"Ini bonus untukmu. Gunakan untuk merawat dan menyayangi istrimu." Binara Mahendra atau biasa dipanggil Bima tersenyum, memberikan amplop berisi uang pada Heru, manager bagian pemasaran di perusahaan tempatnya bekerja.
"Terimakasih!" Pemuda yang menerimanya. Dalam tiga tahun ini dirinya dengan mudah naik jabatan dari staf biasa menjadi manager. Walaupun kerjaannya sering mager (malas gerak). Tidak disiplin, tidak tekun, tapi sering push rank main game.
Heru menghela napas, pak Bima memang paling baik. Atasan yang selalu melindunginya.
Bonus segera disimpan oleh Heru ke dalam tas. Semua sudah ada jatah masing-masing. Untuk dirinya sendiri setengah dari gaji, pegangan ibunya setengah lagi dari gaji, untuk pacarnya tentunya bonus setiap bulannya.
Tunggu! Pacar! Bukan istri? Tentu saja bukan, istrinya punya penghasilan sendiri bekerja di sebuah konveksi. Untuk apa memberikan uang pada istri yang sudah bekerja, dirinya tidak pernah ikut campur penghasilan istrinya. Berarti istrinya juga tidak berhak ikut campur dengan penghasilannya.
Matanya menelisik, ini sudah sore. Celananya juga sudah sesak, menatap ke arah pacarnya. Soraya yang baru datang dari kerja lapangan.
Tidak ada orang di tempat ini, mengingat hari sudah mulai sore. Dapat dikatakan, semuanya aman terkendali.
Tangannya menarik Soraya ke dalam ruang rapat yang kosong. Pasangan yang saling berciuman melepaskan kerinduan mereka.
"Soraya...kamu cantik..." Kalimat dari buaya, eh salah! Maksudnya pria tampan.
"Heru..." Tangan Soraya merayap pelan, melepaskan ikat pinggang Heru.
Tak!
Suara ikat pinggang membentur lantai keramik. Benar-benar panas pasangan ini, wanita cantik dan pria tampan. Lembar demi lembar pakaian menjadi bagaikan keset.
"Aku mencintaimu..." Bisik buaya.
"Aku juga, tapi...ah...ini di kantor! Bagaimana jika ada yang tau! Kalau istrimu---" Suara laknat terdengar.
"Stt! Tidak akan ada yang tau. Istriku cuma sampah yang bahkan tidak perlu diingat." Bisik Heru yang telah tidak berpakaian, sama dengan Soraya.
Perlahan Heru mengombang-ambing tubuh Soraya.
"Heru...ah..."
"Uh... Soraya."
Mengintip dari celah pintu. Jemari tangan seorang pria mengepal.
Namun perlahan wajahnya tersenyum. Mengetahui perselingkuhan dari suami mantan kekasihnya.
"Sampah mu, adalah harta bagiku..." Gumam Binara Mahendra (Bima) menyeringai.
Pemuda rupawan, yang telah 7 tahun mengabdikan dirinya di perusahaan ini. Jabatannya saat ini adalah asisten pribadi pemilik perusahaan.
Senyuman kembali menghilang dari wajahnya. Menghela napas menatap langit senja."Kenapa aku merindukan istri orang... sedangkan suaminya tidak rindu..." gumamnya, mengingat mantan kekasih yang dulu ditinggalkannya, akibat keadaan ekonomi. Tidak ingin kekasihnya diganggu penagih hutang.
Tapi kini... setelah dirinya memiliki uang. Kekasihnya telah menikah dengan spesies kelinci yang sering kawin.
***
"Ibu, belum makan..." Ucap seorang anak berusia 6 tahun.
"Kan ibu sudah masak tadi pagi." Dira mengusap pucuk kepala putranya.
Namun, Pino (anak Dira) hanya menggeleng pertanda tidak ada makanan. Dan benar saja, kala dirinya berjalan ke dapur, membuka tudung saji tidak ada lauk sama sekali.
Menghela napas, jenuh dengan semua ini."Ibu mertua!" Teriak sang menantu murka.
"Apa! Apa!? Kamu fikir ini hutan?" Geram Sutini (ibu Heru).
"Ibu mertua orang hutannya. Mana makanan yang aku masak tadi pagi? Kenapa meja makan kosong!?" Tanya Dira, pada ibu mertua tersayang.
"Sulis (adik Heru) datang berkunjung. Jadi ibu suruh dia bungkus bawa pulang. Supaya dia tidak perlu masak." Jawab Sutini masa bodoh.
"Lalu kita makan apa ibu mertua tercinta?" Tanya Dira berusaha tersenyum. Benar-benar berusaha.
"Ya, kamu tinggal masak lagi. Kalau tidak pesan makanan." Jawaban enteng plus tengil, dari sang ibu mertua.
Membuat Dira menadahkan tangannya."Uangnya mana?"
"Kamu kan kerja. Ini tanggal muda, pasti kamu punya uang lah." Sutini mengangkat salah satu alisnya.
"Gajiku 3 juta, ibu ambil untuk ongkos mengurus anak 900.000. Sisa 2.100.000, untuk bayar sekolah 100 ribu. Untuk jajan Pino 150 ribu sebulan. Beli beras kurang lebih 500 ribu. Uang bensinku 300 ribu. Jatah beli lauk 35 ribu sehari! Itu aku sudah berusaha hemat gila! Untuk beli sabun saja tunggu dapat lemburan!" Ucap Dira murka.
"Kan itu tugas seorang istri. Harus pintar-pintar mengatur keuangan." Sutini masih tersenyum, menatap ke arah menantunya yang murka."Seharusnya kamu beruntung, punya suami seperti Heru, sudah ganteng, manager lagi! Kamu bisa menyombong kemana-mana."
"Ibu mertua tersayang, masalahnya anakmu uangnya entah melayang kemana. Tidak melayang ke kantong istrinya." Pada akhirnya Dira menghela nafas, mulai memasak nasi goreng untuk anak tercinta. Yang penting kenyang, entah apa isi perut.
"Teman-teman Heru di kantor semuanya penampilannya elit. Punya handphone bagus, pakai pakaian bermerek. Kamu tidak pandai merawat diri." Kembali Sutini mengeluh.
"Aku juga elit, ekonomi sulit." Dira menatap nyalang.
***
Hari sudah larut. Pada akhirnya suami tercinta pulang dari tempatnya bekerja. Memarkirkan mobil second yang dibeli dengan mencicil. Membawa I-phone, tidak lupa jam tangan seharga jutaan menghiasi pergelangan tangannya.
Memasuki rumah, hal pertama yang dilakukan Heru? Memanggil istrinya tercinta dengan panggilan penuh kasih sayang."Dira! Aku mau minum! Baru pulang kerja bukannya disambut malah bikin stres!" Suara cinta yang begitu keras dan merdu.
Membuat Dira langsung keluar. Menghela napas kasar, memungut dasi dan sepatu yang diletakkan asal oleh suaminya.
"Heru! Hari ini kamu gajian kan?" Sutini menadahkan tangannya.
"Ini untuk ibu..." Heru memberikan setengah gajinya. Kurang lebih 8,5 juta rupiah dari gajinya yang mencapai 17 juta rupiah.
Sedangkan bonus 10 juta yang diberikan Bima, tentu saja untuk jalan-jalan dengan Soraya. Semuanya sudah ada jatahnya.
"Untukku?" Dira menadahkan tangannya.
"Kamu kan sudah punya gaji sendiri. Lagipula listrik dan air aku yang bayar." Heru tersenyum, masa bodoh dengan apa yang dikatakan istrinya tercinta.
Seakan melupakan kata-kata Binara Mahendra, uang bonus 10 juta untuk memanjakan istrinya.
"Heru, kamu kan gajian, kita makan di luar ya?" Pinta Sutini.
"Hore!" Pino berlari menghampiri mereka."Makan di luar! Makan di luar!"
"Pino di rumah jaga ibu. Bagaimana jika ibu dirampok orang jahat." Ucap Heru, tidak ingin anaknya berlari kesana-kemari membuat malu. Tapi jika membawa Dira untuk menjaga Pino, sudah pasti istrinya akan memakan lebih banyak uang.
Pino tertunduk kecewa. Tangannya memegang jemari tangan Dira. Perlahan Dira tersenyum, mengusap pucuk kepala putranya."Pino sayang, nenek dan ayahmu meninggalkan kita di rumah. Kalau ada perampok masuk, lalu menculik ibu, lebih baik Pino ikut ibu. Siapa tau om penculik tampan, kaya, perhatian, sayang Pino." Sarkas Dira menyindir suaminya.
Tapi, sebuah sindiran yang bagaikan terpental."Kami berangkat! Jangan lupa setrika pakaianku untuk besok." Ucap Heru melangkah pergi bersama ibunya.
"Iya! Tidak sekalian aku setrika wajahmu?" Seorang istri yang menghela napas.
Tapi, tidak dapat pulang ke rumah kedua orang tuanya. Orang tua yang memegang prinsip, istri harus ikut apapun perintah suami.
"Bercerai..." Gumam Dira, perlahan menitikkan air matanya. Segalanya sering terlintas, tapi jemari tangan sang anak membuatnya tidak dapat berpaling.
"Ibu...apa paman penculik benar-benar akan datang? Apa baik, perhatian dan mau bermain bersama Pino?" Tanya Pino antusias.
"Ibu hanya menyindir ayahmu. Tapi dia tidak sadar juga. Muka batu!"
Restauran yang cukup terkenal. Makanan di tempat ini tentu saja bernilai tinggi.
Memakai pakaian terbaiknya, berusaha terlihat berkelas. Lagipula putranya saat ini seorang manager bukan? Sebagai ibu dari anak yang membanggakan, dirinya harus tampil maksimal.
"Apa enak?" Tanya Heru.
"Enak, tapi dagingnya kurang matang. Boleh ibu pesan nasinya?" Sutini bertanya pada putranya. Membuat Heru menghela napas kasar.
"Dagingnya memang tingkat kematangan soft. Dan nasi? Mana ada orang yang makan steak pakai nasi." Pemuda yang berusaha tersenyum benar-benar berusaha. Tidak ingin citranya hancur di depan pacar tersayang.
"Ibu, sebenarnya hari ini aku ingin memperkenalkan ibu dengan seseorang." Lanjut Heru, membuat Sutini tertegun, menghentikan gerakan tangannya.
"Siapa?" Tanya Sutini menelan ludah, memiliki firasat tidak enak.
"Ada...tapi nanti ibu harus jaga sikap didepannya. Dia orang yang berharga untukku." Heru tertunduk tersenyum-senyum sendiri.
Benar kan! Firasat perselingkuhan menyengat. Sutini menelan ludahnya, berharap menantunya tersayang tidak digantikan.
Dan benar saja, seorang wanita cantik, dengan bentuk tubuh bak gitar spanyol. Pakaian berwarna merah menantang, rambut bergelombang indah seperti... tsunami?
Sudahlah...
"Hai tan..." Soraya tersenyum, Heru menyambutnya. Memeluk Soraya, mencium pipi kanan dan pipi kirinya. Kemudian duduk di dekat Heru.
"Ibu perkenalkan ini Soraya. Soraya, perkenalkan ini ibuku." Pemuda yang memperkenalkan Soraya penuh kebanggaan. Mengingat dari sudut mana pun pacarnya sempurna maksimal. Dibandingkan dengan istrinya yang begitu... minimal?
"Soraya..." Soraya mengulurkan tangannya. Sedangkan Sutini dengan ragu membalasnya.
Walaupun mulut menantunya tersayang jika sudah marah seperti setan. Tapi saat Sutini sakit, Dira yang menjaganya, bahkan mengurusnya lebih dari yang Heru lakukan.
Menelan ludah, super woman yang dapat melakukan segala pekerjaan itulah Dira. Walaupun mulutnya kasar, tapi hatinya bak malaikat.
"Ja...jangan bilang." Sutini terbata-bata berharap ini tidak terjadi. Membalas uluran tangan Soraya, kemudian menarik tangannya sendiri.
"Ibu... sebenarnya setahun ini aku menjalin hubungan dengan Soraya. A...aku mencintainya. Dia wanita yang sempurna, bahkan penghasilannya lebih besar dari Dira." Ucap Heru bersungguh-sungguh.
Ibunya akan mendukung bukan? Dari atas sampai bawah, tidak ada yang kurang dari Soraya. Sudah pasti ibunya akan menjadi pemuja Soraya.
Tapi.
Srash!
"Kamu selingkuh!?" Teriak Sutini tiba-tiba murka, menyiram kemudian menjambak rambut putranya.
"I...ibu, Soraya wanita karier, gajinya lebih dari lima juta sebulan. Dia juga---"
"Selama Dira bekerja, aku yang menjaga Pino. Jika kamu berani bercerai, maka Dira akan membawa Pino! Aku tidak rela!" Serangan dari seorang nenek yang mengasuh cucunya dari berumur 2 tahun hingga saat ini. Walaupun digaji 900.000 oleh menantunya sendiri.
"Ta... Tante, aku mencintai Heru. Kami cepat atau lambat akan memiliki anak sendiri." Soraya benar-benar berusaha tersenyum. Benar-benar berusaha, total 6 juta uang yang diberikan Heru setiap bulan pada dirinya. Ditambah dengan hadiah, serta jalan-jalan setiap akhir pekan.
Tentu saja dirinya tidak ingin kehilangan Heru.
"Ibu tenang! Ini memalukan!" Heru pada akhirnya membentak ibunya. Sedangkan Sutini hanya merungut, melihat ke arah lain.
Menantunya tersayang yang malang. 8 tahun pernikahan, sudah benar-benar bersabar. Dari Heru kuliah tidak mendapatkan nafkah sebagaimana mestinya. Hingga sang suami menjadi manager. Malah berakhir diselingkuhi.
"Pokoknya ibu tidak setuju! Dimana lagi ibu mendapatkan menantu seperti Dira." Geram Sutini.
"Ibu setiap malam selalu mengeluh mulutnya seperti setan." Heru menghela napas tidak mengerti tentang ibunya.
"Walaupun kami selalu bertengkar. Kami saling sayang!" Ucap Sutini masih saja tidak mau melihat ke arah putranya.
"Ibu, aku menikah dengan Dira, karena ibu dan ibunya Dira menjodohkan kami. Dan sekarang aku menemukan cinta sejati ku...Soraya..." Ucap Heru memegang jemari tangan Soraya.
Pasangan yang saling menatap, penuh rasa cinta, bagaikan cinta setegar batu karang. Dimana tahi kucing rasa coklat. Walaupun... penulis pun tidak tahu dimana letak enaknya tahi kucing. Mungkin Soraya dan Heru pernah memakan tahi kucing? Entahlah...yang jelas pasangan ini saling mencintai.
Tidak ada jawaban dari Sutini. Dirinya mungkin bagaikan antagonis di kehidupan putranya. Menghela napas, hanya dapat berharap Heru mengakhiri hubungan terlarangnya.
Seseorang turun dari lantai dua. Tersenyum mengantarkan kepergian dua orang warga negara asing. Mungkin merupakan salah satu partner bisnis sampingannya.
Menghela napas, tapi hanya sejenak mengerutkan keningnya. Menelan ludah, Bima menggeleng. Menatap ke arah Heru, seorang wanita paruh baya dan seorang wanita dengan pakaian berkelas yang duduk memunggunginya.
"Dia sudah menjadi istri orang lain..." Gumamnya, mengira Heru tengah malam malam dengan Dira.
Bima hanya menginginkan kebahagiaan mantan kekasihnya. Bahkan Bima-lah yang menaikkan jabatan Heru. Laporan yang amburadul, pemuda itu yang lembur memperbaikinya.
Harapannya hanya satu, Dira dapat hidup berkecukupan. Karena hal itu tidak dapat diberikan Bima di masa menjadi kekasihnya dulu. Hal yang membuat Bima memutuskan hubungannya dengan Dira dengan alasan sudah bosan.
Padahal aslinya, tidak ingin kekasihnya ikut dikejar penagih hutang. Walaupun orang tua Dira juga tidak setuju saat itu, dengan alasan Dira telah dijodohkan dengan pria yang lebih baik.
Bima hanya terdiam, mengira itu adalah Dira.
Hingga.
Kala Soraya sedikit menoleh ke samping, wajah wanita itu terlihat.
"Suami setan!" Gumam Bima mengepalkan tangannya. Menahan amarah, melangkah mendekati meja tempat Heru berada saat ini, menyadari bukan Dira yang tengah makan malam dengan Heru.
"Pa...pak Bima?" Heru tersenyum canggung melihat ke arah atasannya.
"Pak Bima, sedang apa disini?" Soraya menyelipkan anak rambut di telinganya sendiri. Bagaimana pun Binara Mahendra merupakan atasan yang paling keren. Paling kaya, sekaligus paling cuek.
"Boleh aku bergabung?" Tanya Bima berusaha tidak marah. Padahal hatinya mendidih, dirinya dulu sering makan bakso semangkok berdua dengan Dira, saking miskinnya. Tapi, suami Dira saat ini malah makan malam di restauran mewah dengan selingkuhannya?
"Aku ingin mencekik mu!" Teriak Bima dalam hatinya.
"Tentu saja!" Soraya menarikkan kursi untuk Bima.
Bersamaan dengan itu seorang pelayan memberikan daftar menu pada Bima. Atasan yang aneh, hanya memesan minuman tanpa makanan.
"Dimana istri dan anakmu? Ini hari gajian, tidak keluar bersama mereka?" Pertanyaan yang begitu ringan dari Bima penuh dengan senyuman tulus.
Heru tertunduk sejenak, menelan ludahnya."I..itu..."
"Anaknya Heru sakit! Istrinya sedang menjaganya di rumah." Alasan yang diberikan Soraya, benar-benar cepat.
"Begitu?" Bima meminum sedikit jus di hadapannya."Jika aku mempunyai istri dan anak, kemudian anakku sakit. Aku akan meminta istriku beristirahat, sementara aku menggantikannya menjaga anak kami."
Sebuah kalimat yang berarti, mampus! Orang yang paling membelanya di kantor terlihat tidak senang.
"Hanya flu, istriku sering tidak percaya diri dengan penampilannya. Karena itu---" Kalimat Heru disela.
"Bukankah aku menyuruhmu membahagiakan istrimu? Lalu apa yang kamu lakukan disini. Mau mati!?" Pertanyaan dari Bima seketika membuat nyali Heru ciut.
"Ma... maaf! Maaf! Aku akan pulang!" Heru segera pergi menarik tangan ibunya. Diikuti oleh Soraya.
Tujuannya? Tentu saja setelah mengantar Sutini pulang. Dirinya akan menginap di hotel berbintang bersama Soraya. Menunjukkan betapa kuat cinta mereka.
Sedangkan Bima, masih duduk di kursi meja restauran."Pria sial..." umpatnya.
Tidak cinta? Lalu mengapa Pino dapat lahir? Pernikahan yang berdasarkan perjodohan dan paksaan orang tua. Berusaha menerima kenyataan, berusaha mencintai suaminya, hingga Pino dapat terlahir ke dunia ini.
Membelai rambut putranya. Dira tersenyum, awal pernikahan memang sulit, saat itu Heru masih kuliah. Hingga dirinya yang memenuhi kebutuhan mereka sementara waktu.
Setelah wisuda, Heru beberapa kali berganti pekerjaan, penyebabnya sang suami cepat bosan dan tidak disiplin. Berusaha bersabar, gaji dirinya yang kecil digunakan untuk bertahan.
Namun, kala Heru mendapatkan pekerjaan di perusahaan kali ini. Dira fikir bebannya akan semakin ringan. Tapi pada akhirnya, malah bertambah berat.
Inilah saatnya menyambut kedatangan suaminya tercinta.
Wanita yang memakai daster murah, pakaian bekas tetangganya yang kebesaran. Mengikat rambutnya, siap bersedia bagaikan guru matematika yang akan memasuki kelas.
Membuka pintu, berjalan ke luar mengetahui suaminya tidak akan pulang ke rumah, telah berdiri di depan gang kala Sutini turun dari mobil. Tapi anehnya Heru tidak turun dari mobil? Matanya menyipit, mengetahui ada seorang wanita di dalam mobil.
"Kalian mau kemana?" Tanya Dira menyilangkan tangan di depan dadanya. Istri yang mengetahui ada yang tidak beres. Setidaknya sudah curiga.
"Begini, Heru ada urusan bisnis. Kita pulang ya?" Pinta Sutini menarik menantunya.
Namun, raut wajah Dira yang galak, membuat nyali Sutini menciut.
"Heru! Tidak turun dari mobil?" Teriak sang istri.
"Aku harus mengantar temanku pulang. Selain itu kami ada urusan bisnis." Teriak Heru dari dalam mobil. Langsung menginjak pedal gas, melarikan diri. Sebelum Dira bertambah murka, biarlah ibunya yang menghadapi Dira.
Lagipula Soraya yang tercantik di dunia lebih penting. Ini hari gajian, harus membahagiakan Soraya bukan?
"Dira, kita pulang ya?" Pinta Sutini gemetar.
Dira menghela napas."Ibu tidak makan, makanan pedas kan? Nanti asam lambungnya kumat."
"Agak sedikit pedas..." Sutini terkekeh.
"Sudah, ayo pulang dan tidur." Hanya itulah yang diucapkan Dira. Sang menantu yang berbalik, sedangkan Sutini hanya menatap ke arah punggungnya.
Total 8,5 juta masih ada di tangannya. Putrinya yang tinggal terpisah masih mengontrak rumah, juga mencicil mobil murah. Uang yang disisihkan oleh Sutini untuk putrinya, sedangkan menantunya, tidak pernah kebagian apapun, kecuali uang listrik, air dan gas.
Menghela napas kasar. Heru berselingkuh, jika Dira tahu, marah besar, kemudian meminta bercerai. Bagaimana?
Wajahnya pucat pasi. Meskipun kata-kata Dira kasar, sering bertengkar dengannya. Tapi Dira yang mengurusnya lebih dari Heru dan Sulis (adik Heru).
"Ibu, jangan banyak fikiran. Jika ibu sakit, aku yang repot. Nanti siapa yang mengurus Pino saat aku bekerja." Dira tidak menoleh ke belakang sama sekali. Hanya berjalan diikuti ibu mertuanya.
"Iya!" Sutini mengangguk, menitikkan air matanya."Heru tidak berselingkuh. Dia memang sedang mengurus usaha sampingan. Katanya ayam geprek, dengan teman sekantornya. Nanti, kalau usahanya sudah buka, kamu tidak perlu menanggung uang beras lagi. Akan ada juga uang untuk membeli lauk setiap pagi." Janji caleg yang diucapkan Sutini.
"Iya, aku tau." Tapi entah kenapa Dira cenderung pendiam, hari ini.
"Heru tidak berselingkuh." Sutini menarik tangan menantunya agar menghadap ke arahnya."Percaya pada ibu ya?"
Dira hanya mengangguk sembari tersenyum."Uang yang diberikan Heru, aku boleh minta 500.000?" tanya menantunya tersenyum tengil.
"Mana boleh! Kerja dong!" Kembali Sutini melangkah meninggalkan menantunya, menyimpan dompetnya baik-baik. Tidak ingin dompetnya digeledah.
"Ibu mertua setan! Ibu juga makan! Jadi harus ikut kontribusi!" Teriak Dira mengejarnya.
Dira tidak bodoh, dirinya tahu, tapi pura-pura tidak tahu. Menyembunyikan segalanya di balik topeng. Suami hasil perjodohan, berusaha keras mencintai Heru, melupakan mantan kekasihnya.
Tapi segalanya berakhir dengan kekecewaan. Untuk apa bertahan? Entahlah...selama Heru tidak mengatakan dengan lantang. Dirinya tidak mencintai Dira. Wanita yang akan menutup mata dan telinga nya. Karena mengetahui hidup sebagai singel parents dengan satu anak di kota besar tidak akan mudah. Terlebih tidak ada dukungan dari keluarganya.
Siapa yang akan menjaga Pino kala dirinya mencari nafkah?
***
Minuman mahal, memesan kamar di hotel berbintang. Ini adalah hari gajian, maka saatnya untuk bersenang-senang.
Tidak mengenakan apapun di balik selimut. Suara lenguhan masih terdengar, hingga akhirnya rasa lega, mengantarkan ketenangan.
"Kapan kita menikah?" Tanya Soraya dengan napas tidak teratur. Tubuh bagian bawah mereka masih menyatu di bawah selimut.
"Setelah aku dan Dira bercerai." Jawab Heru, mendekap tubuh Soraya. Setelah melepaskan benihnya. Wajahnya tersenyum bahagia, Soraya adalah cinta sejatinya.
Lagipula apa yang bagusnya Dira? Hanya istri cerewet yang jutek, marah-marah tidak jelas setiap hari. Penghasilannya juga kecil, cuma tamatan SMU. Hanya istri hasil perjodohan.
"Kamu tidak mencintai istrimu kan? Bagaimana pun kamu sudah punya Pino, aku cemburu." Keluh Soraya manja.
"Sebentar lagi kita juga akan punya anak." Heru tersenyum, membelai pelan rambut Soraya. Cinta sejatinya, wanita karier lulusan S1. Berbeda kelas dengan Dira yang bekerja di konfeksi, selalu berbau bawang putih dan minyak telon.
Manager sepertinya, lebih pantas dengan wanita karier seperti Soraya bukan?
Kembali melanjutkan segalanya. Ini adalah malam minggu, jadi besok mereka dapat jalan-jalan ke luar kota.
Hujan kembali mengguyur di luar sana. Menambah sensasi kehangatan, kala napsu lagi-lagi merasuki. Heru yang fokus dengan cinta sejatinya.
Tapi apa benar sama dengan yang ada di fikiran Soraya? Yang ada di imajinasinya, hanya Binara Mahendra (Bima). Atasan yang belum menikah hingga kini, begitu dingin di hadapan karyawan. Tubuhnya pasti bagus... kekayaan... segalanya melebihi Heru.
Namun, tetap saja lebih baik dengan Heru saat ini yang sudah pasti memujanya. Manager dengan gaji yang tinggi.
"Apa mungkin pak Bima menyukaiku. Dia cemburu saat kita bersama?" Tanya Soraya pada Heru di sela ciuman mereka.
"Soraya, jangan membuatku cemburu. Karena pak Bima tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku. Kamu begitu cantik, jika dia menyukaimu. Aku akan menjagamu, agar dia tidak mendekatimu." Jawab Heru, tidak mengetahui untuk bulan depan tidak akan ada bonus lagi untuknya.
Tentunya, sang atasan sudah benar-benar jenuh.
***
Jika mencintainya, maka dorong lah agar dia bahagia. Bagaimana pun Dira sudah menikah. Karena itu, Dira hidup bahagia dengan keluarga barunya. Hanya itulah yang ada dalam fikiran Binara Mahendra.
"Tidak! Tidak boleh! Hanya boleh membantu, tidak boleh mendekat atau merusak rumah tangganya." Bima menggeleng beberapa kali.
Mengamati dari jauh, Dira terlihat tengah menyapu di depan rumah. Kulitnya masih putih, tapi kenapa begitu kurus, kenapa memakai daster lusuh?
Selama tiga tahun, Binara Mahendra selalu memberikan bonus 10 juta rupiah pada Heru. Hanya agar Dira memiliki keluarga bahagia yang berkecukupan. Tapi apa itu! Seperti ibu-ibu rumah tangga biasa yang kurus kering?
"Sial!" Gumam pria yang tidak dapat mendekat. Bagaimana pun, merebut istri orang adalah perbuatan tidak bermoral.
Tapi...
"Kenapa aku cinta sedangkan suaminya tidak cinta." Bima mengacak-acak rambutnya frustasi.
Pada akhirnya menghela napas, menelan ludah melangkah mendekat. Memberanikan diri untuk menyapa. Hanya menyapa, tidak boleh lebih, sebagai kenalan.
Mendekati rumah itu, Binara Mahendra kemudian berucap, berusaha terlihat alami."Ini Dira kan?" Tanyanya dari balik pagar yang tidak begitu tinggi.
"Ini buaya tukang selingkuh kan?" Dira tersenyum, benar-benar berusaha tersenyum.
"Kamu seperti ibu-ibu bau bawang..." Entah kenapa hinaan yang malah keluar dari mulut Bima.
"Dasar!" Teriak Dira mengambil air pel kotor.
Byur!
Pemuda yang disiram oleh sang mantan."Inilah karma perebut istri orang... tidak punya niat, tidak melakukan usaha. Tapi sudah terjadi bencana..." gumamnya dengan suara kecil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!