Genap 16 tahun usianya, saat Nafisa Putri Celine mengikuti kedua orang tuanya pindah rumah. Tazkia dan Husin—orang tuanya itu memutuskan menjual rumah lamanya dan pindah ke kota ini dengan tujuan bisa dekat dengan sang sahabat, Shella dan Evan.
Putra putri mereka berteman sejak kecil, harapan mereka Fisa bisa kembali ceria di tempat baru, terlebih ada Arjuna yang akan menemaninya. Selama ini Kia sangat mengkhawatirkan pertumbuhan putrinya, karena semakin lama gadis itu berubah menjadi pribadi yang suram dan menarik diri dari dunia. Sebenarnya sudah sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya sejak kematian akungnya.
Hari pertama di kota baru, Fisa sengaja berjalan-jalan sendiri. Seperti biasa gadis itu akan membiarkan rambut pendek nya berantakan dan hampir menutupi mata. Langkah kakinya tergesa menyusuri trotoar jalan saat ia harus melewati toko khusus menjual cermin.
Kalau Fisa tahu di tempat ini ada penjual cermin ia pasti tak akan sudi melewati jalan ini, tapi kepalang tanggung ia tak mungkin putar balik karena tujuan utamanya adalah toko buku yang berada di deretan sama, hanya berjarak sekitar 5 toko saja dari toko cermin itu.
BRUK….
“Aw.”
Fisa terkejut, rupanya ia tak sengaja menabrak seorang gadis kecil. Gadis itu terjatuh dan sikunya tergores aspal, timbul perasaan bersalah di hatinya.
“Aduh, maaf ya adik kecil kakak nggak sengaja, tanganmu jadi terluka, tunggu sebentar ya biar kakak belikan plester obat,” kata Fisa menyisir jalanan di depannya, berharap menemukan apotik di sekitar mereka.
“Tidak perlu Kak, ini cuma luka ringan kok. Lagian aku sudah kelas 5 SD lo, bukan anak kecil lagi, kata ibu aku nggak boleh cengeng karena aku anak yang hebat,” jawab gadis berusia 11 tahun itu.
Fisa tersenyum mendengar jawaban gadis ini, ia membantunya berdiri dan membersihkan celananya yang kotor. Fisa sedikit berjongkok untuk menjangkau celana bagian bawah gadis kecil itu, senyum kecil tersungging di bibirnya. Jujur saja itulah senyum pertamanya sejak datang ke kota ini, senyum tulus yang ia berikan pada gadis kecil yang begitu cantik dan pintar.
“Terima kasih ya Kak,” tutur gadis kecil itu lagi.
“Kok terima kasih, justru kakak yang harus berterima kasih karena kamu memaafkanku, oh iya nama kamu siapa?”
“Namaku Celine,” jawabnya.
“Wah, nama kita sama loh. Itu nama belakang Kakak, sayangnya kakak dipanggil Fisa bukan celine. Memangnya Celine mau ke mana?” tanya Fisa lagi.
Celine menunjuk ke arah toko cermin, tapi kemudian beralih tepat di sampingnya. Sebuah warung makan padang ada di sana, menurut Celine itu usaha orang tuanya. Fisa sudah tak bisa berpikir jernih, saat Celine salah menunjuk ke toko cermin ia tak sengaja melihat bayangan mereka dari pantulan cermin yang berjajar di depan toko, cermin-cermin besar itu menampilkan bayangan Celine yang sedang berdiri dan Fisa berjongkok di depannya.
Hanya saja, pada bayangan Celine ia melihat cahaya putih di separuh badannya, dari kaki menuju pusar. Cahaya yang selama ini ia hindari mati-matian, cahaya yang mengakibatkan akungnya pergi untuk selama-lamanya. Nafas Fisa mulai tak beraturan, dadanya sesak, matanya memerah menahan rintik yang siap menderas kapan saja.
Tangannya sedikit bergetar, tapi Fisa berusaha keras menyembunyikan semua dan tetap menyuguhkan senyuman termanis untuk gadis kecil di depannya itu. Gadis itu tersenyum polos, setelah itu berpamitan pergi. Nafisa melihatnya berlalu saat sebuah suara memanggil Celine dari seberang jalan.
“Celine…”
“Kakek!”
Celine bergerak cepat, langkah langkah kecilnya hendak menyeberang jalan untuk menjemput sang kakek yang baru turun dari bus kota, sepertinya kakek gadis itu datang berkunjung. Di saat yang sama Fisa melihat sebuah truk melaju cepat dari arah berlawanan, Celine kecil tak menyadari hal itu.
“Celine… awas!” jerit Fisa, gadis itu justru berhenti di tengah jalan dan menatapnya sambil melambai, Fisa tak ingin kejadian sama terulang kembali, menyaksikan kematian seseorang dengan cahaya putih di kakinya. Mungkin dulu ia tak bisa menyelamatkan sang kakek, saat kakek nya itu meninggal karena penyakit. Tapi kali ini mungkin saja berbeda, ada kemungkinan Fisa bisa menyelamatkan gadis kecil itu. Ia berlari cepat menarik tubuh Celine.
Ckiiiiit……
Fisa berguling di jalanan dengan tubuh Celine berada dalam pelukannya, matanya terpejam saat suara decitan roda truk mendengung di telinga. Sejurus kemudian sumpah serapah ia dengar dari mulut supir truk itu, sang kakek mewakili mereka meminta maaf. Ayah Celine meninggalkan warungnya, datang menjemput putrinya yang hampir saja menjadi korban kecelakaan. Lalu mereka bersama-sama menepi di seberang jalan, tepat di samping sebuah mall yang sedang di renovasi.
“Terima kasih, Tuhan. Masih melindungi putriku, terima kasih Dek kamu sudah menolong anakku, terima kasih banyak.” Ayah Celine menangis saat mengucapkan rasa syukurnya itu. Fisa hanya tersenyum melihat mereka, ia sendiri benar-benar lega. Ini kali pertama Fisa bisa membuktikan bahwa tanda kematian berupa cahaya putih yang ia lihat lewat pantulan cermin masih bisa dicegah.
Kakek Celine juga mengucapkan terima kasih, beliau bahkan memberikan beberapa oleh-oleh dari kampungnya untuk Fisa. Fisa menolak tapi Celine memintanya untuk menerima.
"Terima saja Kak, ini hadiah dari kami karena Kakak orang baik," kata gadis itu. Fisa terharu mendengar ucapannya, ia lantas menyambut pemberian sang kakek dengan suka cita dan rasa syukur yang tak henti diucapkannya.
"Baiklah, kalau begitu kami pergi dulu ya Dik, hati-hati di jalan." Ayah Celine menggandeng tangan putrinya, mereka tidak menyeberang jalan melainkan berjalan lurus ke depan, Fisa mengira mungkin saja mereka masih ada keperluan yang tak diketahuinya. Sesekali gadis kecil itu masih menoleh, tersenyum manis dan melambaikan tangan lagi.
Sang kakek berjalan lambat, lelaki yang mungkin sepantaran akungnya itu juga masih melambai, setelah itu barulah beliau menyusul langkah putra dan cucunya yang berada jauh di depan.
Baru saja Fisa berhenti membalas lambaian tangan mereka, saat sebuah material bangunan tiba-tiba terjatuh dari atas gedung yang sedang direnovasi, sepertinya ada kerusakan pada alat yang digunakan para pekerja, hingga material berbobot berat itu terjun bebas menghantam kepala gadis kecil tak berdosa itu.
BRAK….
“Aaaah!” Nafisa jatuh di atas trotoar, oleh-oleh pemberian Celine terlempar dari tangannya. Beberapa detik lalu tepat di depan matanya Celine melambai dengan senyum manisnya, tapi kini kepala gadis itu pecah tertimpa material pembangunan gedung besar itu. Kakek tua yang berjalan beberapa langkah di belakang selamat, tapi ayah Celine terluka parah. Hanya Celine yang sepertinya tak tertolong, perlahan Fisa melirik toko cermin di seberang sana, ia bisa melihat cahaya putih di kaki Celine perlahan-lahan berubah warna menjadi hitam.
“Hah… hah… hah…” Nafas Fisa tercekat, Celine telah tiada. Gadis kecil itu meninggal tepat di depan matanya, saat ia menyangka berhasil menyelamatkannya dari kematian, tapi rupanya ia salah menduga. Penyebab kematian Celine bukanlah kecelakaan truk, melainkan tertimpa material pembangunan.
Semua warga berkumpul, suara mereka terdengar bagai kawanan lebah yang berdengung di telinga Fisa, ia melihat seorang lelaki menelpon ambulance, dan yang lain menghubungi polisi. Beberapa wanita membantu menenangkan kakek, dan darah Celine menggenang di trotoar.
Kemudian Fisa melihat asap hitam muncul dari dalam lubang selokan, berputar-putar di sekeliling jasad Celine. Asap hitam itu menjelma sebagai sosok mengerikan, berwajah rusak dan mata merah, tubuh kurus kering dan kaki panjang yang jari jarinya berbentuk pipih dan lebar, terdengar bunyi plak plak plak saat kaki gepeng itu menapak aspal.
Ada sekitar 5 makhluk yang kini sedang berebut menjilati darah bekas kecelakaan Celine, mereka terlihat begitu rakus seolah darah itu adalah makanan terlezat di dunia.
“Huek…huek…” Fisa tak tahan melihat ini, meski bukan pemandangan asing, tapi tetap saja ia jijik dan mual. Fisa melupakan pemberian kakek Celine, fokusnya kini adalah pergi dari tempat itu. Jatuh bangun ia berusaha bangkit, terkadang merangkak demi bisa sedikit menjauh dari tempat kejadian.
Kakinya lemas seketika, bayangan material beton menghantam kepala sekecil itu membuatnya tak berdaya, tangisnya begitu menyesakkan hati. Ia baru saja mengenal Celine, tapi melihat kejadian seperti ini di depan mata mengguncang mentalnya.
Fisa berusaha keras untuk berdiri, perlahan tapi pasti kakinya melangkah pergi, di pertigaan jalan ia menyempatkan diri menengok ke belakang, melihat sebuah ambulans yang baru saja tiba. Jasad Celine dimasukkan ke dalam ambulance, mungkin keluarganya masih berharap gadis itu dapat tertolong, mereka tak tahu Celine telah tiada, gadis kecil itu berdiri di samping ayahnya dengan wajah pucat, menatap tubuhnya sendiri.
Fisa tak ingin terlalu lama di tempat itu, ia menyeret langkahnya kembali pulang. Inilah salah satu alasan ia enggan keluar rumah, kejadian yang tak bisa diprediksi dan hanya bisa dilihat olehnya, Fisa membenci hal ini. Kakinya melangkah tergesa, beberapa kali menengok ke belakang, ada perasaan cemas jika makhluk-makhluk menyeramkan tadi mungkin saja mengikutinya, ia bisa merasakan aura makhluk jahat dari para jin itu, ia enggan terlibat dengan mereka.
“Ahh..” Fisa menabrak seseorang, mata keduanya bertemu. Saat itulah ia yakin semuanya telah aman, semuanya telah berakhir. Fisa menangis hebat dalam pelukan seorang lelaki yang menangkap tubuhnya tadi, lelaki itu mengusap rambutnya pelan, berusaha memberikan ketenangan.
...
Bismillah, semoga suka ya dengan cerita baru author... 😌🤭
Matahari pagi yang hangat mulai menyinari jendela, membanjiri kamar dengan cahaya emasnya. Udara yang bertiup melewati dedaunan mangga di samping kamar menghantarkan kesegaran. Meski begitu angin tak selalunya membawa kedamaian, terkadang ia juga harus menjadi perantara gugurnya para daun kering dari tangkainya, terjatuh di atas tanah atau di dalam kolam sesuai takdir sang daun berakhir di mana.
Tapi, tahukah kalian? terkadang bukan hanya daun kering saja yang gugur, bisa juga daun yang masih sangat muda. Kemungkinan daun itu sedang dipetik oleh seseorang, kemudian dibuang begitu saja di atas tanah. Seperti yang sedang dilakukan Fisa saat ini, ia memetik daun mangga yang masih muda, mencium aroma asam yang keluar dari getah daun lantas membuangnya begitu saja.
Bukan tanpa alasan gadis itu melakukan hal ini, ia hanya sedang teringat kejadian kemarin siang. Kecelakaan pembangunan yang menewaskan seorang gadis belia, gadis yang bahkan belum sempat mengejar mimpinya. Malang nian nasib gadis itu, tapi takdir sudah tertulis jauh sebelum manusia itu terlahir, tak ada yang bisa menentangnya, bahkan Fisa sekalipun.
Apa gunanya aku memiliki kemampuan ini? kalau tak bisa membantu mencegah hal buruk itu terjadi, gumam hatinya. Ia tak menyukai fakta dirinya memiliki kemampuan istimewa yang diwariskan dari sang ibu itu, ia benci kemampuannya, karena kemampuan itu juga ia harus kehilangan kakek yang sangat dicintainya.
“Fisa, cepat turun, sarapan! nanti kamu terlambat!” Itu suara ibunya yang memanggil dari lantai dasar, wanita itu menginginkan putrinya segera turun dan sarapan bersama keluarga. Ini hari pertama Fisa bersekolah di tempat yang sama dengan Arjuna, lelaki yang mengantarnya pulang kemarin.
Fisa meraih tas yang tersampir di belakang pintu, ia sedikit terkejut kala mendapati sebuah benda bulat berwarna hitam menyeringai di samping tas sekolahnya, tapi keterkejutan itu hanya sebatas angin lalu, ia sudah terbiasa menghadapi mereka sejak kecil. Ya, makhluk tak kasat mata.
Fisa meraih tas kasar, sengaja membiarkan badan tas menghantam kepala itu. Ia benar-benar tak peduli pada makhluk yang derajatnya jauh di bawah manusia itu, tak ada sama sekali rasa takut. Kecuali, satu hal.
KAMU MELIHATKU GADIS?
Hantu kepala itu melayang di depan Fisa, tapi gadis itu acuh dan berjalan melewatinya begitu saja. Sang ibu—Tazkia melihat kejadian ini, selayaknya seorang ibu yang selalu ingin melindungi putrinya ia bergerak maju mengangkat satu tangan ke udara, lalu dalam sekejap hantu kepala musnah bersama lolongannya yang terdengar mirip anjing.
Husin—ayahnya menarik satu nafas panjang menyaksikan pemandangan pagi ini, dulu ia sering takut tapi kini sudah terbiasa dengan semua keanehan dalam keluarga kecilnya. Ia membantu sang putri memindahkan beberapa sendok cumi lada hitam ke atas piring nasi Fisa, sambil tersenyum ke arah putrinya yang hanya diam.
“Fisa, berapa kali ibu katakan jangan pedulikan makhluk-makhluk itu, berpura-puralah tidak melihat mereka. Sekali saja kamu meresponnya mereka akan terus mengganggumu,” resah ibunya. Namun, Fisa hanya diam, mulutnya sibuk mengunyah cumi lada hitam kesukaannya. Bukan dirinya tak patuh selama ini, hanya saja Fisa masih sering kaget ketika melihat mereka dengan bentuk-bentuk anehnya, dan kekagetan ini yang membuat makhluk-makhluk itu tahu jika Fisa bisa melihat mereka.
“Hei, ibu bicara denganmu. Jangan kebiasaan seperti itu, nggak sopan, sudah masuk SMA itu artinya kamu sudah beranjak dewasa, ini juga apa-apaan rambut gak disisir kayak gini? orang rambut pendek aja nggak bisa rawat, gimana kalau panjang?”
“Sudahlah, Ibu. Makan saja ayo…” Husin berkedip kedip ke arah istrinya yang terus mengomel, tangan melambai dan memukul pelan kursi di sampingnya berharap sang istri segera duduk.
“Nggak bisa, Sayang. Putrimu ini sudah bukan anak-anak, penampilan macam apa ini? anak gadis bukannya pake bedak kek apa gitu, lihat mukanya! mana jerawat sudah mulai muncul, ya Allah Nduk…” Kia berjalan ke kamar, meraih sisir dan bedak miliknya lalu mulai mendandani putrinya.
Tapi Fisa yang sudah sangat kesal membanting sendok ke atas piring, ia juga menepis tangan ibunya yang hendak memberikan sapuan bedak di kulit wajahnya, nafasnya naik turun menahan amarah, sangat terlihat betapa Nafisa menahan diri untuk tak menjawab ucapan ibunya. Gadis itu berlalu pergi, meraih sepatu dan mengenakannya cepat.
“Astaghfirullah, lihatlah Ayah kelakuan putrimu itu! kirimkan saja dia ke rumah budenya, biar masuk pesantren dan ngerti rasanya mondok! udah bagus dipeduliin malah menjadi-jadi!” berang Kia.
Husin berlari mengejar sang putri, di depan rumah ia menghentikan Fisa, menyerahkan dua lembar uang lima puluh ribuan ke tangan gadis itu. “Tambahan uang saku, makan saja di sekolah sama Arjuna ya. Ingat Fisa, cari teman yang banyak ya Nak, dan maafkan ibumu. Dia seperti itu karena terlalu menyayangimu.”
Nafisa menatap datar wajah sang ayah, meraih tangan ayahnya dan menciumnya takzim. Husin tersenyum melambaikan tangan pada putrinya yang bahkan tak menoleh lagi setelah berbalik meninggalkannya. Lelaki itu kembali ke rumah menemui sang istri yang merenung sendiri di meja makan.
“Sayang, jangan terlalu keras padanya. Kamu tidak akan pernah bisa menyentuh hatinya jika terus seperti ini,” pinta Husin duduk di samping sang istri sembari memegang kedua tangan wanita yang amat dicintainya itu.
Mata Kia basah, ia tahu telah bersalah tapi setiap kali berhadapan dengan Fisa ia tak bisa menahan kekesalannya. Apalagi gadis itu hanya diam, diam dan diam lalu berujung melawan.
“Maaf Sayang, aku kelepasan lagi. Melihat sebuah kepala mengerikan melayang di depannya membuatku lupa, lupa jika Nafisa kita bukan lagi anak-anak.” Kia menggosok hidung, baginya Fisa tetaplah bayi kecilnya. Itu yang membuatnya sering lupa jika Fisa bukan anak-anak yang akan dengan senang hati meladeni makhluk-makhluk tak kasat mata, tanpa peduli mereka berbahaya atau tidak.
Husin meraih tubuh sang istri, membenamkannya di atas dada bidangnya, wanita itu sesenggukan di sana. Husin memahami kekhawatiran istrinya selama ini, fakta mustika yang dimiliki Tazkia tak memiliki reaksi apapun untuk putri mereka, membuat istrinya itu bingung.
“Nanti aku coba tanya Kak Nia lagi, mungkin kak Dewa punya kenalan seorang kyai yang dapat membantu putri kita.”
“Segera ya Sayang, kamu lihat sendiri penampilan putri kita, sungguh mengerikan. Dia sudah remaja, tapi tak tahu berdandan. Bukan, maksudku dia enggan menatap cermin untuk berdandan karena kemampuannya itu.”
“Sudahlah, diambil positifnya aja. Bukankah lebih baik begitu, jadi tak ada lelaki yang akan melirik putriku, kamu tahu sendiri betapa aku khawatir dia nggak mau mondok seperti ini,” akunya.
Kia melepas pelukan, menatap sang suami tajam. Husin jadi salah tingkah mendapat tatapan maut seperti itu, ia tahu dirinya bersalah di mata sang istri. Tapi sayangnya lelaki memang tak pernah peka, ia tak mengerti dimana letak kesalahannya.
“Kamu ini, bagi kami para perempuan berdandan rapi dan cantik itu tujuannya bukan untuk menggoda cowok, melainkan untuk terlihat lebih pantas, dan kalau kita rapi, bersih dan wangi, orang pun akan segan. Nggak ada yang berani macam-macam sama kita, kamu ingat tidak bagaimana putri kita dulu dibully di SMP? dia nggak punya teman karena penampilannya yang lusuh dan dekil itu."
Husin bungkam, ia tak berpikir sejauh ini. Baginya asal orang itu baik maka orang lain pasti akan baik juga, ia tak mengerti betapa kerasnya kehidupan di luar sana. Penampilan nomor satu, beauty privilege istilahnya.
Sejak kecil ia tinggal di lingkungan pesantren, saat lulus SD pun langsung dikirim abi ke pesantren milik keluarga kakak iparnya, jadi wajar jika Husin seperti itu.
“Lantas, kita harus bagaimana Sayang, kamu tahu sendiri Fisa membenci cermin sampai-sampai tak ada cermin di rumah kita, yang di kamar kita pun juga harus ditutup kain kalau nggak dipake.”
“Maka dari itu, aku juga nggak tau Husin, cintaku. Makin tua makin lemot ya kamu, taulah aku mau makan,” katanya meraih piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk. Husin tersenyum gemas memandang istrinya itu, sudah hampir 17 tahun pernikahan rasa cintanya masih tetap sama seperti dulu, tak berkurang sedikitpun.
...
Di depan SMA Lentera Bangsa, seorang gadis berdiri ragu-ragu. Disaat teman-teman lainnya berlarian melewati gerbang sebab bel masuk sekolah hampir berbunyi, gadis itu justru sibuk membuka dan menutup kembali botol bedak bayi di tangannya, bedak yang dibelinya beberapa saat lalu.
Nafisa putri celine, gadis yang sebenarnya cantik itu terus memikirkan ucapan ibunya. Bagaimanapun juga, Fisa tak ingin kejadian di sekolahnya dulu terulang kembali, karena itu ia memutuskan membeli bedak dan parfum dalam perjalanan ke sekolah tadi, tapi karena kurangnya pengalaman ia berakhir membeli bedak bayi dengan aroma jeruk dan parfum bayi juga.
“Ah, masa bodoh,” ujarnya menaburkan bedak di tangan, lantas mengusapnya asal di wajah. Ia tak peduli apakah riasan darurat ini sudah terlihat pantas atau tidak, yang terpenting baginya adalah sudah berusaha. Setelah itu ia menyemprotkan parfum di tubuhnya lalu melenggang masuk ke dalam gerbang sekolah.
“Hey tunggu, Nak. Kenapa kenapa kamu terlambat?”
Fisa belum mendengar bunyi bel, tapi guru paruh baya itu mengatakan jika dirinya terlambat. Saat itu beberapa siswa lain berjalan mengendap di belakang Fisa.
“Hey hey, kalian ke sini. Jangan kira bapak sudah tua nggak bisa lihat kalian ya, ayo berdiri semua, berbaris yang rapi!” titah guru berkacamata itu. Beliau memukul-mukul lantai paving menggunakan penggaris papan tulis jadul, berjalan mondar mandir di depan para siswanya.
“Yaah, Pak Anam kan belum bel juga, masih ada satu menit lagi Pak, jangan terlalu ketat lah Pak,” rengek salah satu siswa. Tapi pak Anam justru memperkuat ketukan penggaris kayunya, hal itu membuat murid-muridnya terdiam. Setelah dirasa para muridnya pasrah beliau lantas melihat satu persatu name tag dan mulai mencatat nama mereka.
“Ini, kemana tanda pengenalmu?” tanya beliau begitu sampai giliran Fisa.
“Maaf Pak tapi saya anak baru,” jawab Fisa tak berani menatap wajah guru yang menurutnya garang itu.
“Oh, kamu yang katanya keponakannya pak Dewa itu ya?”
Fisa mengangguk, ia melihat wajah pak Anam bagai gunung es yang tiba-tiba mencair, kumis tebal di atas bibirnya tertarik bersama dengan senyuman yang semakin lama semakin lebar.
“Baiklah, kamu boleh pergi. Tapi Nak, ada apa dengan wajahmu?” Pak Anam menaik turunkan gagang kacamatanya, seolah ingin melihat lebih jelas wajah murid baru itu.
Fisa meraba-raba wajahnya sendiri, para siswa yang berbaris di sampingnya pun reflek menertawakannya. Fisa heran, tapi karena pak Anam lebih tertarik pada tawa pecah para siswa di sampingnya, Fisa pun memilih segera pergi dari tempat itu. Tujuannya kini adalah kantor guru.
Di sana ia bertemu dengan seorang guru wanita yang mengaku bernama Bu Anita, beliau memberinya name tag pelajar dan beberapa buku paket, setelah itu mengantar Fisa ke kelas. Kelas Fisa berada di lantai dua, tepat di samping gudang. Fisa dapat merasakan aura tak nyaman saat harus melewati gudang yang menurut bu Anita dulunya adalah kelas yang tak terpakai.
“Selamat pagi anak-anak, ayo diam dulu! pagi ini kita kedatangan murid baru. Fisa masuklah!” titah bu Anita yang telah lebih dulu masuk ke dalam kelas.
Fisa mengikuti instruksi beliau, saat itu seisi kelas menertawakannya, bahkan bu Anita sendiri terlihat kesulitan menahan tawa. Namun, beliau segera mampu mengatasi suasana hatinya dan meminta murid-muridnya untuk diam.
“Fisa perkenalkan dirimu!”
Fisa menarik satu nafas panjang, ditatapnya wajah-wajah asing di depan mata, ia sedikit grogi tapi tekad di hatinya mengatakan jika ia pasti bisa. “Hallo semua, perkenalkan nama aku Nafisa putri celine, tapi kalian bisa memanggilku Fisa. Salam kenal semuanya dan semoga kedepannya kita bisa akur.”
Bu Anita mengajak para siswa bertepuk tangan, setelah itu menunjuk satu bangku kosong di belakang dan meminta Fisa duduk di sana. Namun, sebelum itu beliau sempatkan berbisik di samping Fisa, meminta gadis itu segera membenahi riasannya.
“Baiklah Fisa, kamu boleh duduk. Nikmati hari pertamamu ya,” kata beliau lagi sebelum benar-benar pergi. Nafisa mengangguk kaku lalu berjalan menuju bangkunya.
“Hey anak baru, riasan macam apa itu?” tanya seorang siswa bernama Jefri, siswa bertubuh gendut itu meringis menampilkan deretan giginya yang berantakan. Dia datang bersama kedua temannya, mereka tertawa cekikikan di depan bangku Fisa. Fisa mengabaikan ketiganya, memilih membuka buku paket yang baru diterimanya dari bu Anita tadi.
“Ih sombongnya, nama kamu tadi siapa? Na-fi-sa,” katanya mengeja name tag di seragam Fisa.
“Nafisa, di rumahmu ada cermin nggak?” Kali ini siswa bertubuh cungkring yang bertanya, mendengar hal itu hampir seluruh kelas menertawakannya.
“Punya otak dipakai, Tolol! udah jelas wajahnya cemong gitu ya artinya dia nggak punya cermin. Hey Nafisa, mau abang beliin nggak?” tanya si gendut Jefri lagi, ketiganya lantas kembali cekikikan seolah menggoda Fisa adalah hal baru yang menyenangkan.
“Bos, kayaknya dia sariawan deh,” seloroh Arman—siswa berkacamata. Satu-satunya yang paling pintar diantara ketiga temannya itu, tapi sayang dia malas.
“Tau dari mana?” Jefri merangkul pundak temannya itu, sambil sesekali melirik ke arah Fisa.
“Lah buktinya dia diam saja dari tadi, ha ha ha ha.” Mereka tertawa lagi.
Bagi Fisa kejadian ini rasanya tak asing, candaan-candaan ringan yang semakin lama berkembang menjadi kejahatan. Dulu ia sudah kenyang merasakan hal semacam ini, dan kali ini ia merasa tak boleh hanya diam membiarkan mereka seenaknya sendiri.
“Boleh pergi nggak? kalian sangat mengganggu,” ungkapnya.
“Huuuu… takut sekali, dia menakutkan kalau marah.” Jefri berakting ketakutan, meletakkan dua tangan memeluk pundak, persis seperti orang kedinginan. Dua temannya kompak mengikuti gerakannya, mereka terus saja tertawa sambil mengejek Fisa, menjulukinya sebagai donat gula.
Fisa bersyukur mereka akhirnya pergi, mereka hanya sekedar mengejek, dan sepertinya memang tidak berniat jahat. Mereka bertiga hanya kelompok anak lelaki usil dan suka menggoda cewek hingga menangis, bukan perundung sekolah seperti yang banyak ditemuinya di sekolahnya dulu.
“Hai Nafisa, salam kenal aku Nuria.” Seorang gadis manis tiba-tiba duduk di depan Fisa, gadis itu mengajaknya berjabat tangan. Fisa menerima uluran tangannya, tersenyum sambil menyebutkan namanya sendiri. “Oh iya jangan diambil hati ucapan mereka, mereka anak-anak nakal di kelas, tapi kalau kita berani bantah mereka bakal takut dan pergi seperti tadi,” sambungnya.
Fisa mengangguk mengerti, ia lega menyadari keputusannya membantah ucapan ketiga lelaki tadi adalah keputusan yang tepat, dan kedepannya sepertinya ia memang tak boleh hanya diam jika sedang diganggu.
“Oh iya Fisa, maaf loh kalau aku ngomong gini. Tapi, jujur bedak kamu memang sedikit berantakan, kamu tadi pakai bedak saat wajahmu basah ya?” bisik Nuria lirih. Fisa heran kenapa gadis itu bisa tahu? ia memang sempat mencuci muka tadi sebelum memakai bedak. “Terus, bedak apa yang kamu pakai?” imbuhnya.
Fisa mengerjap, ia tak mungkin jujur jika memakai bedak bayi. Namun diamnya hanya membuat para gadis di sekitar terus menatapnya, mereka seolah menanti jawaban yang keluar dari mulutnya.
“Baiklah kalau kamu nggak mau jawab, gak apa-apa, tapi bagaimana kalau aku membantumu merapikan riasanmu, Fisa?” Nuria meraih cermin kecil dari dalam tas, meletakkan benda itu di depan wajah Fisa. Tetapi respon Fisa di luar dugaan nya, gadis itu menjerit dan melempar cerminnya ke lantai, hingga cermin itu pecah berantakan.
PRANG…
“Aah!!” Para gadis menjerit kaget, seluruh kelas sontak berdiri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Wajah Fisa pucat, responnya memang berlebihan, tapi baru kemarin kejadian yang menewaskan seorang gadis kecil bernama Celine, ia semakin trauma dengan benda kesayangan kaum wanita itu, biarlah orang mengatakan dirinya aneh, nyatanya setrauma itu Fisa dengan cermin kaca.
“Hey anak baru, apa yang kamu lakukan? Nuria cuma ingin membantumu, kalau kamu nggak mau bilang baik-baik kenapa malah memecahkan cermin kesayangannya,” teriak seorang gadis berambut keriting, ucapannya itu disetujui teman-teman yang lain.
Fisa tak terlalu mendengarkan ucapan mereka, ia justru sibuk menenangkan dirinya sendiri dari ingatan buruk kemarin siang, Fisa merasa harus pergi ke toilet untuk mengambil air wudhu, ia teringat pesan ayah untuk berwudhu saat mengalami kejadian yang membuat hatinya tak nyaman seperti ini.
“Fisa, kamu nggak apa-apa?” tanya Nuria saat menyadari gadis di depannya terlihat pucat, Fisa tak menjawab ia memilih pergi begitu saja meninggalkan kelas.
“Nuria, jangan sabar-sabar deh jadi orang. Kamu berhak marah lo, itu kan cermin kesayanganmu, harusnya gadis itu minta maaf.”
“Iya, benar kata Lisa, saran kami mending jangan temani si donat gula itu deh, kayaknya dia memang aneh,” sahut gadis lainnya. Nuria tersenyum ramah, ia justru merasa kasihan pada Fisa, ia yakin ada alasan dibalik kelakuan gadis itu.
"Maaf teman-teman, tapi aku pergi dulu ya. Nanti kalau pak Rafan datang bilang aja masih ke toilet, oke?" katanya berlari mengejar Fisa.
...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!