PROLOG
Nathaline Anggelica, seorang gadis ramah, periang, tetapi sedikit pemalu. Saat ini ia telah genap berumur 19 tahun dan sedang melanjutkan sekolahnya di kampus Dwikara.
Ia adalah putri tunggal dari Halim Kusuma Anggara, ibunya bernama Putri Ellica - beliau telah meninggal dunia semenjak Nathaline berumur 3 tahun.
Semenjak kepergian sang ibu, ayahnya menjadi sibuk bekerja dan terkesan mengabaikan Nathaline. Gadis ini tumbuh tanpa kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sehingga, ia menjadi gadis yang kurang percaya diri.
Reyhans Aditya Mahesa, putra kedua dari Devano Mahesa, seseorang yang amat berpengaruh dalam dunia politik maupun dunia bisnis.
Wajahnya bisa terbilang cukup rupawan, dengan tinggi badan yang menjulang hampir setinggi tiang dua meter, sepertinya tanpa ia sadari banyak hati wanita yang terpana oleh dirinya.
Namun, dibalik itu semua, pria ini dikenal sebagai pria yang dingin dan sangat jarang tersenyum, bahkan hampir tidak pernah ada orang yang melihatnya tersenyum.
Dan tentunya, julukan si sombong tidak heran jika disematkan padanya.
Reyhans selalu di kekang oleh Devano - ayahnya, untuk menjadi pengganti sang ayah dalam memimpin beberapa bisnis yang ia kelolah selama ini.
Reyhans dididik dengan sangat keras, selalu di tuntut untuk menjadi nomor satu dalam segala hal, dan tidak pernah dibebaskan dalam hal berteman.
Pria ini memiliki kakak kandung bernama Gabriella Ananda Mahesa, ia sudah berumah tangga dan lebih memilih menjadi seorang ibu rumah tangga.
Sang suamilah yang meneruskan perusahaan yang telah diberikan oleh sang ayah.
Sedangkan, Reyhans lebih memilih menjadi seorang Dosen di salah satu kampus yang bisa terbilang cukup elit di kota A.
Ia juga bekerja di salah satu bisnis yang bergerak di bidang kosmetik, tentu saja itu semua kehedak dari sang ayah. Awalnya ia sempat menolak, tetapi Devano terus mendesaknya.
Pria itu dengan berat hati harus menerima permintaan sang ayah, bagaimana pun ia sangat takut jika membantah sang ayah.
...oooOOOooo...
Chapter 1
Hari ini, Nathaline pulang lebih awal dari kampus, karena sudah tidak ada mata pelajaran lagi.
'Gak biasanya tuh orang pulang, tumben-tumbenan? Kesambet setan apaan dia?' batinnya, saat melihat mobil milik sang ayah telah terparkir di depan rumah kediaman mereka.
Nathaline memilih acuh - tidak menghiraukannya dan terus saja melenggang memasuki rumah. Ia sempat menoleh ketika mendapati Halim sedang duduk di sofa ruang tamu.
Gadis itu kembali tidak menghiraukan hal tersebut dan lebih memilih untuk tetap melanjutkan langkahnya menuju ke dalam kamar.
Semenjak kepergian sang ibu, hubungan Nathaline dan sang ayah menjadi kurang baik. Sikap sang ayah yang terkesan acuh kepada dirinya dan tidak pernah memperdulikan gadis itu membuat hubungan keduanya kian renggang.
Halim juga sangat jarang berada di rumah, membuat Nathaline menjadi kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Saat pulang ke rumah pun, Halim juga tidak pernah bertegur sapa dengan Nathaline seperti keluarga pada umumnya, kecuali saat ada hal yang sangat penting dan mendesak barulah mereka saling berbicara, itupun paling hanya beberapa menit saja. Setelahnya, mereka kembali seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal satu sama lain.
"Nathaline, tunggu! Aku ingin bicara empat mata denganmu," ucap Halim di saat melihat Nathaline baru saja menaiki tangga.
Nathaline menghentikan langkahnya saat menginjak anak tangga yang ke tiga, gadis itu terdiam beberapa saat sebelum akhirnya memperkenankan dirinya untuk menoleh.
Nathaline perlahan membalikkan tubuhnya dan memberanikan diri untuk menatap mata sang ayah.
Sudah lama sekali, semenjak terakhir kali mereka berbicara empat mata, hingga membuat Nathaline merasa sedikit canggung jika harus berhadapan dengan pria itu.
"Anda memanggilku? Ada apa Tuan Halim?" tanya Nathaline, bersikap formal.
Gadis itu seolah merasa enggan memanggil pria yang tengah berada di hadapannya sebagai ayah. Bagaimanapun, ia juga sakit hati karena sang ayah selalu menghindari dirinya tanpa sebab selama ini.
Suasana terasa sangat canggung di antara mereka berdua. Sudah sangat lama semenjak terakhir kali mereka berbicara empat mata, saat itu pun mereka sempat berdebat, hingga membuat hubungan keduanya kian merenggang.
"Kemarilah, ada hal penting yang akan aku bicarakan!" ucap Halim, dengan wajah datarnya.
Pria itu menunjuk sebuah sofa yang berada di depannya, sebagai isyarat agar Nathaline segera duduk di sana.
"Ada hal serius yang akan aku katakan kepadamu, dengarkan aku baik-baik, dan aku tidak ingin mendengar penolakan darimu," ucap Halim, dengan suara tegasnya.
Nathaline hanya terdiam, 'Tidak mau mendengarkan penolakan? Bearti mau tidak mau aku harus setuju? jadi untuk apa aku bersuara?' batinnya.
"Aku dan Elliecia, dulu menyepakati sebuah janji kepada teman kami, kau juga terikat dalam perjanjian tersebut, dan kemarin orang itu menagih janji kami," ucap Halim menjelaskan.
Nathaline masih terdiam dan masih menyimak perkataan ayahnya.
"Perjanjian apa? Mengapa aku juga harus terlibat? Aku tidak mengerti apa yang Anda katakan barusan," balas Nathaline, memberanikan diri untuk bertanya.
"Singkatnya, mereka menginginkan dirimu untuk menjadi bagian dari keluarga mereka," jawab pria paruh baya itu menjelaskan.
Nathaline kembali tediam, ia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena telah di peringatkan oleh Halim sebelumnya.
"Kau tidak perlu banyak memikirnya, ini semua sudah di sepakati oleh kami. Kau hanya perlu menuruti kami, anggap saja sebagai balas budi atas kemurahanku telah membiarkan dirimu tetap tinggal dan besar di rumah ini," sambung Halim, ia seolah tidak memikirkan perasaan Nathaline saat mengucapkan hal itu barusan
"Baiklah Tuan Halim, lagipula aku tidak punya kuasa untuk menolak bukan? Terima kasih atas kemurahanmu kepadaku selama ini."
Berkecamuk rasa hatinya saat ini, dan dengan pasrah hanya dapat menganggukkan kepala sebagai tandai persetujuan.
Cukup lama mereka larut dalam keheningan, Nathaline kemudian pamit untuk masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Halim yang masih terdiam.
Nathaline melangkahkan kakinya yang lemas dengan paksa untuk menaiki satu persatu anak tangga. Hatinya terasa sangat sakit atas perkataan Halim tadi.
Ia melemparkan tasnya di atas kasur dengan penuh amarah, kemudian duduk sejenak di samping tempat tidurnya, sembari memejamkan kedua mata sejenak. Barangkali, hal itu bisa mengobati sedikit luka di hatinya.
Bulir-bulir bening air mata mulai mengalir dan menerobos paksa di sela-sela kelopak mata indahnya, perlahan semakin deras dan membasahi wajah manisnya.
Semakin keras ia berusaha untuk melupakan masalah yang tengah ia hadapinya hari ini, bayang-bayang masalah di masa lalu malah turut menghantui dirinya.
Ibunya meninggal semenjak ia berumur 3 tahun, semenjak itupula sang ayah sudah tidak memperdulikan dirinya lagi.
Bahkan, Halim sempat menitipkan Nathaline kecil di panti asuhan selama beberapa tahun. Tetapi ia segera mengambilnya kembali dan membawanya untuk tinggal bersama.
Beberapa tahun berlalu, tetapi sikap Halim malah semakin dingin terhadap sang putri. Bahkan, untuk memandang wajah Nathaline saja, pria itu seolah merasa enggan.
Nathaline bahkan tidak tahu apa kesalahan yang telah ia perbuat hingga membuat sang ayah menjadi benci dan terkesan tidak perduli lagi terhadap dirinya.
Pernah suatu hari, ayahnya membawa seorang wanita yang umurnya tak jauh berbeda dengan Nathaline. Hal itu membuat hubungan Nathaline dan Ayahnya semakin merunyam, karena sang wanita tidak menyukai Nathaline.
Di kampus, Nathaline juga tidak memiliki banyak teman. Gadis ini sering sekali menjadi korban bullying oleh teman-teman seangkatannya.
Nathaline bisa terbilang pintar, wajahnya juga terbilang cantik, dan ia juga merupakan anak dari keluarga yang cukup terpandang, tetapi sayangnya gadis ini terkesan sangat tertutup kepada lingkungan sosial, hingga membuatnya menjadi sasaran empuk pembullyan.
Ia merasa dunia sangatlah tidak adil kepada dirinya, gadis ini bahkan juga pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya berkali-kali.
Hingga puncaknya, sang ayah membawa kabar mengejutkan bagi hari ini, tentang perjodohan yang telah di lakukan kedua orang tuanya di masa lalu sebagai balas budi kepada teman mereka.
Nathaline masih menangis dalam diam, kemudian ia membenamkan wajahnya ke dalam bantal, lalu menangis sekencang-kencangnya.
Hingga pada akhirnya air mata pun terasa sudah kering dan tenaganya juga turut terkuras - tidak sanggup lagi untuk mengeluarkan air matanya.
Tubuh gadis itu tampak lemas, ia membaringkan tubuh letihnya di atas kasur dan perlahan meletakkan kepala diatas bantal yang sudah di penuhi oleh air matanya tadi.
Perlahan kesadarannya mulai hilang, sesaat setelah ia memejamkan kedua matanya. Berharap ketika esok hari ia bangun dari tidurnya, kesedihan yang menghampiri dirinya menghilang.
...*...
...*...
...*...
Pukul 06.45
Sinar mentari menyapa Nathaline lewat sela-sela jendela kaca yang tidak tertutup dengan sempurna. Namun gadis manis itu masih terlelap dalam buaian mimpinya.
"Nona Nathaline! Sudah pagi, ayo sarapan! sebentar lagi anda akan terlambat," pekik seorang wanita paruh baya sambil menggedor pintu kamar Nathaline cukup keras, hingga membuat Nathaline terbangun paksa dari tidurnya.
Beliau adalah Bi Ani, seorang asisten rumah tangga senior di keluarga besar Halim, ia bertugas untuk menjaga dan menyiapkan segala keperluan untuk Nathaline.
"Iya bi, Iya! Berisik banget sih!" ucap Nathaline yang langsung terbangun oleh suara bising di pagi-pagi buta.
Gadis itu segera menyeka sisa air matanya yang masih tertinggal di pipi tembamnya. Bahkan, di dalam tidur pun ia masih menangis.
Setelah selesai mandi dan berkemas, Nathaline segera mengambil kunci mobil yang berada di atas meja dan segera berlari menuruni tangga.
"Nona Nathaline, ayo sarapan dulu." Bi Ani berteriak saat melihat Nathaline berlari melewati dirinya dan keluar dari rumah begitu saja tanpa sarapan.
"Aku makan di kampus aja Bi, udah gak ada waktu! Bentar lagi ada Dosen Killer ngajar, bisa habis aku!" jawab Nathaline sambil berteriak dari arah pintu.
Ia bergegas menaiki mobil dan dengan segera melajukan mobilnya di jalan raya, ia sangat takut jika ia terlambat hari ini.
Hari ini ada mata pelajaran yang di isi oleh Dosen paling killer di kampusnya. Jika terlambat lima menit saja, jangan harap bisa memasuki kelasnya selama satu minggu.
"Saya tidak menerima murid malas dan tidak menghargai waktu!"
Itulah yang selalu Dosen itu ucapkan saat ada mahasiswa yang terlambat.
Siswa yang tidak mengumpulkan tugas, jangan bermimpi untuk lulus dan bersiaplah mengulang kelas tahun depan.
Dia dijuluki Dosen Killer oleh Mahasiswa yang diajarnya. Banyak yang tidak menyukai pria itu karena kegalakan dan kekejamannya
Namun, tidak jarang pula ada mahasiswi yang memuja-muja ketampanan pria itu.
Suara ponsel yang terus berbunyi mengganggu konsentrasi Nathaline yang tengah menyetir. Dan tanpa ia sadari hampir saja menabrak sebuah mobil yang tengah berjalan pelan tepat di depan mobilnya.
Suara decitan dari ban mobil yang menggesek aspal dengan kasar terdengar begitu jelas, ketika Nathaline mengerem mobilnya secara tiba-tiba.
Tampak seseorang keluar dari dalam mobil tersebut, setelah gadis apes itu tidak sengaja menggores mobilnya cukup parah.
"Mampus! Aku harus gimana, nih?" Nathaline kalang kabut saat seseorang mengetuk jendela kaca mobil miliknya.
"Hei, apa kau buta? kau menggores mobilku, keluar sekarang juga!" Suara keras memenuhi jalanan saat orang itu membentak Nathaline
Dengan takut-takut Nathaline perlahan menurunkan kaca mobilnya sembari terus menunduk karena ketakutan seakan tidak berani menatap sang pengemudi tadi.
"Maaf Tuan, saya tidak sengaja. Saya sedang buru-buru di kejar waktu, kasihanilah saya tuan, saya bisa di omelin sama Dosen Killer dan bisa mengulang kelas tahun depan," ucap Nathaline sembarangan, berusaha mencari alasan.
Nathaline terus saja mengoceh tanpa henti. Namun, saat ia mengangkat kepalanya, orang tersebut sudah tidak ada, begitu pula dengan mobilnya.
Terdengar suara klakson puluhan mobil yang sudah tidak sabar menyuruh Nathaline segera melajukan kendaraannya. Telah terjadi antrian panjang karena Nathaline yang berhenti di tengah jalan secara tiba-tiba.
Dengan segera ia tancap gas dan kembali melajukan mobilnya dengan cepat menuju ke arah kampus
Hanya tersisa 15 menit lagi, maka ia akan benar-benar terlambat. Sedangkan, membutuhkan waktu sekitar 25 menitan bagi dirinya untuk tiba di kampus.
Setelah cukup lama perjalanan Nathaline tiba di depan kampus yang telah memakan waktu hanya 18 menitan karena ia benar-benar mengebut seperti pembalap handal pagi ini, namun itu sama saja artinya ia sudah terlambat.
Nathaline segera berlari sepanjang lorong kampus setelah memarkir mobilnya. Nafasnya bahkan tidak beraturan, jantungnya juga turut berdegup sangat kencang.
...Tak!...
Langkahnya terhenti di depan pintu ruang kelasnya, ia tidak berani melangkahkan kaki saat sang Dosen killer sudah mulai mengabsen para siswa yang hadir.
Ia perlahan memberanikan diri saat sang Dosen Killier sudah mulai memanggil namanya.
"Nathaline Anggelica?" Sang Dosen melirik ke segala arah, saat tidak mendengar adanya jawaban.
"Nathaline Anggelica, hadir atau tidak?" Suara Dosen itu menggema ke segala penjuru ruangan, membuat semua mahasiswanya tersentak.
"Saya pak," ucap Nathaline, ragu.
Seketika semua mata langsung tertuju kearah pintu masuk kelas tersebut
'Tamat sudah riwayatku!' batinnya, gusar.
Nathaline perlahan memberanikan diri saat sang
Dosen Killier sudah mulai memanggil namanya.
"Nathaline Anggelica." Sang Dosen melirik ke segala arah, saat tidak mendengar adanya jawaban.
"Nathaline Anggelica, hadir atau tidak?" Suara Dosen itu menggema ke segala penjuru ruangan, membuat semua mahasiswanya tersentak.
"Saya pak," ucap Nathaline, ragu.
Seketika semua mata langsung tertuju ke arah pintu masuk kelas tersebut
Nathaline hanya tertunduk lemas, dia bahkan tidak berani menatap mata Dosen tersebut.
"Kenapa kau terlambat?" bentak Dosen itu kepada Nathaline.
Semua orang yang berada di kelas hanya tertunduk, mereka sangat takut menatap wajah garang sang Dosen.
"Maaf pak, tadi ada sedikit kendala di jalan," ucapnya lirih. Tubuhnya sedikit gemetar saat suara dosen itu meninggi.
"Apa lagi yang kau tunggu? Lekaslah keluar dan jangan kembali ke kelasku dalam satu minggu ke depan." Dosen itu memalingkan wajahnya setelah membentak Nathaline.
Nathaline langsung keluar tanpa bersuara, air matanya sudah sulit di bendung. Ia tidak mau di tertawakan oleh teman-temannya, jika ia menangis.
Nathaline berjalan menyusuri koridor kampus, Ia bingung harus ke mana. Jika ia pulang, maka akan ada yang melapor kepada Ayahnya dan ia bisa di hukum.
"Mengapa orang yang tidak memiliki hati nurani seperti dirinya harus mengajar di kampus ini? Benar-benar membuatku muak." Nathaline mengomel di sepanjang jalan, sambil menendang angin.
"Akh! Dasar gadis gila, mengapa kau menendang kaki ku?" Seseorang yang baru saja keluar dari toilet merintih kesakitan, saat Nathaline tidak sengaja menendang kakinya.
"Reza, apa yang sedang kau lakukan di sini? Bukankah kelas sedang berlangsung sekarang? Jangan bilang kau-" Perkataan Nathaline terhenti, ketika mulutnya di bungkam oleh tangan mahasiswa laki-laki yang bernama Reza itu.
"Stttt, diamlah! Aku bolos kelas hari ini, aku sangat jenuh melihat wajah menyebalkan Dosen itu," jawabnya sedikit berbisik.
"Dasar bodoh, apakah kau ingin tidak lulus dan mengulang kelas di tahun depan?" tanya Nathaline, sembari berbisik dan mengernyitkan dahinya.
"Jika aku tidak lulus, maka aku akan pindah dari kampus ini. Apakah kau lupa siapa siswa terpintar di kampus ini?" ujar Reza, sembari tersenyum sinis setelah menyombongkan dirinya.
"Ah baiklah! terserah kau saja." Nathaline memutar bola matanya, dia sangat malas saat mendengar kesombongan sahabatnya itu.
Nathaline terlihat sangat senang, karena hari ini ada yang menemani dirinya. Jadi, dia tidak sendiri lagi sekarang.
"Reza, ayo temani aku mencari makan. Aku sangat lapar, karena belum sarapan pagi ini," ajak Nathaline dan langsung menarik tangan Reza, tanpa persetujuan dari pria itu.
...***...
"Pelayan, aku pesan ini sama minuman ini 5 botol." Nathaline menunjuk menu-menu yang ingin di santapnya.
"Maaf dek, kami tidak melayani tamu di bawah umur. Ini juga tidak baik untuk kesehatan," ujar pelayan Caffe itu, berusaha menasehati Nathaline.
"Sstt, diamlah! Apa aku terlihat seperti di bawah umur? Aku sudah 19 tahun sekarang, dan jika ini tidak menyehatkan mengapa kalian menjualnya? Ini tip untukmu dan segera bawakan pesananku." Nathaline menyodorkan uang yang cukup banyak di depan pelayan Caffe tadi.
Pelayan itu hanya mengangguk dan segera menyiapkan pesanan Nathaline.
"Aish, kau tidak berubah Nathaline. Selalu saja melampiaskan kekesalanmu dengan minum, kapan kau akan berhenti menjadi seperti ini?" Reza memukul pelan lengan Nathaline.
Nathaline hanya diam dan memicingkan matanya ke arah Reza, dia tak memperdulikan perkataan sahabatnya itu.
Hari sudah semakin larut, Reza dan Nathaline terlihat mabuk berat akibat minum terlalu banyak hari ini.
"Sudah larut, ayo kita pulang! Biar aku yang mengantarmu," ucap Reza, menawarkan kepada Nathaline, tetapi hanya di balas dengan gelengan kepala dari Nathaline.
Puas Reza mendesak, tetapi jawaban Nathaline tetap tidak. Akhirnya, pria itu pulang lebih dulu dan meninggalkan Nathaline yang masih asik meneguk minumannya.
Nathaline semakin sulit mengendalikan dirinya, bahkan untuk berdiri saja dia kesulitan.
"Hei, Dosen Killer menyebalkan! Mengapa kau menghukumku? Kau jahat sekali!" Nathaline berteriak tanpa henti, ia sepertinya benar-benar mabuk berat.
Reyhans Aditya Mahesa,
Sang Ayah meminta Reyhans untuk datang ke kediaman keluarga besar Mahesa, untuk membahas masalah perjodohan dirinya dengan wanita yang tidak pernah ia kenal sebelumnya.
"Aku tidak setuju dengan perjodohan ini, aku bisa menentukan pilihanku sendiri!" Suara laki-laki itu menggema ke seluruh penjuru ruangan.
"Kau harus tetap melakukan perjodohan ini Rey, Aku sudah berjanji kepada Ibunya!" Ayahnya berusaha menjelaskan kepada sang anak.
"Kalau begitu, Anda saja yang menikahinya, Tuan Mahesa," jawab pria itu lancang, kepada ayahnya dengan nada tinggi.
"Jaga mulutmu Rey, aku adalah ayahmu! jika kau menolak perjodohan ini, ucapkan selamat tinggal pada kampusmu," ancam Mahesa, kepada Reyhans.
"Cih! terserah kau saja, aku sudah muak dengan semua ini!" Reyhans melangkah keluar dari kediaman ayahnya.
Tampak raut wajah penuh kekesalan yang di tunjukkan oleh Reyhans semenjak keluar dari rumah tersebut.
Pria itu dengan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi untuk kembali menuju ke kediamannya.
Tidak butuh waktu lama, Reyhans telah tiba di kediamannya. Dengan kesal, pria itu melangkahkan kakinya menuju kamar tidur.
...Brak!...
Reyhans membanting pintu kamar dengan keras. Semua pelayan dan pengawalnya tersentak, baru pertama kali ia tampak semarah ini.
"Argh! Mengapa ayah selalu saja memaksakan kehendaknya kepadaku!" Reyhans menjambak rambutnya dengan kesal.
Pagi hari,
Reyhans bangun dari tidur dan bersiap untuk pergi ke kampus. Dengan segera ia turun ke lantai bawah untuk sarapan.
"Selamat pagi, Tuan muda," sapa salah seorang pelayan sembari membawakan makanan.
"Hmm." Reyhans hanya mengangguk, dia memang tidak suka berbasa-basi untuk hal tidak penting.
Orang bilang, Pria ini sangat hemat dalam kata. Ada juga orang yang menganggap dirinya sombong, karena tidak mudah di ajak berbicara.
Reyhans segera merogoh saku kemejanya untuk mengambil ponsel miliknya, saat ini mendengar nada panggilan berbunyi.
"Ada apa?" jawabnya ketus, saat mengetahui siapa yang menelponnya di pagi-pagi buta, seperti ini.
"Lusa malam kita akan menemui keluarga dari calon istrimu, untuk membahas kelanjutan masalah perjodohanmu," ucap seseorang dari balik telepon.
"Sudah ku bilang, aku tidak mau!" Raut wajah Reyhans kembali berubah menjadi kesal.
"Baiklah, kampusmu taruhannya-" Belum habis orang itu berbicara Reyhans langsung menutup teleponnya.
Pria itu menggebrak meja makan dengan kesal dan langsung meninggalkan sarapan yang bahkan belum di sentuhnya.
"Jalan pak!" titahnya kepada seorang supir, pria ini tampak sangat kacau hari ini. Sepanjang perjalanan ia terus memasang wajah masamnya.
...Brak!...
"Dasar sialan! Jika tidak bisa mengemudi mengapa masih mengendarai mobil? Benar-benar tidak tahu diri." Dengan emosi yang sudah di ubun-ubun, Reyhans keluar dari mobil untuk melihat siapa yang baru saja menabrak mobilnya.
Beberapa kali dia mengetuk kaca mobil orang tersebut, tetapi tidak ada yang membuka kaca mobil itu.
Namun, saat hendak pergi dari sana tiba-tiba saja ada seorang wanita yang membukanya, kemudian terus mengoceh tanpa henti. Reyhans yang bising mendengranya langsung beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
"Sudah pak, jalan saja!" Reyhans kembali memerintahkan supir melajukan kendaraannya menuju kampus
"Dari pakaian yang ia kenakan, sepertinya ia murid dari kampus ku. Apa yang dia katakan tadi? Dia bilang Dosen killer, siapa Dosen itu? jika aku tahu akan aku pecat dia, berani sekali menakuti mahasiswaku!" batin Reyhans mengomel-omel tanpa henti di sepanjang perjalanan.
Reyhans langsung memasuki kelas untuk mengajar dan seperti biasa sebelum mengajar dia selalu mengabsen mahasiswanya.
Wajar saja, muridnya ada lebih dari seribu orang, mana mungkin dia mengingat nama-nama semua mahasiswanya.
"Nathaline Anggelica?" Pria itu menatap seluruh murid di depannya, tetapi tidak ada yang menjawab.
"Nathaline Anggelica, hadir atau tidak?" Dia kesal tidak ada murid yang menjawab pertanyaan dirinya.
"Saya pak," ucap seorang gadis yang baru saja membuka pintu kelas.
Pria itu terus menatap lekat ke arah Mahasiswanya itu, dia seperti pernah bertemu dengan mahasiswa itu sebelumnya.
"Kurang ajar gadis ini, ternyata aku yang dia maksud sebagai Dosen killer? Dasar murid tidak tahu di untung," batinya meronta melihat sosok gadis yang tengah berdiri di ambang pintu kelas. Dengan kesal ia menghukum siswi itu untuk tidak mengikuti pelajarannya selama satu minggu.
Reyhans selesai mengajar, hari juga sudah tampak cukup larut karena ia baru saja selesai membereskan soal-soal untuk ulangan harian nanti.
Reyhans berhenti si sebuah Caffe untuk membeli makanan, tiba-tiba ia melihat seseorang yang sepertinya tidak asing lagi bagi dirinya. Dengan perlahan ia berjalan mendekat untuk menghampiri gadis yang tampak sangat kacau itu.
"Hei, Dosen Killer menyebalkan! Mengapa kau menghukumku? Kau jahat sekali, dasar dosen sialan kau, Reyhan!" Gadis itu terus berteriak tanpa henti, hingga membuat beberapa orang melihat ke arahnya.
"Cih! Kenapa aku harus bertemu dengan dia lagi? hariku cukup sial hari ini." Reyhans mendengus kesal ketika melihat Nathaline yang tengah meracau tentang dirinya.
Ia kembali melanjutkan langkahnya untuk menghampiri dan semakin mendekat ke arah Nathaline saat melihat gadis itu masih mengenakan pakaian yang sama seperti tadi pagi.
"Bearti dia tidak pulang dari tadi dan dengan santainya meneguk minuman keras? Entah apa yang merasuki gadis ini," batinya, ia keheranan melihat Nathaline.
Reyhans segera mengambil botol yang masih berada di dalam genggaman tangan Nathaline dan segera meletakkannya di atas meja.
Dengan berat hati Reyhans menggendong Nathaline, karena takut akan terjadi sesuatu pada gadis itu. Bagaimanapun, ia merasa bertanggung jawab kepada mahasiswa yang di ajarnya.
"Heh, turunkan aku! aku ingin pergi ke rumah Dosen killer itu dan membakar rumahnya," Nathaline kembali meracau sambil memberontah dalam gendongan Reyhans. Pria itu hanya menghela nafasnya dan memilih untuk tidak memperdulikan ucapan Nathaline yang tengah mabuk berat dan langsung membawanya masuk ke dalam mobil.
"Pak, biar aku saja yang menyetir, kau bawakan saja mobilnya." Reyhans menyuruh supirnya turun dan dengan segera ia melajukan mobinya untuk pulang ke kediamanya.
Sesampainya di rumah, Reyhans langsung menggendong Nathaline masuk ke dalam kamar miliknya.
Semua pelayan dan pengawal hanya diam melihatnya, seolah tidak melihat apapun.
"Apa yang harus aku lakukan kepada gadis ini? Aku tidak tau di mana rumahnya dan jika aku membiarkannya di sana dia bisa saja di lecehkan oleh pria hidung belang." Reyhans membatin. Ia kemudian membaringkan tubuh Nathaline di atas ranjang miliknya.
"Bi, tolong pinjamkan gadis ini baju, bajunya sudah lusuh dan bau alkoholnya sangat menyengat." Reyhans segera memanggil salah seorang pelayan untuk mengganti baju Nathaline.
Beberapa menit kemudian, Reyhans menatap Nathaline yang tengah tertidur pulas di atas ranjangnya.
"Lihatlah, dia menikmati kasur empukku sementara aku harus tidur di sofa malam ini." batin Reyhans, pria itu terlihat sangat jengkel.
"Astaga!" Reyhans sangat kaget saat Nathaline tiba-tiba terbangun dan duduk di atas kasur.
"Hei, gadis gila! apa yang akan kau lakukan?" Reyhans menatap heran ke arah gadis itu, karena mata Nathaline masih terpejam.
Nathaline tanpa sadar melepas bajunya di hadapan Reyhans, dia juga melepaskan kaitan branya, kemudian melemparnya ke wajah Reyhans. Cukup lama gadis itu duduk, sepertinya ia sedang mengigau, kemudian gadis itu kembali berbaring,
Ia memang memiliki kebiasaan tidur dalam keadaan tidak mengenakan pakaian, itu sudah seperti hobbinya.
"Dasar gadis kurang ajar, tidak tahu malu!" Wajah Reyhans memerah seketika dan ia segera menjauh dari Nathaline.
"Dasar gadis gila, apakah dia tidak tahu bahaya melepaskan pakaian di depan seorang pria? Bagaimanapun aku ini pria normal." Reyhans mendengus kesal oleh tingkah Nathaline yang tiba-tiba.
...Next......
...Selamat membaca😘...
Pagi menjelang, tetapi Nathaline masih terlelap dalam tidurnya.
"Aish, kepalaku terasa pusing sekali, apa yang terjadi?" Nathaline memegangi kepalanya yang terasa sakit, saat itu mulai tersadar dari tidurnya.
"Astaga, ini dimana? Dimana pakaian ku?" Nathaline kaget dan langsung bangun dari tempat tidurnya.
Nathaline segera memungut sebuah baju tidur yang berada tidak jauh di sampingnya dan dengan segera ia mengenakannya.
Gadis itu kemudian keluar dari kamar dan mengitari rumah tersebut, ia terlihat sangat bingung harus pergi kemana, karena ia memang tidak pernah ke situ sebelumnya.
"Nona sudah bangun? Ayo sarapan dulu, Tuan muda sudah menunggu di bawah." Seseorang menyapanya saat ia hendak membuka salah satu ruangan di dalam rumah itu.
"Tuan muda siapa yang dia maksud?" batinnya, heran. Gadis itu sangat penasaran siapa yang telah membawanya ke tempat tersebut.
Nathaline bergegas mengikuti langkah pelayan dari belakang, tampak ia sedikit berlari kecil karna tubuhnya yang mungil itu tak bisa mengimbangi langkah pelayan tersebut.
"Tuan muda, Nona sudah bangun." Pelayan itu berbicara kepada seorang pria yang tengah duduk membelakangi Nathaline
"Pak Rey? apa yang Anda lakukan di sini?" Nathaline tersentak saat orang tersebut membalikkan badanya menghadap Nathaline.
"Ini adalah rumahku," jawabnya santai, hal itu membuat Nathaline tambah kebingungan.
"Mengapa wajahnya tampak sangat menyeramkan? Apa aku mengatakan sesuatu saat aku sedang mabuk, kemarin malam?" batinnya, saat melihat wajah Reyhans yang sangat judes.
"Astaga! Jadi aku tidur dirumah Dosen Killer ini semalaman? Apa yang telah ia lakukan padaku?" batinnya, saat mengingat bahwa ia terbangun tidak menggunakan pakaian sehelai pun.
Reyhans langsung duduk menghadap hidangan, dia juga mengajak dan mempersilahkan Nathaline untuk makan bersamanya.
"Anu, Pak-" Perkataannya terhenti saat Reyhans menaruh jari telunjuk di tengah bibirnya, yang menandakan Nathaline harus diam.
Mereka kembali berfokus kepada makanan masing-masing, tidak terdengar adanya pembicaraan antara mereka berdua.
Hanya ada dentingan sendok yang saling beradu, bergulat dengan makanan yang tampak sangat lezat itu.
"Jadilah pacarku." Reyhans mencairkan kesunyian setelah menghabiskan suapan terakhirnya dengan seteguk air putih.
"Uhuk!" Nathaline tersedak, saat tengah meneguk segelas air putih.
Nathaline hanya menatap tajam ke arah dosennya itu, dia masih tidak mengerti apa maksud dari ucapan dosen itu barusan.
"Jadilah pacarku!" Reyhans mengulang perkataannya dan dengan nada sedikit ditekankan, karena tidak mendapatkan jawaban dari Nathaline.
"Pak, saya baru 19 tahun dan saya juga belum lulus kuliah, apalagi umur kita juga terpaut cukup jauh, jadi aku pikir- Duh gimana bilangnya ya? jadi-" Nathaline gelagapan berusaha menolak Reyhans.
"Aku juga tidak sudi untuk berpacaran dengan anak kecil sepertimu, apalagi dengan gadis bodoh yang dengan lancangnya melepaskan seluruh pakaiannya di hadapanku" sindir Reyhans.
Sontak seluruh pelayan yang berada di ruangan tersebut tersentak dan seketika menatap tajam ke arah Nathaline. Gadis itu hanya tertunduk menahan malu.
"Astaga, jadi aku yang melepas pakaianku sendiri? matilah aku, mau ditaruh di mana wajahku!" batin Nathaline, yang masih menundukkan kepalanya menahan malu.
"Aku akan di jodohkan oleh Ayahku, dengan wanita yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Makanya aku ingin menunjukkan bahwa aku memiliki kekasih, barangkali dia mau membatalkannya. Jangan bilang jika aku ini kekanakan, tetapi tetap saja aku tidak menginginkan perjodohan ini," sambung Reyhans, saat tidak ada jawaban.
"Perjodohan? Kenapa bisa senasib seperti ini? Mungkin ini adalah jalan biar aku terbebas dari perjodohan ini?" Nathaline membatin.
Gadis itu terdiam cukup lama ketika mendapat tawaran tersebut. Ia memikirkan dengan serius, langkah mana yang tepat untuk di ambilnya.
"Baiklah, aku setuju." Jawaban Nathaline memecah kesunyian, ia menyetujuinya setelah berfikir cukup panjang.
"Anggap saja sebagai balas budi, karna bapak telah menyelamatkan aku tadi malam," sambungnya, memberikan alasan sebelum Reyhans salah paham terhadap dirinya.
Reyhans hanya mengangguk dan kemudian menyunggingkan senyum ke arah Nathaline yang membuat gadis itu menjadi salah tingkah.
Pasalnya, tidak ada satu orangpun yang pernah melihat dosen itu tersenyum. Ini juga pertama kalinya Nathaline melihat pria itu tersenyum, ia bahkan menjadi salah tingkah dibuatnya.
"Aish, kenapa senyumnya manis sekali. Tapi kok jadi terlihat seperti om-om mesum ya?" Nathaline membatin, seketika gadis itu bergidik ngeri membayangkan hal tersebut.
"Pak, apakah aku benar-benar di skorsing?" Nathline berlari ke arah pintu mengejar Reyhans yang ingin pergi ke kampus
"Apakah ucapanku kemarin kurang jelas? Perlu aku ulangi lagi?" jawab Reyhans ketus, hingga membuat Nathaline membungkam mulutnya.
Reyhans berlalu meninggalkan Nathaline, gadis itu hanya menunduk mendengar jawaban Reyhans, tadi.
Nathaline kemudian beranjak untuk pergi kembali ke dalam kamar Reyhans untuk mengambil tas miliknya, sepatu dan tentu saja pakaian yang ia kenakan kemarin.
"Oh, syukurlah! Benar-benar tidak terjadi apa-apa tadi malam." Nathaline menghela nafas lega, setelah memeriksa selimut dan ranjang tempatnya tidur tadi malam.
Dengan segera Nathaline langsung mengganti kembali pakaiannya dan menyimpan baju tidur yang di kenakannya di kamar mandi Reyhans.
Nathaline menuruni tangga dan kemudian segera bergegas pulang ke rumahnya, ia mengendarai mobil sport miliknya yang sudah terparkir rapi di depan rumah Reyhans.
Sesampainya di depan rumah, penjaga segera membuka pagar agar Nathaline bisa lewat. Gadis itu dengan segera bergegas menaiki tangga, dan hendak masuk ke dalam kamarnya.
"Dari mana saja kau? kenapa tidak pulang semalaman?" Bentak seorang laki-laki dari arah belakang Nathaline
Dengan takut-takut, gadis itu membalikkan tubuhnya, dan kembali menuruni tangga untuk menghampiri suara itu.
"Aku menginap di rumah teman." Gadis itu berbohong kepada ayahnya, ia sangat takut jika di marahi dan di hukum oleh ayahnya.
...Plak!...
"Jelaskan kepadaku, apa ini!" bentak Halim, sembari melempar beberapa lembar foto tepat di wajah Nathaline.
Nathaline melihat foto itu dengan seksama, ternyata di dalam foto itu tampak seorang pria yang tengah menggendong dirinya saat tengah mabuk, kemarin malam.
"Aku sudah menduga, mata-mata ayah ada di mana-mana, tamatlah aku sekarang!" batinnya, Nathaline hanya pasrah kerena ia sudah tidak punya alasan untuk mengelak.
...Plak! Plak!...
Dua kali tamparan yang cukup keras, mendarat lagi tepat di wajah mulus Nathaline. Pipinya menjadi merah karna tamparan itu.
Gadis itu hanya diam membisu di tempatnya berdiri tadi. Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir kecilnya.
Tubuhnya sedikit gemetar, karna sedang menahan tangis tetapi tidak tampak begitu jelas. Gadis itu perlahan memberanikan diri untuk menatap mata ayahnya yang sedang naik pitam.
"Maaf," ucapnya lirih. Hanya kata itu saja yang terpikir di dalam benaknya saat ini.
"Besok malam, kita akan bertemu dengan keluarga Mahesa untuk membahas perjodohan ini lebih lanjut. Jangan sampai kau keluar rumah hingga perjodohan ini usai!" ucap Halim dengan nada tegas.
Tidak ada sedikitpun raut wajah penyesalan yang di tunjukan pria itu kepada Nathaline, karena menampar putri semata wayangnya itu tanpa mendengar penjelasan dari Nathaline.
"Baiklah." Hanya kata itu yang terucap dari bibirnya, air matanya sudah mulai tidak terbendung.
Dengan segera ia membalik tubuhnya dan pergi berlari menuju kamarnya, ia tidak mau jika Halim melihat dia sedang menangis. Karna Nathaline tidak mau terlihat lemah di hadapan orang lain.
...Bugh!...
Gadis itu menghempaskan tubuhnya di atas kasur miliknya. Kembali ia membenamkan wajah di dalam bantal, sangat lama.
"Hiks! Hiks-" Terdengar sayu-sayu suara tangisnya yang berhasil di redam oleh bantal.
Gadis malang itu tidak menangis karna sakit bekas tamparan ayahnya, tetapi sakit hati karna perubahan sikap ayahnya yang menjadi sangat kasar.
Lama sekali, bahkan sangat lama Nathaline menangis di dalam kamarnya hingga sesegukkan.
Waktu menunjukan pukul 17.00, ia segera membersihkan tubuhnya di dalam kamar mandi, dengan kondisi matanya yang masih sembab.
Ia bergegas keluar dari kamar mandi setelah mendengar nada dering teleponnya berbunyi.
"Halo?" Suaranya masih terdengar serak akibat menangis terlalu lama, tadi.
"Ada apa denganmu? Apa kau habis menangis?" Suara pria di ujung sana terdengar sedikit khawatir.
"Aku baik-baik saja, ada apa pak?" Nathaline berusaha mengalihkan pembicaraan
"Besok malam jam 19.00 temui aku di Cafe Merkurius, Aku akan mengenalkanmu kepada Ayahku, bersikaplah seolah kita adalah sepasang kekasih sungguhan." Reyhans langsung berbicara pada intinya.
"Hm, Baiklah. Maaf pak, aku akhiri dulu panggilannya," jawabnya singkat. ia langsung mematikan panggilan telepon dari Reyhans.
Di kediaman keluarga Mahesa,
"Aku tau! kau hanya mencari alasan untuk membatalkan perjodohan ini!" bentak sang ayah, setelah Reyhans menceritakan kepada ayahnya tentang sang kekasih.
"Terserah kau mau percaya kepadaku atau tidak, besok malam aku akan membawanya di hadapanmu dan keluarga dari wanita itu," jawabnya santai, ia hanya tersenyum sinis melihat kemurkaan ayahnya
Keesokan harinya,
Sebuah pesan masuk ke ponsel Nathaline, dengan segera gadis itu mengambilnya dan membaca pesan tersebut.
"Ingat! malam ini kita bertemu dengan keluarga calon suamimu, aku akan segera mengirimkan alamatnya nanti." Isi pesan dari Ayahnya.
Gadis itu hanya melihat pesan itu dan segera meletakkan telepon pintarnya kembali, dia tidak mau membalas pesan Ayahnya.
"Cafe Merkurius, jam 19.30. Jangan lupa dandan yang cantik malam ini." Isi pesan yang dikirim oleh ayahnya, lagi.
Gadis itu mendengus kesal, karena ayahnya tidak pernah mau mendengarkan pendapatnya sebelum menentukan sesuatu untuk dirinya.
"Untung saja, tempatnya dekat jadi bisa sekalian bawa pak Rey untuk menemui ayah." Senyumnya mengembang saat membayangkan reaksi sang ayah saat ia membawa laki-laki malam ini.
Waktu sudah menunjukan pukul 18.30 dan ia sudah selesai berkemas dan juga berdandan sangat cantik malam ini.
"Aku di Jl.XX rumahmu yang mana?" Sebuah pesan masuk, dia segera membalasnya
"Tunggu di situ saja, aku akan menghampiri bapak, jangan kerumahku!" balasnya.
Dengan segera Nathaline menenteng tas kecil miliknya dan segera keluar untuk menemui Reyhas.
"Kenapa aku tidak boleh ke rumah mu?" tanya Reyhans berusaha basa-basi untuk mencairkan suasana
"Banyak mata-mata ayah di sana, bisa- bisa aku di larang pergi jika seorang pria menjemput ku!" tukasnya.
Reyhans terlihat tersenyum seperti mengejek Nathaline, bagaimana tidak? Remaja seumuran denganya sudah banyak yang pacaran bahkan ada yang sudah menikah. Sedangkan gadis itu jalan bersama seorang pria saja di larang oleh ayahnya.
Mereka tiba tepat pukul 19.00. Reyhans bergegas membawa Nathaline ke meja yang telah di pesan ayahnya untuk acara perjodohan malam ini.
"Selamat malam, Tn. Mahesa," sapanya pada sang ayah yang tengah asik bercengkrama dengan seorang laki-laki
"Apa lagi ini? Siapa dia?" Suara ayahnya meninggi, saat melihat Reyhans menggandeng seorang wanita bersamanya.
Laki-laki yang sedang berbicara dengan Mahesa juga ikut tersentak melihat kemarahan sahabatnya itu.
"Bukankah sudah aku katakan dari awal, aku sudah mempunyai seorang kekasih?" Dengan enteng Reyhans memperkenalkan Nathaline sebagai pacarnya di hadapan Mahesa, hingga membuat pria itu terlihat semakin murka.
"Selamat malam tuan Mahesa." Nathaline tersenyum sembari membungkukkan badan, memberi hormat pada Mahesa.
Laki-laki yang tengah bersama dengan Ayah Reyhans itu berbalik, saat mendengar suara yang sepertinya tidak asing baginya.
"Nathaline!" Pria itu Tersentak, saat mendapati anak gadisnya bersama Reyhans
"Tn. Halim? Apa yang anda lakukan disini?" Senyum Nathaline seketika memudar.
Nathaline Kaget, bingung, dan heran semua bercampur aduk saat melihat sosok yang sedang berdiri di hadapannya.
...**Next......
...Tuh kan, kualat! makanya jan bohongin ortu😒...
...Thanks udah mampir😘**...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!