"Ma, aku berangkat!" ucap Tia sebelum berangkat sekolah.
Ratna bergegas pergi ke pintu depan lalu Tia memeluknya erat.
"Kenapa ini? Apa uang saku kamu habis?" tanya Ratna curiga pada kelakuan putrinya yang terbilang tidak biasa.
"Tia cuma mau peluk, emang mama gak suka ya?"
Ratna membalas pelukan dan mencium pipi putrinya dengan rakus.
"Suka, mama suka. Udah lama banget kamu gak mau mama peluk"
"Tia janji bakal terus peluk mama setelah ini"
"Janji?"
"Iya. Soalnya Tia sayang banget sama mama"
Sekali lagi Ratna heran dengan kata-kata putrinya yang jarang sekali didengarnya.
"Mama juga sayang banget sama Tia"
Setelah pelukan hangat itu, Tia mengambil tangan Ratna dan menciumnya. Tanda bakti seorang putri pada mamanya.
"Tia berangkat dulu ya Ma!" kata Tia lalu berangkat sekolah. Sebelum menghilang dari pagar, Tia berbalik dan memberikan senyuman paling cantiknya pada Ratna.
Tak lama Ratna berangkat kerja seperti biasa.
Saat jam menunjukkan pukul dua belas siang, seperti biasa Ratna mengirim pesan pada putrinya. Bertanya apakah Tia sudah makan siang di sekolahnya.
Tia menjawab dengan cepat kalau sudah membeli nasi ayam goreng di kantin sekolah. Ratna menjadi tenang karena putrinya tidak telat makan.
Waktu menunjukkan pukul dua siang dan Ratna kembali mengirim pesan kepada putrinya. Bertanya apakah Tia sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Pesan itu terkirim tapi belum terbaca.
Ratna sangat mengerti jadwal pelajaran sekolah putrinya. Selain hari Senin dan Rabu saat Tia yang menginjak kelas 2 SMA itu mengikuti ekstrakulikuler. Putrinya selalu pulang tepat waktu. Hari ini hari Kamis dan tidak ada ekstra atau rencana kegiatan apapun yang dia ketahui.
Apa Tia pergi dengan teman-temannya tanpa ijin?
Sepuluh menit kemudian Ratna kembali melihat ponsel. Memeriksa apakah pesannya telah dibaca oleh Tia. Belum dibaca juga. Aneh. Padahal Tia selalu membalas pesannya dengan cepat.
Merasa khawatir, Ratna menghubungi nomor putrinya. Hanya terdengar nada dering tapi Tia tidak mengangkat. Kemana putrinya itu? Apa ponsel Tia rusak? Tidak mungkin.
Ratna kembali menghubungi putrinya. Kali ini terus menelpon tapi Tia tidak kunjung mengangkat. Rasa khawatir yang muncul semakin membesar. Sebagai ibu tunggal, dia memang terlalu protektif pada Tia. Tidak mengijinkan putrinya itu pergi tanpa ijinnya.
"Kenapa Rat?" tanya teman kerja yang duduk di sampingnya.
"Ini, Tia. Ditelpon berulangkali tapi tidak menjawab. Aku kirim pesan juga tidak dibalas"
"Masih asyik ngobrol dengan temannya mungkin?" jawab Yani membuat Ratna sedikit agak tenang.
Iya juga. Pernah dulu Tia tidak membalas pesan dan mengangkat telepon karena asyik berkumpul dengan teman-temannya. Berusaha berpikir lebih positif, Ratna kembali bekerja.
Tiga jam kemudian, waktunya Ratna pulang. Dia kembali memeriksa pesan yang dikirim ke putrinya. Belum juga dibaca.
Kemana putrinya pergi? Kenapa tidak membalas pesannya?
Ratna hanya hidup berdua dengan putrinya setelah ayah Tia meninggal sepuluh tahun lalu. Tidak ada saudara yang bisa dikunjungi di kota ini. Jadi tidak mungkin Tia pergi ke tempat yang tidak dia ketahui.
Merasa tak sabar, Ratna bertanya di grup kelas. Bertanya apakah salah satu temannya mengetahui keberadaan Tia.
Salah satu orang tua teman dekat Tia menjawab kalau putrinya itu sudah pulang sejak tadi. Kira-kira pukul tiga sore. Karena mereka mengadakan kerja kelompok mendadak di sekolah.
Oh, kerja kelompok. Pikiran tak tenang itu menghilang sepenuhnya. Ratna merasa tenang sekarang karena mengetahui kalau putrinya sekarang mungkin ada di rumah. Pasti tidur karena kelelahan setelah sekolah harus kerja kelompok. Sehingga tidak bisa menjawab teleponnya.
Ratna mengemudikan mobilnya dengan cepat ke sebuah restoran cepat saji kesukaan putrinya. Membeli paket combo yang sangat disukai Tia. Sebagai pengobat rasa lelah setelah kerja kelompok, pikirnya.
Tak disangka, Ratna pulang ke rumah yang gelap dan sepi.
"Tia!!" panggilnya terus menerus tapi tidak mendapat jawaban sama sekali. Ratna menyalakan semua lampu dan mendapati keadaan rumah persis sama seperti saat dia pergi bekerja tadi pagi. Tidak ada yang berubah.
"Tia!" panggilnya lagi lalu membuka pintu kamar putrinya.
Tidak ada tanda-tanda putrinya pulang dan tidur di kasurnya. Berarti Tia belum pulang sampai sekarang. Rasa khawatir itu kembali muncul. Kali ini begitu besar sampai dia merasa gugup saat bertanya kembali di grup orang tua wali murid kelas.
Tidak ada yang menjawab melihat Tia setelah mereka berpisah.
Apa?
Tidak patah arang, Ratna meminta tolong pada semua teman sekelas Tia untuk menghubungi nomor putrinya. Berharap kalau putrinya itu sedang keluar dengan salah satu temannya tapi tidak meminta ijin. Karena takut tidak diperbolehkan olehnya.
Kali ini, semua teman sekelas Tia menjawab. Mengatakan tidak ada yang bersama dengan putrinya saat ini.
Lalu kemana Tia? Kemana putrinya.
"Tia!! Angkat Nak!!" mohonnya saat kembali menghubungi nomor putrinya untuk yang kesekian kali.
Malam semakin larut dan Ratna tidak melihat sosok putrinya di jalan dekat rumah. Dia yang berjaga di depan pagar rumah menjadi semakin tidak tenang.
Para teman dan guru kelas Tia ikut membantu mencari keberadaan Tia. Semua teman yang pernah sekelas dengan Tia juga dihubungi oleh Ratna. Tapi tidak ada yang melihat Tia sama sekali.
"Kemana kamu Tia?!!!"
Kesabaran Ratna habis. Rasa khawatir itu kini berubah menjadi kemarahan.
"Mama pasti akan menghukum kamu nanti!" katanya kesal.
Apa dia harus mencari di sekolah?
Tak kenal takut, Ratna pergi ke sekolah putrinya. Bertanya pada satpam apakah ada anak yang belum pulang dari sekolah. Lalu satpam sekolah bersaksi bahwa tidak ada siapapun di dalam. Semua guru dan murid benar-benar telah pulang semuanya. Ratna terpaksa pulang lagi ke rumah dalam keadaan tangan kosong.
"Tia, kemana kamu Nak??" tanya Ratna saat kembali lagi di rumah.
Tiba-tiba telponnya berdering. Sebuah nomor asing menghubunginya. Tidak peduli apakah itu penipuan atau bukan, Ratna mengangkat panggilan itu.
"Selamat malam" sapa seseorang disana.
"Selamat malam" jawabnya ragu.
"Apa benar ini Bu Ratna Irawati? Wali murid dari murid SMAN 67 bernama Chyntia Handoko?"
Seperti ada air yang disiram di ujung kepalanya, tiba-tiba badan Ratna terasa panas dingin.
"Benar"
"Saya adalah polisi wanita dari kantor polisi kota J. Apa Bu Ratna bisa datang ke RSUD kota J?"
Polisi? Rumah sakit?
"Kenapa dengan Tia?" teriaknya lalu mulai merasa ketakutan ada sesuatu yang terjadi pada putrinya.
"Lebih baik Bu Ratna datang ke Rumah sakit dulu. Saya tunggu di depan gerbang rumah sakit ya Bu"
"Kenapa putri saya? Kenapa dengan Tia??" tanyanya berulang kali tapi tidak mendapatkan jawaban yang melegakan.
"Saya mohon berhati-hati dalam berkendara ke rumah sakit. Kami menunggu Anda"
Tentu saja Ratna segera berangkat ke rumah sakit yang dimaksud dengan kecepatan kilat. Meski beberapa kali dia hampir menabrak motor yang melintas.
Sampai di rumah sakit, benar-benar ada polwan yang menunggu dia di depan gapura.
"Bu Ratna?" tanya polwan itu.
"Iya. Mana putri saya? Mana Tia?"
"Ibu parkir dulu, lalu saya antar bertemu dengan putri Ibu"
Ratna merasa lemas. Tapi dia tetap berusaha parkir dengan benar dan menguatkan diri melangkah di belakang polwan. Apa Tia terlibat dalam kecelakaan? Karena itu Tia dibawa ke rumah sakit oleh polisi?
Apa ojek online yang dinaiki putrinya itu jatuh? Semua kemungkinan muncul dalam otak Ratna.
Langkah polwan terhenti dan Ratna melihat nama ruang yang mereka tuju.
Ruang jenazah?
Apa? Kenapa dia dibawa kemari?
"Silahkan Bu Ratna" kata polwan itu lalu mengarahkan Ratna pada sebuah ranjang dengan penutup putih di atasnya.
"Apa maksudnya ini?" tanyanya.
"Kami ingin memastikan, apakah jasad yang ada di bawah kain ini benar putri Anda"
Ratna melangkah maju dan memberanikan diri. Dia masih menyimpan harapan kalau tidak ada yang terjadi dengan putrinya. Tapi saat kain penutup itu dibuka, harapannya hancur.
"Tidak. Tidak. Tidak. TIAAAAAAA" teriaknya sebelum jatuh di atas lantai karena kakinya tiba-tiba tidak punya tenaga lagi.
"Tia janji akan peluk mama lebih sering"
"Tia sayang banget sama mama"
"Tia sayang banget sama mama"
Suara Tia yang tadi pagi masih berdengung di telinga Ratna. Tapi yang dilihatnya saat ini, sungguh sulit untuk dia terima.
"Tia, kamu kenapa Nak?" tanyanya lalu menyentuh wajah dingin putrinya.
"Tia, bangun Nak. Kenapa kamu disini? Tiaaa bangun sayang. Bangun Nak. BANGUNNNN!!!" perintahnya pada Tia yang tetap menutup matanya.
"TIAAAA BANGUN NAK. TIAAAAAA!!!!"
"Bu Ratna, Bu Ratna. Putri Anda sudah meninggal" kata polwan yang tadi mengarahkannya kemari.
"Tidak. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Pagi tadi Tia sekolah. Siang tadi Tia masih makan siang. Bagaimana mungkin sekarang Tia ... . Tidak mungkin" racaunya merasa kalau semua ini tidak mungkin terjadi.
Ini adalah hari Kamis yang biasa. Tidak ada yang spesial dengan hari ini. Benar-benar hari yang seperti hari sebelumnya. Tapi kenapa? Kenapa putrinya terbaring di atas ranjang dalam keadaan sudah ... . Tidak. Dia bahkan tidak berani mengatakan kata itu untuk menggambarkan keadaan putrinya sekarang.
"Kami menemukan Chintya pukul empat sore tadi. Di pinggir jalan utama kota. Salah seorang warga menelepon ambulance dan membawanya kemari. Sayang sekali, Cinthya tidak dapat bertahan dan menghembuskan napasnya di ambulance" jelas polwan itu.
Di pinggir jalan utama kota?
"Apa putri saya terlibat kecelakaan?" tanya Ratna segera.
"Ehmmm. Sepertinya bukan"
"Bukan? Apa maksudnya??" teriak Ratna membutuhkan penjelasan yang detail.
"Beberapa orang melihat tubuh putri Anda dilempar dari sebuah mobil ke pinggir jalan"
Tubuh Ratna kini seakan kehilangan semua tulangnya. Putrinya tidak terlibat kecelakaan. Tapi ... Dibuang oleh seseorang dari mobil? Dan kejadiannya begitu cepat setelah Tia pulang dari rumah temannya untuk kerja kelompok?
Bagaimana bisa? Tidak. Ratna tidak bisa menerima semua ini. Tidak bisa. Tidak mungkin putrinya bisa dalam keadaan seperti ini. Tidak mungkin.
"Tia!!! Bangun Nak. Ini mama sayang. Ini mama. Mama sudah beli ayam goreng kesukaan kamu. Ayo bangun Nak. Kita makan sama-sama. Tiaaaaa ayo bangun sayang" ratap Ratna lalu jatuh di bawah ranjang tubuh kaku putrinya.
Beberapa menit kemudian Ratna dibawa keluar dari ruang jenazah untuk menenangkan diri. Tapi bagaimana bisa dia merasa tenang, saat putri yang tadi pagi dilihatnya masih sehat dan cantik berubah menjadi tubuh yang dingin sekarang?
"Bu Ratna, mohon maaf kalau kami seakan tidak menghormati kesedihan Anda. Tapi ... Bisakah kami meminta Anda menandatangani surat ini?" pinta polwan lalu menyodorkan surat persetujuan otopsi.
"Otopsi? Maksudnya?"
"Kami menemukan banyak kejanggalan pada kematian putri Anda. Karena itu polisi ingin putri Anda menjalani prosedur otopsi. Untuk menemukan penyebab sebenarnya kematian putri Anda"
Penyebab sebenarnya?
Karena Ratna juga ingin tahu apa penyebab sebenarnya kematian Tia, dia menandatangani surat yang dimaksud.
Selama menunggu, Ratna menghubungi rekan kerjanya. Mengabarkan kalau dia tidak dapat masuk kerja besok. Karena harus menguburkan putrinya.
Tak lupa dia juga mengabarkan hal ini pada pak RT. Meminta tolong seseorang untuk menyiapkan prosesi pemakaman putrinya. Karena Ratna tidak memiliki saudara untuk minta tolong. Dia dan ayah Tia adalah anak tunggal. Semua kakek nenek Tia juga sudah meninggal. Dan sekarang ... Ratna ditinggal sendiri di dunia ini oleh putrinya.
Enam jam kemudian
"Mama, Tia mau mandi sama bebek"
Ratna teringat suara Tia yang meminta mainan bebek untuk dapat mandi bersama ketika air mulai dikucurkan ke atas wajah pucat putrinya.
"Mama, gelang Tia bagus kan?"
Ratna menyapu air sabun yang ada di pergelangan tangan putrinya.yang berwarna merah.
"Mama, Tia ingin pakai baju warna pink"
Ratna menata satu-satunya kain yang akan menutup tubuh putrinya sekarang di atas meja. Setelah membungkus jasad putrinya dengan sempurna, Ratna keluar dari ruang jenazah untuk menunggu administrasi kepulangan jenazah putrinya.
Tak lama seseorang segera memeluknya.
"Ratna, bagaimana bisa? Kenapa ini bisa terjadi? Bagaimana bisa Tia ... "
Ratna melepas pelukan Yani dan tidak bisa menjelaskan apapun. Hasil otopsi belum keluar sehingga dia belum bisa menyatakan penyebab kematian putrinya.
"Tia ... sudah meninggal. Aku baru saja menyucikannya. Sekarang menunggu administrasi kepulangan jasad Tia" jawabnya dengan mata kering.
Sejak melihat jasad putrinya, Ratna belum pernah meneteskan air mata. Sampai saat ini. Dia hanya berusaha untuk menjalani apa yang harus dilakukan sekarang.
"Bu Ratna!!" teriak beberapa orang. Ternyata beberapa tetangga di rumah Ratna datang ke rumah sakit. Sama seperti pada Yani, Ratna juga tidak bisa menjelaskan penyebab kematian putrinya.
Dia hanya bisa meminta tolong tetangganya untuk membantu proses pemakaman putrinya.
Dengan pikiran kosong, Ratna menemani putrinya pulang. Sesampainya di rumah, sudah banyak tetangga yang membantunya menyiapkan prosesi pemakaman Tia.
Pemakaman berjalan dengan sangat cepat. Kini, tubuh Tia telah berada jauh di dalam tanah. Dan Ratna tidak akan bisa melihat lagi senyum putrinya yang mencerahkan hidupnya. Ratna tidak bisa lagi mendengarkan suara manja yang sengaja dibuat Tia saat menginginkan sesuatu. Ratna tidak lagi bisa memeluk dan mencium pipi putrinya. Semuanya, tidak bisa lagi dia lakukan.
Setelah prosesi pemakaman, masih banyak orang yang datang ke rumah untuk menyatakan duka mereka. Termasuk semua rekan kerja Ratna dan juga teman-teman sekolah Tia. Termasuk guru dan kepala sekolah SMA 67.
Karena semua orang itu, Ratna tidak dapat merasakan kehampaan hatinya.
Tapi setelah semua orang pergi dan dia tertinggal sendiri di rumah. Kesepian dan kehampaan itu menghantam hatinya dengan keras. Lama sekali dia terdiam, lalu ...
"Mamaaaa, aku pulang!!"
Ratna terperanjat mendengar suara yang sangat dia kenal. Pintu depan terbuka dan Tia masuk ke dalam rumah. Dengan seragam sekolahnya yang lengkap dan tas yang berisik karena gantungan kunci beragam.
"Tia!" panggilnya lemah.
"Mama, kenapa rumah jadi seperti ini? Ada acara apa?"
"Tia ... !"
"Aku capek banget ma, ke kamar dulu ya!!"
Pandangan Ratna terpaku pada sosok Tia yang masuk ke dalam kamar. Tentu saja dia mengikuti langkah putrinya. Tapi yang dia jumpai hanyalah kamar yang gelap dan kosong. Tidak ada jejak Tia yang baru saja datang dari sekolah.
Ternyata semua itu hanya khayalannya saja. Bagaimana mungkin Tia pulang ke rumah saat dia sendiri yang memandikan jasad dingin putrinya? Bagaimana mungkin Tia datang saat dia sendiri yang melihat jasad putrinya dimasukkan ke dalam liang lahat?
Kepedihan merasuk ke dalam dadanya. Sakit!! Sakit sekali!! Kenapa dadanya terasa sakit sekali??!!
"Hua ... Hua ... HUAAAAAAAAA!!!"
Teriak Ratna yang datang bersama tangis, sebagai usaha untuk mengeluarkan rasa sakit yang terus mengiris hatinya.
"TIAAAAA"
"TIAAAAAAA"
"Jangan tinggalin mama Nak"
"TIAAAAAAAA aaaaaaa"
Air mata tak berhenti mengalir setelah selama kurang lebih dua puluh empat jam dia tidak menangis sama sekali. Ratna tidak tahu berapa lama dia meraung-raung dan menangis di dalam kamar putrinya. Saat keluar dari kamar Tia, Yani disana menyambutnya dengan pelukan.
"Lebih baik kamu makan. Ini sudah sore" kata Yani khawatir pada kondisi tubuh Ratna.
"Kamu punya anak kecil. Kamu pulang saja" katanya pada Yani.
"Aku sudah ijin pada ibu dan suamiku. Aku akan menemanimu malam ini"
"Tidak perlu"
"Perlu!! Sangat perlu!! Ingatlah kalau masih ada aku yang akan menemani kamu."
Ratna melihat wajah temannya yang khawatir itu. Lalu memegang tangan Yani dengan erat.
"Aku tidak akan melakukan sesuatu yang berbahaya. Setidaknya sampai penyebab kematian Tia terungkap" jawabnya membuat Yani berhenti ragu.
"Tia bukan meninggal karena kecelakaan?" tanya Yani.
"Awalnya kupikir begitu. Tapi seorang polisi memberitahuku kalau ada kejanggalan di penyebab kematian Tia. Aku sudah memberi ijin otopsi. Hasilnya akan keluar dua hari lagi" jelasnya.
Tapi Yani bersikeras untuk tetap tinggal di rumah. Dan Ratna tidak bisa lagi melarang. Kini, Ratna hanya ingin mengetahui penyebab sebenarnya kematian putrinya. Dia harus mengetahui penyebab kematian putrinya. Harus!!
Dua hari kemudian, Ratna pergi ke rumah sakit. Bersama Yani yang setia menemani, Ratna berhadapan dengan seorang dokter ahli forensik yang memeriksa putrinya.
"Anda adalah ibu dari Cinthya Handoko?" tanya dokter itu.
"Iya benar"
"Dan ini?" tanya dokter itu pada Yani.
"Saya teman ibu Tia"
Dokter menutup mulut lalu menyarankan Yani untuk keluar dari ruang dokter. Karena hal sensitif seperti ini akan lebih baik jika didengar oleh pihak keluarga saja. Menjaga kerahasiaan penyebab kematian Tia.
Setelah Yani keluar dari ruang dokter,
"Hasil otopsi ini sudah kami berikan pada polisi. Dan yang asli, bisa Anda baca disini. Kalau ada yang tidak Anda mengerti, silahkan ditanyakan"
Ratna memegang amplop coklat itu. Perlahan dia membuka amplop dan mengeluarkan sebuah berkas dengan nama Tia di atasnya.
Sebuah surat dengan tebal lima lembar juga beberapa foto X Ray ada di dalam amplop itu. Ratna mulai membaca hasil pemeriksaan yang dimaksud dokter dan dia tidak percaya dengan apa yang terjadi pada putrinya.
"Luka lebam dan luka sobek di bagian ... " katanya tercekat. Ratna tidak bisa lagi melanjutkan.
"Cinthya Handoko dinyatakan meninggal karena benturan keras di kepala. Yang membuatnya kehilangan darah dengan cepat. Hal itu kemungkinan disebabkan saat putri Anda dilemparkan dari mobil ke tepi jalan. Dan semua luka di tubuhnya mengindikasikan bahwa Cinthya Handoko mengalami kekerasan sebelum meninggal"
Ratna terus membaca semua jenis lebam yang dijabarkan begitu jelas oleh dokter forensik dalam laporannya. Luka terbuka di tengkorak kepala bagian kanan. Lebam dengan jejak tangan di leher. Lebam ikatan di pergelangan tangan. Dan luka sobek di bagian intim Tia.
"Kekerasan apa?" tanyanya berusaha untuk memastikan.
"Dari hasil otopsi, telah ditemukan dua DNA di dalam mulut rahim putri Anda. Jadi, Cinthya Handoko mengalami kekerasan seksual sebelum meninggal"
"Ohhhh!!!!" serunya lalu menutup mulut dan menangis.
Putrinya, Tia, mengalami hal yang mengerikan sebelum meninggal. Bagaimana bisa? Tunggu, kata dokter tadi ...
Ratna menatap mata dokter untuk memastikan sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Benar. Ada dua pria yang ... Melakukan kekerasan itu pada putri Anda"
Ratna merasa lemas sekarang. Tidak bisa membayangkan ketakutan dan kesakitan yang dirasakan oleh putrinya saat orang-orang jahat itu melakukan semuanya.
"Kenapa Tia? Kenapa putriku??" tanyanya dengan memukul-mukul dadanya yang terasa sakit dari dalam.
"Polisi sedang menyelidiki kasus putri Anda. Mereka akan segera menemukan pelaku yang melakukan semua kejahatan ini pada putri Anda"
Ratna keluar dari ruang dokter forensik dalam keadaan lemah. Yani yang menunggu diluar tidak bertanya sama sekali tentang hasil otopsi. Hanya membantu Ratna kembali ke mobil.
Di parkiran rumah sakit, Ratna melihat seseorang yang dia kenal. Segera saja dia berlari dan memegang lengan polisi wanita itu.
"Bu polisi!!" katanya
Polwan itu terkejut dan menoleh lalu merubah ekspresi saat melihat kalau orang yang mendatanginya adalah Ratna.
"Bu Ratna"
"Apa kalian sudah menemukannya?" tanya Ratna tidak sabar.
"Menemukan?"
"Pelaku yang melakukan semua ini pada putriku. Apa kalian sudah menemukannya? Siapa yang melakukan hal biadab ini pada putriku? Siapa yang melakukan semua itu pada Tia??"
Polwan itu tampak bingung dengan semua pertanyaan Ratna. Padahal dia hanya ingin tahu siapa pelaku kejahatan ini pada putrinya.
"Bu Ratna, Kamis besok bagaimana kalau Anda datang ke kantor polisi?"
"Apa? Kenapa Kamis? Kenapa tidak sekarang saja? Saya bisa datang kesana sekarang"
"Bu Ratna!! Anda tidak boleh mengganggu penyelidikan polisi! Kalau Anda ingin mengetahui kemajuan penyelidikan, silahkan datang ke kantor polisi dan bertanya disana" kata polwan yang Ratna pikir akan selalu ramah padanya itu. Kali ini, polwan itu bicara tegas dan segera meninggalkannya begitu saja.
"Rat ... Ratna. Kamu tidak apa-apa?" tanya Yani yang sejak tadi berada di sampingnya.
"Apa yang harus aku lakukan Yan? Apa yang harus aku lakukan??"
Menyimpan semua ini sendiri memang adalah pilihan yang paling baik untuk Ratna.
Setelah kematian suaminya, dia selalu melakukan dan memutuskan semua sendiri. Karena dia adalah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab pada kehidupannya juga Tia.
Lagipula, dia tidak ingin penyebab kematian putrinya yang begitu mengerikan menjadi konsumsi banyak orang. Tapi, beban ini begitu berat dia rasakan.
Akhirnya dia membagi beban itu pada Yani. Satu-satunya teman yang dia miliki selama sepuluh tahun berada di kota ini.
"Apa? Jadi ... Tia mengalami semua ini?" tanya Yani ketika mereka sudah berada di dalam rumah.
"Apa yang harus aku lakukan Yan? Apa?"
Yani terdiam sejenak, lalu mulai membagi pendapatnya.
"Kau harus pergi ke kantor polisi. Kau harus menemukan penyebab kematian Tia dan memastikan mereka mendapatkan hukuman yang setimpal!"
"Benar!! Orang-orang itu harus dihukum karena telah melukai putriku sampai seperti ini!"
Hari Kamis datang dan Ratna pergi ke kantor polisi pagi-pagi sekali. Saat bertanya, dia disuruh untuk menunggu. Jadilah dia duduk di lobi kantor polisi. Waktu berjalan terus dan Ratna tetap diperintahkan untuk menunggu.
Sebelum jam dua belas siang, dia akhirnya melihat polwan yang dia kenal datang.
"Bu Galih!" panggilnya setelah mengetahui nama polwan itu dari polisi yang tadi menyuruhnya menunggu.
"Bu Ratna, Anda datang!"
"Bu Galih menyuruh saya datang. Saya datang. Bagaimana dengan ... "
Belum selesai dia bertanya lewat beberapa orang di antara mereka.
Beberapa polisi dengan tiga orang anak SMA yang tampak baru saja melakukan tawuran. Wajah mereka penuh dengan luka yang masih berdarah. Bagaimana anak-anak itu menyia-nyiakan kehidupan yang diberikan oleh Tuhan? Disana putrinya yang baik, cantik dan pintar harus kehilangan nyawa karena perbuatan orang jahat.
Setelah semua orang itu lewat, akhirnya Ratna bisa mendekati Bu Galih.
"Bagaimana kemajuan kasus putri saya, Bu Galih?"
Bu Galih melihat ke arah orang-orang yang lewat tadi lalu kembali kepadanya.
"Kami sedang melakukan pemeriksaan pada beberapa orang yang dicurigai sebagai pelaku."
Begitu mendengar hal itu, Ratna menjadi bersemangat. Bersemangat untuk mencabik-cabik wajah pelaku yang membuat putrinya meninggal dalam keadaan seperti itu.
"Dimana mereka? Dimana mereka??!" tanyanya lalu ditarik ke sebuah ruangan oleh Bu Galih.
"Bu Ratna, sebaiknya Anda datang lagi nanti. Kalau semua berkas telah selesai disusun dan dimajukan ke pengadilan" kata Bu Galih.
Apa? Bagaimana bisa dia menunggu? Disaat putrinya telah terbaring jauh di dalam tanah karena perbuatan orang-orang jahat itu?
Tapi Bu Galih tidak mau mendengar jawabannya. Memaksanya untuk segera pulang ke rumah.
Meski bingung, Ratna hanya bisa menurut. Dia sangat yakin polisi akan melakukan hal yang benar untuk mencari orang-orang jahat itu.
Sebelum dia pergi, datang tiga mobil. Dua diantaranya begitu mewah sampai tampak aneh dijumpai di halaman kantor polisi. Dari ketiganya, Ratna mengenal pemilik salah satu mobil itu.
"Bukankah itu kepala sekolah SMA 67?" tanyanya.
Untuk apa kepala sekolah putrinya datang ke kantor polisi? Apa untuk dimintai keterangan atas kasus Tia? Ratna ingin kembali ke kantor polisi tapi teringat kata-kata Bu Galih sebelum pergi tadi.
"Sebaiknya jangan terlalu terlihat saat penyelidikan dilakukan. Karena Anda akan dianggap menghambat penyelidikan"
Jadilah Ratna memutuskan untuk pulang. Dengan harapan kasus putrinya segera terungkap. Dan orang-orang jahat itu cepat dihukum atas kejahatan mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!