Bagi seorang ibu sejati, pengorbanan apapun akan ia lakukan untuk kehidupan anaknya. Bahkan, menukar nyawa pun, ia akan suka rela tanpa berpikir panjang dua kali.
***
Malam yang dingin di kota Piana, seorang wanita berambut coklat kehitaman terlihat berlari memasuki pelataran rumah sakit menuju UGD.
"Tolong, Dok! Tolong anak ku!" teriaknya panik dengan tubuh berkeringat lelah nan bergetar hebat.
Rane, si Single mom itu ketakutan setengah mati melihat bibir dan kuku anaknya membiru dengan detak jantung tak normal. Nadi nya melemah. Malaikat kecil nya pun, lemas bak tak bernyawa yang biasa nya aktif dan ceria.
"Oh yah, ampun. Ini darurat. Panggil Dokter jaga. Cepat!"
Seorang suster berteriak panik ke rekannya sembari mengambil tubuh mungil di gendongan Rane, setelah melihat tanda-tanda serius pada anak itu.
Sontak, air mata Rane berdesakan keluar. "Selamatkan anak ku, Suster."
"Kami akan berusaha, Nyonya."
Bersamaan pintu tertutup rapat, Rane merosot ke lantai dengan suara sesunggukan penuh ketakutan. "Semua keluarga ku sudah kau ambil, Tuhan. Jangan lagi, ku mohon."
Anak itu adalah keluarga satu-satunya setelah ditinggal tiada oleh kedua orang tua beberapa tahun lalu.
Suami?
Tidak ada!
Ya, ia hamil tanpa status karena kepolosan, kebodohan dan kenaifan diri nya yang termakan bujuk rayu mantan kekasihnya.
Namun, alih-alih menggugurkan calon bayi yang biasanya banyak dilakukan oleh gadis-gadis tanpa suami, Rane justru menjaga kandungannya seorang diri sebaik mungkin.
Di balik sebatang kara nya, kehadiran Dandelion adalah berkat yang luar biasa untuk nya.
"Aku rela menukar nyawa ku untuk nya, Tuhan." Saking kalut nya, Rane sampai bergumam demikian dengan kesadaran penuh.
Kata orang, kasih seorang ibu tak terbatas.
Setelah menjadi ibu, Rane membenarkan untaian tersebut. Kebahagiaan anak sejati nya adalah kebahagiaan orang tua. Begitu pun sebaliknya, kesedihan dan luka anak, adalah derita tak berujung untuk nya.
"Bagaimana keadaan anak ku, Dok?" Rane langsung memberondong pertanyaan ke Dokter yang baru keluar dari UGD setelah sekian lama menunggu.
"Kritis," jawab Dokter dengan suara prihatin.
Pernyataan Dokter bagai bom yang meledakkan dunia Rane.
"Apa Nyonya tau sebelum nya kalau anak ibu ada penyakit jantung bawaan?"
Rane mengangguk sedih. Baru lahir, Dokter yang menanganinya dulu sudah memberi tahukan bahwa anaknya menderita sakit PJB.
Semua hartanya yang tak seberapa sudah ia relakan untuk pengobatan anaknya. Rane kira, Dande-nya sudah sembuh total tapi malam ini kambuh lagi
"Bisa sembuh kan, Dok?" Rane menaruh harapan besar jawaban sang Dokter.
"Sembuh sendiri tidak mungkin, Nyonya. Tetapi bisa diatasi dengan intervensi medis secara bertahap. Banyak-banyaklah berdoa. Dan Pengobatan ini sangat menguras biaya yang banyak."
Rane merutuki seketika kemiskinannya. Tapi, demi keselamatan anaknya, ia tak ragu untuk mengatakan, "Apapun itu caranya, maka lakukan, Dok. A--aku, aku akan kembali. Tolong jaga baik-baik anak ku, Dok."
Rane undur diri setelah melihat anggukan mantap sang Dokter. Hanya nama Ivana, sang sahabat yang sial nya pun sama sama miskin seperti nya, adalah jalannya untuk meminta bantuan.
***
Di pelataran club malam, Rane berjalan memasuki gedung dengan penampilan berantakan yang sangat kontras dengan pengunjung lain. Hendak menemui Ivana yang bekerja di dalam sana.
"Hei, kau mau apa?" Penjaga berotot menahan langkah Rane. Sorot matanya menilai penampilan Rane ala rumahan itu yang menurutnya salah memasuki gedung.
Rane diseret keluar .
"Tolong aku, Tuan. Aku ingin bertemu dengan Ivana. Dia sahabat ku. Dan ini, sangat darurat."
Siapa yang tak mengenal Ivana. Salah satu primadona Bargirl club di dalam.
"Tunggu di sini. Aku akan memanggilnya untuk mu."
Hilir mudik, Rane menunggu Ivana tak sabaran. Sampai ia melihat sosok seksi yang berjalan mendekat.
"Ra__ hei, apa yang kau lakukan? Kenapa bersimpuh di kaki ku? Bangun, Rane."
Untuk yang kedua kalinya ini, Rane bersimpuh di depan orang selain pada mantan kekasihnya dulu.
"Kau kenapa, Rane?" Ivana kebingungan melihat temannya sesunggukan. Menarik bahu nya untuk berdiri.
"Va, apa kau punya kenalan yang membutuhkan ginjal, mata atau organ tubuh lainnya? Sodorkan aku padanya, Va."
Sungguh miris mendengar rengekan putus asa sahabat nya ini.
"Kau sinting, hah? Apa kau bermimpi sambil jalan kemari? Apa yang terjadi? Kenapa kau terlihat prustasi seperti ini?" Ivana mengguncang kuat bahu itu biar sadar maksud nya.
"Dan__Dande, Va. Aku, hiks ... hiks, dia kritis lagi."
Ivana membekap mulutnya, shock mendengar itu. Masih bocah sudah harus dipaksa bertarung dengan penyakit yang membuat uang Rane habis-habisan sejak bayi itu baru lahir.
"Aku akan memberi mu uang." Tak ragu, Ivana menyodorkan ATM nya. "Tapi maaf, tabungan ku tidak terlalu banyak."
Rane mendorong kartu itu kembali. "Kau masih punya dua adik bersekolah." Rane sadar diri. Ivana sudah sering meminjamkan tapi tak urung dibalikin sampai sekarang. "Pengobatan Dande tidak sekali atau dua kali, tapi seterusnya sebelum dinyatakan keluar dari zona bahaya. Iva, Aku cuma meminta tolong untuk membantu ku menawarkan organ ku pada kenalan mu yang mungkin salah satu mereka membutuhkan pendonor. Ambil semuanya, agar Dande bisa berobat terus."
Hanya cara itu yang terlintas di pikiran putus asa Rane, karena tak memiliki apapun kecuali tubuhnya.
"Astaga, Rane. Jangan cara itu. Sangat mengerikan. Kau ini__hah." Ivana hendak mengumpat tapi tertahan. Ia berkacak pinggang, ikut kasihan melihat keputus asaan sang sahabat. "Kalau kau mati setelah organ-organ mu di jual, lalu Dande sama siapa, bodoh? Kau ingin dia hidup sebatang kara seperti mu dan merasakan kehilangan arah yang hanya ditemani rasa kesepian seumur hidup nya, hah?"
Ivana mengomel dengan maksud untuk menyadarkan Rane yang putus asa.
"Sama saja, Dande akan mati secara perlahan karena kau pergi meninggalkan nya."
Mendengar itu, Rane kembali merosot ke tanah dengan tangis yang pecah.
"Aku harus bagaimana, Va? Hiks...hiks..." Rane kebingungan.
Hati Ivana ikut peri melihat Rane yang terpukul karena keadaan. Tapi, ia juga bingung harus membantu nya dengan apa?
"Iva!"
Seruan itu dari penjaga berotot yang sempat mencekal langkah Rane tadi.
"Apa? Kau mengganggu kami."
"Bacot. Madam memanggil mu. Penari striptis barusan jatuh dan keseleo. Tidak bisa bekerja. Kata madam, kau harus menggantikannya sebelum tamu VVIP kita datang. Buruan siap-siap."
"Yaak, kau ini. Aku tidak mau. Aku lebih suka membuka kaki ku untuk pria hidung belang di kamar, ketimbang menggelayuti tiang besi dengan tubuh setengah naked disaksikan oleh banyak mata nakal. Bilang ke madam, cari yang lain."
"Tuan, aku bersedia!"
Ivana dan Ramos, sang penjaga sangar berotot kompak menatap Rane yang menyahut.
"Rane, kau gila? Dunia malam bukan tempat mu!" Ivana melarang keras seraya menarik lengan Rane untuk sedikit menjauh dari Ramos. " Aku tahu kalau kau memang sedang membutuhkan uang, tapi itu bukan jalan keluar baik untuk mu. Sekali kau masuk ke dunia kami, maka selamanya sampai kau tak berguna lagi seperti sampah, baru kita di buang oleh Madam. Pikirkan baik-baik. Jangan gegabah!" Ivana mendikte pelan agar temannya paham yang ia maksud. "Kau tau kan penari striptis itu apa?"
Rane mengangguk lemah. Ia tahu, penari yang mengumbar menonjolkan tubuh naked yang disaksikan pengunjung-pengunjung yang jelas mata keranjang semua.
"Semenjak kau patah hati oleh si mantan monyet mu, kau bahkan tak mau mengenal seorang pria. Tapi sekarang, kau malah mau masuk ke dunia malam yang keras. Rane, sekali lagi ku peringatkan, penari yang ku maksud bukan sekadar berliuk-liuk eksotis, tapi kau juga harus siap dijamah dan diboking oleh pengunjung yang tertarik padamu. Istilahnya, lacur yang langsung di atas level ku. Jadi, please, kau jangan terjerumus. Ah, lebih-lebih, kau akan terluka jika mendapat pelanggan yang suka bermain kasar."
Rane menelan ludah pahit menelaah semua penjelasan Ivana. Mengerikan memang, tapi senyuman Dande yang tiba-tiba terlintas, menguatkan tekadnya untuk mengambil keputusan gila itu.
Rane tak sanggup menyesal seumur hidup jika harus pasrah melihat nafas-nafas terkahir sang putri tercinta, tanpa sedikitpun berjuang.
"Iva, aku bahkan siap kehilangan nyawaku. Apa pun untuk kesembuhan Dande, aku siap."
"Hais..." Ivana kehilangan kata katanya. Ia tidak bisa melarang lebih lagi jika Rane saja siap berkorban.
"Girls, jangan sampai Madam menunggu. So?" Ramos tak sabaran.
"Kau berisik, Sialan."
Ramos tak peduli dengan celetuk sarkasme Ivana. Ia tetap fokus ke Rane , menunggu keputusan bibir bergetar wanita itu.
"Aku bersedia, Tuan."
Ramos tersenyum. Madam mendapat calon wanita malam yang tipe wajahnya sudah menggoda alami meski belum merayu sekali pun.
"Ikut aku. Kita lewat belakang."
Ivana tak mau melepas sahabatnya begitu saja di dunia malam keras di dalam. Ia mengekor sesekali melirik Rane yang terpaksa sekali air muka itu.
"Rane ... maaf." Suara Ivana lirih.
"Va, kau tidak salah. Ini keputusan ku."
Ceklek...
"Dasar kau, Ramos, lama sekali hanya buat memanggil Iva __ Uhlalaaa, wanita nyasar dari mana ini?" Madam yang tadinya mengomel, mendadak mengalihkan perhatiannya ke Rane yang barusan muncul dari belakang tubuh kekar Ramos di ambang pintu itu.
Mata jeli Madam bisa memprediksi banyak pundi-pundi yang masuk ke genggaman, jika wanita asing yang memiliki wajah cantik alami terlihat polos itu, bergabung di club nya.
"Dia sahabat ku. Rane. Cantik dan menarik yang memiliki nilai jual tinggi untuk pelanggan VVIP Madam malam ini. Jadi, di hari pertama nya, beri dia imbalan lima ratus juta di muka."
Jika Rane memutuskan untuk berkorban masuk ke dunia malam yang penuh dengan hinaan, maka Ivana tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan sang sahabat. Meminta bayaran tinggi untuk Rane pada Madam yang tak tanggung-tanggung.
"Hahahaha..." Madam tertawa. "Apa kau perawan, Cantik?"
Gelengan jujur Rane kian membuat tawa Madam menggema menusuk telinga Ivana yang diejek.
"Dia memang bukan perawan. Tapi setidaknya, teman ku wanita baru di dunia malam. Kalau Madam tidak mau, ya sudah, tak apa. Ayo, Rane. Tubuh dan wajah mu yang ayu tidak dihargai oleh nya."
Ivana menggertak dengan cara meraih tangan Rane, bermaksud akan membawa pergi temannya.
Karena Rane memang kepepet uang, ia balas menggenggam erat Ivana untuk menahan.
Ivana memberi isyarat dari sorot mata 'Nurut dan percaya padaku,' sembari menyentak Rane melangkah.
Dalam langkah pelan, Ivana menghitung dalam hati, menunggu respon Madam yang sialnya sama sekali tak ada tanda - tanda untuk menghentikan mereka.
"Iva..." rengek Rane putus asa karena pintu ruangan Madam malah tertutup rapat oleh Ramos alih-alih dihentikan.
"Rane, percaya padaku. Madam bukan orang bodoh yang bersedia kehilangan mesin uang nya__"
Ceklek...
Ivana mengerling ke Rane karena belum selesai ucapan nya, pintu di belakang mereka terbuka kembali.
"Madam ingin bernegosiasi," seru Ramos.
Meski akan menghadapi jalan pahit dengan keputusan nya masuk ke dunia malam, Rane antusias masuk bersama Ivana.
"Seratus juta. Harga kontrak pertama itu sudah oke bagi yang sudah tak perawan. Lagian, dia akan mendapatkan bonus nya tergantung kerjanya menyenangkan klien," nego Madam to the point.
Ivana berdecak jengkel. "Madam. Dia sedang membutuhkan uang. Kau punya uang banyak, jangan lah perhitungan seperti itu. Yang benar saja di tawar seratus juta dari lima ratus juta untuk tanda tangan kontrak dalam perbudakan mu." Pengalaman yang membuat Ivana tetap ngotot. Jangan sampai, Rane mengulang kebodohannya.
"Madam, putri ku sekarang menderita gagal jantung. Ku mohon..." Rane menambahkan dengan suara mengiba. Hati nya peri, merasa dirinya saat ini seorang pengemis di tempat yang tak seharusnya ia injak.
"Ck, kau mencongkel paksa rasa empati ku dengan membawa nama anak kemari. Baiklah, Lima ratus juta akan kuberikan setelah selesai jam kerja mu malam ini. Kerja yang baik dan jangan kecewakan kepercayaan ku. Kalau kau menjadi salah satu primadona ku, bonus banyak menanti mu."
Madam sengaja membahas bonus untuk memacu semangat Rane.
"Pasti, Madam. Pasti." Rane sangat berterima kasih pada perempuan yang mengapit rokok di antara jari itu.
Dande, Mama sedang berjuang, Nak. Kau pun harus berjuang di sana. Ku mohon, tetap tumbuh dalam dekapan Mama.
Setelah membaca teliti, Rane tak berpikir panjang lagi untuk membubuhkan tanda tangannya di surat kontrak yang membelenggu dirinya di Skybar Club milik Madam.
"Di sini ada atribut mu. Pakai dan bersiap-siap lah cepat."
Madam melempar paperbag yang spontan ditangkap oleh Rane.
"Dan kau, Ivana ... balik ke pekerjaan mu. Sebagai Bargirl bisa-bisanya bersantai di sini," usir Madam..
"Rane, jaga diri mu baik-baik. Kalau kau mendapatkan pelanggan pertama yang kasar maka tendang saja burung nya."
Masukan bar-bar Ivana yang bisa saja berdampak buruk ke Club nya, membuat Madam melotot horor ke Ivana.
Wanita itu tak menghiraukan, berlalu cuek ke pintu.
Hari pertama Rane, di urus sendiri oleh Madam. Dari make up dan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi.
***
Irama EDM yang dipimpin oleh disk jockey, mengalun keras bak menembus nadi para tamu Skybar Club. Lantai dance di sana terlihat dihiasi lautan manusia.
Di sisi club, nampak kepulan asap rokok dan aroma alkohol menyeruak di meja yang telah diisi pengunjung. Kebanyakan dari mereka sudah memiliki Bargirl atau pelayan plus-plus yang seperti Ivana kerjakan. Bahkan, ada satu pria di sana di temani dua Bargirl sekaligus.
Rane sedikit mual dan pusing menghirup aroma alkohol bercampur aduk dengan nikotin dan parfum-parfum beragam, karena belum terbiasa oleh suasana itu.
"Madam, apa aku akan menari di depan mereka semua?" tanya Rane sedikit berteriak di belakang wanita yang berpenampilan glamor itu, agar suaranya tak kalah dengan musik.
Madam terus berjalan tanpa menjawab.
Entah akan di bawa kemana? Berjalan terus yang sesekali mendapat colekan genit dari pria-pria lapar yang dilewatinya.
Rane risih, ingin marah namun sadar dirinya kini adalah calon wanita malam yang tak ada harga dirinya lagi, Rane pun memutuskan terus melangkah mengikuti Madam dengan tenang yang saat ini sampai di umbakan tangga menuju lantai dua.
"Jelas nanti kau akan menari untuk mereka semua. Tapi khusus malam ini, kau hanya perlu menari di sini."
Jawab Madam saat sampai di depan pintu bertuliskan VVIP Star Gold di depannya.
"Masuk cepat!"
"Ba-baik, Madam" Rane tergagap.
"Eh, tunggu dulu." Tiba-tiba saja, Madam memakaikan topeng cantik yang menutupi sebagian wajahnya. "Benar dugaan ku. Mata indah mu semakin menonjol di pakaiin topeng. Dan plus nya, kau terlihat misterius. Dengan bertopeng begini, orang yang tertarik padamu akan menjadi penasaran. Masuk, beri salam menggoda, minta izin menari lalu nyalakan musik. Jangan kecewakan Madam di hari pertama mu. Ingat, anak mu membutuhkan biaya besar, Cantik. Dan biasanya, kalau kerja mu bagus, mereka tak segan-segan memberi bonus."
Diingatkan Dande, Rane segera mengangguk patuh dengan hati terasa diremas.
Meski berat, ia tetap membuka pintu.
Seketika, Rane tertunduk mendapat pandangan dari orang-orang di dalam nya.
Semuanya pria termasuk pelayan yang berjalan ke arah nya.
"Apa kau penari striptis nya?" tanya seorang pengantar minuman itu.
Rane mengangguk.
"Jangan membuat kesalahan, salah satu empat orang di sana memiliki senjata api di balik jas nya. Aku tidak sengaja melihat nya. Jangan sampai kepala mu berlubang karena menyinggung mereka."
Rane ciut mendengar bisikan itu. Namun ia tetap melangkah karena tak ada pilihan mundur.
"Permisi, Tuan. Saya adalah penari striptis yang kalian pesan." Seperti petunjuk Madam, Rane memperkenalkan diri dengan gestur tubuh tertunduk tak berani memandang wajah siapapun di hadapannya.
Rane yang pekerja baru di dunia malam, belum bisa bergaya centil menggoda seperti nasehat Madan tadi.
"Izin menghibur Anda."
Rane hendak melangkah menyalakan musik yang tersedia di ujung ruangan. Namun, nama familiar menusuk gendang telinga menghentikan langkah nya.
"Tuan Billy, Tuan Devon, semoga Anda suka dengan hiburan yang aku siapkan. Sebelum kita memulai pembicaraan bisnis, mari kita manjakan mata dulu."
Tuan Billy?
Semoga hanya nama saja yang mirip.
"Kau sungguh totalitas, Tuan Albert. Aku menyukai pertunjukan yang memacu adrenalin. Hahaha."
"Hahaha ... terimakasih, Tuan Devon. Bagaimana dengan Anda, Tuan Billy?"
"Tapi aku tidak suka! Suruh wanita itu keluar!"
Deg...
Pemilik suara dingin terakhir itu, sangat-sangat tidak asing. Billy, mantan kekasihnya. Benarkah dia?
Dengan perasaan berkecamuk, Rane menoleh pelan.
Itu benar benar Billy. Ayah dari anak nya.
Rane sampai oleng saking terkejutnya bertemu dengan pria yang menghancurkan hati nya tujuh tahun lalu.
Suara gaduh yang ditimbulkan Rane, mau tak mau pasang mata semuanya menoleh, termasuk Billy.
"Kau?"
Rane langsung menunduk berpura-pura membenarkan topeng yang bertengger di area mata nya.
"Ada apa, Billy? Kau mengenal wanita bertopeng itu?"
Billy menggeleng di tanya Devon. Ia ragu. Tak mungkin dia Rane. Wanita masa lalu nya itu terlalu alim ke tempat semacam club yang dipenuhi oleh orang-orang lapar.
"Tidak. Aku tak mengenal nya."
Rane lega, tapi sekaligus sedih karena pria yang dulu memanjakannya terlalu mudah melupakan. Miris sekali diri nya.
Ah, ini sudah tujuh tahun, wajar dia melupakan ku.
Kemunculan Billy yang tak terduga ini, membuat Rane melalang buana terlempar ke masa lalu.
"Jangan, Bil, ini sudah kelewatan batas."
Tangan yang hendak menyelusup ke balik kain, dihentikan oleh jari jemari lembut.
"Ayolah, Rane, please. Aku, aku menginginkanmu, Sayang. Kau tau, aku tidak akan berpaling darimu karena hati ku sudah kau miliki sejak lama. Toh, nanti kita akan menikah dan hidup bahagia bersama."
"Tapi, Bil__"
"Kau meragukan ku?"
Rane menggeleng.
"So?"
"Aku takut."
"Takut apa?"
Lidah Rane keluh mengatakan kecemasannya.
"Sayang..." Satu kecupan hangat menghadiahi kening Rane. "Kau tidak perlu takut apa pun."
Bujuk rayu menyakinkan itu, meluluhkan hati seorang wanita muda yang pikirannya masih labil. Umur nya kala itu baru 18 tahun.
Ini, bukan bujukan pertama Billy yang meminta lebih dari sekadar ciuman. Sebelum-sebelumnya, Rane si gadis yatim piatu yang selama ini memang bergantung hidup di apartemen kecil sang pacar, tak bisa menolak lagi karena terbuai kata 'nikah dan hidup bahagia bersama.'
Billy adalah satu-satu nya orang yang ia miliki dan percayai. Tak ada keluarga satu pun sejak ditinggal mati karena kecelakaan. Sebatang kara mengantarkan dirinya ke Billy, pria baik hati yang mengulurkan bantuan saat ia diganggu preman jalanan dulu.
"Ini sudah malam. Tidak baik berkeliaran. Pulang lah sebelum kau dimangsa."
"A--aku tidak punya tempat tinggal."
"Rane, kau memikirkan apa?"
"Aku..." Lamunan Rane buyar dari awal pertemuan mereka saat mendapat sentuhan manja di pipinya.
"Kau percaya padaku, kan?"
Tatapan sayu Billy menghipnotis Rane. Kekasih nya ini sangat baik, satu tahun bersama cukup bagi Rane melihat ketulusan dan kebaikan Billy. Jadi, apa lagi yang ia ragukan?
"Rane, mau kan?"
Kepala itu mengangguk kecil, membuat seutas senyum indah terbit dari bibir sang kekasih.
"Aku mencintaimu," bisik Billy penuh mesra.
Rane tersenyum dengan wajah merona menggemaskan.
Setelah nya, mereka kehilangan logika bersama untuk pertama kalinya melebihi batas. Memadu kasih terbang ke awang-awang dibutakan oleh kenikmatan sesaat.
"Bitch, siapa nama mu?"
Sapaan menohok dari Devon, menyadarkan Rane dari masa lalu.
"R--Rose." Rane berbohong ke Devon. Ia juga menyamarkan suaranya agar tak di kenali Billy.
"Menari lah untuk ku."
Billy mendengus ke Devon mendengar perintah itu.
"Baik, Tuan!"
Ini demi anak mu, Rane. Jangan mundur hanya karena ada pria brengsek yang pernah meninggalkan mu bertunangan di kala itu.
"Get out!" Tiba-tiba saja, Billy membentak mengagetkan semuanya. "Kalau kau ingin selamat, maka keluar sekarang! Keluar, Brengsek!"
Rane terkesiap luar biasa diteriaki demikian. Billy juga menodongnya senjata. Menelan ludah takut, Rane mengingat perkataan pelayan yang memperingatkan tadi. Ternyata, Billy lah yang membawa senjata api. Seram sekali. Dulu, Rane hanya mengenal pria itu dengan kelembutan dan penuh kasih sayang untuk nya. Makanya, Rane sampai shock luar biasa melihat sisi lain dari Billy.
"Hei, kau terlalu berlebihan." Devon mengambil santai senjata Billy.
"Kau tak paham, Devon."
"Hahaha... Come on, Bil. Sia tidak ada di sini menyaksikan kita happy-happy."
Sia? Apa dia istri Billy yang bertunangan di kala itu?
Ah, kenapa juga harus penasaran.
"Usir dia pokoknya. Dan segera selesaikan apa yang membuat kita di sini!"
Billy tak mau di bantah. Mata dan bibir bitch itu melukai nya. Entah hanya berhalusinasi melihat kemiripan Rane atau ia benar-benar putus asa menyamakan gadis spesial nya dengan wanita jal4ng.
"Baik lah, Tuan Billy. Mari kita selesaikan dengan cepat." Tuan Albert menenangkan. Devon yang mata buaya, kecewa karena sikap Billy.
"Kau boleh keluar. Eh, tapi jangan jauh-jauh dari pintu. Setelah kami selesai, aku membutuhkan hiburan mu."
Billy langsung mendelik malas ke Devon. "Terserah kau mau apa setelah aku pergi," dengus nya jengkel.
Devon terkekeh geli. "Kau selalu pemarah. Jantung mu bisa kumat nanti."
Deg ...
Jantung?
Billy benar benar biang masalah. Bisa-bisanya mewariskan penyakit genetik nya ke Dandelion.
"Permisi, Tuan-tuan." Rane izin undur diri dengan takzim meski tak ditanggapi.
Ia berjalan keluar dan benar-benar menunggu di depan pintu VVIP itu. Bukan karena Billy, melainkan untuk Dandelion yang membutuhkan pembiayaan.
Tes ...
"Air mata sialan."
Jatuh tak tau diri dan lagi lagi teringat di saat Billy memutuskan hubungan secara mendadak di kala itu.
"Billy, akhir-akhir ini, kau jarang berkunjung kemari. Ada hal yang ingin ku bicarakan."
Kedatangan Billy, langsung disambut oleh senyum manis Rane. Tiga bulan akhir ini setelah mereka berbagi kehangatan di kasur bersama, Billy jarang datang ke apartemen.
Billy mengelus lembut kepala itu, sembari membalas senyuman Rane dengan pergerakan sedikit canggung yang dirasakan Rane.
"Ayo duduk. Aku juga punya sesuatu yang ingin ku sampaikan."
Billy menarik tangan itu duduk ke kursi.
"Wajah mu nampak tegang. Ada masalah?"
Pertanyaan Rane dibalas anggukan Billy. "Eum, masalah serius."
"Katakan, aku akan membantu jika aku bisa." Rane jadi penasaran.
"Mari berpisah, Rane."
Deg...
"Ber-berpisah?" Rane mengulang dengan suara terbata nan bergetar. "Kau bercanda kan, Bil? Ah, iya. Ini adalah hari ulang tahun ku. Kau pasti ngeprank aku. Hahahaha, lucu. By the way, apa yang kau siapkan di luar apartemen?"
Rane tak percaya, hendak bangkit, tapi tangan nya di tahan Billy. "Aku tidak bercanda. Ini adalah hari terakhir ku berkunjung kemari."
Pernyataan itu bagai batu besar menghantam keras hati Rane.
Kok, diputuskan sesakit ini?
"A-a-apa aku punya salah yang tak sengaja ku lakukan? Katakan, aku akan memperbaiki nya. Tapi tolong, jangan meninggalkan ku. Kau tau kan, aku hanya punya kamu seorang di dunia ini."
Billy memalingkan kepala nya ke samping, tak kuasa menatap mata mengiba Rane yang saat ini bersimpuh di hadapan duduk nya dengan tangan lembut itu menggenggam tangan nya erat.
"Kau tidak punya salah. Bangun lah, Rane. Kau tak pantas bersimpuh."
Rane menggeleng menolak bangkit. "Jika aku tidak melakukan kesalahan, lalu kenapa kau ingin meninggalkan ku?" tuntutnya ingin mengetahui penyebab kata perpisahan yang teramat melukai nya.
"Billy, kau tau kan aku sangat mencintaimu?" tambah nya membuat Billy terenyuh.
"Aku tau. Tapi, orang tua ku akan mengirim ku keluar negeri untuk melanjutkan S2 ku."
Jadi, LDR penyebab nya.
"Aku akan setia menunggu mu. Percaya lah, aku sanggup bertahan. Kau tau kesetiaan ku melebihi apapun." Rane tersenyum agar bisa meyakinkan Billy. Genggaman nya kian mengerat seolah olah takut terlepas.
"Rane, tapi aku tidak bisa!"
Hati Rane luluh lantak mendengar nya.
Karena Rane menolak bangkit dari hadapannya, Billy yang mengalah dengan cara beranjak dari kursi.
Pemilik hati yang terluka itu, hanya bisa menunduk dalam dengan tetesan air mata jernih bak embun jatuh ke pangkuan. Ia memandang samar telapak nya di mana tangan Billy barusan lepas dengan paksa.
"Bagaimana dengan semua janji mu, Billy?" Rane menagih. Kepolosan serta kebodohannya terlalu naif menelan mentah-mentah semua kata kata manis pria yang ia pikir adalah dunia keduanya.
"Maafkan aku, Rane."
Hanya itu yang bisa dikatakan Billy dengan suara bergetar pun.
Pria itu melangkah ke arah pintu, tapi kembali berbalik. "Apartemen ini sudah ku balik namakan atas namamu. Akan ada notaris dan pengelola mendatangi mu. Dan ini..." Billy menaruh sebuah kartu di atas bupet, di sebelah foto yang berpose tawa bahagia bersama. Lamat-lamat, Billy memandang figura itu. "Sebagai kompensasi dari ku. Meski tidak terlalu banyak, kini seluruh tabungan ku menjadi milik mu. Pin nya adalah tanggal dan tahun lahir mu. Maaf sekali lagi, Rane. Aku lalai dengan janji ku."
Billy menutup foto ceria mereka, sebagai tanda cerita mereka pun, telah usai sudah.
Beriringan pintu tertutup, tangis Rane langsung pecah. Dadanya yang sesak ia pukul-pukul berharap ada kelegaan di dalam sana.
Rane tidak membutuhkan kompensasi, tapi ia ingin Billy di sisi nya dan mengukir kisah manis pahit nya bersama.
Lagi, ia ditinggal oleh orang terkasih. Sungguh sangat menyedihkan nasibnya ini.
Karena perpisahan yang tiba-tiba itu, Rane sempat melupakan kabar kehamilan nya yang harus ia sampaikan ke Billy.
"Billy!" Rane bangkit keluar. Di belokan menuju lift, ia masih menangkap sekilas siluet yang selama ini mewarnai hidup nya.
"Billy... Billy! Tunggu, please. Dengarkan aku ___ Billy!"
Dengan cepat, Rane berlari hendak menekan tombol lift dari luar agar terbuka. Namun, Billy seperti sengaja menekan lebih dahulu tombol dari dalam. Jelas terlihat menghindar karena sebelum pintu besi itu tertutup rapat, eye contacts sempat terjadi.
Rane berakhir luruh di hadapan lift. Merutuki dirinya yang selama ini terlalu buta dengan cinta besar yang ia miliki.
Ternyata, hanya ia kah yang jatuh cinta?
***
Dua Minggu berlalu, selama itu juga, Rane belum mendapat kesempatan menyampaikan kabar kehamilan nya ke Billy.
Pria itu benar-benar menghilang bak ditelan bumi. Semua jalan komunikasi sudah diblokir oleh Billy.
Padahal, Rane sangat berharap, Billy akan berubah pikiran setelah mengetahui ada janin mereka yang tumbuh di dalam perut nya.
"Hei, lamun terus. Ada masalah?"
Ditepuk punggung nya dari belakang membuat Rane menoleh kaget melalui pantulan cermin.
Rane menggeleng seraya tersenyum paksa ke sahabat nya, Ivana.
"Ayo, nanti para tamu masuk sebelum kita ."
Ivana gegas menarik tangan Rane meninggalkan toilet hotel. Mereka di sana bukan sebagai tamu, melainkan bekerja separuh waktu sebagai waiters tambahan karena akan ada acara pertunangan mewah.
Demi kelangsungan hidup, mereka rela mengejarkan job apapun selagi halal.
Sebelum mulai bekerja, mereka di brifing bersama sederetan waiters lain nya.
"Job kali ini akan menghasilkan uang banyak. Acara nya gedean, Cuy."
"Sssst..." Rane tidak mau Ivana ditegur karena kurang fokus mendengarkan arahan leader di depan.
"Utamakan attitude dan keramahan. Ayo, mulai."
Rane dan Ivana serta yang lainnya segera masuk ke ballroom yang sejati nya belum ada tamu kecuali para penanggung jawab acara.
Tadinya iseng sekilas membaca banner yang terpampang di lewatinya. Tapi, sadar nama yang tertulis di sana nampak tak asing, Rane spontan menghentikan dan membalik langkah membaca lamat-lamat nama seseorang.
"Hah? Bi-Billy." Rane membekap mulut nya yang shock ternganga setelah yakin nama dan foto mempelai pria itu benar-benar orang yang teramat di kenali nya.
Alih-alih masuk ke ballroom, Rane justru mengambil jalan berlawanan tanpa diketahui oleh Ivana dan rekan kerja lain nya.
Langkahnya gontai seperti tak bernyawa dengan sorot mata yang kosong.
Sedih, marah, sakit hati dan kecewa berat menyergap perasaan nya yang telah dibohongi oleh Billy. Katanya saja akan keluar negeri melanjutkan S2. Nyatanya, kebohongan besar.
Bugh...
"Ma-maaf, Tuan__"
Rane tercekat. Orang yang ia tabrak di lobby itu adalah Billy.
"Rane..." Suara Billy kecil nyaris tak terdengar.
Mereka saling tatap dengan makna yang mendalam.
"Selamat atas pertunangan mu." Bibir Rane tersenyum getir mengungkapkan untaian yang biasanya menyenangkan bagi mempelai, tapi sungguh menggores hati nya yang dulu pernah dijanjikan kehidupan bersama.
"Rane, aku bisa menjelaskannya. Ikut aku__" Billy tertegun karena tangan Rane yang hendak ia genggam, malah menghindar mundur. "Rane, please. Aku punya alasannya."
"Sayang..." Sekonyong-konyong nya, ada sosok wanita yang sudah didandani secantik putri, bergaun senada dengan toxedo Billy, bergelayut manja di lengan kekar berotot itu.
Bagai langit dan bumi perbedaan mereka. Rane insecure sendiri melihat wanita pilihan Billy yang cantik elegan. Kini, mata Rane baru terbuka lebar kalau Billy cuma mempermainkannya. Toh, ia ini wanita sebatang kara yang tak punya apa apa untuk dianggap serius.
Miris sekali diri nya.
"Ayo, katanya mau lihat ballroom sebelum para tamu datang."
Tes...
"Ah, mata sialan."
Rane yang tersadar dari lamunan pahit nya, merasa dejavu dengan umpatan akan air mata luka yang sama saat itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!