NovelToon NovelToon

Om, Kawin Yuk!

BAB 1

"Aku sudah siap! Ayo kita berangkat." ucap Luna si gadis cantik dan manis.

Gadis itu sudah siap ikut ayahnya ke kantor dengan memakai setelan berwarna coklat muda di padukan dengan heels hitam dan tas hitam. Rambutnya terurai panjang yang membuatnya semakin menawan.

"Kamu bukannya harus berangkat ke kantor hari ini, kenapa harus ikut papa?" Raihan Wicaksono, seorang Ahli Bioteknologi Farmasi ternama.

"Pa, siapa tahu jodohku memang ada di kantor Papa. Seperti di film-film yang sering aku tonton itu, tiba-tiba berjodoh dengan rekan bisnis Papa. Aku ikut ya hari ini, please?" rengek Luna pada ayahnya, walau usianya sudah 23 tahun tapi dia selalu di manja oleh kedua orang tuanya.

"Tapi kan kamu kerja di kantor orang lain, mana bisa seenaknya libur begini hanya karena ingin ikut papa kerja. Seperti anak kecil saja," Raihan mencoba menolak permintaan Luna.

"Ayolah, Pa. Sekali saja, mumpung papa lagi di sini,"

Raihan tertawa kecil melihat perilaku anak pertamanya itu. Dia tidak bisa menolak, akhirnya memilih menyetujui permintaan sang anak sambil mengulurkan tangannya yang siap di genggam oleh Luna.

Luna si gadis periang itu keluar dari rumah melambaikan tangan pada Ibunya, Dewi dan adiknya, Difan.

"Hati-hati di jalan!" seru Dewi sambil tersenyum hangat. Wanita itu memandang dengan penuh kasih ketika suami dan putrinya berjalan menuju mobil.

.

Sepanjang perjalanan, ia sibuk memoles lipstik tipis di cermin kecilnya. Raihan melirik sekilas dan menggeleng pelan, tapi senyumnya tak lepas dari wajahnya.

"Luna, kamu tahu, di kantor papa tidak ada pria muda yang sebaya denganmu. Jangan terlalu berharap seperti di film-film, ya," ujar Raihan setengah bercanda.

"Kalau ada yang lebih tua dari aku, kenapa tidak? Siapa tahu justru itu takdirku," jawab Luna sambil terkikik, membuat Raihan menghela napas panjang.

"Ada kakek-kakek seperti Papa kamu mau?" goda Raihan, Luna tidak menjawab hanya bisa mengerucutkan bibir mungilnya.

.

.

NeoLife BioTech Solutions

Gedung tinggi yang megah dengan desain modern itu berdiri kokoh di pusat kota. Begitu masuk ke dalam, ia disambut oleh interior yang tak kalah mengesankan.

Luna menggandeng lengan ayahnya, berjalan melewati lorong-lorong panjang menuju ruang pertemuan. Dalam hatinya, ia merasa berdebar. Entah karena suasana yang megah atau bayangan bertemu seseorang yang spesial, Luna tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

Ketika mereka memasuki ruangan, Adrian Kim William langsung berdiri menyambut. Pria paruh baya itu memiliki aura wibawa yang kuat. Tubuhnya tegap, matanya tajam, dan sikapnya ramah meskipun terlihat sangat formal.

"Raihan, akhirnya kita bertemu lagi," sapa Adrian sambil menjabat tangan Raihan dengan erat.

"Adrian, ini putri saya, Luna," kata Raihan sambil memperkenalkan.

Adrian menatap Luna dengan senyum tipis. "Senang bertemu denganmu, Luna. Dulu saya pernah bertemu denganmu saat usiamu mungkin baru 8 tahun," ujarnya.

Luna hanya tersenyum malu. Sebelum sempat menjawab, pintu ruangan kembali terbuka, dan seorang pria tinggi masuk.

Pria itu tampak sangat berbeda dari Adrian. Tinggi, ramping, dengan kulit putih bersih dan rambut hitam yang rapi. Wajahnya tampan seperti aktor korea favorit Luna, tetapi sorot matanya dingin, seolah tak peduli dengan siapa pun di ruangan itu.

"Renzo, ini Pak Raihan Wicaksono, mitra bisnis kita dan putrinya, Luna," kata Adrian sambil memperkenalkan.

Renzo hanya menunduk sedikit sebagai tanda salam, tanpa menyodorkan tangan atau menunjukkan senyum. Tatapannya hanya singkat mengarah ke Luna lalu kembali pada ayahnya.

"Senang bertemu Anda," katanya singkat, nada suaranya datar tanpa emosi.

Luna merasa jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apakah itu karena kagum atau merasa ditantang oleh sikap dingin Renzo. Namun, satu hal yang pasti ia ingin mengenal pria ini lebih jauh.

.

.

Selama Adrian dan Raihan meeting membahas kerja sama mereka kedepan, terlihat hanya Renzo yang memperhatikan dengan baik seraya sesekali memberikan pendapat.

Sedangkan Luna hanya diam tenang di kursinya, sesekali dia memandang Renzo yang sama sekali tidak melirik ke arahnya. Membuatnya semakin penasaran bukan?

"Cuekin aja terus, kamu pasti bakal jadi pacarku sebentar lagi," batin Luna.

Rapat pembahasan mengenai Adrian yang akan menginvestasikan uangnya di perusahaan Raihan berjalan dengan baik. Dia mempercayakan Raihan dapat mengelola uangnya dengan benar, kini obrolan mereka berlanjut ke obrolan santai.

Renzo izin meninggalkan ruangan, dia keluar berjalan ke arah smooking area yang ada di ujung lorong. Ruangan terbuka dengan kursi-kursi kayu menambah nuansa menenangkan.

.

Luna bergegas akan beranjak dari kursinya, namun Raihan mencegahnya dengan satu tangan. Pandangan Raihan tetap tertuju pada Adrian, seolah dia tahu apa yang akan dilakukan anaknya.

"Luna," bisik Raihan dengan nada peringatan.

Namun, Luna dengan senyum kecil yang penuh kepolosan namun licik, menunduk sedikit ke arah ayahnya. "Papa, aku cuma ingin memastikan tamu kita nyaman. Itu tidak salah, kan?"

Raihan menghela napas panjang, tahu bahwa anak sulungnya tidak akan mudah ditahan. Dia melonggarkan genggamannya. Luna tersenyum penuh kemenangan dan segera melangkah keluar ruangan dengan hati-hati.

.

Ketika ia sampai di balkon, pintunya sedikit terbuka dan aroma tembakau samar tercium di udara. Di sana, Renzo berdiri dengan punggung menghadap ke arahnya.

Dia merogoh kantongnya mengambil satu batang rokok, Dia mengangkat rokok itu ke bibirnya, menghisapnya dalam-dalam, lalu melepaskan asap perlahan. Kepulan asap membentuk pola samar sebelum menghilang, seperti pikirannya yang berputar tanpa arah.

"Hai, Pak Renzo." suara lembut Luna memecahkan lamunan Renzo.

Renzo melirik sekilas ke arah pantulan kaca di depannya. Ia bisa melihat sosok Luna berdiri canggung di ambang pintu. "Ada apa?" tanyanya datar, sambil mengambil hisapan terakhir dari rokoknya.

"Senang bisa berkenalan dengan Anda, sepertinya sebentar lagi meeting selesai. Papa memintaku memanggilmu, karena kita akan makan siang bersama,"

Renzo tidak langsung menjawab. Ia memadamkan rokok di asbak dengan gerakan perlahan, seolah sengaja mengambil waktu. Kemudian, ia berbalik, menatap Luna dengan matanya yang dingin namun penuh intensitas.

Renzo mendekat, jarak di antara mereka semakin kecil. "Lucu," gumamnya sambil menyeringai kecil.

Pipi Luna memerah, jantungnya berdegup kencang. Rasanya ia ingin jungkir balik jika bisa saat itu juga, namun dia berusaha tenang.

Renzo menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca apa yang ada di balik senyum Luna. Lalu, dengan nada rendah, ia berkata, "Berhati-hatilah, Luna. Rasa ingin tahu kadang bisa membawamu ke tempat yang tidak kau inginkan."

Tanpa menunggu tanggapan, Renzo berjalan melewatinya, meninggalkan Luna yang masih berdiri di tempatnya. Dalam hati, Luna merasa campuran antara penasaran, takut, dan tertantang.

"Sial, dia terlalu tampan untuk aku abaikan," batin Luna berteriak kegirangan.

BAB 2

"Raihan, bagaimana kalau makan siang kali ini di rumah saya. Selain untuk ucapan terima kasih, ini juga momen kita bekerja sama lagi setelah sekian lama," usul Adrian saat jam makan siang hampir tiba.

Raihan tertawa kecil. "Jika memang tidak merepotkan, saya dan Luna dengan senang hati menerima tawaran itu."

"Baiklah, mari..."

Mereka berempat keluar dari ruang meeting dan memasuki mobil masin-masing.

"Pa, benar kan kataku kalau takdir memang sekarang berpihak padaku. Senang sekali aku hari ini, ganteng ya anaknya Om Adrian." Luna terlihat gembira.

Raihan hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Luna, jangan terlalu berharap. Ingat, kita di sini untuk urusan pekerjaan, bukan hal lain."

Namun, Luna tetap tersenyum ceria, seolah tidak mendengar peringatan halus ayahnya. "Tapi Papa lihat sendiri kan? Dia itu… seperti karakter utama drama Korea yang sering aku tonton."

Raihan mendesah pelan, memilih tidak memperpanjang argumen. "Baiklah, yang penting jangan sampai kamu melupakan sopan santun. Ini pertemuan penting."

.

Setelah perjalanan singkat, mereka tiba di rumah Adrian. Sebuah rumah besar bergaya minimalis modern, dengan taman hijau yang luas dan pepohonan rindang, biasanya mereka sebut dengan mansion. Luna tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.

"Wow, rumahnya indah sekali," gumam Luna, matanya menyapu setiap sudut halaman yang tertata rapi.

Adrian mempersilakan mereka masuk, sementara Maharani sudah menunggu di ruang tamu dengan senyum ramah. "Selamat datang, Pak Raihan dan ini pasti Luna. Senang sekali bisa bertemu," katanya sambil merangkul lembut tangan Luna.

"Terima kasih, Tante Maharani. Rumah ini terlihat sangat indah," jawab Luna dengan senyum tulus.

Sementara itu, Renzo muncul dari arah dapur mengenakan kemeja putih yang dilipat hingga siku. Ia berjalan dengan santai namun membawa aura dingin yang khas. Tatapannya hanya sebentar tertuju pada tamu, sebelum kembali ke ekspresi datarnya.

Menu yang di hidangkan sangat lengkap mulai dari sup ikan hingga salad sudah tersedia di meja makan yang cukup besar, karena rumah itu hanya di huni oleh tiga orang saja. Sisanya hanya asisten rumah tangga.

"Tante Maharani yang memasak semuanya sendiri?" tanya Luna di tengah waktu makan.

"Iya, tapi tetap di bantu sama mbak yang di rumah," Maharani terlihat sedikit berbisik ke Luna, seperti mengajaknya bercanda.

Tanpa sadar Renzo sedikit tersenyum menatap dua orang yang ada di depannya, tapi ia buru-buru menampakkan wajah datarnya lagi.

Luna menangkap senyum sekilas dari Renzo, dan itu membuatnya semakin yakin bahwa pria itu tidak sepenuhnya sedingin batu seperti yang terlihat. Namun, ia memilih untuk tidak langsung berkomentar, hanya membalas candaan Maharani dengan senyum lebar.

"Masakan Tante enak sekali. Sama enaknya sama masakan Mama."

Maharani tersenyum senang, matanya bersinar lembut. "Terima kasih, Luna. Kalau kamu suka dan ingin makan di sini dengan senang hati lho Tante menerima."

"Maafkan Luna ya, Adrian, Maharani. Entah keturunan dari mana dia itu seperti tidak pernah sedih, selalu begitu tingkahnya, banyak ngomong!" sahut Raihan menempuk pelan paha Luna.

"Tidak apa-apa, Han. Rumah ini jadi ramai karena biasanya sunyi sekali," balas Maharani.

Mereka sudah mengenal sejak lama, sudah seperti keluarga sendiri. Namun hubungan mereka sempat terpisah karena keluarga Adrian memilih tinggal di Korea beberapa tahun belakangan.

.

.

Setelah selesai makan, Adrian dan Raihan sibuk berbincang kembali soal pekerjaan. Luna yang hampir saja merasa bosan, tiba-tiba melihat Maharani berjalan ke halaman menggendong kucing yang sangat menggemaskan.

Tentu saja dengan cepat Luna mengikuti langkah Maharani.

"Wah, aku juga punya kucing, Tante." Luna mendekat dan mengusap-usap kepala kucing itu.

"Namanya Latte ini, kesayangannya Renzo."

Luna tersenyum dan melirik ke arah Renzo yang berada di kursi ujung taman sembari membaca buku. Namun, Renzo sama sekali tidak meliriknya.

"Jangan di ambil hati ya, Renzo memang sedikit pendiam, sebenarnya dia anaknya baik kok. Kalian dulu waktu kecil juga pernah main bareng," ucap Maharani.

Tanpa sengaja Luna melihat bekas-bekas luka di tangan Maharani, ada luka bekas jahitan, ada juga bekas luka biasa. Bahkan juga ada bekas luka kecil di dekat pelipisnya.

Maharani yang sadar bahwa Luna memperhatikan segera menutupi tangannya. Tapi Luna hanya tersenyum seolah mengerti maksud Maharani dan memilih diam.

"Dulu Tante kecelakaan, jadi banyak bekas luka." tiba-tiba saja Maharani yang membuka percakapan lebih dulu.

"Tante masih sehat dan cantik seperti sekarang saja itu sudah merupakan anugrah, kalau Tante kesepian butuh teman ngobol telepon Luna saja. Nanti Luna temenin kalau mau  ngobrol atau pergi-pergi,"

"Kamu anak yang baik, Luna. Oh iya, Luna, Tante mau ke dapur kamu ikut atau mau di sini saja?" tanya Maharani penuh hati-hati.

"Di sini saja, Tan."

.

Hanya ada Luna dan Renzo di taman itu. Suasana cukup hening beberapa saat sampai akhirnya, Renzo berdeham memecah kesunyian di sana.

"Sini..." ucap Renzo, suaranya lembut tapi tegas.

"Aku?" jawab Luna menunjuk dirinya sendiri.

"Ada siapa lagi selain kamu di sini?"

Tanpa malu-malu Luna mendekat ke arah Renzo, terlihat Renzo juga sudah menarik kursi di sampingnya untuk mempesilahkan Luna duduk.

"Sudah lama aku tidak melihat Mamaku tersenyum, terima kasih," ungkapnya, tapi matanya masih tertuju pada buku yang ada di depannya.

Luna diam.

"Aku menyukai apapun yang di sukai oleh Mamaku, sepertinya dia menyukaimu. Dia jarang tersenyum bahagia seperti tadi, senyumnya membuatku lega," terang Renzo lagi.

Luna tersenyum kecil, merasa tersanjung oleh pengakuan Renzo.

"Lalu kamu menyukaiku?" desak Luna.

Renzo akhirnya mengalihkan pandangannya dari buku dan menatap Luna. Tatapannya tajam, melihat Luna sembari memiringkan kepalanya.

"Bisa jadi. Memangnya kamu tidak takut denganku?" ucap Renzo, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan.

Luna merasa pipinya memanas. Kata-kata Renzo membuatnya gugup, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang.

"Takut? Untuk apa takut," jawab tegas Luna. Renzo menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya tidak lepas dari wajah Luna.

"Tidak semua orang sebaik yang terlihat, Luna," ucap Renzo sambil menyilangkan tangannya di dada. "Aku tahu bagaimana dunia ini bekerja. Orang-orang mendekat karena alasan tertentu, selalu begitu,"

Luna mengernyitkan dahi, merasa sedikit tersinggung. "Jadi kamu pikir aku mendekat karena ada maksud tertentu? Kalau begitu, kenapa kamu membiarkan aku duduk di sini?"

Renzo tersenyum kecil, tetapi senyumnya tidak penuh kehangatan. "Karena aku ingin tahu seberapa jauh kamu berani."

Hening menyelimuti mereka lagi, tetapi kali ini suasananya lebih tegang.

Luna merasa seperti sedang diuji, tetapi ia menolak untuk mundur. "Belum perang masa sudah menyerah." batinnya.

"Kalau begitu tanyakan saja apa yang ingin kamu tahu, Pak Renzo. Aku tidak takut menjawab," tantang Luna.

Renzo memiringkan kepalanya sedikit, matanya memperhatikan Luna dengan intensitas yang hampir membuat gadis itu kehilangan keberanian.

"Apa tujuanmu mencuri perhatianku seharian ini? Apa kamu benar-benar siap mengenal aku? Siap menghadapi apa yang akan kamu temukan?" tanyanya pelan, tetapi nadanya penuh dengan peringatan.

Luna terdiam sejenak, tetapi akhirnya ia mengangguk, menatap langsung ke mata Renzo. "Aku siap."

Renzo tersenyum miring, tetapi senyumnya kali ini terasa lebih dingin. Ia berdiri dari kursinya, meninggalkan Luna yang masih duduk.

"Kita lihat seberapa lama kamu bisa bertahan, Luna. Kamu sudah membangunkan harimau yang sudah tertidur bertahun-tahun," ucapnya sebelum berjalan pergi, meninggalkan Luna dengan perasaan campur aduk.

.

BAB 3

Langit yang di hiasi bintang-bintang rasanya lebih cerah dari biasanya. Sebuah ballroom megah yang ada di dekat kantor Biotech sudah dipenuhi oleh para tamu undangan. Mereka datang untuk merayakan pencapaian besar: Peresmian apotek sekaligus laboratorium penelitian yang menjadi tonggak kerjasama antara Raihan dan Adrian.

Di tengah kerumunan tamu yang mengenakan pakaian formal, Luna berjalan dengan anggun. Gaun merah tua dan rambut yang terurai panjang menonjolkan kecantikannya. Ia menggandeng lengan ayahnya yang terlihat bangga malam itu.

"Aku masih tidak percaya kalau akhirnya proyek ini terlaksana juga, bahkan dalam waktu yang singkat," ujar Luna, mencoba memulai percakapan dengan ayahnya.

"Ini baru permulaan, Nak. Apa yang kita kerjakan di sini semoga bisa membantu banyak orang nantinya," jawab Raihan dengan senyuman hangat.

Di sisi ruangan, Renzo berdiri dengan postur tegap di bawah lampu kristal besar. Setelan hitam yang ia kenakan memancarkan aura berwibawa. Ia berbicara dengan beberapa tamu penting, namun sesekali pandangannya jatuh pada Luna.

Ketika Luna menyadari tatapan itu, ia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tersenyum kecil, tetapi Renzo segera mengalihkan pandangannya, kembali ke percakapan seriusnya.

"Sial, malah buang muka!" gumam Luna.

"Apa, Lun?" tanya Raihan sedikit menundukkan kepalanya.

"Nggak, aku nggak ngomong apa-apa." jawab Luna cepat sambil menyembunyikan senyumnya.

"Kayaknya tadi papa dengar kamu ngomong,"

.

Setelah beberapa saat, Adrian naik ke atas panggung untuk memberikan pidato singkat.

"Proyek ini adalah bukti dari apa yang bisa dicapai melalui dedikasi, kepercayaan, dan visi bersama. Saya sangat bangga, terutama pada putra saya, Renzo yang akan mengambil alih tanggung jawab besar sebagai pimpinan perusahaan ini."

Tepuk tangan meriah memenuhi ruangan. Renzo naik ke panggung dengan langkah penuh percaya diri. Luna memandanginya dengan kagum, merasa bahwa pria itu benar-benar cocok menjadi seorang pemimpin.

"Saya berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya," kata Renzo dengan nada dingin namun tegas.

"Visi kami adalah menciptakan inovasi yang berdampak nyata pada kehidupan masyarakat. Semoga ini menjadi langkah awal yang besar."

Saat pidatonya selesai, Adrian memanggil Raihan ke panggung untuk bergabung. "Tanpa Pak Raihan mungkin saya tidak akan pernah berani mengambil sesuatu hal besar yang membanggakan seperti ini."

Kedua pria itu saling berjabat tangan diiringi tepuk tangan tamu. Luna merasa bangga melihat ayahnya berdiri di samping Adrian.

.

Setelah acara resmi berakhir, Luna keluar ke balkon untuk menghirup udara segar. Di sana, ia melihat Renzo sedang memandang kota dengan tatapan kosong, satu tangan memegang gelas anggur.

"Itu dia harimau yang katanya sudah tidur lama tapi sekarang bangun karena aku," cicit Luna sambil berjalan mendekat ke arah Renzo.

"Hai," sapa Luna pelan.

Pria itu menoleh, ekspresinya datar. "Hobimu membuntutiku?"

Luna terkekeh kecil. "Mungkin karena aku merasa nyaman di dekatmu. Bukan nya itu lebih baik?"

Renzo mengangkat alis, tampak seperti tidak percaya. "Nyaman di dekatku?"

Renzo terdiam, memandang Luna lekat-lekat. Untuk pertama kalinya ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan, selama ini dia tidak pernah memandang wanita itu cantik namun Luna berhasil mencuri perhatiannya.

"Wanna dance with me?" Luna mengulurkan tangannya lebih dulu untuk di raih oleh Renzo. Tak ada rasa malu lagi bagi Luna untuk merebut perhatian Renzo.

Beberapa saat Renzo hanya terdiam menatap Luna, seperti tidak ingin membuang waktu Luna menarik Renzo masuk ke dalam ruangan menikmati alunan lagu yang ada. Luna berdansa kecil dengan senyuman manis yang merekah di wajahnya.

"Cantik."

Suaranya amat lirih. Namun, Luna menangkap dari gerakan bibir Renzo sehingga dia tahu apa yang di ucapkan pria dingin itu.

Luna mengangkat tangan Renzo dan berputar di bawah tangannya, bak seorang putri raja yang sedang berdansa dengan pangerannya. Tangan Renzo melingkar di pinggang Luna dengan sempurna, para tamu undangan mengakui ketampanan Renzo juga kecantikan Luna.

Adrian dan Raihan menatap anak-anaknya yang terlihat menikmati acara.

"Sepertinya anak-anak kita cocok mereka terlihat serasi," cetus Raihan.

"Iya betul, namun aku mengkhawatirkan Renzo dia sangat dingin pada wanita. Aku belum pernah melihatnya pacaran, aku takut hal itu akan menyakiti Luna. Lihat lah anakmu, Luna, sangat cantik dan anggun," terang Adrian pandangannya masih tertuju pada Luna dan Renzo.

.

Luna tersenyum puas setelah berdansa, tetapi Renzo tetap menunjukkan ekspresi datarnya. Mereka kembali ke balkon, menikmati udara malam yang sejuk. Luna bersandar di tembok balkon memandang kota yang gemerlap.

Renzo memberikan segelas anggur pada Luna.

"Aku tidak menyangka kamu akan menurutiku begitu saja, ya meskipun di sana kamu cuma kayak patung." ujar Luna sambil melirik Renzo yang berdiri tak jauh darinya.

"Aku cuma tidak ingin membuat keributan di tengah acara, lagipula memang aku bisa menolak?" jawab Renzo.

Luna hanya tersenyum kecil, tidak menanggapi apa-apa.

Renzo menghela napas, menatapnya dengan pandangan serius. "Karena aku sudah menurutimu, bisakah kali ini kamu yang akan mengabulkan permintaanku?"

Luna membalas tatapannya. "Apa permintaanmu?"

Renzo mendekat. "Jauhi aku! Jangan mencoba mencari perhatianku, jangan pernah berharap bisa menjadi bagian dari hidupku. Luna, aku sudah memperingatkanmu dua kali, aku harap kamu mengerti kali ini,"

Langkah Renzo menjauh seakan ingin meninggalkan Luna di balkon sendiri.

.

"Karena kamu sudah punya pacar?" teriak Luna nadanya mencoba datar, sebenarnya hatinya sedikit sakit mendengar ucapan dari Renzo.

Renzo memilih diam.

"Kalau bukan karena kamu punya pacar aku tidak akan berhenti mendekatimu!" seru Luna.

Renzo berbalik mendekat ke arah Luna, menundukan kepalanya sedikit. Wajahnya kini hanya beberapa sentimeter dari wajah Luna. "Kalau begitu... biarkan aku memberimu peringatan terakhir."

Sebelum Luna bisa bertanya, Renzo menutup jarak di antara mereka. Bibirnya menyentuh bibir Luna dengan lembut, tetapi hanya sekejap seolah itu adalah rasa ingin tahu yang ia biarkan terjadi.

Ketika Renzo mundur, Luna tertegun pipinya memerah. Pria itu kembali memasang wajah datarnya, meski ada sedikit ekspresi yang sulit di artikan.

Terlihat keringat yang menetes dari pelipis Renzo, padahal seluruh ruangan maupun balkon sangat dingin.

"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ujar Renzo datar sebelum ia berbalik meninggalkan balkon.

Walau mencoba dingin dan datar di depan Luna. Namun, ada perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

.

.

Luna memegangi bibirnya setelah di sentuh oleh bibir Renzo. "Peringatan terakhir apa yang menggunakan kecupan bibir?"

"Lunaaaa...!!" teriak Raihan melihat anaknya berdiri sendirian di balkon.

"Pa..."

"Kenapa kamu?" wajah Raihan terlihat sangat khawatir.

Luna masih mematung di sana tanpa berkata apa-apa sembari memegangi bibirnya. Angin di balkon menerbangkan perasaan Luna yang bergejolak.

"Apa yang terjadi, Luna?" Raihan menggoyang-goyangkan pundak Luna.

"Mampus, jangan sampai papa tahu kalau Renzo baru saja merebut ciuman pertamaku," batin Luna.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!