lingkungannya penuh dengan murid-murid berbakat serta berlatar belakang keluarga terpandang. Sekolah ini dikelola oleh PT Kilau Terus, perusahaan nomor satu di Indonesia yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Alumni dari SMA Sinar Pintar telah sukses dalam berbagai bidang, menjadi politikus, artis, penyanyi, pengusaha, dan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya. Namun, di balik kemewahan dan prestasi itu, ada sisi gelap yang jarang tersorot.
Di sekolah ini, terdapat geng paling berpengaruh yang dikenal dengan nama Spark Boys. Mereka bukan sekadar kelompok biasa; mereka adalah anak-anak dari keluarga konglomerat, pengacara ternama, artis terkenal, bahkan politisi yang memiliki kuasa besar di negeri ini. Dengan uang dan pengaruh yang mereka miliki, Spark Boys mampu mengendalikan segalanya, bahkan guru dan kepala sekolah pun tak berani menentang mereka.
Banyak murid yang berharap bisa berteman atau setidaknya tidak bersinggungan dengan mereka. Namun, bagi siswa dari kalangan menengah ke bawah, keberadaan Spark Boys adalah mimpi buruk yang harus mereka hadapi setiap hari. Perundungan terjadi secara sistematis, dari sekadar ejekan hingga kekerasan fisik dan mental. Lebih buruk lagi, siapa pun yang mencoba melawan, akan berhadapan dengan ancaman yang lebih besar.
Hari Senin yang baru saja dimulai membawa suasana baru di SMA Sinar Pintar. Di tengah gerombolan siswa yang sibuk berbincang, datanglah seorang anak laki-laki dengan langkah ragu namun penuh tekad. Namanya Abdurrazaq, atau yang biasa dipanggil Razaq, tetapi dirinya lebih akrab dengan sapaan Rojak baik dari lingkungan Keluarga, maupun lingkungan pertemanan. Atau kadang ada yang memanggilnya ‘Rujak’karena nama Rojak dan rujak memang mirip. Latar belakangnya berbeda dari kebanyakan siswa di sana. Ia berasal dari keluarga sederhana, dengan ibunya sebagai penjual rujak dan ayahnya seorang kuli bangunan. Namun, tak sekalipun Rojak merasa kekurangan.
Saat memasuki kelas barunya, ia disambut dengan tatapan sinis dan merendahkan.
“Siapa itu? anak baru ya?”
“Culun banget.”
“Iya ih, freak banget.”
“Eh lihat deh, norak beud penampilannya.”
Itulah celoteh dari beberapa murid. Baru masuk saja, sudah dibenci. Sungguh sangat menyedihkan. Bukan hanya itu, selain penampilannya yang culun, wajah Rojak juga dianggap ‘Orang kampung’saking miskinnya dia. Sebagian besar siswa di kelas itu berasal dari keluarga berkecukupan, dan kehadiran Rojak seolah menjadi sebuah anomali. Wali kelas memperkenalkannya.
“Anak-anak, perkenalkan, ini adalah teman baru kalian.”
“Halo semuanya, perkenalkan nama saya Abdurrazaq atau biasa dipanggil Razaq atau boleh dipanggil Rojak juga. Salam kenal semuanya...”
Tetapi sambutan yang ia terima jauh dari hangat. Julukan 'anak kampung' langsung melekat padanya. Namun, Rojak memilih untuk diam. Ia tidak ingin memperkeruh suasana. Yang terpenting baginya adalah belajar dan meraih cita-cita.
Pelajaran pertama dimulai, dan sesuatu yang mengejutkan terjadi. Rojak dengan mudah menjawab pertanyaan sulit yang diajukan guru matematika. Ia tidak hanya cerdas, tetapi juga cepat dalam berpikir.
“Baik anak-anak, ada yang bisa jawab soal nomor dua beserta cara pengerjaannya?”
Rojak angkat tangan untuk menjawab dan menjelaskan.
“Wah luar biasa. Benar kamu Rojak.”Puji sang Guru.
Prestasinya yang mencolok justru membuat sebagian siswa semakin tidak menyukainya. Mereka menganggap Rojak hanya mencari perhatian guru dan ingin menunjukkan bahwa ia lebih pintar dari yang lain.
Saat bel istirahat berbunyi, siswa-siswa keluar dari kelas untuk bermain dan bersantai. Beberapa anak bermain basket di lapangan sekolah. Rojak yang berjalan di tepi lapangan menjadi sasaran salah seorang pemain. Bola basket dilempar keras ke arahnya dan mengenai kepalanya.
“BEDEBUK!”
Rojak terhuyung, memegang kepalanya yang terasa berdenyut.
“Sorry kita sengaja... HAHAHA!”
Namun, alih-alih meminta maaf, mereka malah meledek dan berkata bahwa itu adalah cara mereka 'melatih kekebalan tubuh'.
“Woi! Apa-apaan sih lo?”kesal Rojak.
“Ya elah baperan banget sih lo. Itu untuk ngelatih seberapa baja diri lu. Ya ga, Bro?”
“Yoi. Makanya jangan lemah, Rujak, HAHAHA!”
Ledekan yang sangat menyebalkan itu membuat Rojak naik pitam. Rojak tidak terima diperlakukan seperti itu.
“Kurang ajar lo!”
Dengan marah, ia mencoba menyerang balik. Namun, tubuhnya yang lemah tidak sebanding dengan mereka yang lebih kuat. Mereka dengan mudah menghajarnya hingga ia terjatuh. Tawa puas terdengar dari mereka sebelum akhirnya melarikan diri ke gudang sekolah untuk menghindari perhatian guru.
Setelah merasa cukup aman, Rojak bangkit dengan tubuh yang sedikit gemetar. Ia berjalan perlahan keluar dari tempat persembunyiannya. Namun, saking waspadanya, ia malah tersandung dan jatuh lagi.
“Adudududuh... Sakit...”keluhnya.
“Halo. Lu gapapa?”
Saat itulah, seseorang datang menghampirinya. Seorang perempuan dengan wajah ramah dan senyum lembut. Berbeda dengan siswa lainnya, perempuan itu tidak menunjukkan tatapan sinis atau ejekan. Ia menatap Rojak dengan rasa ingin tahu.
"Kamu murid baru, ya?" tanyanya dengan suara yang lembut.
Rojak mengangguk, masih penuh kewaspadaan.
"Aku baru lihat kamu di sini. Aku Angelina. Panggil saja Angie. Salam kenal ya..." katanya memperkenalkan diri.
Rojak terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. Ini pertama kalinya ada seseorang yang bersikap baik padanya sejak ia masuk sekolah ini.
"Aku Rojak... eh, maksudku Abdurrazaq," jawabnya pelan.
Angie terkekeh.
"Panggilanku juga banyak, kok. Nggak apa-apa. Santai saja, Rojak."
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Dalam sekejap, mereka mengobrol seperti dua sahabat yang sudah lama mengenal satu sama lain. Di tengah segala kesulitan yang ia hadapi di sekolah baru ini, Rojak merasa ada secercah harapan. Meskipun hanya satu orang yang mau berteman dengannya, itu sudah cukup. Angie adalah awal dari sesuatu yang baik dalam hidupnya di sekolah ini.
Namun, perjalanan Rojak tidak berhenti di sini. Ia masih harus menghadapi berbagai tantangan, membuktikan dirinya, dan mencari tempatnya di dunia yang tampaknya tidak memberinya banyak ruang. Tapi setidaknya, kini ia tahu bahwa ia tidak sendiri.
Sepulang sekolah, Rojak melangkah pelan menuju rumahnya. Matahari sudah mulai condong ke barat, menyinari jalanan yang dipenuhi anak-anak berseragam sekolah. Langkahnya lesu, pikirannya bercampur aduk antara senang dan kesal. Rojak pulang melewati tempat penumpukan sampah. Pada saat sedang melewati, ia merasa merinding.
“Ko-kok bulu kuduk gue naik ya? Perasaan udara ga dingin dan ga ada apa-apa deh.”Herannya.
Rojak pun mencoba untuk tidak memikirkan hal itu.
Saat ia membuka pintu, ibunya, Diah, langsung menyambutnya dengan senyum hangat.
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam, eh anak Ibu sudah pulang.”Kata Ibunya.
"Gimana hari pertama sekolahmu, Nak?" tanyanya lembut.
Rojak terdiam sejenak. Ingatannya melayang pada kejadian di sekolah. Awal-awal ia sudah menjadi sasaran bully beberapa siswa yang iseng. Namun, di sisi lain, ia juga bertemu dengan seseorang yang menyenangkan, Angie.
"Lumayan, Bu. Aku dapat teman baru namanya Angie." jawabnya sambil melepas sepatu.
Diah tersenyum.
"Syukurlah. Kalau begitu, mana adikmu?" tanya Diah
"Dia ikut ekskul, jadi aku pulang duluan." Jawab Rojak.
"Oh, baiklah. Cuci kaki dan tangan dulu ya, terus langsung mandi. Nanti kita makan malam bersama."
Rojak mengangguk dan segera menuju kamarnya. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia membaringkan diri di kasurnya yang empuk. Matanya menatap langit-langit kamar. Semua kejadian hari ini berputar kembali di kepalanya. Ia merasa sedih karena menjadi korban bully, namun perasaan itu sedikit terobati karena pertemanannya dengan Angie.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari Instagram muncul.
"@Angelina8917 telah mengikuti Anda."
Rojak tersenyum kecil. Tak lama setelah itu, sebuah pesan masuk.
Angie:"Hai Rojak!"
Rojak langsung mengetik balasan.
Rojak:"Hai juga, Angie. Kok tiba-tiba follow gue?"
Angie:"Ya kan kita teman sekarang! Hehe. Mau ngobrol-ngobrol?"
Percakapan mereka berlanjut dengan seru. Dari yang awalnya hanya bertukar kabar, hingga berbicara soal hobi dan hal-hal yang mereka sukai. Tak terasa, waktu semakin larut. Rojak menguap lebar, matanya mulai terasa berat. Tanpa sadar, ia tertidur dengan ponsel masih di genggaman.
Dalam tidurnya, Rojak mengalami mimpi yang sangat nyata. Ia berada di sebuah tempat yang asing, di tengah medan pertempuran. Asap mengepul di mana-mana, dan suara dentuman senjata terdengar nyaring.
Di depannya, seorang lelaki gagah tengah bertarung melawan banyak tentara Belanda. Lelaki itu bergerak gesit, menangkis serangan dan menyerang balik dengan penuh keberanian. Rojak tertegun melihat kejadian itu.
Namun, sesuatu yang mengerikan terjadi. Dari belakang, seorang tentara Belanda mengarahkan senapannya ke arah Rojak.
"DOR!"
Tembakan itu tepat mengenai dirinya. Rojak terkejut. Ia merasa dadanya nyeri, lalu tiba-tiba terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Jantungnya berdegup kencang.
Ia menatap sekeliling kamar yang masih sama seperti tadi, hanya saja suasana terasa begitu sunyi. Mimpi itu terasa sangat nyata.
"Apa maksud dari semua ini?" gumamnya pelan.
Bersambung
Keesokan harinya, saat Rojak baru saja tiba di sekolah, ia dikejutkan oleh sapaan ceria dari Angie.
"Pagi, Rojak!" seru Angie dengan senyum lebar.
Rojak membalas sapaan itu dengan sedikit heran.
"Pagi, Angie. Kok ceria banget? Ada apa lo?"
Angie tertawa kecil.
"Gw senang banget!"
"Senang kenapa tuh, gie?" tanya Rojak.
"Rizal masuk ke babak final!"
Rojak mengernyit.
"Final? Maksudnya?"
Rojak tak mengerti konteks yang dibicarakan oleh Angie. Karena tidak mengerti, Angie menjelaskan segalanya.
"Iya! Rizal itu petinju muda yang berbakat. Setiap kejuaraan yang dia ikuti, dia selalu membawa harum nama sekolah kita," jelas Angie dengan bangga.
Rojak terkejut. Nama Rizal terdengar familiar. Kemudian ia menyadari sesuatu.
"Tunggu... Maksudmu Fahrizal Setiawan?"
Angie mengangguk semangat.
"Iya! Kamu tahu dia?"
Rojak mengangguk perlahan. Ia pernah mendengar nama itu. Fahrizal Setiawan adalah petarung muda yang sudah menekuni dunia seni bela diri sejak usia sembilan tahun. Kini, ia dikenal luas karena gaya bertarungnya yang agresif dan penuh perhitungan dalam tinju. Banyak orang mengagumi kemampuannya, dan namanya sering muncul dalam berita olahraga sekolah.
"Dia memang berbakat." ujar Rojak, sedikit gugup.
Angie tersenyum lebar.
"Ayahnya juga orang hebat. Seorang pebisnis sukses dan pemilik sekolah ini! Jadi, bisa dibilang, Rizal memang punya banyak dukungan."
Rojak mengangguk, menyerap semua informasi itu. Kini, ia semakin memahami siapa sosok yang sedang mereka bicarakan.
Namun, di sudut lain sekolah, ada sepasang mata yang memperhatikan interaksi Rojak dan Angie. Sosok itu menyipitkan matanya, memperhatikan setiap gerakan mereka dengan penuh ketertarikan.
Tak lama kemudian, seorang teman mendekatinya.
"Eh, lihat deh! Anak culun itu sok deket-deket Angie, pacarnya Fahrizal."
Orang yang mengawasi Rojak mendengus.
"Anak kayak dia mah harusnya tahu diri. Kalau terus begini, dia bakal nyesel sih, fix."
Senyuman sinis terbentuk di wajah mereka. Di saat yang sama, tanpa disadari Rojak, bahaya mulai mengintai dirinya.
Di lain tempat, adik Rojak yang bernama Poppy tengah berada di kantin sekolah ketika telinganya menangkap bisikan-bisikan gosip yang mulai menyebar.
"Dengar-dengar, kakaknya Poppy itu genit, ya?" bisik seorang siswa pada temannya.
"Iya, dia sok banget deketin Kak Angie. Padahal, sudah jelas siapa pacarnya. Malu-maluin banget!" balas yang lain sambil terkikik.
“Abangnya jangan-jangan gigolo kali ya? Gaji gigolo kan lumayan.”
Poppy menundukkan kepalanya, berusaha menahan perasaan. Namun, tiba-tiba, sebuah gulungan kertas dilempar ke arah kepalanya. Poppy menoleh, melihat Santi, teman sekelasnya, tertawa sinis.
"Kasihan banget kamu, Poppy. Kakakmu itu nggak cuma miskin dan culun, tapi juga genit!" ujar Santi dengan nada mengejek.
"Dia pakai topeng sedih biar dikasihani orang. Padahal, orang caper. Jangan-jangan lu fix nanti jadi perek ya?"
“HAHAHA!”
Poppy mengepalkan tangannya, menahan amarah yang berkecamuk di dalam dadanya. Namun, ia tidak berani membalas. Ia tahu, semakin ia melawan, semakin ia akan menjadi sasaran empuk.
Sayangnya, ejekan itu tidak hanya berhenti di situ. Selain dihina, Poppy juga sering diperlakukan seperti pembantu. Teman-temannya kerap menyuruhnya membeli makanan atau minuman di kantin tanpa memberikan uang sepeser pun.
"Poppy, beliin aku minum!"
"Poppy, titip jajan dong!"
"Jangan lama-lama, ya!"
Poppy hanya bisa menuruti perintah mereka dengan perasaan terpaksa. Jika ia menolak, mereka akan semakin memperlakukannya lebih buruk. Begitu menyedihkan nasib kakak-beradik itu.
Jam istirahat baru saja berbunyi, dan para siswa berhamburan keluar kelas, mencari tempat untuk mengisi perut dan bersantai sejenak. Rojak, seorang siswa pendiam dan penyendiri, merasa sedikit cemas. Ia baru saja pindah ke sekolah ini, dan belum memiliki teman dekat. Ia tidak tahu harus duduk di mana saat jam istirahat seperti ini.
Dengan langkah ragu, Rojak berjalan menuju kantin sekolah. Matanya menelusuri setiap sudut ruangan, berharap menemukan tempat duduk yang kosong. Namun, semua tempat duduk tampak penuh oleh siswa yang berkelompok dengan teman-temannya. Rojak merasa semakin gugup. Ia tidak ingin mengganggu siapa pun, tapi ia juga tidak ingin sendirian.
Saat Rojak sedang celingukan mencari tempat duduk, tiba-tiba seseorang menyapanya.
"Hai, Rojak!" sapa seorang gadis dengan suara ceria. Rojak menoleh dan melihat Angie, gadis yang cukup populer di sekolah. Angie berdiri di dekatnya, dikelilingi oleh teman-temannya. Rojak merasa tidak enak. Ia tahu Angie adalah gadis yang ramah dan supel, tapi ia tidak yakin apakah ia pantas untuk bergabung dengan kelompoknya.
"Hai, Angie." jawab Rojak dengan senyum tipis. Ia merasa sedikit lega karena Angie menyapanya, tapi ia juga merasa tidak nyaman karena ia tidak ingin mengganggu waktu Angie bersama teman-temannya.
"Lu cari tempat duduk?" tanya Angie.
Rojak mengangguk pelan.
"Kenapa tidak gabung sama kita?" ajak Angie.
Rojak menggelengkan kepala.
"Tidak usah, Angie. Aku cari tempat lain saja," tolak Rojak halus. Ia tidak ingin merepotkan Angie dan teman-temannya.
"Ayolah, Rojak. Kita masih punya banyak tempat," bujuk Angie. "Lagipula, kita semua senang kalau ada teman baru."
Rojak masih ragu. Ia tidak ingin semua orang memandang rendah lagi seperti sebelum-sebelumnya, dan ia juga tidak yakin apakah ia bisa cocok dengan teman-teman Angie. Namun, Angie terus meyakinkannya, dan akhirnya Rojak pun setuju untuk bergabung dengan mereka.
Rojak duduk di sebelah Angie, dan mereka pun mulai mengobrol. Angie memperkenalkan Rojak kepada teman-temannya, dan mereka semua tampak ramah dan menerima Rojak dengan baik. Rojak merasa sedikit lebih nyaman, tapi ia masih merasa sedikit berbeda dari mereka. Ia lebih suka mendengarkan daripada berbicara, dan ia lebih suka menghabiskan waktunya sendiri daripada berkumpul dengan banyak orang.
Setelah beberapa saat, Rojak meminta izin untuk pergi mencari tempat duduk lain. Ia berterima kasih kepada Angie dan teman-temannya karena telah menemaninya, tapi ia merasa lebih baik jika ia bisa sendiri. Angie mengerti, dan ia tidak memaksa Rojak untuk tetap bersama mereka.
Rojak berjalan menuju sudut kantin yang sepi. Ia menemukan sebuah meja kosong di dekat jendela. Ia duduk di sana dan mengeluarkan buku sketsanya dari tasnya. Buku sketsa adalah sahabat setianya. Di dalam buku itu, Rojak bisa mencurahkan segala pikiran dan perasaannya melalui gambar-gambar yang ia buat.
Rojak mulai menggambar. Ia membuat sketsa seorang samurai berkepala singa. Samurai itu tampak gagah dan kuat, dengan pedang terhunus di tangannya. Rojak memberinya nama Regulus. Regulus adalah nama sebuah rasi bintang yang berbentuk singa. Rojak memilih nama itu karena ia merasa Regulus adalah sosok yang kuat dan berani, seperti singa.
Di bawah langit sore yang mulai memerah, Rojak duduk santai di bangku taman sekolah SMA Sinar Pintar. Angin berembus pelan, membelai rambut hitamnya yang sedikit berantakan. Di tangannya, sebuah buku novel terbuka, meskipun pikirannya tak sepenuhnya tenggelam dalam cerita. Tiba-tiba, suara langkah ringan mendekatinya.
"Abang ngapain di sini?" suara ceria itu milik Poppy, adiknya yang selalu penuh energi.
Rojak menoleh dan tersenyum kecil.
"Cuma duduk-duduk aja, Poppy. Kenapa?"
Poppy melipat tangan di dada, ekspresi wajahnya serius.
"Aku dengar abang deket sama Angie. Abang suka godain dia ya?"
Mendengar itu, Rojak tertawa kecil.
"Halah, siapa yang bilang? Aku cuma kenal dia kemarin. Lagipula, kalau aku godain, dia pasti risih dan nggak mau deket-deket sama aku."
Poppy mengernyitkan dahi, menatap kakaknya dengan penuh selidik. Namun, sebelum dia bisa membalas, suara derap langkah kasar terdengar mendekat. Sekelompok siswa berseragam SMA Sinar Pintar menghampiri mereka. Wajah-wajah mereka menunjukkan ekspresi tak bersahabat.
Geng Spark Boys.
Mereka dikenal sebagai geng terbesar dan terkuat di sekolah. Para siswa lain lebih memilih menghindari konflik dengan mereka. Salah satu dari mereka, seorang pemuda tinggi dengan rambut cepak, melangkah maju.
"Hei, Rojak, kenapa lo duduk di sini? Ini tempat kita."
Rojak mengangkat alis, tetap duduk tenang.
"Ini tempat umum. Siapa pun bisa duduk di sini."
Salah satu dari merek mulai tertawa kecil, mengejek. Namun, pemimpin mereka tampak tidak terhibur. Dia melangkah lebih dekat dan mencoba menarik kerah baju Rojak, namun sebelum sempat melakukannya, Poppy dengan sigap berdiri di antara mereka.
"Mau ngapain kalian?" tanya Poppy tegas, sorot matanya tajam.
Salah satu anggota geng itu mendecak kesal.
"Huh, anak kelas sepuluh ikut campur urusan kami? Pergi sana!"
Namun, Poppy tetap di tempatnya. Dia menatap mereka tanpa takut.
"Kalau kalian mau sentuh abangku, kalian harus lewatin aku dulu."
Mereka semakin geram. Salah satu dari mereka mengayunkan tinjunya ke arah Poppy. Namun, dengan sigap Poppy menahan tangan itu. Semua orang terkejut melihatnya. Gadis mungil itu ternyata memiliki kekuatan yang tak terduga.
"Huh, keras kepala juga kau!" pria itu mencoba menyerang lagi, tetapi Poppy lebih cepat. Dengan gerakan gesit, dia menghindar dan melancarkan serangan balik yang membuat lawannya terhuyung.
"BUGH!"
Salah satu dari mereka terjatuh karena serangan Poppy.
Melihat kejadian itu, anggota Spark Boys lainnya mulai ragu. Mereka saling pandang, mempertimbangkan apakah perkelahian ini sepadan. Setelah beberapa detik yang tegang, akhirnya pemimpin mereka melambaikan tangan.
"Tch, kita pergi!"
Dengan kesal, Spark Boys pun bergegas meninggalkan tempat itu.
Rojak menatap adiknya dengan kagum sekaligus sedikit cemas.
"Poppy, kamu nggak apa-apa?"
Poppy tersenyum lebar.
"Aku baik-baik saja, Bang. Aku cuma melindungi abang."
Rojak menghela napas, merasa bersyukur sekaligus bangga. Hari itu, dia semakin sadar bahwa adiknya bukan gadis biasa. Poppy bukan hanya seorang adik, tapi juga pelindungnya.
Bersambung
Pada hari Sabtu, Rizal pulang dari pertandingannya yang dilakukan di luar kota. Rizal pulang dengan jet pribadinya. Sesampainya di Bandara, Rizal disambut oleh banyak sekali wartawan yang berbondong-bondong untuk mewawancarai Rizal. Tak lama kemudian, wajah Rizal penuh akan senyuman dikarenakan sosok Angie sang kekasih ada di hadapannya. Rizal dan Angie berpeluk satu sama lain untuk melepas rindu.
"Aku kangen banget sama kamu, tahu! Udah berapa hari sih kamu di sana? Rasanya kayak ada yang kosong gitu, nggak ada yang ngegangguin aku tiap malem. Cepetan kelarin tinjunya, terus pulang, ya? Aku nungguin!" kata Angie yang sangat rindu akan kekasihnya.
“Ah kamu nih. Bisa saja. Eh iya, btw karena kepulangan aku, kamu mau ga?”
“Mau apa?”tanya Angie penasaran.
“Lunch bareng di Restoran bintang lima! Merayakan pertemuan kita kembali! Sudah di-booking sama Papi!”kata Rizal.
“Hah? Seriusan?”tanya Angie.
Rizal mengangguk sambil tersenyum.
Mendengar kabar yang menggembirakan itu, Angie dan Rizal pun kemudian bergegas menuju Restoran yang dimaksud.
Sampailah mereka di Restoran bintang lima yang dimaksud. Rizal dan Angie akan makan siang di restoran mewah yang sudah di-booking oleh keluarga Rizal. Celotehan seru dan momen romantis sangat melekat kepada dua sejoli kaya raya itu. Mereka menikmati malam dengan penuh kebahagiaan, tertawa, dan berbagi cerita tentang perjuangan Rizal selama turnamen. Angie dengan bangga menunjukkan rasa cintanya pada Rizal, mengunggah beberapa momen bahagia mereka di media sosial.
Di tempat lain, di sudut kota yang jauh dari kemewahan, Rojak membantu sang ibu berjualan rujak. Dengan tangan cekatan, ia mengiris buah dan meracik bumbu khas yang sudah terkenal di sekitar lingkungan mereka. Meski lelah, ia tetap tersenyum, menyapa pelanggan yang datang satu per satu. Namun, di sela pekerjaannya, notifikasi dari ponselnya menarik perhatiannya.
“PING!”
“Eh ada apa ini?”
Rojak yang penasaran membuka notif itu. Rojak melihat postingan Angie yang baru saja diunggah di media sosial. Foto-foto Angie dan Rizal tengah menikmati makan malam mewah, dengan caption manis yang menandakan kebahagiaan mereka. Dada Rojak serasa dipukul keras. Ia menelan ludah, menahan perasaan yang sejak lama ia simpan rapat-rapat. Namun, ia tahu dirinya harus sadar diri, jika Angie dan dirinya hanya berteman dekat.
“Bahagia selalu, Angie...”
Menghela napas, Rojak kembali fokus pada pekerjaannya, mencoba mengabaikan perasaan yang berkecamuk di hatinya. Ia tahu hidupnya berbeda dari Rizal dan Angie. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ada impian besar yang ia simpan, suatu hari nanti, ia akan membuktikan bahwa dirinya juga bisa mencapai hal yang lebih baik.
Pada hari Minggu, Rizal bertemu dengan beberapa teman-temannya di Spark Boys. Ternyata, Rizal adalah ketua dari geng besar di SMA Sinar Pintar itu dan dirinya sangat dihormati.
"Yo wassup ges!" kata Rizal.
"Nah ini nih, jagoan kita!"
"Apa kabar lo?"
"Baik, bro..."
Mereka bertanya bagaimana pertandingan tinju Rizal di Surabaya. Rizal bercerita banyak hal lucu, epik, dan menegangkan di pertandingan di Surabaya. Salah satu temannya kemudian menceritakan anak baru yang cupu bernama Rojak.
"Eh iya, kita kemarin kedatangan anak baru di Sekolah kita." kata salah satu temannya.
Rizal bertanya ada apa dengan anak baru itu.
"Terus kenapa?" tanya Rizal tidak mengerti.
Mendengar itu, Rizal pun murka. Dia akan merencanakan sesuatu pada anak penjual rujak itu.
"Anak baru itu genit banget! Dia berlindung di balik topeng culunnya!”
“Terus?”tanya Rizal.
“Ini, lu harus full lindungin cewek lu. Kemarin gw lihat, dia berduaan dan bahkan akrab banget sama Angie! Kayak nggak tahu diri banget, padahal semua orang udah tahu kalau Angie itu milik ketua geng kita."
Mendengar itu, Rizal pun marah semarah-marahnya.
“BRAK!”
Dia bahkan sampai menggebrak meja.
"Kampret, tuh bocah baru dateng aja udah berani ngincer Angie! Gak sopan banget sih!"
“Nah itu. Lu ga boleh biarin si anak culun itu deketin cewek lu. Sudah miskin, culun, gembel lagi!”kata salah satu temannya yang bernama Dika.
“Gue ga bisa biarin ini. Dia harus mampus karena sudah deketin cewek gw!”kata Rizal.
Dika tertawa kecil.
"Maksud lo, kita kasih pelajaran ke dia?"
"Lebih dari itu." Rizal menyeringai.
"Gue mau dia tahu, ada harga yang harus dibayar kalau berani main-main di wilayah kita."
Teman-temannya mengangguk setuju.
“Nah itu dia! Let’s go saja!”
“Lagi pula ya, kemarin anak culun itu juga duduk se-enaknya di wilayah kita!”
“Nah itu tuh! Adik perempuannya bikin kita bonyok!”
Mereka tahu bahwa jika Rizal sudah murka, itu berarti ada aksi yang akan terjadi. Angie bukan sekadar cewek biasa di SMA Sinar Pintar. Ia bukan hanya cantik dan populer, tapi juga seseorang yang dianggap sebagai bagian dari lingkungan eksklusif mereka.
Rizal mengambil ponselnya dan mulai mencari tahu lebih banyak tentang Rojak. Dengan cepat, ia menemukan akun media sosialnya. Dari sana, ia mendapatkan informasi bahwa Rojak sering pulang lewat gang sempit di belakang sekolah. Itu adalah tempat yang sepi, tempat yang sempurna untuk melakukan sesuatu tanpa banyak saksi.
"Besok kita kasih dia kejutan," kata Rizal, tatapannya dingin.
Dika dan yang lainnya tertawa, sudah membayangkan bagaimana anak baru itu akan ketakutan. Mereka tak sabar melihat ekspresi terkejut dan ketakutan Rojak saat ia sadar telah melangkah ke wilayah yang salah.
Di tempat lain, Rojak sedang melakukan pekerjaan sampingannya sebagai pemulung untuk membantu beban orang tuanya. Rojak melakukan itu ketika hari libur. Di saat anak muda lain menikmati masa mudanya, Rojak harus bekerja keras.
Suatu hari, ketika Rojak sedang asyik memulung sampah, ia tidak sengaja bertemu dengan kedua temannya di sekolah. Mereka adalah Doni dan Roni, dua anak laki-laki yang terkenal nakal dan suka membuat masalah. Mereka juga merupakan anggota dari sebuah geng motor yang bernama Spark Boys.
"Lihat siapa yang kita temui." kata Doni dengan nada mengejek.
"Ternyata si cupu toh. Lagi mulung dia, hahaha."
"Iya, ini." timpal Roni.
"Jangan-jangan sampah yang dia pungut itu buat makan dia sendiri."
Rojak hanya diam dan tidak membalas ejekan mereka. Ia sudah terbiasa dengan perlakuan seperti itu. Ia tahu bahwa Doni dan Roni hanya iri padanya karena ia lebih rajin dan pintar dari mereka.
"Kenapa diam saja?" tanya Doni.
"Apa lo malu karena ketahuan jadi pemulung?"
Rojak menggelengkan kepalanya.
"Engga tuh. Gw bodo amat dan gw ga malu." jawabnya dengan tenang.
"Gw justru bangga karena bisa membantu nyokap dan bokap gue."
"Alah, alasan saja lo." kata Roni.
"Pasti kamu malu kan?"
Doni dan Roni terus mengejek Rojak dan mencoba untuk merampas barang-barang bekas yang sudah ia kumpulkan. Rojak berusaha untuk mempertahankan barang-barangnya, namun ia kalah kuat dari Doni dan Roni. Akhirnya, barang-barang bekas yang sudah ia kumpulkan itu tumpah ke tanah.
Doni dan Roni tertawa puas melihat Rojak yang sedih dan marah.
“Ambil sampah yang banyak ya, pemulung...”
Mereka kemudian pergi meninggalkan Rojak tanpa rasa bersalah.
Rojak memungut kembali barang-barang bekasnya yang sudah berserakan. Ia merasa sangat sedih dan kecewa. Ia tidak mengerti mengapa ada orang yang tega berbuat jahat padanya.
Ketika Rojak sedang merenung, tiba-tiba datanglah seorang wanita yang menghampirinya. Wanita itu berpakaian gotik dengan perawakan yang agak jutek. Rojak tidak mengenal wanita itu, namun ia merasa tertarik dengan penampilannya yang unik.
"Halo... Kamu ga apa-apa?" tanya wanita itu dengan suara yang lembut.
Rojak mengangguk lemah.
"A-aku... Aku ga apa-apa," jawabnya.
"Kenapa kamu sedih begitu?" tanya wanita itu lagi.
Rojak menceritakan kejadian yang baru saja ia alami. Wanita itu mendengarkan dengan seksama dan tidak menyela.
Rojak terkejut mendengar perkataan wanita itu. Ia tidak menyangka ada orang yang peduli padanya.
"Siapa kamu?" tanya Rojak.
“Lo ga perlu tahu siapa gw. Gue akan bantu lo.”
Wanita itu kemudian membantu Rojak memungut sampah-sampah yang berserakan. Rojak merasa sangat senang dan berterima kasih kepada wanita itu.
Setelah selesai memungut sampah, wanita itu berkata.
"Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa lagi."
"Terima kasih sudah bantuin gue," kata Rojak.
Wanita itu hanya tersenyum dan kemudian pergi. Rojak memandangi wanita itu yang berjalan menjauh dengan perasaan kagum. Ia tidak tahu siapa wanita itu, namun ia merasa sangat berhutang budi padanya.
Rojak kemudian pergi ke tempat Juragan untuk menyetorkan sampah-sampah yang sudah ia kumpulkan. Juragan adalah seorang pengusaha barang bekas yang kaya raya. Ia selalu membeli barang-barang bekas dari para pemulung dengan harga yang pantas.
Hari itu, Rojak mendapatkan uang yang banyak dari Juragan karena sampah yang ia kumpulkan sangat banyak. Rojak sangat senang karena ia bisa membawa pulang uang yang banyak untuk keluarganya.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!