Hujan turun dengan deras. Disertai dengan gelagar dan kilatan petir. Seorang wanita melangkah pelan sambil membawa koper besar sekaligus payung di tangannya. Sambil menangis, perempuan itu terus berjalan maju.
Kala itu waktu menunjukkan jam dua belas malam. Perempuan tersebut sengaja pergi di jam segitu agar tidak ketahuan.
Erika Amore Levita, itulah namanya. Dia merupakan seorang istri dari ketua mafia terkejam dan ditakuti banyak orang. Erika memutuskan pergi meninggalkan suaminya karena ingin hidup normal. Itu dia lakukan karena sekarang dirinya sedang hamil.
Erika tak mau anaknya tumbuh menjadi seorang penjahat. Ia ingin sang anak hidup normal seperti anak-anak pada umumnya. Bagi Erika, menjadi komplotan mafia tidaklah keren. Bagaimana tidak? Ada banyak nyawa orang yang hilang karena mereka.
Erika semakin mantap meninggalkan sang suami, ketika suaminya tersebut diketahui mulai membuka bisnis penjualan organ manusia. Dalam sehari, Ervan menipu puluhan orang agar mereka bisa dijadikan korban. Erika dibuat semakin gila tatkala dirinya juga mengetahui Ervan terlibat dengan bisnis penjualan bayi.
Berat memang bagi Erika untuk meninggalkan Ervan. Mengingat Ervan adalah lelaki setia dan sangat menyayanginya. Jujur saja, jarang sekali ketua mafia yang mau menikah dan berkomitmen seperti Ervan. Tetapi apalah daya, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
Erika sudah menyiapkan kepergiannya ini jauh-jauh hari. Tujuan utamanya sekarang adalah pergi ke luar kota. Ia akan mendatangi sebuah salon untuk merubah penampilannya. Semua itu dia lakukan agar suami dan anak buahnya kesulitan mengenali Erika.
Dalam kepergiannya, Erika sengaja tidak mengambil satu barang pun milik Ervan. Terutama mobil. Jadi dirinya sekarang pergi dengan menggunakan kereta.
Meski tak membawa barang-barang milik suami, namun Erika tak lupa membawa hartanya sendiri. Dia membawa uang tunai sebesar 31 ribu dollar.
...***...
Erika tiba di kota tujuan saat pagi menjelang. Sebelum pergi ke salon, dia menyempatkan diri untuk sarapan.
Roti sandwich berisi sayuran dan telur menjadi pilihan Erika. Dilengkapi dengan susu segar dari sebuah cafe dekat stasiun.
Usai menghabiskan makanan, Erika mengambil rokoknya dari saku. Dia letakkan rokok itu di bibir. Lalu dia ambil alat pemantik dari saku mantelnya.
Saat hampir menyalakan rokok, Erika baru teringat kalau kondisinya sedang hamil. Alhasil dia mengurungkan niat untuk merokok.
"Aku tidak boleh melakukan ini lagi," gumam Erika sembari membuang semua rokoknya ke bak sampah. Setelah itu, dia melangkah untuk mencari sebuah salon.
Di sisi lain, Ervan baru terbangun dari tidurnya. Mata dia langsung mengedar ke sekitar. Saat itulah dirinya sadar kalau sang istri sudah tiada.
"Honey! Apa kau ada di kamar mandi?" panggil Ervan sambil menatap pintu kamar mandi. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari sana. Di kamar mandi bahkan tidak terdengar adanya aktifitas orang.
Karena penasaran, Ervan masuk ke kamar mandi. Dia panggil istrinya berkali-kali. Namun batang hidung Erika tetap tidak terlihat.
"Kemana dia?" gumam Ervan yang keheranan. Dia merasa tidak cemas sama sekali karena ini bukan pertama kalinya Erika pergi dari kamar tanpa sepengetahuannya. Sebelumnya Erika juga pernah begini saat ingin pergi berlibur bersama dua anak buah wanitanya.
"Apa dia pergi liburan lagi?" gumam Ervan menduga. Dia lantas menghubungi kedua anak buah wanitanya. Akan tetapi setelah menanyakan Erika dimana, Alisha dan Zivanna tidak tahu sama sekali tentang kepergian perempuan tersebut.
Karena mulai merasa curiga dengan menghilangnya Erika, Ervan menyuruh seluruh anak buahnya untuk mencari jejak sang istri. Kini Ervan bergegas untuk ikut melakukan pencarian juga. Sebelum itu, dia pergi ke walk in closet terlebih dahulu untuk mengambil topi dan mantel.
Saat sudah masuk ke walk in closet, atensi Ervan langsung tertuju ke lemari Erika. Dia sadar ada banyak pakaian yang hilang di sana. Saat itulah pula dirinya juga menemukan secarik kertas terlipat di meja rias Erika.
Ervan ambil kertas itu. Setelah dibuka, ternyata kertas tersebut adalah surat dari sang istri.
'Tidak usah mencariku. Kepergianku ini adalah keputusan bulat yang aku pilih. Maaf karena tidak berpamitan padamu. Jika kau bertanya tentang alasan kenapa aku pergi? Ya semuanya karena aku ingin berubah. Aku ingin hidup normal seperti orang-orang normal di luar sana. Kau sendiri tahu kalau aku sudah membahas ini puluhan kali bersamamu. Namun sayangnya kau sama sekali tidak tertarik. Tujuan kehidupan yang kita inginkan sekarang sepertinya sudah berbeda. Kita berpisah saja mulai sekarang. Aku yakin ada banyak wanita yang lebih baik dariku dan pastinya setipe denganmu di luar sana. Selamat tinggal, Ervan. Terima kasih sudah berbagi petualanganmu denganku. Erika...'
Usai membaca pesan itu, rasanya hati Ervan hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak? Cintanya begitu besar dan tulus pada Erika. Perempuan itu jugalah yang menemaninya berjuang hingga Ervan mampu membangun organisasi mafia yang dirinya miliki sekarang.
Rasa marah, kecewa, sedih, bercampur aduk dalam diri Ervan. Tentu tidak mudah merelakan kepergian Erika.
"Hidup normal? Apa benar hanya itu alasannya?" gumam Ervan sembari mencengkeram surat Erika. Ulahnya berhasil membuat kertas tersebut hancur tak berbentuk lagi.
Meski di surat sudah jelas Erika menyuruh Ervan untuk tidak mencarinya, namun Ervan tak peduli. Dia malah dibuat penasaran dengan kepergian Erika. Ervan tak mau langsung mempercayai pernyataan Erika di dalam surat.
"Cari Erika sampai dapat!" perintah Ervan kepada semua semua anak buah mafianya.
...***...
Erika telah menemukan salon yang tepat untuk merubah rambutnya. Dia yang tadinya memiliki rambut berwarna cokelat, kini dirubah menjadi hitam. Erika juga memanjangkan rambutnya dengan cara disambung. Mengingat awalnya dia memiliki rambut pendek sebahu.
Penampilan Erika berubah drastis. Selain merubah gaya rambut, dia juga merubah gaya berpakaian. Dia yang sering bergaya sangar dan agak tomboy, sekarang menjadi lebih feminin. Erika bahkan mengenakan dress pink selutut yang dilengkapi dengan mantel berwarna putih.
Kala itu musim gugur sedang berlangsung. Dedaunan kering tampak berguguran menghiasi jalanan. Perlahan Erika berjalan melewatinya. Tujuan dia selanjutnya adalah pergi ke luar negeri.
Sebuah mobil berhenti tepat di hadapan Erika. Perempuan tersebut lantas masuk ke mobil itu.
"Bagaimana keadaan di markas?" tanya Erika sembari membuka kacamata hitamnya. Dia duduk di sebelah sang sopir.
"Dia sudah sadar dengan kepergianmu. Semua orang sibuk mencarimu," sahut lelaki yang sekarang mengemudi mobil. Dia tak lain adalah Roby. Satu-satunya orang yang tahu dengan rencana kepergian Erika.
"Sudah kuduga dia akan keras kepala. Padahal sudah kubilang untuk tidak mencariku," keluh Erika sambil mendengus kasar.
"Jujur saja, aku masih bingung kenapa kau memilihku dibanding anak buahmu lainnya. Setahuku kau sangat membenciku," celetuk Roby.
"Itulah alasannya. Karena aku sangat membencimu. Semua orang tahu itu. Jadi kau adalah kandidat terkuat bagiku. Karena bila memilihmu, Ervan dan yang lain tak akan pernah menduganya. Kalau sesuatu nanti terjadi, mereka pasti akan mencurigai Alisha dan Zivanna," jelas Erika panjang lebar. Dia benar-benar sudah merencanakan kepergiannya dengan matang.
Roby melirik Erika selintas. Dia masih tak percaya kalau perempuan itu duduk tenang di sampingnya. Mengingat biasanya Roby selalu terkena pelototan atau omelan dari Erika.
"Kebetulan sekali kau ada urusan di kota ini. Alam seolah membantuku untuk kabur dari Ervan," cetus Erika seraya menghela nafasnya. Dia menyeruput kopi hangat yang sedari tadi dipegang.
"Aku masih merasa tak percaya kalau kau sekarang meminta bantuanku," sahut Roby.
"Awalnya aku berpikir ingin pergi tanpa memberitahu siapapun. Tapi setelah dipikir-pikir, punya mata-mata lebih baik. Aku bisa menghindari kejarannya dengan mudah. Pokoknya beritahu saja aku terus perkembangannya," jelas Erika panjang lebar.
"Baiklah." Roby mengangguk.
"Jangan mengecewakanku," tukas Erika.
"Aku tak mau terus dibenci olehmu karena selalu bersikap ceroboh. Jadi aku akan melakukan yang terbaik," tanggap Roby percaya diri. Tak lama, dia dan Erika tiba di bandara.
Erika segera pergi dengan identitas baru yang sudah disiapkan oleh Roby. Negara tujuan Erika pergi adalah kota Cape Town di Afrika Selatan.
"Dari semua tempat, kenapa kau memilih ini?" tanya Roby.
"Karena tak terduga. Di Afrika panas. Ervan tahu aku benci panas. Dia tak akan mengira aku ada di sana," jawab Erika. Dia segera menghilang dari hadapan Roby.
Sementara itu, Ervan dan anak buahnya terus mencari jejak kepergian Erika. Mereka bahkan memeriksa kamera cctv dengan detail.
Dari semua rekaman cctv, hanya tiga rekaman yang memperlihatkan kepergian Erika. Dari rekaman itu pula Ervan tak bisa menemukan petunjuk apapun. Terutama tentang tujuan kemana Erika pergi.
"Suruh semua orang berkumpul di markas! Pastikan tidak ada yang absen! Cepat!" titah Ervan, setelah mengusap kasar wajahnya. Dia berfirasat kalau ada anak buahnya yang tahu tentang kepergian Erika.
Mengumpulkan seluruh anggota Black Skull tentu membutuhkan waktu lama. Mengingat ada beberapa anggota yang bertugas keluar kota bahkan luar negeri. Meskipun begitu, Ervan mendesak semuanya untuk datang.
...***...
Usai menempuh perjalanan panjang, Erika akhirnya tiba di kota Cape Town. Di sana dia menginap di hotel mewah. Erika memang berniat untuk menetap di sana sampai dirinya melahirkan nanti.
Setibanya di kamar hotel, Erika menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Dia beristirahat sejenak sampai tertidur.
Ketika bangun, Erika makan malam. Sambil menikmati hidangan, dia membuka buku catatannya. Di buku itu sudah tertulis apa saja rencana yang akan dilakukannya. Erika sendiri menamai buku tersebut sebagai buku misi.
"Sekarang aku hanya perlu menemukan dokter obgyn terbaik di kota ini," gumam Erika. Dia berharap di masa kehamilannya nanti tidak ada gangguan apapun yang datang. Terutama dari sang suami.
Hari demi hari dijalani Erika. Ia menikmati kesendiriannya di hotel sambil melakukan gaya hidup sehat untuk sang anak. Erika juga memanfaatkan waktunya untuk mempersiapkan diri menjadi single mom.
Setelah mempelajari segalanya dari internet, Erika sadar betapa sulitnya menjadi orang tua. Ternyata dia tidak hanya berkorban waktu, tetapi juga ekonomi.
"Ternyata tidak mudah," keluh Erika sembari memegangi perutnya. Ada sedikit penyesalan dalam dirinya. Namun saat itu pula dia teringat dengan segala kesalahan yang telah dirinya lakukan.
"Tidak! Kali ini aku tak akan membunuh anakku lagi. Ayo kita berjuang bersama. Kita hidup di jalan benar." Erika berbicara dengan jabang bayinya. Ingatan tentang sudah berapa kali dia melakukan aborsi, membuat dirinya selalu merasa bersalah. Dan kali ini, Erika memutuskan tidak melakukannya lagi, karena memang naluri ibunya terasa lebih kuat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!