“Astaghfirullah!” seru seorang wanita paruh baya setengah berteriak saat mencium aroma gosong yang memenuhi dapur dan melihat asap yang mulai membumbung ke udara. Sambil terbatuk-batuk, ia segera mematikan kompor.
"Ya Allah, Bunda ini kenapa?" tanya seorang anak laki-laki yang masih mengenakan seragam putih biru, berdiri di ambang pintu dapur.
“Assalamualaikum!” tiba-tiba terdengar suara seorang gadis yang baru datang sambil membawa sesuatu. Dengan panik, ia langsung berlari ke arah wajan.
“Yah, kok gosong sih,” gumamnya sambil mengamati telur yang sudah menghitam di dalam wajan.
“Jadi ini kerjaan kamu?” tanya Bunda sambil menatap tajam ke arah anak gadisnya. Gadis yang ditatap hanya cengengesan.
"Kenapa kamu tinggal?" lanjut Bunda dengan nada tinggi.
“Itu, garamnya habis, Bun. Kan nggak enak kalau telur goreng hambar, jadi aku beli dulu garamnya,” jelas Raya dengan polos.
“Harusnya telurnya jangan ditinggal begitu! Kalau memang harus pergi, ya matikan dulu kompornya! Untung Bunda cepat datang. Kalau enggak, bukan cuma telurnya yang gosong, tapi dapur Bunda ini juga bisa ikut terbakar,” omel Bunda panjang lebar.
“Hehehe, maaf ya, Bun,” sahut Raya sambil buru-buru membersihkan wajan yang penuh dengan sisa-sisa telur gosong.
Sementara itu, Rian hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan kakaknya yang ceroboh. Baru saja pulang dari sekolah, sudah disambut dengan aroma gosong dan omelan Bunda karena kecerobohan Raya.
Raya Altaresha, gadis berusia 17 tahun itu, memang memiliki sifat yang ceroboh dan bar-bar, berbeda dengan adiknya, Rian Attarfan, yang pendiam, penurut, dan sangat berprestasi di sekolah. Meski begitu, keduanya saling menyayangi dan menjaga satu sama lain.
Raya memiliki wajah yang cantik, bertubuh tinggi, dan rambut panjang yang ikal. Namun, sikapnya yang sulit diatur sering kali membuat Bunda kewalahan. Sejak usia sepuluh tahun, Raya dan Rian tinggal bersama Bunda mereka, setelah ayah mereka pergi meninggalkan keluarga.
Meskipun sang ayah masih hidup, bagi Raya, ia sudah lama "mati." Pengkhianatan yang dilakukan oleh ayahnya membuat Raya tak ingin lagi berhubungan dengannya. Sementara Rian, meski lebih tenang dan tidak pernah berbicara banyak tentang masalah ini, tetap merasakan kegetiran yang sama.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup, Bunda mengelola usaha kue kering, dan Raya membantu dengan bekerja paruh waktu di sebuah toko bunga. Namun, di tengah segala kesulitan dan tantangan hidup, mereka bertiga berusaha menjalani hari-hari dengan kekuatan dan kasih sayang yang tersisa.
Raya berjalan santai, menikmati angin sore yang sejuk. Suasana tenang di sekitar membuatnya merasa rileks setelah perdebatan kecil dengan Bunda. Tiba-tiba, deru mesin motor sport terdengar semakin dekat. Seorang laki-laki sebaya menghampirinya, senyum lebar di wajahnya.
“Mau gue anter?” tawar Leo, teman sekolahnya, sambil menepuk helmnya yang berada di stang motor.
Raya meliriknya sebentar, lalu tersenyum lebar. “Boleh juga,” jawabnya tanpa berpikir panjang. Baginya, Leo sudah seperti teman lama yang selalu ada, meskipun hubungannya lebih banyak diisi oleh keisengan dan canda.
Dengan lincah, Raya duduk di belakang Leo, memegangi bagian belakang motor tanpa banyak bicara. Leo menyalakan mesin, dan mereka segera melaju di sepanjang jalan desa yang berangin. Suara angin dan raungan mesin motor mengiringi perjalanan mereka.
Leo, yang sudah terbiasa dengan gaya Raya yang santai dan terbuka, mengobrol tanpa ragu. “Lo pulang kerja jam berapa hari ini?” tanyanya sambil melirik ke spion.
“Paling sekitar jam delapan. Nggak terlalu sibuk kok di toko bunga sekarang,” jawab Raya sambil membiarkan rambutnya berkibar tertiup angin.
Leo mengangguk, lalu memamerkan senyum jahilnya. “Nggak ada cowok yang naksir lo di toko itu?”
Raya mendengus, menggeleng. “Cowok? Di toko bunga? Mereka lebih tertarik sama bunga daripada gue,” jawabnya dengan nada menggoda.
Sebenarnya, Raya memang gadis yang tidak pernah membatasi pertemanan. Di sekolah, dia bisa berteman dengan siapa saja—baik laki-laki maupun perempuan. Dia tipe yang mudah bergaul dan jarang merasa canggung. Bahkan, banyak teman-temannya mengagumi keberaniannya. Selain terkenal karena sikapnya yang ceria dan tak kenal takut, Raya juga pernah memenangkan kejuaraan karate di desanya. Kemampuan bela diri itu membuatnya semakin disegani, terutama oleh teman-teman laki-lakinya.
Motor mereka berhenti di depan toko bunga, dan Raya segera turun dengan gerakan lincah. “Thanks, Leo. Besok kalo gue gajian, lo gue traktir es krim,” katanya sambil bercanda.
Leo tertawa. “Siap, jangan lupa traktir yang mahal!” balasnya sebelum berlalu dengan motornya, meninggalkan Raya yang melambaikan tangan.
Setelah itu, Raya melangkah masuk ke toko, bersiap untuk menjalani sisa hari dengan semangat yang sama seperti biasa—berani, ceria, dan tak peduli apa yang dipikirkan orang lain.
Raya bekerja dengan giat, dia memang sering ceroboh dan bar bar tapi saat ditempat kerja dia berusaha tidak melakukan kesalahan. Saat dirinya sedang asyik merapikan bunga di taman tiba-tiba..
" Gyuuuuurrrr!! " Sebuah siraman menyiram nya.
" HUJAN!! " Teriak nya mengira itu hujan. Dia menoleh ke belakang terlihat seorang pemuda bersarung sedang memegang ember.
Pemuda itu terkejut dia tak melihat kalau ada orang dibalik tanaman bunga itu. "Kenapa lo siram gue? " Tanya Raya prontal.
Yg ditanya malah diam menatap gadis didepan nya. Baju gadis itu basah, dan tampak lekuk tubuhnya terlihat jelas. Ia meneguk saliva nya dengan susah payah. Tapi seketika itu iya tersadar.
" Astaghfirullah, " Liriknya langsung menundukkan pandangan dari gadis itu.
" Gue tanya, kenapa lo siram gue? Lo gk denger ya? " Raya mengulang pertanyaan nya. Lagi lagi pemuda yang mengenakan peci dan sarung itu malah berbalik membelakangi nya.
"Maaf ukhti, saya tidak tahu, " Katanya sebelum berlalu.
Raya terpaku mendengar nya. Setelah membuat dirinya basah, orang itu dengan santai meninggalkan nya. " Emang masalah selesai apa dengan kata maaf doang "
Raya berdiri diam, menatap punggung pemuda bersarung yang perlahan menjauh setelah membuatnya basah kuyup. Wajahnya memerah, antara marah dan bingung. "Apa-apaan, ya? Cuma bilang maaf terus kabur gitu aja? Emang masalah selesai apa dengan kata maaf doang?" gumamnya sambil menghempaskan napas panjang.
Raya menggigit bibirnya, mencoba menahan kekesalannya. Baju putihnya yang kini basah membungkus tubuhnya dengan tidak nyaman. Dia menoleh ke arah tanaman bunga yang sedang ia rawat, mencoba kembali fokus pada pekerjaannya, namun rasa kesal masih tersisa.
Beberapa saat kemudian, seorang rekan kerjanya, Karin, datang menghampiri. “Raya, lo kenapa basah gitu? Hujan?” tanya Karin, menahan tawa saat melihat kondisi Raya.
“Bukan hujan, tapi disiram sama cowok aneh!” jawab Raya, menggelengkan kepalanya dengan kesal. “Gue lagi rapihin bunga, eh tiba-tiba dia muncul dan nyiram gue gitu aja. Terus dia bilang maaf dan langsung pergi!”
Karin tertawa kecil. “Ya ampun, kasian banget lo. Tapi siapa sih cowok itu?”
Raya mengangkat bahu. “Nggak tau, dia pakai sarung dan peci. Kayaknya anak pondok yang suka lewat sini.”v
Karin tersenyum jahil. “Mungkin dia malu gara-gara lo basah. Mungkin baju lo jadi... ya gitu deh.”
Raya menatap Karin dengan tatapan tajam. “Ya jelas malu, tapi tetep aja nyebelin!”
Setelah itu, Raya memutuskan untuk mengganti bajunya di ruang ganti karyawan. Namun, sepanjang sisa sore itu, pikirannya masih sesekali melayang ke pemuda bersarung tadi. Ada sesuatu tentang sikapnya yang membuat Raya penasaran, meski dia mencoba mengabaikannya.
Saat pekerjaannya selesai, Raya keluar dari toko bunga dengan perasaan campur aduk. Hari itu, meskipun sederhana, meninggalkan jejak yang tak terduga di pikirannya. Raya tersenyum kecil, lalu melangkah pulang, siap menghadapi kejutan lain yang mungkin datang di hari berikutnya.
Tepat pukul 8 malam, Raya akhirnya pulang ke rumah. Baju yang tadi basah kuyup sudah kering dengan sendirinya di tubuhnya. Sepanjang sore, pikirannya dipenuhi oleh kekesalan terhadap pemuda aneh yang telah merusak suasana hatinya. "Orang nggak jelas," gumamnya, mengingat kembali kejadian itu sambil mengerutkan alis.
Saat masuk ke rumah, wajahnya masih menampilkan ekspresi kesal. Satu-satunya hal yang ia inginkan sekarang adalah tidur, melupakan pertemuan menyebalkan dengan pemuda yang tak sengaja menyiramnya dengan air. "Entah siapa dia, gue nggak peduli. Mungkin orang baru dari desa sebelah. Semoga besok gue nggak ketemu dia lagi," pikir Raya sambil melepas sepatunya dan berjalan lesu menuju kamar.
Raya membanting tubuhnya ke atas kasur, mencoba menenangkan diri dan mengusir segala pikiran negatif tentang kejadian hari ini. "Udah, lupakan aja," gumamnya sebelum akhirnya menarik selimut, berharap esok hari berjalan lebih baik tanpa gangguan dari orang-orang yang mengacaukan harinya.
Di sisi lain, Muhammad Bilal Aljazair bergegas masuk ke dalam rumah dengan wajah penuh penyesalan. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat, duduk di atas sajadah, dan dalam hati terus beristigfar. "Astaghfirullah, bagaimana mungkin aku tak melihat ada orang di sana?" gumamnya sambil mengusap wajahnya yang penuh kebingungan.
Bilal adalah anak dari pemilik toko bunga tempat Raya bekerja. Namun, banyak orang tidak tahu hal ini karena ia lebih banyak menghabiskan waktunya mondok di Tarim untuk menuntut ilmu agama. Dengan kepribadian yang baik, ramah, sopan, dan dingin, Bilal sering dianggap misterius oleh orang-orang yang jarang mengenalnya. Wajahnya yang tampan dan pembawaannya yang tenang membuatnya disegani, namun ia juga dikenal sangat menjaga pandangan terhadap lawan jenis. Selain mama dan adik perempuannya, Bilal tidak pernah berinteraksi dengan perempuan lain.
Tadi, insiden tak terduga itu membuatnya terkejut. "Kenapa aku begitu ceroboh?" Bilal masih memikirkan bagaimana ia tanpa sengaja menyiram air ke gadis yang bekerja di toko bunga keluarganya. Ia merasa bersalah, terutama karena pandangannya sempat tertuju pada gadis itu dalam kondisi yang tidak pantas. Ia menundukkan kepala, mencoba menenangkan hatinya yang masih diliputi rasa bersalah.
"Astaghfirullah... aku harus lebih berhati-hati lagi." Ia merapatkan pecinya, mengingat ajaran yang selalu ia pegang tentang menjaga pandangan dan berinteraksi dengan lawan jenis. "Besok aku harus minta maaf lagi secara baik-baik," pikirnya, walaupun ia tahu mungkin gadis itu tidak akan mudah melupakan kejadian tadi.
Bilal menghela napas panjang, menutup mata sejenak. Sore itu, meskipun sederhana, membawa perasaan yang asing baginya. Sesuatu tentang gadis itu—ketegasannya saat protes, keberaniannya yang frontal—membuat Bilal merasa sedikit tersentuh, meskipun ia berusaha keras untuk tidak membiarkan perasaan itu memengaruhinya.
"Jangan terlalu dipikirkan, Bilal," bisiknya pada dirinya sendiri. Lalu, ia melanjutkan kegiatan malamnya dengan berzikir, berharap hatinya kembali tenang.
Pagi itu, suasana di meja makan keluarga Aljazair terasa hangat dan penuh canda. Bilal, pemuda berusia 21 tahun, duduk di sebelah adiknya, Fatimah, yang empat tahun lebih muda darinya. Di hadapan mereka, Mama sibuk menuangkan teh, sementara Abi duduk sambil membaca koran dengan serius.
“Hari ini kamu ada rencana ke mana, Bilal?” tanya Mama sambil menata hidangan sarapan, yaitu nasi goreng dengan telur mata sapi dan kerupuk kesukaan Bilal.
Bilal mengaduk teh di cangkirnya dengan tenang. “Hari ini mungkin ke toko bunga, Ma. Sudah lama nggak ke sana sejak pulang dari Tarim.”
Fatimah, yang duduk di sebelahnya, tersenyum kecil. “Kamu tuh kalau ke toko bunga, selalu jadi pusat perhatian, Kak. Banyak yang nanya-nanya tentang Kak Bilal si 'santri ganteng.'”
Bilal tertawa kecil mendengar ledekan adiknya, tapi tetap menundukkan pandangan. “Aduh, Fatimah, itu cuma bayangan kamu saja. Aku ke sana buat bantu-bantu, bukan buat jadi bahan gosip.”
Abi yang sedang serius membaca koran tiba-tiba menurunkan korannya dan berkata, “Bagus kalau kamu mau sering-sering ke toko, Bilal. Kamu harus mulai lebih sering terlibat, apalagi bisnis ini nanti bisa kamu kelola juga.”
Bilal hanya mengangguk patuh. Meskipun tak banyak bicara, Bilal sangat menghormati Abi dan apa yang sudah dibangunnya. Di usianya yang ke-21, Bilal merasa tanggung jawab mulai bertambah, baik sebagai anak pertama maupun sebagai seorang kakak.
Fatimah, yang sudah selesai sarapan lebih dulu, memandangi Bilal dengan tatapan jahil. “Eh, Kak, kemarin di toko ada yang ketumpahan air, ya? Aku dengar ceritanya dari Bu Wati.”
Bilal, yang sedang menggigit roti, hampir tersedak mendengar pertanyaan Fatimah. “Iya, nggak sengaja,” jawabnya sambil tersenyum canggung. “Ada sedikit kecelakaan kecil, tapi sudah aku selesaikan.”
Fatimah tertawa kecil, “Ya, ya, aku yakin itu kecelakaan yang bikin heboh. Jangan sampai nanti ada yang marah sama santri ganteng kita ini.”
Bilal hanya tersenyum tipis, lalu menghabiskan teh di cangkirnya. Suasana meja makan kembali cair, dengan canda dan obrolan ringan. Meskipun Bilal tampak tenang, di dalam hatinya, ia masih teringat insiden kemarin dengan seorang gadis yang ia siram secara tidak sengaja. Pikirannya melayang sejenak, namun ia segera kembali fokus ketika Abi berbicara lagi.
“Hari ini, Bilal, selain ke toko bunga, coba kamu mampir ke panti asuhan ya. Kita mau donasikan beberapa bunga untuk acara mereka.”
“Iya, Abi, nanti setelah dari toko, aku langsung ke sana.”
Sarapan pun berlanjut dengan kehangatan khas keluarga, di mana Bilal, meski seorang pemuda yang tenang dan pendiam, tetap menikmati setiap momen kebersamaan dengan Mama, Abi, dan Fatimah.
Di sisi lain, pagi yang sama, Raya baru saja terbangun dengan wajah kusut dan rambut berantakan. Jam di dinding kamar menunjukkan pukul 6.40 pagi. Seperti biasanya, dia terlambat bangun. “Astaga! Udah jam segini,” gumamnya panik, langsung melompat dari tempat tidur.
Tanpa membuang waktu, Raya meraih seragam sekolahnya yang sudah tergantung di pintu lemari. Dia tergesa-gesa mengenakan rok abu-abu dan kemeja putih. Rambut panjangnya yang masih sedikit kusut ia ikat asal-asalan, kemudian buru-buru mencuci muka.
Di luar kamarnya, terdengar suara Rian, adiknya, yang sudah siap berangkat sekolah sejak tadi. “Kak Raya, cepetan! Nanti kita telat lagi!” seru Rian dari ruang tamu.
Raya hanya mendengus sambil mengenakan sepatu dengan terburu-buru. “Iya, iya! Udah, jangan bawel,” balasnya setengah kesal. Ini bukan pertama kalinya Rian mengomel karena kelakuan kakaknya yang sering bangun terlambat.
Setelah mengambil tas yang tergantung di kursi, Raya berlari ke dapur untuk mengambil sepotong roti yang sudah disiapkan Bunda. Tanpa sempat sarapan proper, ia menggigit roti itu sambil merapikan dasi seragamnya. “Bun, aku berangkat dulu ya! Rian udah bawel nih,” ucapnya cepat sambil mencium tangan Bunda yang hanya bisa menggeleng melihat kelakuan putrinya.
“Raya, jangan terlalu buru-buru, nanti lupa bawa sesuatu lagi,” kata Bunda mengingatkan, tapi Raya sudah setengah jalan keluar rumah.
Sambil berjalan cepat, Raya melirik jam di pergelangan tangannya. “Aduh, udah mepet banget,” gumamnya. Namun, seperti biasa, meski selalu terlambat bangun, Raya tak pernah terlihat terlalu cemas. Baginya, ini sudah menjadi rutinitas harian yang dia jalani dengan santai.
Dalam hati, Raya tahu dia harus mengubah kebiasaannya, tapi entah kenapa, bangun lebih pagi selalu terasa seperti tantangan yang sulit baginya.
Akhirnya, Raya tiba di sekolah tepat saat bel masuk berbunyi. Dengan napas terengah-engah, ia meletakkan tasnya di bangku. "Untung saja," gumamnya lega.
“Alhamdulillah, selamat dari omelan guru piket lagi,” kata Fatimah, teman sekelas sekaligus sahabat Raya sejak TK, sambil tersenyum lebar.
Raya balas tersenyum dan duduk di sebelah Fatimah. Meski sifat mereka sangat bertolak belakang—Fatimah tenang dan lembut, sedangkan Raya ceroboh dan blak-blakan—persahabatan mereka sudah berlangsung bertahun-tahun, tak tergoyahkan oleh perbedaan.
Meski sangat dekat, Raya tak pernah benar-benar tahu tentang kehidupan keluarga Fatimah, termasuk abang Fatimah yang sering disebut-sebut di rumah. Baginya, urusan keluarga Fatimah bukan hal yang penting. "Ya, gue sih nggak peduli juga," pikirnya dalam hati setiap kali Fatimah menyinggung soal abangnya. Raya selalu sibuk dengan dunianya sendiri, tanpa terlalu memerhatikan detail kehidupan orang lain, termasuk sahabatnya.
“Eh, kamu udah siap buat ulangan Matematika nanti?” tanya Fatimah, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Raya hanya mengangkat bahu. “Kayak biasanya aja lah, ngikut alur aja. Mana sempet gue belajar tadi pagi, udah ketinggalan bus hampir!”
Fatimah tertawa kecil, sudah terbiasa dengan gaya hidup spontan Raya. Meski kadang ceroboh, Raya selalu punya cara untuk lolos dari situasi sulit.
Fatimah tertawa kecil, sudah terbiasa dengan gaya hidup spontan Raya. “Dasar kamu, Raya. Kadang-kadang, aku heran deh sama kamu. Kenapa sih nggak mau nyiapin dari jauh-jauh hari?”
“Ya, udah lah. Hidup ini buat dinikmati, bukan dipusingin sama yang gitu-gitu,” jawab Raya santai sambil merapikan buku-bukunya di meja.
Fatimah menggelengkan kepala. “Tapi, Raya, kamu tahu kan kalau ulangan itu penting? Nanti kamu bisa kesusahan kalau nggak belajar.”
“Ah, bisa aja. Nanti kalau aku dapat nilai jelek, kamu yang harus ngajarin aku, ya!” jawab Raya sambil tersenyum nakal.
Fatimah hanya bisa tersenyum melihat tingkah sahabatnya yang selalu ceria meski sering kali ceroboh. “Kamu ini, loh. Semoga deh, semua rencana kamu hari ini berjalan lancar.”
Raya mengangkat jari telunjuknya, “Amin! Tapi, yang penting, kita harus bikin rencana seru abis sekolah. Setuju?”
“Setuju!” Fatimah menjawab dengan semangat, merasa bahwa kebersamaan mereka setelah sekolah selalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu.
Sebelum bel berbunyi lagi, mereka berdua bersiap-siap untuk memasuki kelas. Meski Raya tidak memikirkan detil kehidupan Fatimah, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Dalam perjalanan yang panjang ini, mereka adalah sahabat sejati yang siap saling mendukung, apapun yang terjadi.
Setelah pelajaran terakhir berakhir, bel sekolah berbunyi dan Raya serta Fatimah segera keluar kelas. Hari itu terasa lebih ringan karena Raya tidak harus bekerja setelah sekolah; sebaliknya, dia bisa membantu bundanya membuat kue di rumah.
“Eh, Fatimah, mau ikut ke rumahku? Bunda lagi bikin kue, nih,” ajak Raya dengan semangat.
“Boleh banget! Aku suka bantu-bantu di dapur,” jawab Fatimah dengan senyum lebar, menjelaskan jilbabnya sebelum mereka melangkah pergi.
Sesampainya di rumah, aroma manis kue menguar dari dapur. Bunda Raya terlihat sibuk mengaduk adonan. “Raya, kamu datang tepat waktu! Kita butuh bantuanmu,” ujar bunda, melihat kedatangan mereka.
Raya dan Fatimah segera menyibukkan diri. “Apa yang harus kita lakukan, Bun?” tanya Raya sambil mencuci tangan.
“Ambilkan tepung dan gula di lemari, ya. Kita mau bikin kue coklat,” jawab bunda dengan ceria.
Fatimah membantu Raya mengeluarkan bahan-bahan yang diperlukan. “Ayo, Raya! Kita bisa bikin kue yang enak ini bersama-sama,” katanya dengan semangat.
Setelah bahan-bahan siap, mereka mulai mencampurkan semuanya. Raya yang ceroboh tetap menunjukkan kepiawaiannya dalam memasak, meskipun beberapa kali dia tersenggol dan membuat tepung berhamburan ke mana-mana. Fatimah tidak bisa menahan tawanya melihat tingkah sahabatnya.
“Raya, hati-hati! Nanti kamu bikin kue ini jadi seni abstrak!” celetuk Fatimah sambil menyeka tawa.
“Ah, udah biasa. Ini namanya ‘kue goyang’,” balas Raya sambil tertawa, mencoba menjelaskan kekacauan yang terjadi.
Setelah mengaduk adonan dengan penuh semangat, mereka menuangkannya ke dalam loyang dan memasukkannya ke dalam oven. Mereka duduk di meja sambil menunggu kue matang, menikmati momen kebersamaan.
“Raya, kamu ingat nggak waktu kita kecil, kita pernah bikin kue bersama? Hasilnya hancur total,” kata Fatimah, mengenang masa lalu.
“Ya, ingat! Tapi seru banget! Kita sampai berantakan, kan? Bunda marah, tapi kita malah ketawa,” jawab Raya.
“Semoga kali ini kita bisa bikin kue yang enak dan nggak hancur,” Fatimah tersenyum penuh harapan.
Setelah beberapa menit menunggu, aroma kue mulai memenuhi dapur. “Kue kita hampir matang, nih!” seru Raya, senang dengan hasil kerja kerasnya.
“Cek dulu, Raya. Jangan sampai gosong,” Fatimah memperhatikan oven dengan cermat.
“Tenang, aku chef handal! Nggak ada yang bisa ngalahin kehebatanku di dapur,” Raya menjawab percaya diri.
Fatimah hanya tertawa, “Chef handal? Yang ada hanya chef kacau!” Ia mengambil sedikit tepung dengan jari dan mengoleskannya ke wajah Raya.
“Hey! Kamuu?!” teriak Raya sambil terkejut, menatap wajahnya yang sekarang berdebu putih.
“Maaf, maaf! Ini adalah teknik baru dalam memasak, namanya ‘tepung wajah’!” jawab Fatimah sambil tertawa terbahak-bahak.
“Grrr, kamu bakalan menyesal!” Raya mengejar Fatimah yang sudah mulai berlari menjauh.
Fatimah berlari mengelilingi meja, mencoba menghindari tangkapan Raya. “Jangan! Aku masih bersih!” teriaknya, sambil terus tertawa.
Raya terus mengejar, dan saat Fatimah berpaling untuk melihat ke belakang, ia terjatuh ke dalam tumpukan tepung yang ada di lantai. “Wah, sial!” Raya menyusul dan tidak sengaja menjatuhkan tepung di atas kepala Fatimah.
“Ya ampun, ini udah kayak festival tepung!” Fatimah terbahak-bahak sambil tertawa, tubuhnya dipenuhi tepung.
Bunda yang dari tadi mengamati dengan kekhawatiran kini tidak bisa menahan diri. “Astagfirullah !” serunya, mencoba untuk serius tapi tidak bisa menahan senyumnya melihat kekacauan yang terjadi.
“Maaf, Bun! Kita hanya ingin menambah rasa di kue ini!” Raya menjawab, tersenyum nakal sambil mengusap wajahnya yang dipenuhi tepung.
“Rasa apa? Rasa tepung, ya?” Bunda menggelengkankepala sambil tertawa, “Sini, bantu Bunda bersihkan ini sebelum semua berantakan!”
“Dari tepung jadi kue, dari kue jadi drama!” canda Fatimah, berusaha untuk membantu membersihkan sambil tertawa.
Raya dan Fatimah saling lempar tepung lagi, dan meskipun bunyi omelan Bunda terdengar di mana-mana, suasana dapur terasa hangat penuh dengan tawa dan kebersamaan.
Bilal sedang duduk di belakang meja kasir toko bunga yang dikelola keluarganya. Dengan pandangan serius, ia memantau aktivitas para karyawan yang sedang merangkai bunga untuk pesanan pelanggan. Senja sudah mulai merangkak, tetapi suasana di dalam toko tetap hangat dan ceria, diwarnai tawa serta obrolan antara para karyawan.
Para karyawan perempuan tampak saling melirik, beberapa di antaranya tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan Bilal yang sedang asyik memeriksa bunga-bunga yang baru datang. Wajahnya tampan dan karismatik, membuat banyak di antara mereka merasa terpesona. Salah satu karyawan, Mira, yang sudah lama menyimpan rasa suka, bahkan berniat untuk menyapa, tetapi begitu melihat Bilal yang tampak serius dan cuek, niatnya sirna seketika.
"Aku mau nyapa, tapi dia kelihatan serius banget," bisik Mira kepada temannya, Sari, sambil menatap Bilal dari jauh.
"Iya, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Mungkin tentang pemesanan bunga untuk pernikahan akhir pekan ini," jawab Sari. "Tapi, Bilal itu emang ganteng ya. Sayang dia jarang ngobrol."
Bilal terus mencari sosok yang dia inginkan. Dalam hatinya, dia merasa gelisah. Kemana dia? pikirnya. Meskipun dia tidak tahu siapa yang sebenarnya dia cari, rasa penasaran itu membuatnya terus memantau toko dengan cermat.
Bilal melirik jam di dinding, merasa jengkel. Aish, kenapa pula saya cari-cari! pikirnya sambil menggelengkan kepala. Dia tak ingin menunjukkan betapa ingin tahunya dia, tetapi hatinya tak bisa bohong.
Tiba-tiba ponsel nya berbunyi terdapat notif pesan dari adiknya.
Little quen:
" Kak aku sebentar lagi sampai, "
Bilal :
"Iya, "
Flashback
“Ray, kue ini enak banget! Kamu memang jago dalam hal ini,” puji Fatimah, sambil tersenyum lebar.
“Alhamdulillah, terima kasih! Tapi kalau bukan karena kamu bantu, aku juga nggak bisa,” jawab Raya dengan senyum malu. Mereka berdua saling bertukar cerita sambil mengingat kembali kenangan masa kecil mereka.
Namun, saat mereka asyik berbincang, Fatimah melihat jam di dinding dan menyadari waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ia teringat ada urusan mendadak yang harus diselesaikannya di toko bunga keluarganya.
“Ray, aku mau ke toko bunga dulu ya, ada urusan mendadak nih,” kata Fatimah tiba-tiba.
“Oh ya?” Raya mengangkat alis, sedikit bingung. “Ada apa?”
“Iya, aku pulang yaa,” jawab Fatimah, berusaha terdengar santai. Dia merasa sedikit bersalah meninggalkan sahabatnya, tetapi tugas di toko tidak bisa ditunda.
“Mau kemana?” tanya Bunda, yang baru saja memasuki dapur.
“Mau pamit pulang, Bun,” kata Fatimah sopan. “Ada beberapa hal yang perlu aku urus di toko bunga.”
“Baiklah, hati-hati di jalan, ya,” Bunda menjawab, sambil tersenyum. “Semoga semua urusannya lancar.”
Raya merasakan sedikit kekecewaan saat sahabatnya akan pergi, tetapi ia juga tahu bahwa Fatimah memiliki tanggung jawab di toko bunga keluarganya. “Oke, Fatimah. Jangan lama-lama, ya!” ujarnya sambil melambaikan tangan.
Kembali ke saat ini...
Kakakk..." panggil seorang gadis cantik dari kejauhan. Dia mengenakan jilbab pink yang kotor karena tepung, mencolok di antara suasana toko bunga yang cerah.
Bilal menoleh dan melihat adiknya. Ya, gadis cantik itu adalah Fatimah Aljazair. Fatimah berlari kecil menghampiri Bilal yang sedang duduk santai di belakang meja kasir, berusaha menampilkan wajah santainya meski dalam hati merasa sedikit gelisah.
"Ada apa nyuruh aku datang ke sini?" tanyanya, sedikit terengah-engah.
"Gak ada," jawab Bilal singkat, berusaha terlihat santai.
"Apa?!" Fatimah membulatkan matanya.
"Iya, cuma bosen aja di sini. Gak ada teman," kata Bilal, berusaha terdengar santai. Namun, jawabannya justru membuat Fatimah semakin kesal.
"Kamu tungguin ini ya, kakak mau pulang," kata Bilal, berdiri dan bersiap-siap pergi.
"Eh, gak bisa gitu!" Fatimah ingin protes, tapi melihat ekspresi kakaknya yang sudah tidak sabar, dia mengurungkan niatnya.
Bilal sudah melangkah pergi, dan Fatimah merasa kehilangan momentum untuk berbicara. "Nanti kakak beliin es krim deh, Assalamualaikum!" teriak Bilal sambil melambaikan tangan.
"Waalaikumsalam! Yang banyak sama warungnya, kalo bisa!" jawab Fatimah, tersenyum meski hatinya sedikit kesal. Dia berharap kakaknya tidak terburu-buru dan bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersamanya.
Fatimah menatap ke arah kakaknya yang sudah berjalan menjauh, merasa kesal. "Huh, kakak nyebelin! Menang ganteng doang!" gerutunya dalam hati. Dia mengerucutkan bibirnya, tak bisa menahan rasa jengkel.
"Awasa aja, aku bilangin Abi," ancamnya sambil melangkah ke arah meja kasir dengan tatapan penuh determinasi. "Abi pasti bakal marah kalau tahu kakak gak serius jaga toko."
Namun, di dalam hatinya, Fatimah tahu bahwa kakaknya, Bilal, selalu punya alasan sendiri untuk bersikap seperti itu. Meski begitu, kadang dia merasa kesal karena Bilal seolah mengabaikan tanggung jawabnya.
Fatimah kembali melihat ke arah kakaknya yang semakin menjauh. "Aku harus menemukan cara untuk membuat kakak lebih serius!" ujarnya, bertekad dalam hati. Sambil menepuk-nepuk jilbabnya yang kotor, dia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya merangkai bunga, tetapi dengan pikiran yang masih terganggu oleh tingkah kakaknya yang nyebelin itu.
Sementara itu, Bilal berjalan santai di jalanan desa, merasa lega akhirnya bisa pergi dari toko bunga. Dia sungguh tak nyaman berada di tengah-tengah perempuan seperti tadi. Namun, pikirannya kembali teralihkan saat dia melihat seorang anak laki-laki berseragam SMP dihadang oleh tiga orang preman .
Anak laki-laki itu terlihat ketakutan, wajahnya pucat dan tangannya menggenggam kuat tas sekolahnya. Bilal merasakan gelombang keinginan untuk membantu. Dia tahu bahwa tidak baik membiarkan orang yang lebih lemah terintimidasi, apalagi di depan mata nya.
Anak laki-laki berseragam SMP itu tertegun, tetapi seketika itu juga, pemuda tampan yang melangkah maju tidak memberi kesempatan untuk mundur. Dengan keberanian yang mengalir dalam dirinya, ia menantang tiga preman yang tampak garang.
"Hey! Apa yang kalian lakukan?" suaranya tegas dan berwibawa, menarik perhatian preman-praman itu. Mereka berhenti sejenak, terkejut oleh kehadiran pemuda tersebut.
Salah satu preman, dengan tubuh kekar dan tatapan angkuh, mendekat. "Apa urusan lo?" tantangnya, menandakan bahwa mereka tidak akan mundur dengan mudah.
Tanpa ragu, pemuda itu melangkah maju dan mengangkat tangan, seolah-olah meminta mereka untuk maju. "Kau ingin tahu? Aku tidak suka melihat orang-orang seperti kalian mengintimidasi yang lemah."
Dengan cepat, preman itu melayangkan pukulan ke arah pemuda tampan itu. Namun, dengan gerakan lincah, pemuda itu menghindar, melangkah ke samping sambil menyambut serangan yang lain. la dengan cekatan membalas serangan tersebut dengan satu tendangan keras ke perut preman, membuatnya terjengkang ke belakang.
Dua preman lainnya, merasa terprovokasi, segera menyerang serentak. Pemuda itu tetap tenang, bergerak gesit menghindari serangan mereka. Dengan satu gerakan, iamenangkap pergelangan tangan salah satu preman dan memutar tubuhnya, menjatuhkannya ke tanah.
Dengan semangat membara, pemuda itu berjuang melawan ketiga preman tersebut. Setiap pukulan dan tendangan yang dilayangkan membuktikan ketangkasannya. Mereka tidak menyangka bahwa satu orang bisa melawan mereka bertiga. Pertarungan berlangsung dengan cepat dan penuh ketegangan. Akhirnya, setelah beberapa menit, satu per satu preman itu terjatuh, kalah dalam adu fisik. Pemuda itu berdiri tegak, napasnya memburu, tetapi tatapannya tetap tajam, menandakan bahwa ia siap untuk melindungi orang yang terintimidasi itu sampai akhir.
Setelah tiga preman itu kabur, pemuda tampan itu menatap remaja SMP yang terlihat ketakutan. "Kamu enggak papa?" tanyanya dengan suara lembut, memastikan keadaan remaja itu.
"I... Iya, makasih, kak," jawab remaja SMP itu, suaranya bergetar, tetapi ada rasa syukur di matanya.
Karena khawatir, pemuda itu memutuskan untuk mengantar remaja SMP itu pulang hingga ke rumah. "Ayo, aku antar," katanya sambil melangkah mendekati remaja itu.
Remaja SMP itu tampak ragu, tetapi kemudian mengangguk. "Oke, terima kasih," jawabnya, sedikit lega.
Dalam perjalanan, mereka berbincang-bincang. "Siapa mereka?" tanya pemuda itu, berusaha mengalihkan perhatian dari kejadian yang baru saja terjadi.
"Mereka teman-teman sekelas saya. Mereka sering mengganggu saya," jawab remaja itu dengan suara pelan. "Tapi hari ini, saya benar-benar tidak menyangka bisa ada yang membantu."
Pemuda itu mengangguk. "Jangan khawatir, mereka tidak akan mengganggu kamu lagi setelah ini. Yang penting, kamu harus berani melawan dan tidak takut untuk minta bantuan jika perlu."
Mereka terus berjalan, dan semakin dekat dengan rumah remaja itu. Setelah beberapa menit, mereka tiba di depan rumah. "Nah, sampai sini aja," kata pemuda itu, tersenyum. "Pastikan kamu bilang pada orang tua tentang kejadian tadi, ya."
"Iya, kak. Sekali lagi, terima kasih," kata remaja itu, senyum lebar menghiasi wajahnya.
Setelah memberikan salam perpisahan, pemuda itu berbalik dan melanjutkan langkahnya, merasa puas karena bisa membantu seseorang hari ini.
***
"Dia sehebat itu?" tanya Raya setelah mendengar cerita adiknya, Rian.
"Iya, jauh lebih hebat dari kamu, kak," jawab Rian dengan percaya diri.
"Setahu gue, belum ada cowok kayak gitu di sini," kata Raya dengan nada sombong.
"Narsis banget, deh, kak. Di atas langit masih ada langit. Tuh, ada kan yang lebih hebat dari kakak?" balas Rian.
"Orang mana dia? Siapa namanya?" tanya Raya, penasaran.
"Kagak tahu, kagak nanya," jawab Rian sambil mengangkat bahu.
Raya mengerutkan kening, merasa penasaran dengan sosok misterius yang diceritakan adiknya. "Gimana sih, Rian? Kamu pasti ada info lebih tentang dia, kan?"
Rian menggelengkan kepala. "Enggak ada. Dia tiba-tiba muncul, terus berani ngadepin preman itu. Terus, dia langsung pergi. Gak sempat tanya namanya."
Raya merasa tertantang. "Kamu harus cari tahu, Rian!"
"Buat apa?" tanya Rian dengan nada acuh tak acuh.
"Seorang cowok yang bisa ngelawan preman kayak gitu pasti keren, dan bisa jadi teman yang asyik!" jawab Raya dengan penuh semangat.
Rian mencibir. "Males ah, kurang kerjaan aja."
"Jangan gitu! Ini bisa jadi kesempatan kita untuk kenal orang baru," balas Raya, berusaha meyakinkan adiknya.
"Kalau kamu mau, ya silakan. Aku sih lebih suka fokus ke tugas sekolah," Rian menjawab sambil mengalihkan perhatian ke buku yang terbuka di depannya.
Raya menghela napas. "Yaudah, aku yang cari info sendiri. Kamu tinggal tunggu hasilnya!"
"Bodok ahh, suka suka kakak, "
Di sisi lain, Bilal meluruskan pinggangnya di atas tempat tidur, mencoba meredakan kelelahan setelah hari yang cukup panjang. Tubuhnya masih terasa pegal akibat pertarungan tadi, namun ia merasa puas bisa membantu anak SMP yang ditindas. Tatapannya mengarah ke langit-langit kamar, merenung sejenak.
"Mungkin aku terlalu ikut campur urusan orang lain," gumamnya sambil menatap tangannya yang sedikit lebam akibat pertarungan. Namun, di balik itu semua, ada perasaan lega yang tak bisa ia jelaskan. Ia selalu memiliki dorongan untuk membantu orang yang lemah, entah kenapa.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, memecah keheningan. Bilal meraih ponsel itu dan melihat pesan masuk dari temannya, Farhan.
"Bro, ada kabar tentang lo yang ngelawan preman di jalan tadi. Lo beneran?"
Bilal tersenyum tipis dan mengetik balasan singkat, "Iya, ada sedikit masalah tadi. Gak besar, cuma nolong anak SMP."
Farhan cepat membalas, "Gila lo! Gue denger mereka preman kelas berat. Lo gak takut kenapa-napa?"
Bilal menghela napas. "Gue gak bisa diem aja ngeliat orang diganggu. Bukan soal takut atau enggak, gue cuma ngelakuin apa yang menurut gue bener."
Farhan membalas lagi dengan emoji tepuk tangan. "Respect, bro. Tapi lo hati-hati ya. Preman kayak mereka pasti gak bakal tinggal diam."
Bilal hanya tersenyum kecil, lalu meletakkan ponselnya di samping. Dia tahu mungkin akan ada masalah di kemudian hari, tapi untuk saat ini, ia hanya ingin beristirahat. Sebelum matanya benar-benar terpejam, tiba-tiba seorang gadis nyelonong masuk ke kamar tanpa permisi. "Kakak, ayo beli es krim!" katanya setengah berteriak. Ternyata, itu adiknya, Fatimah. Entah sejak kapan dia pulang.
Bilal terlonjak kaget, menatap Fatimah yang berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh semangat. "Fatimah, kamu ngagetin aja. Baru pulang?" tanyanya, berusaha menenangkan diri.
"Dari tadi! Ayooo, Kakak, buruan, ih!" omel Fatimah sambil menarik-narik lengan kakaknya.
Bilal menghela napas panjang. "Kakak capek, Dek," jawabnya lelah.
"Tapi tadi Kakak bilang mau beliin es krim kalau aku mau gantiin Kakak jaga toko!" protes Fatimah, matanya memancarkan tuntutan.
"Iya, iya... tapi besok aja, ya?" Bilal mencoba bernegosiasi.
Fatimah menggeleng keras. "Nggak mau! Sekarang! Ayo sekarang!" desaknya, tak mau menerima penundaan.
Bilal hanya bisa menghela napas lagi, tahu bahwa jika adiknya sudah bersikeras seperti ini, tidak ada gunanya berdebat.
Akhirnya, Bilal menyerah pada desakan Fatimah. Dengan malas, ia bangkit dari tempat tidur dan mengambil jaketnya. “Yaudah, ayo pergi. Tapi cepet, ya,” katanya sambil membuka pintu kamar.
Fatimah bersorak kecil dan langsung berlari ke depan rumah. “Yesss! Kakak terbaik!” serunya dengan semangat, mengenakan sandalnya dengan cepat.
Mereka berdua pun berjalan kaki menuju warung es krim di dekat sebuah taman desa. Malam itu udara terasa sejuk, angin lembut berhembus menyapu wajah mereka. Taman desa tampak tenang, dengan beberapa orang duduk santai di bangku-bangku, menikmati suasana malam. Di kejauhan, terdengar suara anak-anak bermain riang, menambah kehidupan di malam yang damai itu.
"Kak, nanti es krimnya aku pilih yang cokelat ya!" kata Fatimah, melompat-lompat kecil di samping Bilal, penuh semangat.
Bilal tersenyum lelah tapi hangat. "Terserah kamu, Dek. Yang penting kita nggak lama-lama di sini, Kakak udah ngantuk."
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di warung kecil yang menjual es krim. Fatimah langsung bergegas mendekati etalase, matanya berbinar-binar melihat berbagai pilihan rasa es krim.
Pada waktu yang bersamaan, seorang gadis tinggi semampai melintas sambil berjalan santai. Ia mengenakan piyama tidur bergambar karakter Doraemon dengan rambut ikal panjang yang dibiarkan tergerai. Dia adalah Raya.
Raya duduk di bangku taman, membiarkan angin malam menembus pakaiannya. Ia tidak menyadari bahwa sahabatnya, Fatimah, juga berada di tempat yang sama.
Dari kejauhan, Fatimah yang asyik makan es krim sambil mengobrol dengan kakaknya, melihat sosok yang sangat dikenalnya. "Bentar, Kak, aku mau nyamperin teman dulu," katanya sambil melangkah pergi.
Fatimah berlari mendekati Raya dan tersenyum lebar. "Raya! Kamu di sini juga? Aku nggak nyangka ketemu kamu!" serunya. Raya menoleh, terkejut sekaligus senang.
"Fatimah! "
Mereka berdua pun saling berpelukan dengan penuh semangat.
Sementara itu, Bilal yang masih berdiri di depan warung es krim tidak menyadari apa yang terjadi. Dia sedang menunggu Fatimah, tetapi sosok gadis itu terhalang oleh kerumunan orang di sekitarnya.
"Eh, Dek Fatimah! Siapa temannya itu?" Bilal bertanya, ingin tahu siapa yang Fatimah dekati.
Namun, Fatimah hanya melambai-lambaikan tangannya dan berkata, "Nggak apa-apa, Kak! Aku mau ketemu temen!" Dia melanjutkan langkahnya tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Tiba-tiba, Farhan, teman Bilal, datang mendekat. "Yo, Bilal! Lagi ngapain?" tanyanya dengan santai.
Bilal tersenyum, tetapi pandangannya tetap mencari-cari Fatimah. "Lagi sama Fatimah, mau beli es kirim, "
Di saat yang sama, Fatimah sudah menjauh, dan Bilal tidak menyadari bahwa gadis yang baru saja berpapasan dengan Fatimah adalah Raya, gadis yang ia siram dengan air kemarin. Tanpa disadari, pertemuan tak terduga ini sedang berjalan di hadapannya.
Raya mengobrol dengan Fatimah, sementara Bilal dan Farhan berdiri di kejauhan. Mereka sama sekali tidak saling melihat.
"Tumben kamu boleh keluar malam?" tanya Raya, penasaran. Biasanya, Fatimah tidak pernah diizinkan keluar malam, apalagi sendirian.
"Iya, soalnya aku nggak sendiri. Aku sama kakakku," jawab Fatimah sambil menunjuk ke arah kakaknya yang ada di kejauhan. Namun, ketika Raya melihat ke arah sana, yang terlihat adalah Farhan.
"Oh, itu kakakmu," kata Raya, mengira bahwa Farhan adalah kakak Fatimah.
Fatimah pun mengangguk, tidak menyadari kebingungan yang terjadi. "Iya, kakakku," balasnya, sambil tersenyum. Raya tidak curiga lebih jauh dan melanjutkan obrolan mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!