"Ayah, aku pergi dulu ya. Ayah jangan lupa makan! Bye Ayah!"
Gadis berambut panjang terurai indah, parasnya yang menawan cantik serta manis mampu membuat seluruh kaum adam bohong saja jika tidak terpikat akan pesonanya.
Dengan memiliki kulit yang bersih dan halus, hidung mancung serta bola mata yang indah membulat, bibir tipis namun ranum, membuat gadis yang bernama lengkap Rania Baskara. Atau sering dipanggilnya cukup Rania.
Sehingga dengan segala penjagaannya, agar ia tidak salah pergaulan bebas dan lainnya.
"Hati-hati, Rania." Pesan singkat dari seorang pria tampan bernama Putra Baskara, yang tak lain adalah Ayah angkat Rania.
Ya, Putra Baskara adalah ayah angkat Rania. Nama Baskara yang terselip dibelakang nama Rania berasal dari nama lengkap Putra Baskara.
Rania melambaikan tangannya kepada Putra yang tengah duduk menikmati secangkir kopi pada sebuah rumah mewah namun tidak terlalu besar.
"Permisi, Tuan. Saya izin pamit mengantarkan Nona terlebih dahulu." Ucap salah seorang supir pribadi Rania ketika memberikan salam hormat kepada Putra.
Ya, Putra adalah seorang Polisi. Ia berusia 32 tahun, yang hingga kini belum ingin menikah.
Ia mengutus anak buahnya untuk menjaga dan terus mengawasi Rania kemanapun Rania pergi.
"Laksanakan, Tirta! Jaga Rania dengan baik-baik." Sahut Putra memberikan mandat kepada Tirta.
"Siap, Tuan!"
Tirta selaku supir pribadi Rania. Ia sudah begitu lama menjadi supir Rania, sejak Rania masih kecil berusia 8 tahun hingga kini Rania berusia 17 tahun.
Tirta segera bergegas meninggalkan Putra yang sedang menikmati secangkir kopinya.
Ia melihat bahwa kini Rania sudah tumbuh begitu dewasa. Dari tahun ke tahun menjadikan dirinya sebagai ayah angkat yang tidak ingin salah bertindak atau salah dalam mengasuh Rania.
Ia telah menganggap Rania sebagai anak kandungnya sendiri. Walau, sama sekali Putra belum pernah menikah sekalipun.
Ia ingin Rania menjadi yang terbaik.
Dalam diamnya, Putra mencoba mengingat kembali ketika dirinya pertama kali bertemu dengan Rania.
Rania kecil tengah berlari dari kejaran ayah tirinya. Ayah tiri Rania begitu kejam, sehingga membuat Rania kecil mengalami trauma dan ketakutan.
Rania kecil adalah anak yatim piatu yang ditinggal meninggal oleh ayah kandung sedari usia 5 tahun.
Sepeninggal ayah kandungnya, ibu kandungnya menikah kembali disaat Rania kecil berusia 8 tahun.
Ibu kandungnya hidup menjanda kurang lebih selama 3 tahun, kemudian menikah dengan ayah tirinya.
Sebulan setelah pernikahan ibu kandungnya bersama ayah tirinya, sang ibu meninggal dunia.
Ibu Rania kecil meninggal dalam keadaan sakit parah.
Semenjak itu, ayah tiri Rania kecil berlaku kasar dan kerap sekali menyiksa Rania kecil.
Rania kecil menjadi trauma dan tidak diperbolehkan untuk bersekolah kembali.
Semenjak itu, Rania berusaha untuk kabur dari ayah tirinya.
Dengan bersusah payah akhirnya Rania kecil nekat untuk kabur.
Hingga ia berlari sekuat tenaganya dan dengan tidak sengaja ia menabrak sebuah mobil mewah yang tengah melintas di jalan.
Brukkk..!!!
Tubuh Rania kecil terbentur disebuah mobil mewah tersebut.
Dengan cepat mobil tersebut mengerem secara mendadak.
"Ada apa, Tirta?" Tanya Putra kepada ajudannya yang bernama Tirta.
Tirta yang kala itu menyetir mobil yang berisi Putra didalamnya, begitu terkejut mendengar suara ada benturan pada mobilnya.
"Tuan, ada gadis kecil menabrak mobil kita." Jawab Tirta yang dengan spontan menghentikan mobilnya.
"Apa? Kita lihat bagaimana keadaannya. Sekarang!" Putra terkejut, ia hendak keluar dari mobil dan segera berjalan mendekati Rania kecil.
"Maaf, Pak. Maaf! Saya tidak sengaja! Tolong saya, Pak. Saya sedang dikejar-kejar oleh ayah tiri saya. Ayah tiri saya jahat, Pak. Saya tidak ingin bertemu kembali dengan ayah tiri saya. Saya takut!" Tangis Rania kecil pada kaki Putra dengan memohon pertolongan.
Putra segera memberikan komando kepada Tirta.
"Bawa anak ini!" Titah Putra.
Tirta menuntun Rania kecil masuk kedalam mobil dan duduk disamping Putra.
Sejak pertemuan itu, Rania kecil diasuh dan dirawat oleh Putra seorang diri.
Banyak sekali yang Putra ajarkan pada Rania kecil.
Dari belajar bersepeda, berenang, menggambar, belajar bahasa asing, memasak, bermain bola, memanah, belajar motor, hingga sampai sekarang belajar mobil.
Ketika Rania sudah mampu menunggang motor dan menyetir mobil, Putra tidak mengizinkan Rania untuk pergi-pergi dalam keadaan seorang diri.
Ia mengutus Tirta ajudannya, sebagai supir pribadi Rania.
"Ternyata kamu sudah besar, Rania. Kamu sudah tumbuh menjadi gadis dewasa." Gumam lirih Putra.
"Lapor, komandan. Jendral ingin segera bertemu dengan komandan, siang ini!" Ucap seorang ajudan Putra yang berdiri dan memberikan salam hormat kepada Putra.
"Baik!" Jawab singkat Putra kepada ajudannya yang bernama Dicky Baskara.
Dicky Baskara sendiri ia angkat sebagai adik angkatnya. Nasibnya, hampir sama dengan Rania.
Putra bertemu dengan Dicky ketika Dicky mengalami kebakaran pada rumahnya, dan seluruh keluarga tewas dilalap oleh si jago merah.
Seluruh harta milik keluarganya hangus terbakar.
Ia sebatang kara, Putra yang kala itu baru saja menyelesaikan pendidikan Akademi Kepolisian, bertemu dengan Dicky. Dan membawanya ke Ibu Kota untuk menemani kehidupan sehari-harinya.
Putra memang anak yatim piatu, ia juga sudah tidak memiliki keluarga sama sekali, sejak ia remaja.
Dickypun telah ia jadikan seorang Polisi, namun Dicky lebih memilih jalur pendidikan Bintara. Bukan Akademi Kepolisian yang tingkatannya akan lebih tinggi dari lulusan Bintara.
***
"Kak Dicky, ayah dimana?" Tanya Rania ketika dirinya baru saja pulang.
Dicky begitu panik ketika melihat Rania baru saja kembali.
"Rania! Kamu dari mana saja? Komandan mencari kamu." Dicky bertanya kepada Rania yang baru saja memasuki ruang tamu.
"Hmm.. Aku tadi pergi dengan teman-temanku, Kak. Memangnya ayah mencariku ada apa? Bukannya aku tadi sudah meminta izin kepadanya?" Rania mengerutkan dahinya dengan rasa penasaran.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
"Sudah, temui Komandan dulu sana!" Perintah Dicky kepada Rania. Adik angkatnya. Keduanya sama-sama diangkat oleh Putra. Dan diberikan imbuhan nama Baskara, nama akhir dari Putra Baskara.
"Baiklah! Aku akan menemui ayah sekarang juga." Jawab Rania hendak melangkahkan kakinya.
Rania berjalan menuju kamar Putra. Dengan sangat hati-hati dan perlahan ia melangkahkan kakinya.
Tok..
Tok..
Tok..
"Siapa?" Tanya Putra dari dalam.
Rania menarik nafasnya.
"Rania, Ayah!" Jawab Rania dengan perasaan takut.
Namun karena keberanian Rania, ia tetap nekat untuk menemui Putra.
"Masuk!" Perintah Putra kepada Rania yang masih berdiri dibalik pintu kamarnya.
Rania mendengar jawaban Putra, kemudian ia masuk kedalam kamar Putra.
"Tutup pintunya!" Titah Putra dengan wajah yang selalu dingin dan menjaga image.
Rania menuruti apa yang diperintahkan oleh Putra.
Putra membalikkan badannya, ia memandang kearah jendela yang masih terbuka. Hembusan angin masuk silih berganti.
Terasa dingin dan sejuk.
Rania berjalan mendekati Putra.
"Stop! Berhenti disitu!" Ucap Putra yang menyuruh Rania berhenti dengan jarak kurang dari dua meter.
Rania menghentikan langkahnya.
"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?" Tanya Putra dengan masih menghadap kearah luar tanpa melihat kearah Rania.
"Hmm... Rania habis pergi dengan teman-teman, Yah!" Jawab Rania hati-hati. Ia takut Putra akan memarahinya.
"Bukannya aku sudah peringatkan kepadamu, bahwa diluar sana banyak sekali orang yang jahat. Jangan bergaul dengan sembarangan orang. Apalagi sampai salah pergaulan!" Jelas Putra.
Rania terdiam dan menunduk.
"Aku pergi reuni, Ayah. Bukannya aku sudah memohon izin kepada Ayah? Dan, Ayah sendiri juga sudah mengizinkan Rania. Lagi pula, Aku pulang lebih awal walau sebenarnya acaranya belum selesai....." Rania membela diri.
Sebelum Rania melanjutkan penjelasannya, Putra sudah berbicara kembali.
"Seharusnya kamu tidak perlu datang ke acara itu. Acara itu tidak bagus!" Sahut Putra.
"Ayah! Itu acara reuni sekolah. Tidak ada acara yang aneh-aneh. Ayah jangan terlalu mengekang Rania, aku sudah besar, Yah. Aku tahu mana yang baik dan buruk di dunia ini." Tegas Rania dengan bersungut.
Ia begitu kesal ketika Putra sudah mengekangnya.
Ucapan Rania membuat Putra sedikit emosi.
"Diam! Apakah kamu tidak takut dengan perlakuan orang-orang diluaran sana? Banyak orang yang terlihat baik, tapi ternyata dia adalah orang yang jahat. Kamu harus berhati-hati." Putra kembali menegaskan.
Rania menunduk, dadanya terasa sesak. Putra memang sangat menyayangi Rania, namun memang caranya seperti itu. Tidak ada yang bisa mengubah sikap Putra terhadap Rania.
"Tidak akan aku izinkan kamu pergi-pergi tanpaku!" Ucap Putra dengan tegas.
Rania kembali marah karena Putra sangat over protective terhadapnya.
Dengan segera ia melangkahkan kakinya dan meninggalkan Putra begitu saja.
Sepeninggal Rania, Putra baru membalikkan tubuhnya dan menatap pintu yang masih terbuka, Raniapun hilang dari pandangannya.
(Rania, aku melakukan itu demi kebaikanmu. Aku tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak inginkan menimpamu.)
Batin Putra dengan tatapan tajamnya.
***
"Rania! Kamu kenapa?" Tanya Dicky yang berjalan mengekori Rania masuk kedalam kamarnya.
Rania membanting tubuhnya diatas ranjang dengan menangis sesenggukan.
Dicky duduk ditepi ranjang.
"Coba ceritakan kepada Kakak, Rania." Pinta Dicky kepada Rania.
"Kak, mengapa Ayah menjadi seperti itu kepadaku? Aku tidak boleh kemana-kemana, sedangkan aku juga memiliki kehidupan sendiri, Kak. Aku juga ingin seperti yang lainnya bisa pergi bahkan bermain dengan teman-teman. Tapi, mengapa aku tidak diperbolehkan?" Rania bangkit dari posisinya, dan duduk menghadap kearah Dicky.
Dicky menarik nafas panjangnya.
"Rania, mungkin Komandan melakukan itu karena ia sayang denganmu, Ran. Dia tidak ingin kamu salah pergaulan. Dia ingin kamu menjadi gadis yang tumbuh dengan baik. Itu tandanya Komandan perhatian dengan kamu." Jawab Dicky mencoba menenangkan hati Rania yang sedang tidak baik-baik saja.
Putra melangkahkan kakinya secara perlahan menuju kamar Rania. Namun, langkahnya terhenti ketika ia mendengar pembicaraan antara Rania dan Dicky didalam sana.
Ia bersembunyi dibalik pintu kamar dan menyimak dari luar.
"Perhatian dalam arti yang bagaimana? Ayah itu jelas-jelas mengekangku. Ayah tidak ingin aku menikmati suasana luar. Aku tidak boleh pergi lagi tanpanya. Ayah tidak adil!" Sentak Rania.
Dicky tampak berpikir sejenak. Putra yang mendengar ucapan Rania menjadi sedih. Padahal ia sangat peduli kepada Rania.
"Tidak adil bagaimana? Komandan itu peduli dengan kamu. Komandan sayang denganmu, Rania." Jawab Dicky.
"Sayang bagaimana? Ayah tidak sayang denganku! Ia hanya mementingkan reputasinya, dan selalu patuh kepada Jendral. Karena pengabdian Ayah kepada Jendral, sampai-sampai ia tidak memikirkan dirinya sendiri. Buktinya, hingga saat ini, ayah belum menikah!"
"Perhatian dalam arti yang bagaimana? Ayah itu jelas-jelas mengekangku. Ayah tidak ingin aku menikmati suasana luar. Aku tidak boleh pergi lagi tanpanya. Ayah tidak adil!" Sentak Rania.
Dicky tampak berpikir sejenak. Putra yang mendengar ucapan Rania menjadi sedih. Padahal ia sangat peduli kepada Rania.
"Tidak adil bagaimana? Komandan itu peduli dengan kamu. Komandan sayang denganmu, Rania." Jawab Dicky.
"Sayang bagaimana? Ayah tidak sayang denganku! Ia hanya mementingkan reputasinya, dan selalu patuh kepada Jendral. Karena pengabdian Ayah kepada Jendral, sampai-sampai ia tidak memikirkan dirinya sendiri. Buktinya, hingga saat ini, ayah belum menikah!" Ucapan Rania begitu jelas terdengar ditelinga Putra.
Putra menarik napas panjangnya. Ia segera membalikkan badannya dan pergi melangkahkan kaki untuk menuju ruang meditasinya.
Putra memiliki ruangan meditasi, dimana ruangan tersebut khusus digunakannya untuk menenangkan pikirannya.
Terkadang ketika Rania atau Dicky ingin masuk kedalam ruangan meditasi, tidak pernah izinkan oleh Putra. Bahkan, ruangan tersebut dibuat dengan kunci otomatis dari dalam. Sehingga, tidak ada yang bisa membukanya kecuali tanpa perintah dari Putra.
"Rania! Jaga bicara kamu! Nanti jika didengar Komandan, kamu akan mendapatkan hukuman!" Dicky memberikan peringatan kepada Rania.
"Biarkan!"
***
Malam hari, Putra sedang duduk seraya memikirkan sesuatu.
"Dicky, apakah Rania sudah tidur?" Tanya Putra yang tetap mengkhawatirkan Rania.
Dicky yang tengah menemani Putra, menjawab pertanyaan Putra.
"Sepertinya sudah, Komandan. Sebelumnya, ia sempat marah-marah dan susah dikendalikan!" Jawab Dicky.
Putra menarik napas panjangnya.
"Aku sudah mengetahuinya! Apakah dia sudah makan malam?" Tanya Putra kembali.
Dicky terlihat bingung.
"Panggil Tirta sekarang juga." Perintah Putra kepada Dicky.
"Baik, Komandan." Jawab Dicky.
Dicky kemudian pergi untuk menemui Tirta, supir pribadi Rania.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, Dicky masuk kembali sudah bersama dengan Tirta.
"Malam, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Tirta memberikan salam hormat kepada Putra.
Putra menatap Tirta.
"Apakah Rania sudah makan malam?" Tanya Putra dengan suara baritonnya yang khas.
Walau usia Putra sudah menginjak usia 32 tahun, namun pesonanya tidak akan pernah luntur.
Apalagi, ia menjadi idaman para wanita diluaran sana yang sangat mengagung-agungkan dirinya.
"Nona belum sempat makan malam, Tuan." Jawab Tirta.
Putra masih dengan sikapnya yang sedingin lemari es.
"Baik, kembalilah!" Perintah Putra.
"Siap, Tuan. Laksanakan!" Tirta pergi meninggalkan Putra dan Dicky.
"Dicky, perintahkan Minah untuk menyiapkan sepiring makanan untuk Rania." Titah Putra.
"Baik, komandan." Dicky pergi menemui para pembantu agar segera menyiapkan makanan untuk Nona Rania yang cantik jelita.
***
(Masih juga belum dimakan. Apa mau anak ini sebenarnya?)
Batin Putra dimalam hari ketika dirinya menengok ke kamar Rania. Ia mengintip dari balik pintu kamar.
Rania telah mengganti pakaiannya, pakaian yang lebih santai dan tipis. Sehingga tubuhnya dapat terekspos sedikit jelas.
Putra melangkahkan kakinya kedalam kamar Rania, Rania tengah tengkurap dengan mata masih fokus ke layar ponselnya.
"Rania!" Panggil Putra dengan nada lirih.
Rania tetap diam, dan tidak menjawab panggilan dari Putra. Ia pura-pura tidak mendengar panggilan dari Putra.
"Mengapa makanannya belum dimakan?" Ucap Putra seraya duduk ditepi ranjang.
"Tidak lapar!" Jawab Rania singkat.
"Kamu belum makan, nanti kamu sakit!" Bujuk Putra pada Rania.
"Biarkan saja." Sahut Rania.
Putra menarik napas panjangnya.
"Bagaimana kalau Ayah menyuapi kamu? Kamu mau kan?" Bujuk rayu Putra.
Rania tampak berpikir sejenak. Ia bangkit dari posisinya.
Dan duduk di hadapan Putra.
Putra menatap wajah Rania tanpa senyuman. Ia meraih makanan yang ada diatas meja.
"Buka mulutnya!" Perintah Putra.
Rania membuka mulutnya dan masuklah makanan yang telah disuapi Putra kedalam mulutnya.
"Rania marah dengan, Ayah?" Tanya Putra mencoba melunakkan hati Rania yang belum stabil.
"Sedikit." Jawab Rania dengan mulut masih mengunyah.
Sembari berbincang-bincang, Putra terus menyuapi Rania.
"Ayah terlalu kasar ya pada Rania?" Tanya Putra kembali.
"Iya, Ayah tidak memberikan waktu untuk Rania menikmati hidup Rania. Rania sudah besar, Ayah!" Protes Rania.
Putra menatap wajah Rania dengan lekat.
"Justru kamu sudah besar, Ayah akan lebih ekstra lagi menjaga kamu. Supaya kamu tidak dijahati oleh orang-orang di luar sana. Didunia ini, hanya kamu dan Dicky yang Ayah miliki." Jelas Putra.
Rania memasang wajah yang sedang mencerna ucapan Putra.
"Mengapa Ayah tidak menikah saja?" Tanya Rania.
Putra menghentikan aktifitasnya. Ia meletakkan piring berisi makanan yang sudah hampir habis itu.
Ia menyentuh pundak Rania yang tidak tertutup.
"Rania, Ayah belum memikirkan hal itu. Ayah ingin fokus pada kamu dan karir Ayah. Lihatlah, kamu sudah tumbuh besar dan cantik. Bahkan nyaris sempurna. Bohong saja kalau tidak ada pria diluaran sana yang berusaha untuk memilikimu. Ayah paham betul dengan pikiran pria itu seperti apa. Rasanya, Ayah tidak akan ikhlas jika kamu jatuh ke tangan pria yang salah. Sejak kecil, Ayahlah yang merawat kamu, sayang. Kamu pasti akan tahu mengapa Ayah bisa sedemikian protektif kepadamu." Jelas Putra.
Mata Putra tidak luput dari pandangan Rania. Rania pun juga tidak memalingkan wajah atau pandangannya dari mata Putram
Keduanya saling menatap, tatapannya semakin dalam.
(Ayah, mengapa ketika bersamamu hati ini terasa nyaman? Pesonamu membuat aku bingung akan rasa ini.)
Batin Rania dalam hatinya.
(Ternyata, kamu sudah sangat cantik, Rania. Kamu tumbuh dengan sempurna.)
Putra tak mau kalah, ia juga berucap dalam hati.
"Ayah, sudah malam. Saatnya Ayah beristirahat. Maafkan sikap Rania ya, Yah." Ucap Rania membuyarkan pandangan Putra padanya.
"Iya, kamu jangan tidur malam-malam." Pesan Putra.
Putra mencium pucuk kepala Rania. Membuat Rania semakin nyaman.
"Ayah, apakah aku boleh memeluk, Ayah?" Pinta Rania.
Putra tampak segan untuk menerimanya, namun tidak mungkin juga ia menolaknya. Karena, Rania adalah anak angkatnya.
Ia menuruti permintaan Rania. Putra bangkit dari posisinya. Namun sialnya, kakinya tersangkut di bedcover ranjang.
"Ahhh...!"
Sehingga membuat tubuhnya oleng dan menindih tubuh Rania.
Ya, tubuh Putra menindih dengan sempurna tepat diatas tubuh Rania.
Tubuh Rania yang tumbuh dengan indah, lekukan tubuh yang terlihat body goals, dada yang padat berisi menambah kesan pertumbuhan dewasanya menggoda iman.
"Maaf, Rania. Ayah tersangkut." Ucap Putra dengan menatap wajah Rania dari jarak dekat. Kurang lebihnya hanya sejengkal saja.
Rania merasakan kenyamanan yang luar biasa. Ada sesuatu yang tumbuh pada hatinya.
Dengan cepat, Rania malah semakin erat memeluk tubuh Putra. Rasanya ia tidak ingin melepaskan tubuh Putra yang tengah berada diatasnya.
"Rania! Lepaskan Ayah. Tidak baik seperti ini." Putra berusaha bangkit dari posisinya.
Putra berdiri dengan menyembunyikan sesuatu dibawah sana.
Ya, ada sesuatu yang berbeda dibawah sana ketika dirinya bersentuhan dengan Rania.
Rania hanya menatap wajah Putra.
"Ayah, ke kamar dulu ya. Selamat malam." Ucap Putra berpamitan dengan sedikit gugup.
Rania mengangguk.
Putra dengan segera melangkahkan kakinya menuju kamarnya.
"Ah, sial! Apa-apaan sih tadi Rania? Pikiranku jadi tidak fokus begini! Aku benar-benar merasakan tubuh Rania. Apalagi, bagian depan. Mengapa bisa jadi sebesar itu? Tapi, terasa nikmat dan rasanya candu sekali. Sampai-sampai ada yang bangun! Ah, sudahlah. Kalau dipikirkan terus-menerus, aku menjadi pusing sendiri." Gumam lirih Putra.
Rania telah mengganggu pikiran Putra.
Ia terus gelisah dan tidak dapat memejamkan matanya.
"Ada apa dengan diriku? Mengapa terus memikirkan gadis kecilku? Eh, dia sudah bukan gadis kecil lagi. Bahkan, kini tumbuh menjadi gadis dewasa yang nyaris sempurna." Gumam lirih Putra yang tubuhnya hanya bergulang-guling saja.
***
"Pagi, Ayah. Apakah hari ini Ayah akan pergi menemui Jendral Agung?" Sapa Rania kepada Putra yang baru saja tiba disebuah meja makan.
Terlihat Rania dan Dicky telah duduk manis di meja makan tersebut.
Dicky memperhatikan wajah Putra.
"Komandan! Apakah anda kurang tidur?" Tanya Dicky kepada Putra.
Putra menjadi salah tingkah, wajahnya memerah.
Rania turut memperhatikan wajah Putra.
"Mungkin." Jawab Putra dengan singkat.
Rania melirik kearah Putra, dan diwaktu bersamaan Putra melirik kearah Rania.
"Mau kemana kamu, Rania?" Tegur Putra pada Rania yang telah rapih dan cantik dengan rambut diikat kuda, sehingga menampakan lehernya yang begitu jenjang dan putih bersih.
Putra yang melihatnya menjadi susah menelan salivanya.
"Hmm.. Ingin ikut, Ayah. Boleh kah?" Tanya Rania.
Putra mengerutkan dahinya.
"Tidak usah, kamu tunggu di rumah saja. Ayah ada urusan negara. Nanti, setelah itu baru kita pergi." Jawab Putra.
Rania berubah murung, padahal ia ingin sekali pergi jalan-jalan seperti dulu ketika ia masih kecil.
Ia kerap diajak jalan-jalan oleh Putra bersama dengan Dicky.
"Dicky, temani aku." Titah Putra dengan pandangan telah beralih ke arah Dicky.
"Baik, komandan." Sahut Dicky.
"Giliran kakak boleh ikut, sedangkan aku? Dirumah saja, bosan sekali!" Sungut Rania kesal.
Putra dengan cepat menggenggam jemari Rania dengan lembut untuk menenangkan Rania yang kerap sekali tantrum.
"Setelah selesai, Ayah akan ajak Rania pergi jalan-jalan. Kita jalan bertiga, bagaimana?" Ucap Putra kemudian.
Rania melirik kearah Putra.
"Baiklah, janji ya, Ayah. Awas kalau ingkar!" Ancam Rania.
"Tidak akan!"
"Kira-kira, kita akan pergi kemana, Ayah?"
"Dicky, temani aku." Titah Putra dengan pandangan telah beralih ke arah Dicky.
"Baik, komandan." Sahut Dicky.
"Giliran kakak boleh ikut, sedangkan aku? Dirumah saja, bosan sekali!" Sungut Rania kesal.
Putra dengan cepat menggenggam jemari Rania dengan lembut untuk menenangkan Rania yang kerap sekali tantrum.
"Setelah selesai, Ayah akan ajak Rania pergi jalan-jalan. Kita jalan bertiga, bagaimana?" Ucap Putra kemudian.
Rania melirik kearah Putra.
"Baiklah, janji ya, Ayah. Awas kalau ingkar!" Ancam Rania.
"Tidak akan!"
"Kira-kira, kita akan pergi kemana, Ayah?" Tanya Rania kembali.
Putra tampak berpikir sejenak.
"Hmm.. Terserah kamu saja!" Jawab Putra.
***
"Putra, bagaimana dengan perkembangan penambangan emas di desa Seruni?" Tanya seorang Jendral bernama Jendral Agung Adikusuma.
Ia yang tak lain adalah sahabat dari Putra.
Sejak kecil, Putra selalu bermain dan setia menemani Agung kemana dan kapanpun.
Pengabdian Putra kepada Agung sungguh luar biasa dan patut diacungi jempol.
Setelah Agung menjabat Jendral, ia menjadikan Putra sebagai kaki tangannya.
Ia mempercayakan Putra dari segi aspek manapun.
"Menurut laporan dari ketua penambangan, masih aman dan tidak ada masalah Jendral. Hanya saja membutuhkan beberapa tambahan penambang. Karena, sebentar lagi akan memasuki musim hujan. Ditakutkan, penambangan akan tertunda akibat curah hujan yang tidak dapat diprediksi. Sangat disayangkan, apabila proses penambangan kita biarkan begitu saja. Kita juga akan membuang peluang yang sudah ada didepan mata." Jawab Putra dengan cukup matang.
Jendral Agung mengangguk tanda mengerti.
"Betul. Lakukanlah yang terbaik. Aku akan mempercayakan kepadamu." Sahut Jendral Agung.
"Baik, laksanakan!" Jawab Putra dengan salam hormatnya.
"Putra, kamu bisa minta bantuan pada orang-orangmu. Terutama, Dicky. Ajarkan dia untuk menjadi lebih baik. Pendidikan militernya juga lumayan bagus. Hanya saja, ia lebih memilih untuk tetap dijalur Bintara. Padahal, aku telah memberikan peluang untuknya masuk ke Akademi Kepolisian." Ucap Jendral Agung.
"Baik, Jendral. Adakah yang ingin Jendral sampaikan kembali?" Putra bertanya kepada Jendral Agung.
"Tidak, Putra. Pulanglah, aku ingin beristirahat. Tubuhku terasa kurang sehat." Jawab Jendral.
"Baik, Jendral. Kalau begitu kami izin pamit. Selamat siang!" Ucap Putra yang hendak pergi meninggalkan Jendral.
Disusullah Dicky mengekorinya.
***
"Dimana Rania?" Tanya Putra kepada Tirta.
Tirta yang sedang membersihkan mobil milik Rania, langsung memberikan salam hormat kepada Putra.
"Nona sedang berenang, Tuan. Kata Nona, jangan ada yang mengganggunya, ia ingin menyendiri." Jelas Tirta kepada Putra.
"Dicky, tolong belikan makanan kesukaan Rania. Kamu pasti paham apa yang dia suka. Pergilah bersama dengan Tirta. Lalu, kamu dan Tirta bisa menikmati hari santai kalian. Hari ini aku sedang free. Jadi, tidak ada tugas yang berat. Aku bisa mengatasinya sendiri." Titah Putra kepada Dicky dan Tirta.
Dicky dan Tirta saling berpandangan.
"Baik, Komandan. Laksanakan!" Ucap Dicky.
"Baik, Tuan. Adakah yang ingin Tuan beli? Kami bisa sekalian membelikannya." Tanya Tirta kembali.
"Saat ini tidak ada, nanti aku akan hubungi kalian saja, jika ada yang ingin aku beli." Jawab Putra.
Tirta mengangguk. Dicky dan Tirta segera bergegas meninggalkan Putra yang masih berdiri dihalaman rumahnya.
Setelah itu, Putra melangkahkan kakinya menuju kolam renang.
Entah mengapa, suasana kamar menjadi sepi dan sunyi.
Suara hentakan kaki Putra dapat didengar oleh Rania.
Rania yang sedang asyik berenangpun menghentikan aktifitasnya.
"Sudah aku bilang, jangan ada yang datang kesini! Apakah belum cukup paham? Aku sedang berenang! Jangan menggangguku! Pergi!" Sentak Rania dengan kesal.
Ia mengira bahwa yang datang adalah yang lainnya. Ternyata yang datang adalah Putra.
"Kamu ingin mengusirku dari rumahku?" Suara khas Putra terdengar jelas sekali ditelinga Rania.
Putra berdiri tepat diteras rumah yang hanya beberapa meter saja dari tepi kolam.
Rania yang mendengar suara Putra, langsung menoleh dan tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih.
"Eh, Ayah? Aku kira siapa? Maafkan aku, Ayah. Aku tidak tahu!" Ucap maaf Rania pada Putra yang masih menenggelamkan tubuhnya didalam air.
Tubuh Rania kala itu hanya terlihat bagian kepala saja, sehingga tidak dapat terekspos oleh mata Putra.
Putra kemudian duduk dikursi yang ada didekat teras dengan mata memandang Rania.
"Ayah, mau ikut berenang tidak?" Rania mengajak Putra untuk turut berenang.
"Tidak! Kamu saja." Jawab Putra dengan lantang.
"Ah, Ayah tidak asyik! Ayolah, Ayah. Jarang-jarang kan Ayah ada waktu berenang bersamaku? Terakhir kali kita berenang bersama, sewaktu aku masih kelas tujuh. Sudah lama sekali itu, bahkan sekarang aku sudah lulus dan sebentar lagi aku akan kuliah. Aku pasti akan semakin sibuk dengan waktuku, dan Ayah juga pasti akan sibuk." Pinta Rania kepada Ayah angkatnya.
Putra mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumahnya. Terlihat sepi dan sunyi.
"Dimana Minah dan yang lainnya?" Tanya Putra dengan perasaan tidak nyaman jika berenang ada banyak karyawannya.
"Mbak Minah dan yang lainnya sudah aku berikan uang untuk mereka belanja sepuasnya. Supaya aku bisa berenang sendiri di rumah tanpa ada gangguan!" Jelas Rania dengan senyumannya.
Putra mengerutkan dahinya.
"Jadi? Dirumah tidak ada orang kecuali kita?" Tanya Putra.
"Iya!" Jawab Rania dengan semangat.
Putra terlihat sedang berpikir. Hanya ada dirinya dan Rania saja di rumah. Tidak ada yang lainnya.
Tiba-tiba perasaannya berubah menjadi gelisah dan berdebar-debar.
Perasaan gelisah yang semalam muncul kembali.
Putra sedikit berkeringat dingin.
Karena Putra tidak menanggapinya, Rania akhirnya nekat keluar dari kolam renang dengan menunjukkan tubuhnya yang dibalut dengan Monokini Swimsuits (Gabungan dari bikini dan one-piece swimsuit, dengan aksen lubang di tengah badan)
Tubuh yang sudah bertumbuh menjadi dewasa dengan jelas terpampang di hadapan Putra.
Buah dada yang kian berisi dan padat, b*kongnya yang cukup aduhai serta lekukan tubuhnya terbentuk sempurna.
Membuat Putra menjadi terpana dan terkejut.
"Rania! Dapat dari mana kamu pakaian renang seperti itu?" Putra menutup matanya seketika.
Mata Putra ternodai oleh tubuh Rania.
Rania terkekeh.
"Ya beli dong, Yah. Makanya kenapa aku meminta semuanya jangan ada disini, karena aku ingin berenang menggunakan pakaian ini. Cocok tidak, Yah?" Jawab Rania dengan memutarkan tubuhnya di hadapan Putra.
Putra sedikit risih dengan pakaian yang Rania kenakan.
"Lain kali jangan menggunakan itu kalau sedang banyak orang di rumah." Perintah Putra kepada anak angkatnya.
"Baik, Ayah. Ayo dong, temani aku berenang. Cepat buka pakaian, Ayah. Kalau tidak, aku yang membukanya nih!" Ledek Rania kepada Putra.
Seketika Putra menjadi kalang kabut. Ia panik dan segera menjauh dari Rania.
"Jangan! Biarkan aku yang membuka sendiri." Jawab Putra.
Rania pun tersenyum-senyum tipis melihat tingkah Putra yang tidak seperti biasanya.
"Cepetan, Ayah! Nanti keburu yang lain pulang." Ucap Rania yang setia menunggu Putra membuka pakaiannya.
Ketika Putra membuka pakaiannya dan tinggallah celana boxer trunk, sehingga menampakan junior nya terlihat besar dan bulat.
Rania membulatkan matanya, betapa terkejutnya jika milik ayah angkatnya begitu kokoh dan berisi.
"Hmm..." Gumam lirih Rania menggoda dengan menyembunyikan senyumannya.
"Ada apa?" Tanya Putra.
"Tidak, Ayah. Ayo cepat!" Rania menarik tangan Putra dengan begitu cepat.
Membuat Rania yang terlalu bersemangat tersandung dan akhirnya mereka tercebur di bagian yang paling dalam.
Rania sangat takut jika ia berenang hingga masuk sampai batas ukuran kolam yang terdalam dengan ukuran mencapai tiga meter. Ia lebih menyukai bagian yang sedang seperti kedalaman hanya satu setengah meter saja.
Byuuurrrr....!!!!
(Rania!!) teriak Putra dalam hatinya ketika ia mengetahui bahwa dirinya dan Rania tercebur dibagian terdalam.
Putra paham betul jika Rania trauma berenang dibagian yang terdalam, ia berusaha menyelam dan mencari Rania yang nyaris tenggelam.
Putra dikenal mumpuni dalam berenang dan menyelam. Karena berenang menjadi salah satu syarat dirinya masuk dalam Akademi Kepolisian, dengan kepiawaian ia berhasil merengkuh tubuh Rania dan membawanya naik ke daratan.
Ranianya pun pingsan, nampaknya ia sempat menelan banyak air.
Sesampainya diatas, Putra menepikan Rania dan mengangkat tubuh Rania dengan terpaksa Putra harus menyentuh tubuh montok Rania yang telah mengganggu pikirannya sejak semalam.
Setelah Rania digeletakkan ditepi kolam, Putra tampak panik dan bingung harus berbuat apa.
Ia ingin memberikan nafas buatan dan memompa bagian dada Rania, namun Putra begitu maju mundur.
Jika Rania tidak cepat ditolong, maka bagian paru-parunya akan lebih lama terkena air, membuat kesehatan Rania menjadi tidak baik.
Putra menarik nafas panjangnya dan dengan cepat ia memberikan nafas buatan untuk Rania yang masih tergeletak menanti pertolongan.
Putra mendekatkan wajahnya kearah Rania, semakin dekat, dan mulut Putra berhasil menyentuh bagian b*bir Rania.
Ya, keduanya telah bersatu.
Putra meniupkan angin masuk kedalam tubuh Rania.
Sesekali Putra memompa bagian dada Rania. Sesuatu yang menyembul bagian dada berhasil ia sentuh.
Yang selama ini hanya menjadi rasa penasarannya.
Putra terus mencobanya hingga air berhasil keluar dari dalam tubuh Rania.
Namun, Rania tampaknya belum sadar akan pingsannya. Matanya masih terpejam.
Dengan cepat Putra membopong tubuh Rania yang masih dalam keadaan mengenakan pakaian renang yang menggoda iman Rania.
Putra melangkahkan kakinya menuju ruang meditasinya.
Ya, ruang meditasi adalah ruang privasi bagi Putra. Segala perlengkapan untuk istirahat, bersantai bahkan olahraga ringanpun ada didalam nya.
Mengapa Rania tidak langsung dibawa ke kamarnya saja?
Karena menurut Putra, jika kondisi Rania belum stabil ia tidak ingin membiarkan siapapun mengganggu Rania dalam hal apapun.
Ruang meditasi yang dapat terkunci otomatis, menjadi ruangan bebas gerak bagi Putra.
Disanalah Rania dibaringkan, Putra tampak kebingungan ingin segera menggantikan pakaian Rania, namun baginya itu adalah sesuatu yang tidak pantas ia lakukan.
Namun, jika Rania dibiarkan mengenakan pakaian itu, akan membuat Rania menjadi sakit.
Putra segera meraih selimut tebalnya, lalu ia menutupi tubuh Rania yang telah terekspos oleh matanya.
"Rania, jangan sampai sakit ya, Nak. Ayah sayang dengan kamu. Melebihi apapun." Ucap lirih Putra dengan membelai lembut pucuk rambut Rania.
Putra terus memandang wajah Rania, ada getaran yang berbeda ia rasakan.
(Rasa apa ini? Mungkinkah aku jatuh cinta kepada anak angkatku sendiri? Bagaimana bisa?)
Batin Putra berbicara.
Putra mendekatkan wajahnya kearah wajah Rania, kemudian ia mencium dahi milik Rania dengan lembut.
Namun, ada sesuatu yang mendorongnya ingin mencoba mencium yang lainnya.
Dengan perasaan yang bercampur aduk, Putra mengalihkan pandangannya pada bibir ranum milik Rania yang begitu mungil dan indah.
Dengan perlahan dan hati berdebar-debar, Putra memberanikan dirinya untuk lebih mendekatkan posisi bibirnya mengarah ke bibir Rania.
Cup!
Sebuah kecupan singkat yang ia berikan kepada bibir ranum Rania.
Rania masih terpejam, tidak ada reaksi yang diberikan oleh tubuh Rania.
Putra kembali memberanikan dirinya kembali untuk mencoba mengecup bibir Rania untuk kedua kalinya.
Putra sejak remaja bahkan sedewasa ini tidak pernah berpacaran atau dekat dengan wanita manapun. Membuat dirinya terlihat kaku dan dingin.
Bibir Putra mendekati bibir Rania, dengan hati-hati Putra akan mencoba sesuatu yang baru, sesuai yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Hembusan nafas Rania yang tengah terpejam dapat dirasakan oleh wajah Putra.
Putra berhasil mel*mat lembut bibir Rania.
Bibir anak angkatnya yang selama ini telah ia asuh dan ia rawat.
C*uman pertama bagi keduanya, yang sama sekali belum pernah mereka rasakan kepada siapapun.
Perasaan Putra semakin tidak beraturan, hatinya semakin berdebar kencang.
Ia melanjutkan aksinya untuk terus menjamah bibir Rania dengan sesuka hatinya.
Putra merasakan kenyaman ketika menjamah bibir Rania, akhirnya ia yang masih mengenakan boxer trunknya, ia masuk kedalam selimut yang sama dengan Rania.
Ia memeluk tubuh Rania yang hanya mengenakan pakaian renang menggoda iman. Ya, iman Putra telah hancur dibuatnya.
Putra kembali melanjutkan mel*umat bibir Rania, karena baginya kesempatan ini tidak akan terulang kembali.
Namun, tiba-tiba saja aksinya terhenti.
"Ayah?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!