NovelToon NovelToon

My Beloved Bastard

PROLOG

"Ketika ciuman pertamaku diambil paksa."

°•°•°

Berada di tengah keramaian bukanlah suatu masalah besar untukku. Tapi, lain halnya dengan di tengah-tengah aroma alkohol dan manusia yang berada di bawah pengaruh minuman keras. Terpaksa. Tolong tandai kata 'terpaksa' di sini.

Aku tidak akan sudi menginjakkan kaki di tempat terkutuk ini jika bukan untuk menghadiri acara ulang tahun sahabatku: Tita. Apalagi jika papaku sampai mengetahui hal ini, tamatlah riwayatku. Kata papa, "Kalau sampai Papa tahu pergaulan kamu rusak, pilihannya cuma dua: ikut eyang kamu ke LA, atau menikah!"

Opsi pertama, BIG NO! Opsi kedua? Haruskah aku menjawabnya? Tentu saja, EXTRA BIG NO! Hellowwww!!! Menikah? Yang benar saja! Usiaku baru lima belas tahun!

Papa tahu Tita, dan papa tahu bagaimana tabiat sahabatku itu. Tita Kamela, seorang gadis berumur enam belas tahun yang hobi party and clubbing. Maka dari itu, papaku sering kali mewanti-wanti agar aku tidak terseret ke dalam dunia seorang Tita.

"MEL!" Aku dapat mendengar Tita menyerukan namaku. Pandanganku lantas beredar ke seisi ruangan. Di mana Tita? Orang-orang setengah sadar di sini benar-benar menganggu! Oh! Itu dia!

"Gue langsung pulang, ya, Tit?" ucapku usai memberikan kado yang telah aku siapkan untuknya. Tita tampak enggan. Namun, aku lebih dulu menyela, "Bokap gue mau ngajak keluar soalnya."

Tita bungkam. Alasan yang aku lontarkan memang sudah menjadi kelemahan terbesar Tita. Bandel begini, Tita takut jika sudah berhadapan dengan papa. Berhadapan, ya. Berhadapan. Jika tidak? Ya, begini, Tita tidak akan segan untuk mengajakku berhambur dengan dunianya yang dia bilang 'seru'. Seru dari Hongkong?!

"Terserah lo, deh," ucap Tita pasrah yang kubalas dengan senyum meringis.

Tita kembali pada teman-temannya di dance floor. Aku baru tahu kalau teman-teman Tita kebanyakan om-om dan tante-tante. Penampilan mereka yang berbeda jauh denganku sempat membuat bulu kudukku meremang. Ngeri. Pakaian minimalis yang mayoritas menampilkan belahan dada, make up menor dan lipstik semerah tomat. Dan jangan lupakan high heels yang penuh siksaan itu. Jika papa melihat pemandangan ini ... ah! Aku terkesan anak papa banget, ya? Memang. Siapa lagi jika bukan papa yang aku banggakan?

Saat aku sedang menunggu taksi, tiba-tiba punggungku terasa bertabrakan dengan sesuatu. Ketika aku menoleh untuk melihat si pelaku, ternyata seorang pria berkaos abu-abu pekat tampak berusaha menahan beban tubuhnya yang nyaris limbung. Sepertinya, dia mabuk.

"Hei!" Dia menarik lenganku hingga kami terduduk di kursi panjang yang memang posisinya di samping kiriku. Aku terbelalak kaget. Apa-apaan ini?!

Tanpa mengatakan apapun, secepat kilat aku kembali bangkit, namun pria itu kembali menarikku hingga jarak di antara kami nyaris tak bersisa.

"Kamu cantik." Jemarinya dengan lancang menyentuh permukaan bibirku. Secepat kilat, aku menangkisnya. Bener-bener mabuk, nih, orang!

"Maaf, Om." Melihat celah yang ada, aku kembali berusaha berdiri, dan berhasil! Enggan kembali terjebak dalam dekapan lengannya, aku segera melangkah menjauh.

Tiga langkah berjalan, dia memutar kedua bahuku dari belakang. Hampir saja keseimbanganku hilang jika kedua telapak tangannya tidak menumpu tubuhku.

"Maaf, Om, tapi saya harus pul---"

'Cup!'

WHAT THE HELL?! Dia ... laki-laki ini ... om-om ini ... bibirnya menyentuh bibirku! SIAL!

***

Sumpah serapah tak berhenti mendobrak batinku. Harusnya aku tidak perlu ke club sialan itu! Harusnya aku ... aish! Menyebalkan! It's my first kiss! OMG!!! Aku bersumpah! Jika kami kembali dipertemukan, akan kuhajar om-om brengsek itu!

Langkahku terhenti begitu melihat papa bersandar di sofa ruang tengah dengan pakaian kantornya yang masih lengkap. Matanya terpejam. Guratan di wajah memperjelas betapa lelahnya pria paruh baya itu.

"Pa ...." Aku mengusap bahunya pelan, membuat papa membuka mata dan tersenyum hangat padaku. Aku pun tak segan membalas senyumannya. "Kenapa tidur di sini? Baru pulang?"

"Lumayan," jawabnya. "Kamu dari mana?"

"Dari ulang tahun Tita." Memang benar, 'kan? "Papa mau aku buatin minum?"

Papa menggeleng pelan. Dari ekspresi wajahnya, aku paham benar jika banyak masalah yang tengah papa hadapi.

"Papa banyak masalah, ya?" tanyaku.

Senyum hangat kembali terpancar di bibir papa. "Kamu tidur, gih. Besok jadwal ke Starlight, 'kan?"

Aku mengangguk. "Papa juga istirahat, ya?"

*

*

*

*

*

**HALLO! SALAM KENAL! :)

MAKASIH UNTUK KALIAN YANG UDAH NYEMPETIN MAMPIR KE CERITA PERTAMAKU DI NOVEL TOON. KARENA MASIH PERTAMA, TENTUNYA MASIH BANYAK YANG HARUS DIBENAHI DALAM KARYAKU INI. KALAU MAU KASIH KRITIK, SARAN, ATAU APAPUN ITU, KOLOM KOMENTAR TERBUKA LEBAR UNTUK KALIAN.

JANGAN LUPA LIKE, VOTE, DAN FOLLOW, YA! BIAR AKU MAKIN SEMANGAT BERKARYA. :)

BAGI YANG MAU TAHU SPOILER CERITA 'MY BELOVED BASTARD', BISA FOLLOW AKUN INSTRAGRAM @freya_karalaika

DITUNGGU LIKE, VOTE, DAN SARANNYA, YA! :)

Love,

Freya_K.A**

BAB 1

Menjalani hari-hari sebagai seorang anak homeschooling bukanlah hal yang mudah. Aku sering kali dianggap sebelah mata. Terutama oleh para sepupuku. Padahal, homeschooling adalah cara papa untuk menjauhkan aku dari pergaulan bebas. Dan ya, aku menyetujuinya. Bahkan, aku pro dengan papa. Mendengar cerita-cerita 'seram' dari tetanggaku—Bagas—yang kini menjadi siswa SMA, membuatku bersyukur memiliki papa.

Oh, ingin tahu tentang mama? Mamaku meninggal saat aku dilahirkan. Ini juga salah satu faktor keluarga mama tidak begitu suka terhadapku, terutama eyang. Aku tidak peduli. Toh, aku punya papa yang selalu membuatku merasa lengkap. Aku akui, kebanyakan teman-teman yang juga menjadi seorang anak homeschooling sepertiku adalah anak-anak 'istimewa'. Tetapi, tidak semua. Tidak semua. Camkan itu! Contohnya, seperti aku dan Tita. Aku bisa saja masuk SMA, dan menjalani aktivitas membosankan yang terikat dengan banyak peraturan. Tetapi, ini adalah hidupku, dan aku berhak untuk memilih. Dan ya, sesimpel itu. Sementara Tita, dia memilih homeschooling karena trauma dengan kata 'sekolah'.

Aku memasuki kelas A1 di Starlight Bimbel dan duduk di bangku tempatku duduk seperti biasa. Di sini, ada sekitar 50 kelas. Kelas X SMA sederajat, dibagi menjadi sepuluh kelas. Hal yang sama berlaku pula untuk kelas XI dan XII sederajat. Sisanya, adalah kelas dengan berbagai macam jurusan, seperti matematika, fisika, biologi, kimia, sejarah, bahasa, dan kawan-kawan. Untuk pendidikan di bawah SMA, di Starlight hanya mengadakan les privat.

Mata pelajaran matematika yang paling kusuka. Apalagi, dengan Pak Hasan yang amat-sangat ramah dan sabar. Metode pembelajarannya pun menyenangkan. Mirip dengan anak perempuannya—Bu Giska—yang menjadi guru privatku di Starlight Bimbel.

Sebelum pelajaran dimulai, hal yang biasa aku lakukan adalah menonton trik-trik asyik menghitung melalui YouTube. Ini yang paling kusuka dari metode pembelajaran homeschooling: kita tidak perlu mempelajari hal-hal yang tidak kita suka. Di kelas ini, ada lima belas orang siswa, termasuk diriku. Tidak setiap hari aku mengikuti pembelajaran di tempat bimbel, hanya setiap hari Senin dan Kamis. Selebihnya, aku memilih untuk mengambil privat di rumah.

Pak Hasan memasuki kelas tepat setelah video yang kuputar habis.

"Selamat pagi, anak-anak cerdas!" sapanya yang selalu penuh keceriaan.

"Pagi, Pak!" sahut seisi kelas dengan kompak.

"Dua hari lagi saya akan melanjutkan studi di Amsterdam."

"Wah! Selamat, Pak!" seru gadis di belakang yang kuketahui bernama Laras.

"Terima kasih," balas Pak Hasan ramah. "Oleh karena itu, mulai hari ini akan ada tutor baru yang akan menggantikan saya."

What?! Tutor baru? Ah! Apa ini rasanya ditinggal saat sedang sayang-sayangnya? Wait-wait! Kalau Pak Hasan pindah ke Amsterdam, berarti ....

"Bu Giska juga ikut pindah, Pak?" tanyaku tanpa mempedulikan tatapan heran seisi kelas.

Pak Hasan mengangguk. "Ya. Kami sekeluarga pindah ke sana." Tatapan Pak Hasan beralih ke pintu kelas. "Pak Glenn, silakan masuk."

Seorang pria bertubuh jangkung dengan tinggi badan sekitar 175 sentimeter yang mengenakan kemeja kotak-kotak warna hitam-abu-abu itu memasuki kelasku dengan langkah tegap. Dari wajahnya, aku bisa menebak bahwa usianya sekitar dua puluh lima tahun. Senyumnya yang hangat membuatku kagum barang sesaat. Tapi, tunggu-tunggu. Jika lebih diperhatikan lagi ... dia ... dia, kan ... OH NO! DIA SI OM-OM BRENGSEK ITU!

Dan apa tadi yang kukatakan? Kagum? KAGUM?! Demi apapun! Dosa apa yang telah kulakukan hingga harus mendapat tutor pengganti seperti dia? Dan mengapa, om-om brengsek macam dia bisa jadi tutor di sini? Arghhh!!!

"Baiklah, anak-anak. Mulai hari ini kalian akan diajar oleh Pak Glenn," ucap Pak Hasan yang menjadi kata-kata terakhirnya sebelum meninggalkan kelas. Good bye Pak Hasan. Thank's for everything. Good luck. I wanna miss you so much. Hiks!

"Perkenalkan, saya Glennio Pangestu. Mulai hari ini, saya akan menjadi tutor tetap kalian, sebagai ganti Pak Hasan." Pak Glenn mengamati kami satu-persatu, lalu dia tampak tersenyum puas. "Saya senang melihat wajah-wajah cerdas kalian. Saya harap, kita bisa sama-sama merasa nyaman dalam proses belajar-mengajar nanti." Jeda sejenak. Pak Glenn tampak menulis sesuatu di kertas, kemudian kembali mendongak dan menatap para muridnya. "Oh, ya. Rasanya tidak adil jika hanya saya yang memperkenalkan diri. Oleh karena itu, silakan perkenalkan diri kalian. Cukup berdiri, kemudian sebutkan nama lengkap, nama panggilan, serta umur. Silakan, mulai dari kamu." Hah?! Aku?! "Iya! Kamu!"

Aku mendengus pelan. Melihat wajahnya, mengingatkanku kembali pada kejadian semalam. Menjijikkan! "Putri Ayla Melati. Melati. Lima belas tahun." Cukup. Aku duduk kembali tanpa mempedulikan ekspresinya yang sudah bisa kutebak seperti apa.

***

Baru kali ini aku merasakan betapa membosankan pelajaran matematika. Semua ini gara-gara om-om sialan itu! Dari semua makhluk, semua manusia, dan semua guru di dunia ini, mengapa harus dia?! Ish!

'Bruk!'

"Awh!" Tanganku refleks mengusap-usap kening yang kurasa sebentar lagi akan benjol. Saat indra pengelihatanku menjelajah sekeliling, barulah aku tersadar kini telah berada di area parkir.

"Mobil saya sekecil itu, ya, sampai tidak terlihat oleh mata kamu?"

Suara bariton yang terasa menusuk gendang telinga itu lantas membuatku membalikkan badan. Sial! Kenapa harus ketemu om-om bastard ini lagi, sih?!

"Kamu ada masalah sama saya?" Hm. Emang sejelas itu, ya?

Aku berusaha menarik kedua ujung bibirku hingga membentuk sebuah senyuman. "Nggak, Pak."

"Kenapa tadi di kelas kamu tidak mendengarkan penjelasan saya? Kamu merasa pintar?" Nyolot banget, sih, nih, om-om!

"Maaf, Pak. Saya harus pulang sekarang," kataku, berusaha tetap sopan.

"Saya tahu kamu salah satu murid terbaik di Starlight Bimbel, apalagi di bidang studi matematika. Tapi, sebaiknya kamu tahu di mana posisi kamu."

Aku berdecak pelan. "Gimana nggak males orang lu brengsek," gumamku.

"Apa kamu bilang?" Sial! Dia denger?

Kembali kuulas senyum sopan. "Permisi, Pak." Aku melenggang tanpa menghiraukannya. Namun, sepertinya keberuntunganku sedang melanglang buana sekarang. Baru tiga langkah, dia memutar bahuku hingga aku terpaksa harus menatap matanya. Persis kejadian semalam!

"Saya dengar, tadi kamu bilang saya brengsek? Benar?"

"Bapak salah dengar kali," ucapku sembari unjuk tampang tak berdosa.

Pak Glenn diam. Diam saja, sih, bukan masalah. Tapi, tatapannya itu, lho! Sekuat tenaga aku mencoba untuk mengalihkan pandangan, namun bola mata hitamnya mengunci manik mataku. Oh, God! What should I do?

Diam-diam, aku mencoba untuk menarik napas, kemudian mengembuskannya perlahan. Berhasil. Selanjutnya, aku harus mengalihkan pandangan. Dan, berhasil! Selanjutnya ....

DAMN!

Dia meraih daguku dengan satu jari telunjuknya. Sarat intimidasi begitu jelas terlihat di balik mata hitamnya. Papa!!! Help me!

"Kamu takut sama saya?" tanyanya, tanpa mengubah posisi sedikitpun.

"Ng—"

"Kita pernah ketemu sebelumnya?"

******! Gimana kalau om-om bastard ini inget? Gimana kalau ...?

"Melati ...."

Aduh! Aku harus bagaimana sekarang? Nggak mungkin, kan, aku jujur soal kejadian semalam?

"Maaf, Pak, tapi saya harus pulang sekarang," ucapku cepat. "Permisi."

Belum sempat kakiku melangkah, dua tangannya dengan lancang membanting tubuhku hingga bersandar di pintu mobil. Kedua lengannya menghimpit tubuhku. Perlahan, wajahnya terus mendekat. Oh, tidak! Jangan bilang ....

'Cup!'

'Cekrek!'

Sentuhan mouth to mouth dalam jangka waktu sepersekian detik itu membuatku menegang. Tadi ada suara potret? Atau hanya perasaanku saja?

"Saya ingat siapa kamu. Kalau kamu berani mengacuhkan saya seperti tadi, saya pastikan ciuman ini bukan yang terakhir. Dan ya, saya tahu semua latar belakang murid saya. Terutama alasan mengapa dia harus homeschooling. Oleh karena itu, foto ini, akan saya jadikan senjata apabila saya mendengar sekali lagi kamu berani sebut saya brengsek. Biar kamu tahu bagaimana rasanya menjadi istri dari seorang pria brengsek seperti saya."

Apa-apaan?! Istri?! Yang benar saja! Ogah! Amit-amit!

Setelah mengucapkan kata-kata yang sangat-amat tidak penting itu, Pak Glenn pergi begitu saja. Memasuki mobilnya dengan gerakan santai dan senyum penuh tebar pesona pada dua orang guru yang baru saja keluar gerbang. Meninggalkanku dan otakku yang masih berusaha memproses kejadian barusan. Suara potret, dan apa tadi katanya? Foto? FOTO?!

"GLENNN SIALAN!"

*

*

*

*

*

GIMANA BAB INI? BERHASIL BIKIN GREGET NGGAK?

SELALU BACA CERITA 'MY BELOVED BASTARD', YA! JANGAN LUPA LIKE, VOTE, DAN KOMEN.

DITUNGGU BAB SELANJUTNYA! :)

*

*

*

CAST:

PUTRI AYLA MELATI

GLENNIO PANGESTU

BAB 2

"Tutor baru di kelas lo cakep, tuh, Mel."

Aku memutar bola mata malas saat mendengar komentar Tita tentang tutor bastard sialan itu. Oh! Lihat, kan? Bahkan aku tertular oleh hawa negatif dalam dirinya. Aku jadi sering mengumpat.

"Mel, lo dengerin gue nggak, sih?"

"Hah?"

Sore ini, aku meminta Tita untuk menemaniku sembari menunggu papa pulang. Secara, tiap kali keheningan dan kesendirian menyelimuti, aku teringat kembali pada apa yang telah om-om bastard itu lakukan. Argh! Om-om bastard sialan!

"Gue nanya tadi. Pak Hasan sekeluarga udah pindah, 'kan? Nah, terus siapa tutor pengganti yang ngajar lo private di rumah?"

Aku mengedikkan kedua bahu. "Nggak tahu."

"Terus, gimana sama tutor baru di kelas lo? Pak ... siapa namanya? Gan ... Gen ...."

"Glenn," sahutku, membenarkan kata yang ingin Tita ucapkan.

"Nah! Iya, itu. Gimana menurut lo?"

"Gimana apanya?"

"Ya, apa, kek. Cara ngajarnya, sikapnya, semuanya, deh. Gue kepo, nih!" Aku heran, memang om-om bastard macam Glenn sebooming itu, ya, di Starlight Bimbel? Memang, sih, Pak Glenn adalah tutor termuda di Starlight. Dan ... dan ... terkeren. Puas?!

"Mel!" Malah diem."

"Biasa aja," jawabku seadanya.

"Masa? Kata Popi, Pak Glenn orangnya baik, ramah, murah senyum lagi. Gue, kan, juga mau diajar tutor begitu. Mayan, matematika jadi nggak ngebosenin amat. Sayang banget, deh, gue dapat tutor matematika macam Bu Wina. Udah tua, galak, sadis lagi!" Tita terus mengoceh. Dia hanya tidak tahu, bagaimana tabiat asli tutor om-om bastard sialan itu!

Wait-wait. Tutor om-om bastard sialan? Hm. Keren juga namanya. Cocok pula sama orangnya.

•••

Tita bergegas pamit saat papa baru saja pulang. Sementara itu, papa menghampiriku yang masih duduk di sofa depan televisi. Senyum hangat terpancar dari bibirnya begitu manik mata kami saling bersitatap. Saat aku akan beranjak, menghampirinya, lalu memberi pelukan hangat---seperti biasa---papa menekan kedua bahuku, hingga pantatku kembali bersentuhan dengan permukaan sofa.

Aku dapat merasakan kecupan hangat mendarat di puncak kepalaku. "Lanjut aja nontonnya, Papa langsung ke kamar, ya?"

Aku menoleh. Menatap papa seraya tersenyum tulus. Aku tahu, papa sangat lelah. "Iya," jawabku.

Setelah papa menghilang di anak tangga terakhir, diam-diam aku menuju dapur untuk membuatkan papa secangkir teh hangat. Semoga dengan begini, rasa lelah papa bisa berkurang. Senyum puas tercetak di bibirku begitu secangkir teh manis hangat dalam gelas telah siap dinikmati. Aku segera melangkah menuju kamar papa. Satu ketukan, dua ketuka, tiga ketukan, tidak ada respon apapun dari papa. Aku mencoba untuk membuka pintu, ah! Ternyata tidak dikunci.

"Pa ...."

Sesaat kemudian, aku mendengar suara air mengalir di kamar mandi. Oh, papa sedang mandi. Akhirnya, aku meletakkan secangkir teh hangat di atas meja. Langkah kakiku sudah akan menuju keluar, namun ponsel papa yang tiba-tiba menyala dan menampilkan sebuah pesan, membuatku tercengang.

+62*** :

Perusahaan kita bisa gulung tikar jika tidak segera ....

Gulung tikar? Bangkrut? Perusahaan papa terancam bangkrut?

'Ceklek!'

Aku menoleh saat mendengar suara pintu kamar mandi terbuka.

"Mel? Kamu ngapain?" tanya papa seraya menatapku heran.

"Ini, Pa, aku ...." Jujur, aku bukan manusia yang pandai ber-a**kting. Jika memang sedang terjadi sesuatu, semua mata pasti tahu bahwa aku tidak baik-baik saja.

"Mel ...?"

"A-aku, nganter teh hangat buat Papa," jawabku secepat kilat. Menyamarkan suara gagap bercampur sedih yang sudah pasti terdengar jelas oleh papa.

Papa tersenyum. Senyum yang semakin menampakkan betapa lelahnya papa.

"Aku keluar, ya, Pa," pamitku, yang dijawab papa dengan anggukan dan senyum singkat. Langkahku perlahan menuju pintu kamar papa yang terbuka. Setiap dua langkah, aku tidak tahan untuk kembali menoleh ke belakang dan menatap wajah papa. Tiap itu pula, papa melempar pandangan dan senyumnya padaku. Sungguh, langkahku terasa berat.

Benar saja, ketika aku sudah keluar dari kamar papa dan menutup pintu, lantai tempatku berpijak seolah dipenuhi lem panas yang memaksa untuk tidak beranjak. Telapak tanganku masih bertengger di kenop pintu kamar papa. Haruskah aku kembali membukanya? Haruskah aku masuk ke dalam, memeluk papa, dan menawarkan bantuan? Saat umurku dua belas tahun, papa pernah hampir bangkrut. Namun, saat itu masih ada kakek yang bisa membantu. Sekarang? Hanya aku. Hanya aku satu-satunya keluarga yang papa miliki, pun sebaliknya.

Aku menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Dadaku tiba-tiba merasa sesak. Dinding-dinding rumahku seolah merebut paksa oksigen yang seharusnya kuhirup. Bagaimana jika papa benar-benar bangkrut? Tidak. Aku harus masuk, dan berusaha membantu papa semampuku. Harus.

"Mel? Ada apa?" tanya papa begitu aku kembali membuka pintu kamarnya. Tatapan akan sarat bingung terpancar jelas di balik kacamata minusnya. Aku tidak peduli. Naluri mendobrak langkahku untuk melesat cepat dan meringkuk ke dalam pelukan papa. Aku dapat merasakan usapan lembut menjalari rambutku.

"Hiks!" Tanpa sadar, aku terisak. Padalah, bibir sudah kugigit rapat-rapat agar tidak mengeluarkan suara.

"Loh, kamu nangis? Kenapa, Sayang? Ada masalah?"

Kata-kata papa semakin membuat tangisku pecah. Lalu, aku tidak mendengar lagi suara papa. Aku hanya merasakan sentuhan hangat yang terus mengusap lembut kepalaku dengan penuh kasih sayang. Setelah merasa tenang, aku melerai pelukan dengan papa. Detik-detik yang terasa panjang, hanya kulewati dengan menatap manik mata papa. Senyum papa menyadarkanku. Dengan cepat, aku mengusap sisa air mata di pipi.

"Mel, kenapa?" tanya papa lembut.

"Apa yang bisa aku bantu?"

"Maksudnya?" Kening papa berkernyit heran.

"Apa yang bisa aku bantu?" Aku mengulangi pertanyaan dengan nada bicara yang sama: memaksa.

"Bantu apa?"

"Bantu supaya Papa nggak susah. Bantu supaya perusahaan Papa nggak bangkrut. Ada yang bisa aku lakuin, kan, Pa? Apa? Bilang aja."

"Kamu ngomong apa, sih, Mel?"

"Aku baca pesan di HP Papa tadi."

Papa menghela napas berat. Bola matanya menatapku lekat-lekat.

"Apa yang bisa aku bantu?" tanyaku lagi. "Ada, 'kan?"

"Ada," jawab papa, membuatku tersenyum lebar. "Kamu yakin mau bantu Papa?"

Mendengar pertanyaan itu, aku lantas mengangguk antusias. Namun, kalimat berikutnya yang kudengar dari papa, membuat tubuhku menegang.

"Papa akan jodohkan kamu dengan anak pesaing bisnis Papa, dengan begitu, saingan terberat Papa akan berubah menjadi partner. Hanya itu satu-satunya cara."

***

"Melati ...?"

"Eh, iya, Bu?"

Pagi ini, aku tengah menjalani pembelajaran les private yang biasa kulakukan setiap hari, di ruang belajarku, dengan tutor yang berbeda. Papa memang sengaja membuat kamar tidur dan ruang belajarku terpisah. Katanya, agar aku bisa fokus. Ruangan berdominasi warna putih-krem ini menjadi spot kedua favoritku di rumah, setelah kamar.

"Kenapa melamun?" tanya Bu Sia, tutor baru yang menggantikan Bu Giska sebagai tutor privatku.

Aku hanya mengulas senyum seraya menggeleng singkat. "Cuma capek, Bu."

"Istirahat dulu lima belas menit, ya?" Tawaran Bu Sia kubalas dengan anggukan dan helaan napas berat.

Sejujurnya, pikiranku masih tersita pada perbincanganku dengan papa semalam. Papa memberiku batas waktu untuk menerima atau menolak, hingga pukul 13.00. Sedangkan sekarang sudah pukul 12.14. Aku harus bagaimana? Perjodohan? Yang benar saja! Umurku baru lima belas tahun! Tapi, jika aku menolak, bagaimana dengan papa? Bukannya aku takut miskin, tapi papa mendapatkan semua ini dengan penuh kerja keras. Sayang sekali jika segalanya harus terampas.

Selama ini, papa selalu memberi yang aku butuhkan. Melakukan apapun agar aku tidak pernah merasa kekurangan. Menjadi ayah, sekaligus ibu untukku. Banting tulang demi memenuhi segala kebutuhanku. Lalu, apa yang telah kuberi pada papa? Belum ada.

Baiklah. Aku sudah memutuskan.

"Bu, kita mulai lagi belajarnya," ucapku pada Bu Sia yang lantas menatapku heran.

"Baru lima menit," katanya.

Aku hanya tersenyum lebar sebagai tanggapan. Dan sepertinya, Bu Sia tahu maksud dari senyumanku itu.

***

"WHAT?! Dijodohin?!" Suara memekakkan Tita dari seberang sana nyaris memecah gendang telingaku, jika aku tidak segera menjauhkan layar ponsel dari daun telinga.

"Santai aja kali!" tukasku.

"SANTAI LO BILANG?! MEL! LO ...." Aduh! Tita, kenapa harus teriak-teriak, sih?!

"Nggak usah teriak-teriak, Tit!"

"TITA!"

Aku mendengus sebal. "Iya-iya, Tita!" Apa yang salah dengan panggilanku? Nama dia Tita, salah jika aku memanggilnya 'Tit'? Tidak, 'kan? Tit, Tita.

"Itu lo serius?" tanya Tita. Kali ini dengan suara yang lebih pelan dan terdengar ... serius.

"Hm," jawabku santai. Aku sedang menata rambut sekarang. Ponsel kuletakkan di atas meja rias, dengan speaker mode on, tentunya. Sebenarnya, aku sudah siap. Dengan dress warna biru dongker lengan pendek yang hanya mencapai lutut, make up tipis, dan rambut bergelombang yang kuikat menjadi satu, serta sentuhan jepit warna putih kecil sebagai penjepit poni. Ah! Ada yang kurang rupanya. Aku meraih lipscream yang tertata rapi di meja rias, lalu mengoleskan sedikit pada permukaan bibirku. Selesai.

"Gue ke rumah lo sekarang, ya?"

"Jangan!" sahutku cepat.

"Why?"

"Gue mau keluar sama bokap bentar lagi."

"Ke?"

"Ketemu calon suami gue." Aku terbahak-bahak, merasa geli dengan ucapanku sendiri.

"Gila! Udah calon suami aja lo!" seru Tita.

"Non, sudah ditunggu Tuan di bawah." Suara Mbak Ning membuatku menoleh ke ambang pintu kamar yang memang sedari tadi terbuka. Aku membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari telunjukku, lalu mengarahkannya pada Mbak Ning.

Oh, sebenarnya, nama dia Bening, usianya baru dua puluh tiga tahun. Papa mempekerjakannya di rumah karena Mbak Ning adalah salah satu korban bencana alam di daerahnya. Mbak Ning hidup sebatang kara, dia kehilangan kedua orang tua serta adik laki-lakinya pasca bencana itu.

Setelah Mbak Ning hilang dari pandangan, aku kembali berbicara pada Tita. "Udah dulu, ya, gue mau otw, nih! Bye, Tit!"

"LO---!"

'Tut!'

Aku kembali terbahak-bahak. Dapat kubayangkan bagaimana ekspresi Tita sekarang. Dia pasti mengucap sumpah-serapah dengan menyelipkan namaku di tiap akhir kalimat, plus pandangan yang menatap tajam ke layar ponsel tentunya.

•••

Jantungku berdebar bukan main. Semakin dekat dengan tempat tujuan, aku semakin gelisah. Oh, God! Apa ini? Aku? Melati? Seorang gadis yang baru berumur lima belas tahun, akan segera menemui keluarga calon suaminya? Calon suami? Entahlah, aku bingung, ini keberuntungan atau kutukan? Banyak orang di luar sana yang belum bertemu jodohnya hingga mencapai usia setengah abad. Tapi, apa di usiaku ini tidak terlalu dini?

Kira-kira, seperti apa lelaki yang akan dijodohkan denganku? Berapa umurnya? Berapa selisih umur kami? Lumayan jauhkah? Atau sangat jauh? Arghhh!!! Belum bertemu dengannya saja aku sudah merasa nyaris gila. Bagaimana jika kami bertatap muka nanti? Aku harus bersikap bagaimana?

"Mel ...." Suara papa yang lembut dan sentuhan hangat di bahu kanan, membuatku terlonjak kaget.

"Ya?"

"Kita sudah sampai."

Mendengar kata 'sampai', pandanganku lantas beralih ke luar jendela. Sebuah restoran bintang lima yang lumayan jauh jaraknya dari rumahku. Tapi, perasaan tadi mobil papa melaju hanya beberapa menit.

'Tok tok tok!'

Ketukan di kaca mobil, membawaku kembali pada realita. Realita bahwa aku akan bertemu dengan calon suamiku. Duh! Dua kata terakhir itu terdengar lebih seram daripada saat Pak Glenn dengan lancang mencuri ciuman pertamaku. Heh! Kenapa nama om-om bastard itu bisa melintasi kepalaku?

"Mel, ayo turun." Lagi-lagi, suara papa membuyarkan lamunanku. Saat itu, aku baru sadar bahwa pintu mobil di sebelah kiriku telah terbuka.

Dengan ragu, aku turun dari mobil. Sebelum melangkah, aku mendongak, menatap papa lekat-lekat. Aku dapat menangkap sarat penuh penyesalan di balik binar matanya.

Papa menggenggam tanganku erat-erat. "Belum terlambat kalau kamu mau nolak, Sayang," ucap papa lembut.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Manik mataku masih bersitatap dengan bola mata papa. Kugenggam semakin erat tangan kekarnya, kutarik kedua sudut bibirku semeyakinkan mungkin. Aku mengangguk mantap. "Yuk!" ajakku.

Semakin bertambahnya jumlah langkah, degub jantungku semakin cepat. Dengan tangan yang masih dalam genggaman papa, aku mengekori langkahnya. Hingga aku mendengar suara bariton yang membuatku tak kuasa untuk mendongak.

"Leo! Akhirnya!!! Kau membuat keputusan yang tepat."

"Bukan aku, tapi putriku yang membuat keputusan."

"Oh, ya?" Aku dapat mendengar nada terkejut di balik suara itu. "Ini putrimu?"

Pertanyaan itu sukses membuatku mendongak. Sedikit. Hanya sedikit.

"Siapa namanya?"

"Melati," jawabku, tanpa berniat merubah posisi kepalaku yang menunduk.

"Duduk, Mel," kata papa. Aku hanya bisa menurut. Lagi-lagi, tanpa mencoba untuk memperhatikan sekitar. Dari ekor mata, aku dapat menangkap sosok pria dewasa dengan balutan jas yang kini duduk di sampingku.

"Bagaimana kalau kita kasih waktu untuk mereka agar bisa mengenal lebih dekat?" Usulan macam apa itu? Aku lantas mendongak dan menatap papa dengan penuh harap. Berharap agar papa menolak usul dari pria paruh baya yang baru kuketahui bernama Fero. Akan kupanggil dia Om Fero.

"Oke." Papa?! Tega banget, sih!

Akhirnya, papa bersama Om Fero pindah ke bangku yang jaraknya cukup jauh dari tempatku. Aku harus apa sekarang?

"Ekhem!" Lelaki di sebelahku berdeham. Mungkin, dia sudah enggan meneruskan suasana canggung ini. Namun, aku belum berniat untuk melihat wajahnya. Jika dilihat dari samping, fisiknya oke. Sangat oke. Melebihi ekspektasiku. "Mau minum apa?" Suara itu, mengapa terasa ... familiar?

"Sampai kapan mau nunduk?"

Persetan dengan bibirku yang terasa perih. Aku menggigitnya untuk mengurangi rasa gugup. Tiba-tiba, sebuah gerakan cepat membuatku tersentak. Jari telunjuknya meraih daguku, membuatku terpaksa harus mendongak. Manik mata kami bersitatap. Aku terbelalak saat melihat siapa lelaki di hadapanku ini.

"Hai, Melati."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!