Selamat membaca, semoga kalian terhibur.®
__________
Mobil putih tersebut baru saja menghilang di ujung gang Kenanga, sementara aku masih mematung menatap ujung gang tersebut dengan bibir gemetar, menahan amarah.
Selang beberapa detik kini aku telah berada di dalam kamar. Mematut wajah di cermin, memoles makeUp natural dengan sedikit lipstik berwarna nude agar terlihat serasi dengan gamis berwarna nude yang aku gunakan. Tak lupa aku menyelip bros berbahan mutiara di sisi kiri hijab. Kemudian mengambil tas kecil diatas meja. Kembali aku mematut diri di cermin, sempurna. Ia sempurna ... pikirku.
_____
Namaku Arini Valencia, mantan karyawan pada salah satu BUMN kota ini, kota kecil yang terletak di tengah-tengah pulau dengan keindahannya bak surga. Aku baru saja di pecat karena tuduhan percobaan pembunuhan terhadap pak Indra, atasanku waktu itu.
Bukan hanya itu, aku bahkan harus menelan pil pahit, di fitnah menggelapkan sejumlah dana kantor tempatku mengabdi. Sungguh miris.
Tak ada yang mendengarkan penjelasanku. Beruntung, kasus ini tidak sampai berakhir di penjara, karna salah satu dari teman sekantor--Riski Adetya, bersedia menjadi jaminan bahwa uang yang hilang tersebut akan di gantikan olehnya.
Namun, tentu saja itu semua tidak serta merta gratis, ada harga yang harus dibayar atas kebaikan pak Riski tersebut. Sungguh! Tidak ada yang percuma di dunia ini.
______
Sebuah kafe dengan nuansa etnik menjadi tempat tujuanku kali ini.
Setelah memarkirkan mobil hitam, mobil peninggalan Almarhum ayah, aku bergegas masuk, sementara pandanganku menyapu seluruh ruangan kafe, nomer 20, itu nomer meja janjian dengan Riski.
Meja tersebut masih kosong. Aku bersyukur kali ini tidak terlambat. Tapi bukankah memang selalu tepat waktu? salah satu nasehat Almarhum ayah yang masih aku amalkan sampai sekarang, "waktu adalah mutiara, ia sungguh sangat berharga, Nak! Maka jangan pernah kamu sia-siakan." begitulah ayah mengatakannya saat itu.
Ah, aku rindu padamu, Ayah!
Sudah lewat sepuluh menit aku duduk di kursi meja 20, ditemani secangkir kopi yang mulai dingin karena tak tersentuh. Namun, sialnya Riski belum juga muncul.
20 menit, 30 menit dan kini sudah 2 jam menunggu, masih tidak ada tanda-tanda bahwa Lelaki itu akan menemuiku.
Beberapa kali mengecek WAG dan akun media sesosial miliknya, berharap ada sebuah petunjuk tentang aktivitas laki-laki dingin itu hari ini, namun, semua akses untuk menghubungkanku dengan Riski seakan tertutup. Akunnya bahkan tidak aktif 3 jam yang lalu.
Setelah meletakkan uang 50 ribu di meja kasir, aku menuju mobil.
____
"Nona sudah pulang?" sapa bik Ijah, asisten rumah tangga dirumah.
"Hum! tolong Bibi buat saya secangkir teh hijau, dan jangan lupa, tanpa gula." pintaku dengan suara lembut.
"Baik, Non"
Bi Ijah berlalu kearah dapur untuk menyiapkan secangkir teh, sementara aku masuk kamar.
Merebahkan sejenak tubuh keatas kasur sambil menatap langit-langit kamar membuat kelelahankan sedikit berkurang.
Apakah Riski sengaja tidak memenuhi janji dengan ku? Lalu kenapa? Apa ia ingin mengerjaiku?
Bermacam pertanyaan muncul begitu saja dalam benak ini.
Suara pintu kamar terbuka, membuyarkan lamunanku, nampak Bi Ijah meletakkan secangkir teh di atas meja dengan hati-hati.
"Buruan di minum, Non! nanti keburu dingin"
"Hum, baik, Bik!"
"Ada lagi yang harus Bibi buat, Non?"
"Tidak, tidak ada, Bik!" aku bangkit dan meraih cangkir minuman tersebut, sementara bi Ijah keluar untuk melanjutkan pekerjaannya.
Drrtt!
Gawai yang sejak dari tadi berada di dalam tas tangan, bergetar. Sebuah pesan dari Riski masuk.
[Kita harus bertemu sekarang],
Membaca pesan dari Riski tersebut membuatku merasa ingin membanting gawai saja.
'Tahan, Rini, tahan!' gumamku, kemudian mulai mengetik balasan.
[ Tapi pak, tadi pagi saya sudah menunggu bapak di Kafe Seilena selama tiga jam] send!
Nampak dilayar, Riski sedang mengetik ...
[ Saya tunggu kamu 15 menit lagi, di restoran N&F]
[Apa tidak bisa besok saja, saya baru saja kembali kerumah], send ...
Setelah pesan terkirim, tak ada lagi tanda-tanda jika Riski akan membalas pesanku lagi. Hanya centang biru yang ia berikan, sebagai tanda bahwa pesan tersebut telah selesai ia baca.
Aku mulai khawatir, bagaimana jika Riski ingin membahas masalah yang penting?
'15 menit, ya, saya harus sampai disana 15 menit lagi'
Aku meraih tas kembali dan berlalu meninggalkan kamar.
"Mau kemana lagi, Non?" tanya bik Ijah dari ruang tengah. Ia terlihat sedang sibuk menyetrika setumpuk pakaian.
"Saya keluar sebentar, ya, Bik!" jawabku sambil terburu-buru, dengan pikiran dipenuhi dengan berbagai pertanyaan.
Membuka pintu depan dan menutupnya dengan cepat.
Bruuk!
"Astarqfirullah, ya Allah"
Aku begitu terkejut karna tanpa sengaja menabrak dada bidang seseorang yang berdiri tepat di depan pintu utama, dada yang lebih pantas di katakan tembok.
Aku mendongakkan wajah, melihat siapa pemilik tubuh kekar tersebut.
"Riski! pa-pak Riski?" pekikku karena kaget dan seolah tidak percaya.
Sementara Riski tak menghiraukan kata-kataku, ia sibuk membenarkan jasnya yang agak kusut karna insiden tabrakan tadi.
Lelaki itu menggunakan jas hitam dan celana slim berwarna sama di padu dengan dasi berwarna biru dongker. Meski sikapnya dingin, tetap saja Ia terlihat cool dan berwibawa walaupun aku tidak mau mengakuinya.
Setelah memastikan semuanya rapi, sepasang netranya yang berwarna hitam kecoklatan menatap wajahku yang sedikit tegang. Sementara aku masih terdiam, mencoba merangkai kata maaf untuk kuucapkan.
"Boleh aku masuk?" tanya Riski dengan telunjuk mengarah ke pintu.
"Oh, maaf pak! Boleh, silahkan!" jawabku sambil cengengesan sekaligus kesal dengan sikap dinginnya.
Riski masuk mendahului tubuhku yang sejenak mematung. Tanpa kata, tanpa basa-basi.
Wangi parfum dari tubuhnya beraroma oceanik begitu menyegarkan dan alami seperti laut yang dingin atau linen.
"Dasar orang aneh" gumamku, lalu melangkah mengikutinya.
"Aku bisa denger apa yang kau omongin." ketus Riski dari arah dalam, kemudian ia menubrukkan tubuhnya keatas sofa.
Aku mendecak sebal, kemudian memilih masuk dan duduk tepat di hadapan Riski.
"Pak Riski mau minum apa?"
"Terserah tuan rumah!" Jawabnya ketus.
'Cih, terserah tuan rumah!' batinku dengan memicingkan mata.
"Ok well, bagaimana dengan tawaran saya hari itu? Sudah kamu pikirkan? Dan sayangnya aku butuh jawaban sekarang juga, atau ..."
Riski menghentikan ucapannya. Bibir indahnya ia biarkan sedikit mengerucut.
"Atau apa?"
"Jawab saja, ya atau tidak."
Aku paham betul dengan apa yang sedang lelaki sombong itu bicarakan. Ingatanku kembali pada perkataan Ruka--sekretarisnya Riski, tadi pagi.
'Kau harus bersedia menjadi kekasih bohongannya pak Riski. Berlakon dengan sempurna di hadapan keluarganya terutama di hadapan nyonya Dwi Anjana Ningsih --omanya pak Riski, beliau adalah pemilik Perusahaan Yuka- Yuka Group.
"Hei, apa kau sedang berada di dunia lain?" tanya Riski sambil menjentik jarinya ke hadapanku. Menarikku dari lamunan.
"Ba-baiklah, Pak! Saya terima tawarannya, tapi saya mau ada perjanjian di atas hitam dan putih, dan isinya tidak boleh memberatkan pihak manapun."
"Ok!"
Lelaki itu bangkit dari tempat duduk, mengaitkan beberapa kancing jas kelubang masing-masing. Kemudian berlalu menuju mobil, tak ada kata pamit atau basa-basi. Semenit kemudian, mobil berwarna kuning itu telah menghilang dari halaman rumah.
Aku berdecak kesal. "Ck, Dasar makhluk aneh."
Bersambung ....
______________
Hai Reader!😀
Tq yach!🤗 atas dukungan kalian buat Cinta Arini. Author jadi tambah semangat buat ngehalu. Hehe.
Jangan lupa untuk ngetap tombol like dan memberikan komentar terbaik kalian supaya author tambah semangat lagi.
Oa, Selain Cinta Arini. Mak author juga punya karya satu lagi yang masih bayi. Namanya Takdir Cinta Adinda. Jika ada waktu luang, Mampir ya.
Baiklah, cukup sampai di sini intermezo unfaedah ini. Semoga bisa menghibur kalian semuanya.
Salam cinta untuk kalian semuanya!🤗🤗
Selamat membaca, Semoga kalian suka.💌
__________
Sudah seminggu berlalu. Lelaki itu tidak menghubungi atau mengganggu kehidupanku.
"Bik, saya keluar sebentar, apa ada sesuatu yang ingin Bibi pesan?" ucapku sambil berlalu menuju pintu depan.
"Baik, Non! Non Rini jangan lupa, nanti malam ada jamuan makan malam di rumah Ibuk."
Mendengar perkataan Bik Ijah, membuat aku menghentikan langkah sesaat, tanpa menjawab, lalu melanjutkan langkah kembali.
Ibu yang bi Ijah maksudkan adalah Mama Damia, wanita perparas cantik dengan tinggi semampai yang telah merawatku mulai 24 tahun yang lalu.
Setelah pertengkaran hebat dengan ayah malam itu, ia lebih memilih pergi dan menikah dengan duda kaya serta tinggal bersamanya. Semenjak saat itu, aku hidup dengan ayah,
Bersyukur. Ayah memiliki usaha mebel sebagai mata pencahariannya.
Meski usahanya terbilang kecil dan sulit berkembang, namun dari hasil usaha itulah kami mencukupi kebutuhan hidup hingga biaya pendidikanku.
______
Malam sudah mulai manampakkan kesunyian saat aku baru saja siap mandi. Mengganti pakaian dan memoles sedikit makeUp dengan penutup lipstik berwarna merah jambu.
Malam ini aku menggunakan gamis berwarna hitam dengan taburan swaroski di bagian pinggang dan pangkal lengan. Berbahan sifon lembut. Aku memadunya dengan pasmina berwarna pick. Tak lupa menyelipkan bros kesayanganku, bros mutiara hadiah ulang tahun ke 15 dari Ayah.
"Bi Jah! Mungkin malam ini saya akan pulang sedikit larut!" ucapku sambil berlalu meninggalkan setiap inci ruangan rumah sederhana ini.
Tujuan malam ini adalah rumah Mama, wanita yang telah meninggalkan diriku saat aku masih begitu membutuhkan figur seorang ibu. Ia lebih memilih si duda kaya.
Masih teringat dengan jelas, di mana Rini kecil menangis sesunggukan saat sang mama pergi sambil menyeret koper berukuran besar.
*****
Semua telah berkumpul di meja makan, tanpa kecuali aku, juga kedua adik tiriku -Salsa dan Bagas.
"Jadi bagaimana Rin?" tanya Mama, aku yang sedang memotong stik, seketika menghentikannya.
"Maksud, Mama?"
"Tawaran dari Papa, untuk mengisi posisi manager marketing yang sedang kosong." ucap Papa Heru, menimpali.
Papa Heru merupakan pemilik bisnis restoran cepat saji. Telah memiliki puluhan cabang yang tersebar di beberapa kota. Bisnis kuliner yang bertema masakan khas daerah yang di tekuninya tersebut kian berkembang pesat hingga sekarang.
Beberapa kali Mama memaksaku untuk ikut berkecimpung di dalamnya. Tapi, aku menolak dengan alasan tidak tertarik sama sekali.
Lagi pula, membiarkan diri menggeluti sesuatu yang tidak kita sukai, sama saja dengan membuat hidup menjadi tidak bahagia. Bukankah begitu?
"Kak Rini, ayolah. Kakak terima saja tawaran Papa kami itu." ucap Salsa, kemudian menyendok makanan kemulutnya.
"Ck! Papa kami!" gumamku tersenyum sinis, kemudian meneguk sedikit minuman. Gerah rasanya.
"Salsa! Ayo habiskan makanan di piringmu." Ucap Mama ketus.
"Jadi, bagaimana Rin?" tanya Mama lagi dengan sedikit penekanan.
"Maafkan Rini, Ma. Saat ini belum terpikir untuk masuk kedalam kehidupan kalian, apalagi menjadi bagian dari bisnis papa mereka."
"Rini, Ayah mereka Ayahmu juga, berapa kali Mama harus mengatakannya?" Mama mulai beruara dengan nada sedikit tinggi. Ia sepertinya tersinggung dengan ucapanku tadi.
Aku menghela nafas sembarang. Rasanya percuma beradu argumen dengan Mama, kami berdua tidak akan sepemikiran.
Aku menyimpan kembali sendok dan garpu ke dalam piring yang masih terisi banyak makanan. Menatap Mama dan Papa Heru secara bergantian, sedangkan mereka terlihat sibuk dengan piring dan sendok masing-masing.
Suasana kembali hening.
Hanya suara denting sendok beradu dengan piring yang terdengar saat ini. Terpikir olehku untuk beranjak pergi dari hadapan mereka.
"Kamu mau kemana?" tanya Mama, melihat aku bangkit lalu menyambar tas putih tak jauh dari meja makan.
"Ma, Papa Heru, Salsa dan Bagas. Aku pamit dulu." Setelah mengucapkan kalimat tersebut aku pun berlalu meninggalkan ruangan tersebut.
Beberapa kali, terdengar Mama memanggil namaku. Namun, untuk saat ini panggilan darinya tak mampu menghentikan langkahku.
****
Sepanjang perjalanan, aku memikirkan banyak hal. Ah, saat-saat galau seperti ini membuatku teringat dengan Dita, sahabat satu-satunya tempat aku berbagi berbagai kisah hidup.
Aku memutar arah mobil. Di bawah cahaya tamaram lampu jalan raya, mobil melaju cepat menyibak kemacetan jalanan kota kecil ini, hingga sampai di depan rumah bernuansa minimalis berlantai dua dengan kesan unik dan mewah.
Suasana rumah Dita terlihat lenggang dan sunyi. Di bawah cahaya tamaram, aku memarkir mobil di halaman yang luas lalu turun dan menuju pintu rumah mewah tersebut.
Tok tok tok!
Assalamualaikum, Dit!
Beberapa kali aku telah mengetuk pintu dan memberi salam, namun belum ada sahutan dari dalam. Aku melirik jam di tangan yang baru menunjuki pukul 9 : 01. Merasa waktu yang masih awal, aku kembali mengetuk.
"Ia, Sebentar!" Seseorang menyahutnya dari dalam. Ah, syukurlah.
Aku tersenyum senang sambil mengosok telapak tangan untuk mengusir rasa kedinginan, sementara pandangan menyisir sekitar.
Suara derit pintu membuatku menoleh ke arah sumber suara. Seorang gadis yang baru bangun tidur keluar menggunakan daster merah jambu dan rambut acak-acakan.
Dita memiliki postur tubuh yang mungil, berparas cantik dan baby face juga memiliki kulit putih alami, bagiku ia adalah Do Bong-Soon (Park Bo-young) versi Indonesia. Hehe.
"Apaan sih lu, malam-malam bertamu ke rumah orang!" sungut Dita sambil menyandarkan kepalanya ke daun pintu.
Aku tertawa lalu masuk dengan menyenggol bahu Dita. Rasanya menyenangkan sekali saat bisa membuat gadis cantik itu kesal. Dita berdecak kesal sambil mengikutiku dari belakang.
"Coba tebak, aku habis dari mana?" tanyaku sambil menubruk bokong ke sofa.
"Meneketehe, memangnya aku peramal?" jawab Dita sambil mengambil posisi duduk di sebelahku, lalu kembali menyandarkan kepalanya, namun kali ini ke bahu kananku.
Aku tersenyum kecut, sambil melirik Dita dengan ekor mata, gadis itu tampaknya sangat mengantuk.
"Aku baru pulang dari rumah Mama,"
"Acara apa? Bukannya elu tidak akan kesana jika tidak ada sesuatu." jawab Dita dengan ekspresi datar, ia membetulkan posisi duduk lalu mengucek kedua mata dengan sepasang tangannya. Sepertinya, ucapanku tadi, menarik perhatiannya.
"Mama mengundang aku untuk makan malam."
"Makan malam aja, gak ada sesuatu yang lain?"
Suasana sesaat hening. Dita kembali menyandarkan kepalanya kebahuku, sepasang matanya yang ia buka dengan terpaksa, menatapku sambil menuntut jawaban.
Aku bergeming. Membuang muka. Bahkan, aku sendiri masih bingung. Bingung harus memulai dari mana ceritanya.
"Hei! Are you ok?" Dita kembali bertanya.
Aku menghembus nafas kasar, lalu bangkit menuju kamar Dita. "Aku tidur di kamar mu malam, ni!"
Beberapa kali gadis itu memanggil. Namun, aku tak menghiraukannya. Entah mengapa malam ini sedang tidak ingin membahas apapun dengannya. Rasanya bisa berada di dekatnya saja sudah bisa membuat hati menjadi tenang.
________
Azan subuh berkumandang, suaranya terdengar menggema dari arah mesjid komplek perumahan tempat Dita tinggal. Aku menggeliat begitu juga dengan Dita. Setelah melirik jam dinding lalu kembali menarik selimut untuk menutupi tubuh hingga kepala.
Sementara Dita, gadis itu sepertinya menyibak selimut lalu bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu.
"Hei, bangun, Bu! Udah subuh."
Kembali aku menggeliat sambil mengucek kedua mata lalu bangkit sambil menatap wajah Dita.
"Udah, enggak perlu dramatis kaya gitu. Cepat wudhu sana, udah mau terbit matahari tuh!"
Aku terseyum getir, bangkit menuju kamar mandi sementara Dita meraih mukena dan sajadah.
****
Hawa pagi ini lumayan membuat tubuh menggigil. Aku bersedekap sambil melangkah menuju dapur dengan menggunakan piyama marun milik Dita. Porsi tubuh kami yang sama membuat piyama tersebut sangat cocok di tubuhku. Rasanya sangat menyenangkan jika piyama ini bisa di bawa pulang. Eh.
Di dapur, Dita sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi. Dua telur ceplok dan nasi goreng menjadi menu pilihan pagi ini.
"Emak lagi sibuk, nih!" ucapku menggoda Dita sambil menyambar kerupuk udang di atas meja.
"Bantuin, jangan tau makan aja!"
"Galak nih, gue disini tamu, jadi layanin dong! Tamu adalah raja, you know?"
"Mana ada Raja yang nginap di rumah orang, aneh lu!"
"Ada,"
"Mana?"
Aku terdiam, bukan karena kehabisan kata-kata tetapi karena mulutku telah penuh dengan suapan nasi goreng. Padahal Dita masih sibuk membersihkan sisa-sisa nasi goreng yang berserakan.
Diantara kami berdua memang Dita yang paling dewasa dan sering memilih mengalah. Sementara aku, lebih suka menang sendiri. Sifat buruk yang sangat sulit untuk aku hilangkan. Mungkin ini salah satu sebab hidupku jarang bahagia.
"Kamu belum ceritain tentang acara makan malam di rumah Mama Damia."
Aku menghentikan suapan, meletakkan sendok dan garpu di piring sambil menghembus nafas kasar. Sepasang netraku membidik wajah Dita, wajah cantik meski tanpa make up sekalipun.
Terlihat gadis itu mulai merasa bersalah karena pertanyaannya. Sangat lucu saat ia mencoba menyembunyikan rasa tersebut dengan senyuman yang di buat-buat.
"Kepo banget sih, kaya makcik-makcik!" sungutku, lalu kembali mengambil sendok dan garpunya dan menyuapkan nasi goreng ke mulut.
Dita tersenyum nyengir, mungkin gadis itu lega melihat aku kembali melanjudkan sarapan.
****
"Aku pamit ya, Dit!" ucapku sambil menutup pintu mobil.
Data berdehem sambil tersenyum. Tangan kanannya sibuk melambai-lambai.
Aku mulai memutar pelan stir mobil, melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan pagi yang sangat sibuk.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja, aku teringat tentang rencana pertemuanku dengan nyonya Dwi —neneknya Riski, pemilik Y2 grup.
Akan lebih baik jika aku membeli sebuah gaun santai untuk persiapan menemuinya. Kata orang, kesan pada pertemuan pertama itu sangat penting.
Tanpa berpikir panjang. Aku memilih butik langganan untuk urusan yang satu itu.
Setelah mendorong pintu kaca, aku masuk kedalam dan langsung menuju gantungan berbagai macam gaun, mulai dari brand lokal hingga brand mancanegara terpajang di sana. Sesekali mataku melotot dengan mulut membulat sempurna. Harganya cukup fantastis. Batin ku.
Pikiran yang sedang melanglang buana membuatku kurang fokus dengan keadaan sekitar, hingga tanpa sengaja, aku menubruk dada bidang seorang lelaki yang cukup tinggi dengan aroma tubuh yang sama, ya! Aroma laut yang tenang dan segar. Mungkinkah lelaki ini ....
Sambil mengucap kata maaf, aku mendongak wajah ke atas, memastikan wajah lelaki tersebut dengan ekpresi terkejut.
"Kau! Hei, punya mata gak, sih?" uca lelaki itu jengkel, tatapannya melotot menampakkan iris kecoklatan pada bagian lensa dengan jelas dan indah.
"Ma-maaf, saya betul-betul minta maaf."
Bersambung .. !!
______________
Sampai jumpa di chapter selanjutnya.
Berikan cinta kalian untuk author dengan menekan tombol like, vote dan juga komentar.
Salam sayang dan cinta untuk kalian semuanya!🤗
Didatangi Oleh Pihak Kepolisian
"Ma - maaf. Pak Riski! Saya betul-betul gak sengaja! Maaf banget," ucapku memohon.
Lelaki itu membetulkan bentuk jas dan dasi yang sedikit kusut, lalu berlalu setelah melotot sejenak ke wajahku dengan sangar. Aku berbalik arah, berdecak kesal menanggapi sikap dingin lelaki itu, sepasang netraku awas melihat sosok wanita anggun yang lelaki itu hampiri. Tampak wanita itu terseyum simpul menyambut kedatangan Riski.
"Rini!" Sapa Bu Irma dari arah belakang.
Aku membalik tubuh, mendapati Bu Irma yang tengah tersenyum dengan menggunakan gaun hijau tosca, ia begitu elegan, bahkan sendal berwarna senada dengan hak 7 inci begitu serasi di kaki jenjangnya.
Akhirnya berkat saran darinya, aku menemukan sebuah gaun berwarna marun beserta hijab dengan warna senada.
****
Azan Zuhur berkumandang, menyadarkanku yang tengah bergelut dengan alam pikiran sendiri. Segera bergegas mengambil wudhu lalu menggelar sajadah untuk menunaikan sembahyang Zuhur.
Dari arah depan, samar-samar terdengar seseorang memberi salam, selang beberapa menit Bik Ijah datang menemuiku di kamar.
"Ada apa, Bi?" tanyaku sambil merapikan perlengkapan sholat.
"Itu Non, anu itu di luar em ... Itu ada yang cari Non Rini." Jawab Bi Ijah dengan terbata - bata dan gugub. Jemari telunjuknya mengarah keluar kamar.
"Di luar siapa?" tiba-tiba saja aku mulai khawatir.
"Di luar ada 2 orang polisi mencari Non Rini." Jawab Bi Ijah masih dengan ekspresi gugup.
Aku terhenyak sekaligus bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Berbagai pertanyaan di alam pikiranku meronta menuntut jawaban. Sejenak aku dan Bi Ijah saling beradu pandang, seolah-olah sepasang netra kami saling bertanya dalam diam.
"Bibi sekarang ke depan dan bilang sama ke dua polisi tersebut, sebentar lagi saya akan menemui mereka, karena saya harus siap-siap dulu."
Bi Ijah mengangguk lantas pergi meninggalkan ku dengan perasaan was-was.
Aku mondar-mandir dengan kedua tangan menyilang di perut. Berusaha agar tetap tenang. Aku menghampiri kedua polisi di ruang tamu. Melihat kedatanganku, kedua polisi tersebut bangkit, menghampiriku.
"Maaf, Bu! Kami telah mengganggu istirahat siang anda," salah satu pak polisi menyapa sambil mendekat kearahku.
Dengan alis bertautan aku memandangi mereka secara bergantian sambil menunggu alasan mereka datang kerumahku.
"kami datang kesini untuk menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan saudara Indra Pratama."
"Baik, tapi sebelumnya silakan Bapak-Bapak duduk dulu," ucapku sambil duduk di sofa, kemudian diikuti dengan mereka.
"penjelasan apa lagi, Pak! Bukannya kasus ini sudah selasai, ya?"
"Menurut saudara Indra, Ibu belum ada itiqat baik untuk menemui beliau ataupun pengacaranya guna meminta maaf secara resmi dan tertulis, sekaligus untuk menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan."
"Tapi hari itu saya sudah minta maaf di hadapan karyawan kantor juga di hadapan lelaki tua itu." jawabku mencoba menjelaskan.
"kami tidak paham masalah di kantor Ibu, tapi saran kami jika Ibu tidak mau berurusa dengan pihak kepolisian lagi, maka segera hubungi saudara Indra ataupun pengacaranya." Ucap salah satu polisi, memberi solusi.
Aku mengangguk tanda mengerti, kemudian kedua petugas tersebut bangkit, lantas izin pamit dan meninggalkan rumahku.
Aku bergeming, dengan tangan kiri di pinggang dan tangan kanan menekan kening. Membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Ah! Rasanya kepalaku hampir meledak.
Aku mematung menatap layar ponsel dengan tampilan kontak milik Riski. Apakah aku harus menghubungi lelaki dingin itu saat ini untuk meminta pertolongannya.
Ah, lelaki itu cuma bicaranya saja yang besar, nyatanya Indra, si lelaki tua itu masih berani membesarkan kasus ini, bahkan aku harus menanggung akibatnya dari kesalahan yang tidak aku lakukan.
Tiba-tiba saja panggilan dari nomer Riski masuk, ternyata lelaki tersebut masih hidup.
"Assalamualaikum, Pak!"
"Waalaikumsalam, malam ini kamu datang kerumah Oma! Jam 7:30, jangan sampai terlambat."
"Tapi pak ..."
Tut tut!
Sambungan mendadak terputus. Aku bahkan belum sempat mengiyakan atau menolak tawaran makhluk aneh tersebut.
Bersambung!
____________
Hai Reader!😀
Jika kamu suka dengan cerita CINTA ARINI Love story is complicated, jangan lupa tinggalkan jejak ya! Berupa like, komen dan vote supaya Author makin semangat dalam menulis.
Salam sayang untuk kalian semuanya!🤗🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!