San Fransisco, Sunday 16:45
Netra hazzel dari gadis berambut ikal panjang itu terus memandangi langit yang sedang menumpahkan buliran airnya ke tanah. Cuaca begitu muram di luar sana bahkan ketika ia berada dalam ruangan saat ini. Seharian hujan turun membuat cuaca cukup dingin dan mengganggu berbagai aktivitas orang-orang di luar sana.
"Mungkin lebih baik kau pulang saja duluan, Lili. Istirahat, bukankah besok kau kembali bekerja? Bisa kau lihat tidak banyak orang yang akan datang karena hujan, jadi tidak perlu membantu," ucap pria paruh baya dengan pakaian koki dari balik konter dimana aktivitas memasak dilakukan.
"Baiklah, aku akan pulang sekarang," gadis itu berkata seraya berjalan menuju ke sang pria paruh baya. "Jangan pulang terlalu larut. Love You, Dad," sambungnya yang mencium pipi pria berpakaian koki tersebut.
"Love you too, Sweetheart. Payungmu jangan lupa," balas sang ayah.
Gadis bernama Lili itu memberikan sinyal 'oke' menggunakan jarinya, kemudian mengambil tas selempang dan juga payung dari tempatnya di dekat pintu masuk.
Lili beranjak keluar dari restoran sederhana tersebut setelah melambai kepada sang ayah. Menghela napas keras ketika melihat cuaca sepertinya akan terus hujan seperti ini hingga waktu lama, mungkin sampai pagi. Ia tidak terlalu senang dengan jalanan yang basah, karena sering sekali membuatnya kehilangan keseimbangan dan berakhir memalukan diri sendiri dengan terjatuh. Ia harap hari ini dirinya akan baik-baik saja.
Namun ketika Lili membuka payungnya dan hendak bergegas pulang, kakinya terhenti hanya dalam dua langkah, ketika netranya menangkap sesuatu yang mengejutkan dirinya.
Anak laki-laki yang ia kira berusia sekitar lima atau enam tahunan tengah duduk memeluk kaki di bawah guyuran hujan tak jauh dari pintu masuk. Wajahnya pucat karena kedinginan. Bahkan Lili bisa merasakan ketakutan dalam paras bocah laki-laki tersebut.
"Oh God, apa yang kau lakukan di sini, Adik Kecil." Lili dengan cepat mendatangi bocah tersebut, berjongkok dan memayungi bocah berambut hitam legam tersebut.
Bocah itu meringkuk ketakutan, setengah menangis walau tak terlalu kentara karena air hujan membasahi wajahnya.
Lili bisa melihat tubuh bocah itu gemetar karena takut, meringkuk seolah melindungi tubuh kecilnya dari Lili. Mungkin waspada terhadap Lili sebagai orang yang tidak bocah itu kenal. Dahi sang gadis mengerut melihat gerakan tak biasa dari bocah itu, jelas kalau sesuatu terjadi padanya.
"Hei, jangan takut. Aku bukan orang jahat. Namaku Lili," kata Lili dengan nada selembut beledu, merekahkan senyum hangat agar bocah di depannya ini tidak ketakutan.
Perlahan bocah berambut legam tersebut melihat ke arah Lili, mencoba menilai sang gadis apakah sungguh baik atau justru sebaliknya. Dan sebuah anggukan menjadi jawaban dari bocah itu, menandakan kalau ia tidak merasakan sesuatu yang berbahaya dari Lili. Beberapa kali ia mencuri pandang untuk melihat sosok sang gadis yang duduk kehujanan di depannya, sedangkan payung di tangan sang gadis justru digunakan untuk melindungi sang bocah dari guyuran hujan tak berkesudahan.
"Ikut aku ke dalam sana mau? Di sini dingin, dan kau bisa sakit kalau terus di sini. Tenang saja, ini restoran ayahku. Bagaimana, kau mau?" bujuk Lili tanpa mengubah nada suaranya. Mana tega ia meninggalkan bocah kecil ini sendirian di bawah hujan dengan tubuh yang telah memucat karena kedinginan.
Sebuah anggukan dari sang bocah membuat Lili tersenyum lebih lebar. Senang karena ia mendapati kalau bocah ini mudah diajak bicara walau masih kecil. Mungkin insting sang bocah juga yang membutuhkan tempat hangat dan aman hingga membuatnya mau menerima bantuan dari orang asing seperti Lili.
"Bisa jalan?" tanya Lili.
Gelengan kepala bocah itu lakukan.
Mengerti dengan situasinya, Lili mengangkat perlahan sang bocah dari tempatnya duduk dan menggendongnya dengan mantab seolah ia terbiasa melakukan hal tersebut. Tak banyak bicara, Lili kembali masuk ke restoran yang belum ada sepuluh menit ia tinggalkan.
"Selamat datang. Lili? Kenapa kembali, ada yang terting-" ucapan sang ayah terpotong ketika pria paruh baya itu melihat sosok bocah kecil dalam gendongan anak gadisnya.
"Ayah, aku menemukannya di depan. Dia duduk sendirian di bawah hujan jadi aku membawanya ke sini," jelas Lili.
"Astaga, bagaimana bisa anak sekecil ini di luar sendirian kehujanan." Pria paruh baya bernama Robert Larossa itu segera berlari kecil menuju ke Lili untuk melihat bocah lelaki di tangan anak gadisnya tersebut.
"Aku sendiri tidak tahu. Kurasa tersesat atau buruknya kehilangan orang tuanya ketika di jalan. Dia sangat ketakutan dan kedinginan, sepertinya sudah lama di luar," duga Lili seraya mengelus punggung bocah tersebut.
Robert berlari ke ruangan lain dan keluar tidak lama kemudian dengan sebuah handuk di tangan. Miliknya yang ia taruh di ruang ganti bersama barang-barang lainnya. Dengan cepat ia menyelimuti tubuh bocah tersebut, membuatnya hangat. Bisa ia rasakan ketika tangannya bersentuhan dengan kulit sang bocah, dingin seperti es. Menandakan kalau bocah itu telah lama di bawah hujan di luar sana.
"Bagaimana kalau aku membawanya pulang, Dad? Kasihan dia kalau ditinggal di sini, dan kalau lapor polisi cuaca juga sedang hujan. Jika ada orang tuanya yang mencari sekitar sini, kau bisa meneleponku nanti," pinta Lili yang tidak tega melihat kondisi sang bocah dalam gendongannya.
Awalnya Robert ingin berkata tidak, namun ia tahu dengan jelas bagaimana putrinya itu jika menyangkut soal anak-anak. Dan akan bisa sangat keras kepala jika Robert menolak keinginan sang putri semata wayangnya itu jika menolak membantu bocah di gendongannya.
"Baiklah. Kau bisa mengurusnya di rumah. Aku akan memberitahumu jika ada kabar apa pun mengenai anak hilang," kata Robert akhirnya.
"Terima kasih, Dad." Senyum merekah indah di wajah gadis itu ketika ia mendapatkan izin dengan mudah untuk membawa bocah kecil tersebut untuk pulang. Tentu ia tidak bisa meninggalkan bocah sekecil itu yang ketakutan dan kedinginan di restoran dan harus diinterogasi oleh polisi.
Setelah itu, Lili langsung bergegas untuk pulang. Ia berjalan menuju ke parkiran restoran dan masuk ke dalam mobil SUV miliknya, menempatkan bocah itu di kursi penumpang dan memakaikan sabuk pengaman dengan tepat. Buru-buru ia berlari ke kursi pengemudi dan menaikinya, menghidupkan mesin dan juga penghangat demi sang bocah.
"Kid, ke rumah aunty, ya. Kita pulang, ganti pakaian, dan makan di sana, kau mau?" Lagi, Lili bertanya kepada bocah itu, tidak ingin egois jika bocah itu tidak menginginkannya mengingat Lili hanyalah orang asing baginya.
Namun anggukan dari kepala sang bocah melegakan hati Lili. Ia segera mengemudikan mobilnya kemudian melesat ke jalanan menembus hujan. Sesekali ia melihat ke arah sang bocah, memerhatikan kondisinya yang masih dalam balutan handuk. Terlihat sekali raut tidak tenang, dan lelah di paras sang bocah. Berpikir bagaimana bisa anak sekecil itu sendirian di luar dalam hantaman hujan.
...***...
San Fransisco, Sunday 17:30
Pintu kayu besar yang terbuka dalam sebuah rumah besar dengan arsitektur modern, kini menampakan sosok setinggi seratus depan puluhan sentimeter, dalam balutan jas yang tak dikancingkan, serta dasi yang tak lagi rapih. Raut wajah yang ditunjukan membuat siapa pun tahu kalau pria tersebut sedang murka. Bahkan ketika ia diam, tatapan matanya sanggup membuat orang di sekitarnya tak berani sekedar mengangkat kepala untuk melihat sosok tersebut.
"Rion, sepertinya Lucas melarikan diri dari para penculik. Mobil Van yang menculik Lucas siang tadi telah ditemukan dan para penculiknya sudah diamankan. Dan kata mereka Lucas berlari ketika mereka sedang mengeluarkan barang dari dalam mobil di Baverlly Hill Street. Sampai sekarang Lucas tidak ditemukan dimana pun," jelas pria berkemeja hitam dengan lengan baju di gulung hingga siku.
"Sial! Tidak peduli bagaimanapun caranya temukan Lucas sekarang juga, Dante. Turunkan semua orang untuk mencarinya, tanyakan pada orang di sekitar daerah tempatnya menghilang. SEKARANG!" perintah pria bernama Rion tersebut. Seolah amarahnya tak lagi terbendung setelah mendengar anaknya diculik dan kali ini menghilang entah kemana tanpa ada yang tahu.
"Baik," sahut pria bernama Dante yang segera beranjak pergi dari ruang kerja Rion. Tak ingin membuang banyak waktu, terutama ketika atasannya itu sedang murka.
Rion menjatuhkan dirinya ke kursi kulit di balik meja kerja yang penuh dengan berkas. Ia menyurukkan tangan ke rambut, dan mengusap wajahnya dengan keras, frustrasi karena ketiadaan anaknya yang entah ada dimana.
Matanya terus melihat ke luar jendela yang basah karena hujan. Pikiran buruk bermain di kepala mengenai keadaan bocah kesayangannya di luar sana. Sendirian, dalam keadaan hujan. Takut kalau anaknya bertemu dengan orang jahat dan melakukan tindakan tak diinginkan. Agh, memikirkannya saja sudah membuat seorang Rion takut.
"Kumohon, tetaplah selamat di luar sana, Nak," ucap Rion, berdoa akan keselamatan bocah lima tahun yang merupakan anaknya bernama, Lucas.
Senin pagi, hari dimana harusnya semua orang bekerja, namun tidak untuk Lili hari ini. Ia memilih untuk mengambil cuti libur demi bocah lima tahun yang kini tinggal bersamanya.
Lili telah mendapati kalau bocah kecil tersebut bernama Lucas, dan berusia lima tahun setelah bersusah payah bertanya tentangnya semalam. Walau tidak banyak informasi yang ia dapatkan dari bocah tersebut. Masih ada keraguan dan juga keterbatasan untuk seorang anak berusia lima tahun mengingat apa saja yang orang lain butuhkan mengenai anak hilang.
"Bagaimana pancake-nya, enak?" tanya Robert yang dengan baik hati memasakan sarapan untuk putrinya dan juga bocah kecil ini.
"Enak," jawab Lucas malu-malu dengan mulut penuh akan makanan.
"Lucas, boleh aunty gigit tidak pipinya? Kenapa kau begitu menggemaskan," ujar Lili yang sejak tadi tanpa jenuh terus memandangi Lucas.
Siapa sangka setelah mandi dan bersih, ternyata Lucas merupakan anak yang tampan, bahkan kulitnya begitu terawat. Dengan mata bulat besar dengan pupil biru serta semu rona tipis di pipi gembul itu, sanggup membuat Lili yang sangat menyukai anak-anak jadi begitu gemas. Ditambah sikap Lucas yang luar biasa sopan, walau malu-malu dan kadang takut akan beberapa hal sepele, seperti ketika mendengar Robert bersin dengan suara keras.
"Berhenti menakutinya, Lilipad," ujar Robert seraya mengetukkan sendok di kepala sang gadis.
"Aku tidak menakutinya. Lihatlah bagaimana menggemaskannya Lucas. Bagaimana kalau dia menjadi anakku saja, Dad," celetuk Lili.
"Berhenti berkata yang tidak-tidak dan habiskan makananmu, masa kau kalah dengan anak kecil," perintah sang ayah.
"Baik, baik." Lili menuruti ucapan Robert, makan dengan tenang walau sesekali terus menggoda dan menatap Lucas.
Robert mengatakan kalau ia belum mendengar atau menemui orang yang berurusan dengan anak hilang kemarin. Bahkan ia tutup lebih malam restorannya, takut kalau-kalau ada yang mencari keberadaan Lucas. Namun nihil.
Dan sepertinya Lucas juga tidak banyak bicara, seakan tidak berani untuk berkata banyak selain anggukan dan gelengan kepala. Hal itu membuat Robert dan juga Lili khawatir kalau mereka berdua membawa Lucas ke kantor polisi dalam keadaan mental sang bocah belum stabil. Bisa jadi karena sendirian di luar dalam waktu lama membuat bocah itu menjadi takut untuk terbuka kepada orang lain, terutama Lili dan Robert yang masih tergambar sebagai orang asing di pikiran bocah lima tahun tersebut.
"Kau ingin mengajaknya keluar?" konfirmasi Robert setelah mendengar bahwa putrinya akan membawa Lucas keluar hari ini.
Lili menganggukan kepala seraya mengunyah sarapannya dan berkata, "Aku akan membelikannya beberapa pakaian. Dia tidak bisa terus memakai pakaianku saat kecil seperti ini. Dan dia juga butuh pakaian hangat, ini sudah masuk musim gugur, ditambah hujan sering turun. Kita juga belum tahu sampai kapan akan menemukan orang tuanya."
"Terserah kau saja, pastikan untuk tetap dekat dengan bocah itu. Jangan lengah apalagi sampai kehilangannya," kata Robert serius.
"Siap, Dad!"
Setelah selesai sarapan. Lili membawa Lucas di ruang keluarga, menonton televisi bersama di sofa dengan Lucas yang merebahkan tubuhnya pada Lili. Senyum gadis itu terukir jelas mendapati tingkah Lucas. Jujur saja ini pertama kalinya mendapati bocah seusianya yang tenang dan juga tidak banyak tingkah. Seakan bocah itu takut untuk melakukan apa yang ia inginkan. Karena bagaimanapun, insting anak-anak untuk bermain selalu ada dalam diri setiap anak. Bukankah lima tahun adalah usia dimana anak-anak mulai ingin tahu banyak hal, bereksplorasi lebih akan semua hal. Namun di mata Lili, Lucas tidak seperti itu. Dan itu cukup mengherankan.
Namun Lili tidak terlalu memusingkannya. Mungkin apa yang terjadi pada Lucas kemarin menimbulkan sedikit trauma, dimana bocah tersebut sampai duduk sendirian dalam hujan yang entah kerena kehilangan orang tuanya atau tersesat, entahlah Lucas belum mau buka suara tentang itu.
Dan seperti yang diucapkan oleh Lili pagi tadi kepada ayahnya kalau ia akan membawa Lucas keluar, kini ia lakukan.
Lili mengemudikan mobilnya ke toko pakaian terdekat. Bisa ia lihat cuaca di luar masih mendung dan gerimis, alasan kenapa ia kekeh ingin membelikan pakian untuk Lucas.
"Luca?" panggil Lili yang heran ketika bocah itu hanya diam mematung ketika berada di dalam toko.
Bisa terlihat raut ketakutan dan tidak nyaman pada diri Lucas. Netra aquamarine miliknya nanar memandangi semua orang, seolah takut akan orang-orang di dalam ruangan itu akan menerkamnya. Ia hanya memainkan ujung pakaiannya, berdiri diam dengan alis bertaut.
Tahu akan apa yang terjadi, Lili segera mengangkat tubuh bocah lima tahun tersebut dan menggendongnya. Ia menepuk punggung Lucas ketika bocah itu melingkarkan tangannya di leher Lili dan memeluk gadis itu tanpa ada niat mengendurkannya atau pun melepaskannya.
"Tidak apa-apa, ada aku di sini. Kau aman, jadi tenang, oke," ucap Lili yang lagi-lagi dengan nada lembut.
Jelas kalau Lucas takut akan kehadiran orang lain, khususnya orang dewasa yang memiliki tinggi jauh dari dirinya. Lili bahkan ingat ketika Lucas menangis ketika melihat Robert yang baru pulang ke rumah semalam. Hal itu berhasil membuat Robert kalang kabut karena tidak tahu apa yang telah ia perbuat hingga membuat bocah lugu itu menangis sedemikian rupa.
"Kita beli pakaian dulu, habis itu kita beli es krim, kau mau?" bujuk Lili yang berjalan menuju ke bagian pakaian anak-anak.
Sebuah anggukan Lucas berikan.
"Anak pintar," puji Lili.
Lili membeli beberapa pakaian untuk Lucas. Pakaian untuk keluar rumah, pakaian di rumah, pakaian tidur, dan juga jaket dan sepatu untuk sang bocah. Ia bahkan segera memakaikan pakaian baru untuk segera dikenakan oleh Lucas, membuat bocah lima tahun itu benar-benar tampak seperti model anak-anak. Hingga Lili harus bergegas pergi dari toko pakaian tersebut ketika sosok Lucas menarik perhatian semua orang di sana. Beberapa bahkan mendekat untuk melihat Lucas dari jarak yang mudah dipandang.
Dan saat itu juga Lili mendapati kalau Lucas sepertinya memiliki ketakutan berlebihan terhadap orang, khususnya orang ramai. Terlebih lagi ketika ia melihat pria yang mendekatinya. Lucas akan langsung menangis ketakutan hingga tubuhnya gemetar. Jelas kalau itu bukan respon yang bagus dan sudah pasti berhubungan dengan mental sang anak, yang entah karena apa pemicunya.
"Kita pergi ke supermarket saja dan beli apa pun yang Lucas mau, oke?" kata Lili yang berusaha membangkitkan kembali semangat Lucas, mengeluarkannya dari ketakutan yang menyelimuti diri bocah itu. Melihatnya saja membuat Lili sedih, seakan Lili tahu alasannya namun menepisnya karena tidak ingin berpikir tidak masuk akal.
Akan tetapi, sebuah tangan di pundak sang gadis menghentikan langkah gadis itu menuju ke mobilnya.
"Ya?" tanya Lili dengan wajah bingung ketika mendapati pria tinggi berpakaian rapi dengan jas, ditambah beberapa pria nyaris berpakaian serupa semua, berjas dan hitam-hitam.
"Bisa ikut bicara sebentar?" kata pria tersebut sopan.
Lili menganggukkan kepala. Ada sikap waspada pada gadis itu sekarang. Bahkan kedua tangan Lili yang menggendong Lucas kini memeluk bocah itu lebih erat, berusaha melindunginya dari segala hal yang tak diinginkan nanti.
"Tuan Lucas?" panggil pria berambut perunggu di depannya ini dengan nada lembut penuh penghormatan.
Dan sang empunya nama pun menoleh kepalanya untuk melihat ke arah pria itu, walau masih sedikit menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Lili.
"Ayah Anda sangat mengkhawatirkan Anda saat ini, Tuan Lucas. Bagaimana kalau kita pulang sekarang?" kata pria tersebut.
Lili menyipitkan matanya, dan memutar sedikit tubuhnya bahkan mengambil dua langkah mundur untuk menjaga jarak dari pria-pria di depannya ini. Waspada dengan teramat sangat, terutama ketika pria itu tahu bocah yang digendong Lili ini bernama Lucas.
"Siapa kalian? Dan mau apa dengan Lucas?" tanya Lili dengan wajah garang.
"Kami bawahan ayah Tuan Lucas. Tuan Lucas sudah menghilang sejak kemarin, dan kami telah mencari kemana-mana," jawab pria tersebut.
"Mana buktinya?" tantang Lili yang tidak begitu saja percaya.
"Bisa tanyakan sendiri langsung ke Tuan Lucas," kata pria tersebut.
Lili mengelus punggung Lucas kemudian bertanya, "Lucas, apakah kau mengenal paman ini? Apa benar dia dan yang lainnya kenal dengan ayahmu?"
Lucas melihat ke arah sang pria lalu mengangguk. "Dante," kata Lucas seraya menunjuk pria berambut perunggu tersebut.
"Jadi, Tuan Lucas, ayo kita pulang," ajak pria bernama Dante tersebut.
Kalimat itu terdengar tidak menyenangkan untuk Lili. Membayangkan harus melepaskan Lucas setelah ia mulai menyukai bocah itu, Lili tidak suka. Tapi ia tidak boleh egois jika Lucas memang ingin pulang dan kembali bersama keluarganya. Lalu kenapa Lili merasa tidak rela sekarang?
Kini Lili berdiri di depan sebuah rumah besar nan megah, dengan pekarangan besar juga terawat. Napas gadis itu seperti tersangkut di tenggorokan ketika mendapati kalau pria bernama Dante ini membawa dirinya ke tempat yang tidak pernah gadis itu sangka ketika mengatakan akan menemuiku dengan ayah Lucas.
Lucas sendiri masih bergelayut manja dalam gendongan Lili, melingkarkan tangan kecilnya pada leher sang gadis tanpa ada niat melepaskan. Namun bisa terlihat bocah itu tampak tenang, jauh lebih tenang ketika ia berada di rumah Lili pagi tadi.
"Tuan Lucas, biar saya yang menggendong Anda," kata Dante yang berdiri mendekat ke sang gadis seraya mengulurkan tangan untuk mengambil bocah lima tahun itu.
"Tidak mau, Dante jelek," tolak Lucas langsung.
Dante terdiam mematung mendengar penolakan dari majikan kecilnya itu. Tentu itu bukan penolakan pertama. Lucas tidak ingin digendong oleh Dante karena pria tinggi itu pernah memeluk sang bocah begitu erat dan membuatnya marah saking gemasnya pria tersebut kepada Lucas. Sejak itu Lucas selalu menolah harus digendong Dante jika tidak dalam kondisi darurat.
"Pfftt." Terdengar Lili yang tak sengaja hendak tertawa mendengar penolakan Lucas barusan. Ia berusaha mati-matian agar tidak tertawa di depan Dante walau ia bisa melihat kalau pria itu menatap protes Lili karena menertawakannya.
"Sebaiknya kita segera masuk ke dalam," suruh Dante akhirnya. Menyerah membujuk Lucas untuk mau dengannya.
Kedua alis Lili terangkat ketika ia melihat bagaimana keadaan di dalam rumah itu. Mewah. Satu kata itu benar-benar menggambarkan suasana dalam rumah. Terkesan sederhana, namun jelas kalau barang-barang di dalamnya bukanlah barang murah. Ditata dengan luar biasa artistik, bersih dan wangi. Membuat Lili menelan ludah dan takut sekedar menginjakan kaki ke dalam rumah tersebut.
"Apa ini benar rumah Lucas?" tanya Lili ke Dante, tidak percaya.
"Benar. Tuan Lucas anak satu-satunya dari pemilik rumah ini. Dia tumbuh besar di sini sejak lahir," jawab Dante.
Lili mengangguk mengerti, dan semakin yakin ketika ia melihat foto-foto Lucas terpajang di figura indah di atas lemari pendek di sudut ruang tamu.
"Kita ke sini. Ayah Lucas sudah menunggu di ruang kerjanya." Dante mengarahkan Lili ke sebuah ruangan dekat tangga, berpintu kayu besar yang diukir sedemikian rupa hingga menyatu dengan gaya rumah ini.
Begitu Dante membuka pintu, bisa Lili lihat seorang pria duduk di balik meja kerjanya. Namun, sosok tersebut sanggup membuat Lili menghentikan langkah di ambang pintu dengan dahi berkerut.
Pria dengan tubuh tegap serta warna rambut serupa dengan Lucas tersebut kini mengangkat kepalanya dari kertas yang ia geluti sejak tadi. Mata biru menatap Lili dengan tajam, penuh penilaian dan raut marah di dalamnya.
LIli kenal dengan baik pria tersebut. Sosok yang jelas memiliki hubungan darah dengan Lucas, seakan versi Lucas dewasa. Tidak menyangka kalau Lili akan bertatap muka secara langsung dengan pria yang merupakan pemilik perusahaan ternama di San Fransisco, tempat dimana Lili bekerja.
"Bos?" ucap Lili spontan ketika melihat atasannya duduk di balik meja kerja tersebut.
Sebelah alis pria tersebut terangkat. Ia berdiri dari kursi kulitnya, berjalan menuju ke arah sang gadis yang sedang menggendong putra kesayangannya.
"Kenalkan Beliau adalah ayah Lucas, Rion Lorenzo. Dan Rion, ini Nona Liliana Larossa, orang yang menemukan Lucas serta yang menjaganya hingga detik ini," kata Dante yang memerkenalkan kami berdua.
Rion terus menatap Lili, menilai gadis tersebut dari ujung rambut hingga kepala. Baginya tidak terlihat kalau gadis itu merupakan orang dengan niat jahat, namun ia tidak percaya dengan matanya.
"Lucas?" panggil Rion dengan suara bass namun terdengar lembut dan penuh sayang ketika menyebut nama bocah lima tahun tersebut.
Lucas yang sejak tadi bergelayut diam di gendongan Lili kini menoleh untuk memandang wajah sang ayah.
Rion mengulurkan tangan, mengambil Lucas dari gendongan Lili. Tentu Lucas langsung menyambut sang ayah hingga bocah itu kini telah berpindah ke gendongan pria berambut legam tersebut.
Lili hanya melihat bagaimana Rion menggendong Lucas dengan baik, jelas kalau pria itu telah terbiasa menaruh Lucas dalam dekapan tangannya. Tak ada keraguan sedikit pun ketika ia menggendong Lucas apalagi tidak nyaman.
"Kau pasti ketakutan, kan? Kau membuatku khawatir setengah mati, Nak," ucap Rion sambil mengelus kepala Lucas.
"Orang jahat membawa Lucas pergi dengan mobil. Lucas tidak suka mereka jadi Lucas pergi," kata Lucas untuk pertama kalinya ia mengatakan apa yang terjadi.
"Berani sekali mereka menculikmu dariku, akan ayah pastikan mereka membayarnya dengan harga pantas," kata Rion berusaha menutupi nada marahnya, tak ingin sampai Lucas melihat sisi buruk Rion walau sedikit saja.
"Menculik?" Lili terkejut mendengar penuturan dari Rion barusan, tak menyangka kalau Lucas sampai terlantar di jalanan karena penculikan bukannya tersesat.
Rion menatap Lili, terlihat sekali ada banyak yang ingin ia katakan dan juga cari tahu dari gadis itu tentang Lucas dan bagaimana ia bisa bersama dengan anaknya tersebut.
"Lucas, ayah ingin bicara dengannya. Kau kembali ke kamar dan istirahat, oke," suruh Rion dengan nada selembut satin.
Lucas menatap Lili, tak ingin pergi tanpa gadis itu.
"Nanti ayah akan kembalikan Lili pada Lucas, kan?" tanya Lucas dengan wajah khawatir kalau-kalau gadis itu akan pergi begitu saja.
Rion menatap Dante dan mendapatkan anggukan dari tangan kanannya tersebut. "Iya, nanti akan ayah kembalikan. Kau kembali bersama Dante ke kamar," katanya.
Dahi Lucas berkerut menatap Dante, tidak suka dengan ide kalau pria itu yang akan mengantarnya ke kamar. Namun sebaliknya, Dante justru tersenyum lebar entah karena apa. Mungkinkah sekedar mengantar Lucas ke kamar dapat membuat pria jangkung itu senang setengah mati?
"Lucas jalan saja, tidak mau di gendong Dante."
Kekecewaan tergambar jelas di wajah Dante yang untuk kesekian kalinya mendapat penolakan dari Lucas yang tidak mau di gendong olehnya. Sepertinya kekesalan Lucas terhadap Dante benar-benar mendarah daging untuk bocah menggemaskan itu.
"Lili, nanti ke kamarku, ya. Aku punya banyak mainan," kata Lucas malu-malu.
Agh, ingin sekali Lili memeluk erat Lucas dan menciumi pipi gembulnya itu. Betapa menggemaskannya Lucas setiap kali bicara malu-malu dengan rona tipis di wajahnya itu. Pantas saja, semua orang di toko pakaian tadi begitu antusias ingin melihat Lucas dari dekat. Bocah itu memang sulit untuk ditolak kehadirannya.
"Iya, nanti aku akan ke sana jika di izinkan," jawab Lili dengan senyum terbaiknya.
Lucas hanya mengangguk, kemudian berjalan pergi meninggalkan ruangan bersama dengan Dante yang masih berusaha membujuk agar dapat menggendong tuan mudanya itu. Walau tentu saja berkali-kali pula di tolak oleh Lucas yang kesal dan justru menyuruh agar Dante menjaga jarak.
Suara langkah yang mendekat ke arahnya membuat Lili yang menatapi kepergian Lucas langsung menoleh ke sumber suara.
Ia terkejut ketika mendapati Rion telah berdiri di hadapannya. Lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba pria tersebut mencengkeram leher Lili dengan kuat.
"Jadi katakan sekarang apa tujuanmu mendekati anakku? Aku yakin bukan kesengajaan kau menemukan Lucas dan mau menjaganya. Kau jelas tahu siapa Lucas, kan," kata Rion yang terus mencengkeram leher sang gadis.
Lili tercekat, masih memeroses apa yang sebenarnya terjadi. Namun cengkeraman di lehernya benar-benar tidak main. Ia berusaha untuk melepaskan tangan besar itu, namun sia-sia. Tatapan marah Rion terlihat jelas, membuat gadis itu gemetar takut hanya dengan sekali lihat.
"Le ... pas," pinta Lili dengan usaha keras untuk mengeluarkan suara. Ia mulai kesulitan bernapas sekarang.
Namun cengkeraman di leher itu tidak juga mengendur, justru semakin membuat Lili kekurangan oksigen yang masuk ke paru-parunya.
Sial, apa yang sebenarnya terjadi?! batin Lili menjerit keras atas apa yang ia dapatkan. Tidak mungkinkan pria di depannya ini akan membunuhnya di sini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!